...Matahari pagi mulai menyoroti ruang dengan lampu tidur yang sudah dimatikan. Di atas ranjang yang ada disana, seorang pria nampak sedang duduk sembari memegang secangkir kopi hangat ditangannya. Sesekali, pria itu nampak melirik ponsel miliknya yang sejak semalam terus berdering. Hanya saja, dia mengabaikannya karena sedikit takut kepada omelan yang akan diterimanya.“Tuan Mu, apakah ponsel milik anda tidak ingin diangkat?” tanya asisten pribadi yang berdiri disamping ranjangnya.Pria tampan itu nampak melirik ponsel itu kembali. Sekilas, dia dapat melihat notifikasi pesan yang juga tertera disana.Brengsek! ..Beraninya kau!..Sialan!Penuh makian dan luapan amarah. Begitulah isi notifikasi yang sekilas terus bergulir namun tidak dibukanya. Mu Shenan nampak hanya meliriknya. Lalu setelahnya, dia meletakkan cangkir miliknya ke atas meja sembari berbicara kepada sang asisten.“Apakah semalam dia sampai ke rumah dengan baik?” tanya pria itu dengan serius.“Iya, Tuan. Semalam s
...Pria berbaju tidur rumah sakit itu terdiam dengan kedua pahanya yang sudah memerah. Wajahnya meringis dan tatapan matanya tertuju pada awan-awan berwarna putih di langit yang nampak cerah dari balik kaca jendela miliknya.Sesekali, dari jendela luar kaca itu, beberapa burung nampak terbang berpasang-pasangan melintasi kamar dimana kedua insan tersebut sedang duduk di bersebelahan di atas ranjang.“Kenapa kau tidak pernah bilang hal itu?” kata sang pria kepada gadis disampingnya.Gadis itu hanya terdiam. Kedua matanya juga terlihat memandang jauh ke hamparan langit yang terlihat luas dari balik jendela di kamar tertinggi pada rumah sakit terbesar di kota S.“Sejak kapan kau begitu peduli?” jawab gadis itu lirih.Mu Shenan menolehkan wajahnya memandang tepat pada isterinya itu. Dalam hati, dia begitu menyesal karena dahulu dia pernah meninggalkan isterinya itu selama dua tahun se-usai pernikahan mereka. Apalagi, setelah mengetahui bahwa Shen Yiyi mengalami hidup dalam tipu musliha
. . . "Buka!" seru seseorang dari luar. Mu Shenan menarik bibirnya yang hendak melahap habis bibir kenyal milik isterinya. Hatinya terganggu dan keinginannya untuk menyentuh isteri polosnya itu terusik oleh kedatangan seseorang di depan pintu yang sangat tidak diharapkannya. Tok! Tok! Dari luar, asisten Bai nampak sedikit membuka pintu untuk memberitahu identitas tamu yang tiba-tiba datang kesana. “Tuan Mu, ada CEO Shen di depan pint-,” ucap sang asisten yang langsung di-ikuti oleh derap langkah kaki seorang pria paruh baya di belakangnya. “Minggir!” ucap pria paruh baya dengan setelan jas kerja berwarna biru gelap disana. “Putriku, ayo kita pulang,” tegasnya setelah dia benar-benar masuk ke dalam. Shen Haoran berdiri menjulang dengan bahu yang tampak begitu tegap. Sorot matanya menatap tajam dan tatapannya tidak bergeser dari sosok pria muda yang saat ini dirasanya duduk terlalu berhimpitan dengan putri kecilnya yang sangat polos. Licik! pikirnya. “Yiyi, bergeserlah,” celetu
. . . Shen Haoran tidak berbicara disepanjang perjalanan menuju ke rumahnya. Di dalam mobilnya, pria paruh baya itu hanya menatap pepohonan yang mereka lalui sembari ingatannya berputar kepada masa dimana isterinya masih hidup. Pada waktu itu... “Suamiku, akan kita beri nama siapa putri kita?” tanya seorang wanita cantik dengan bayi mungil di gendongannya. “Yiyi,” sahutnya. “Aku memberi nama putri kita 'Shen Yiyi'. Dia akan menjadi gadis phoenix secantik dirimu," terang Shen Haoran. “Benarkah?” Wanita cantik itu tersenyum lalu memindahkan bayi miliknya ke pangkuan Shen Haoran. Bayi itu begitu lucu dan menggemaskan dengan pipi berwarna pink kemerahan. Shen Haoran begitu bahagia hingga dia langsung memeluk putri kecilnya itu sebelum dia bersumpah di depan isterinya. “Isteriku, apapun yang terjadi, aku akan menjaganya,” ucap Shen Haoran kala itu. Saat ini, ingatan itu begitu menyeruak dan mengambil alih dunia pria paruh baya yang masih memandangi pepohonan di luar jendela mobil
. . . “Kami nyatakan, Tuan dan Nyonya Mu telah resmi bercerai," ucap seorang hakim berjubah hitam seraya mengayunkan palu besar miliknya. Dok! Dok! Dok! Tepuk tangan terdengar begitu riuh memenuhi seluruh ruangan bernuansa hijau disana. Semua orang bersukacita dan ucapan selamat mengalir bersahut-sahutan hingga kepala pria muda yang terduduk di atas kursi dakwaan itu menjadi begitu pening. Segalanya berputar. Penglihataannya mulai kabur oleh hantaman perasaan tidak terima yang menyeruak di dalam batinnya. "Tidak... Jangan..." ucapnya lirih dalam ketidak-berdayaannya. “Shenan, selamat tinggal." Sebuah suara tiba-tiba terdengar mengejutkan Mu Shenan. Wanita itu tersenyum hangat sebelum akhirnya dia berjalan menjauhi pria yang saat ini sangat terluka disana. “Tidak! Jangan ceraikan aku! JANGAN!!!!!” seru Mu Shenan sekencang-kencangnya hingga gedung berwarna hijau itupun mulai goyah dan membuyarkan semua orang disana. Yiyi! Mu Shenan terbangun dengan butiran-butiran keringat yang
...Shen Haoran masih tidak mau berbicara dengan Shen Ara. Selama di kantor, dia hanya diam saja sementara adik angkatnya itu menjelaskan banyak hal kepadanya.“Kakak, aku mohon percayalah. Aku tidak tahu kalau Wei Dong akan sejahat itu kepada Yiyi. Aku tidak ada hubungannya dengan semua ini. Hiks…”Tangis Shen Ara pecah di dalam ruangan bernuansa putih di Perusahaan Shen. Tangan wanita itu bergetar dan air matanya mulai bercucuran. Dia terlihat begitu sedih hingga hal itu menggerakkan hati Shen Haoran yang sebenarnya tidak sepenuhnya menyalahkan Shen Ara atas kesalahan Wei Dong.“Sudahlah Ara, aku tidak menyalahkanmu,” ucap Shen Haoran.Satu kata dari Shen Haoran seketika mengguyur hati wanita itu dengan kelegaan. Sebenarnya, sejak semalam, wanita itu tidak bisa tidur karena dia begitu takut kalau Shen Haoran akan membencinya. Shen Ara tidak siap. Dia benar-benar tidak mampu apabila Shen Haoran benar-benar menjauh dari kehidupannya setelah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Wei D
. . . Matahari hampir tenggelam di kota S. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 menuju petang dimana semua karyawan kantor telah pulang ke rumah mereka masing-masing, tidak terkecuali seorang CEO di Perusahaan Shen. Tidak seperti biasa, pria paruh baya itu sengaja membatasi pekerjaannya hari ini sehingga dia dapat kembali ke rumah lebih awal. Hal yang dulu selalu dilakukannya disaat Hua Linsi, isterinya itu masih hidup. “Yiyi, ayah pulang.” Shen Haoran menenteng tas kerjanya ditangan kanan, sementara tangan kirinya membawa sebuah paper bag berisi cemilan hangat yang dibelinya selama dia dalam perjalanan pulang. Dahulu, Shen Haoran kerap melakukannya, yakni membawa makanan hangat dan juga beberapa mainan setiap kali dia pulang kerja. Hua Linsi yang menyuruhnya. Isterinya itu tahu bahwa putri mereka sangat menyukai perhatian semacam itu. Hanya saja, kebiasaan kecil tersebut menghilang di-ikuti oleh kebiasaan-kebiasaan lainnya yang juga memudar semenjak Hua Linsi tiada. Shen Haoran
...Hari telah menjelang malam. Wei Yuna terlihat mondar-mandir di depan pintu rumahnya untuk menunggu Shen Ara yang belum kunjung pulang juga. Sudah selama 1 jam, wanita itu ada disana. Kakinya mulai merasa kesemutan dan juga wajahnya tampak pucat karena selama dua hari ini dia tidak bisa tidur lelap seiring kasus pembunuhan yang melibatkan dirinya dan ayahnya.Tin! Tin!Suara klakson mobil berwarna hitam terdengar dari arah gerbang disana. Terlihat jelas seorang penjaga pintu segera berlari untuk membuka pintu gerbang kediaman Wei bagi mobil Shen Ara yang sudah menunggu di depan.Wei Yuna nampak sedikit lega. Setelah mobil yang dinantinya terparkir sempurna di halaman kediaman mereka, Wei Yuna langsung berjalan untuk menghampiri sang ibu.“Ibu? Dari mana saja kau?” tanya Wei Yuna sedikit cemas. “Ayah dari tadi menelepon, tetapi ibu tidak mengangkatnya,” tambahnya.Shen Ara hanya diam. Setelah mengambil beberapa tas dari dalam mobil miliknya, wanita itu menarik lengan Wei Yuna supa