"Pasti Mas Reza suka sama kejutanku."
Tepat pukul lima sore, aku keluar dari mobil. Aku sengaja meninggalkan kendaraan roda empat itu di depan gang, lanjut berjalan kaki menuju rumah yang masih berjarak 200 meter di depan sana. Satu tanganku membawa kotak berukuran sedang berisi kue ulang tahun untuk Mas Reza, sedang tangan yang lain membawa tiket liburan ke Bali. Aku tidak sabar memberikan kejutan ini untuknya. Dia pasti senang dan langsung sembuh dari sakitnya. Ya, sebenarnya tadi pagi Mas Reza agak demam. Dia izin tidak masuk kerja dan istirahat total di rumah. Aku yang kebetulan dapat banyak pesanan katering hari ini, terpaksa tidak bisa menemaninya. Aku minta maaf dan baru pulang jam tujuh malam. Dia tidak keberatan sama sekali, memintaku tidak perlu khawatir karena dia bisa mengurus dirinya sendiri. Langkah kakiku semakin dekat menuju gerbang, melewatinya tanpa suara. Seperti seorang pencuri, aku bahkan berhati-hati menutupnya. Semua demi kejutan yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari. Bahkan Bima—putraku dengan Mas Reza—sengaja aku titipkan pada Ibu khusus untuk hari ini. Aku ingin memberikan me time untuk suamiku. Aku berhenti di ruang tamu dengan kening berkerut saat mendapati ada satu tas wanita di kursi sofa. Warnanya merah menyala, begitu kontras dengan ruangan yang hampir keseluruhan dekorasinya berwarna coklat muda. Juga ada sepatu heels dengan warna yang sama, tergeletak di bawah meja. "Barang-barang milik siapa ini? Kenapa ada di sini? Rasa-rasanya aku nggak ...." Seketika dadaku terasa sesak dan tidak bisa melanjutkan kalimatku. Kue yang sedari tadi kubawa dengan hati-hati, kini kuletakkan begitu saja di atas meja. Dadaku bergemuruh. Aku tidak tahu pemilik dua benda asing ini, tapi juga tidak bisa berprasangka baik setelahnya. Tadi saat mendapati pintu utama yang tak terkunci, kupikir Mas Reza lupa. Lagi pula, tidak mungkin ada pencuri karena satpam kompleks selalu keliling dua jam sekali. “Ya Allah, kenapa dadaku rasanya sesak begini, ya?” Aku berusaha menahan air mata yang mulai terkumpul, membuat pandanganku berkaca-kaca. Belum habis pertanyaan di kepalaku, samar-samar terdengar celotehan seorang wanita dari lantai dua. Dia tertawa, seperti tengah digelitik atau semacamnya. "Apa-apaan ini?" batinku semakin tidak menentu. Aku yakin rumahku tidak berhantu. Itu pasti suara manusia. Tapi siapa? “Mas, jangan gitu, ah!” Suara itu terdengar semakin jelas saat aku mulai menaiki anak tangga. Sepatu flat milikku sengaja kutinggalkan di bawah tangga, demi mengintai ke sumber suara sambil berjinjit. Mungkinkah Mas Reza sedang bermain gila dengan wanita lain di kamar utama? Itu tempat tidurku dengannya. Mana mungkin .… “Mas! Udah!” Sekali lagi kudengar teriakan manja wanita itu, membuat seluruh ketakutan dalam diriku semakin menjadi-jadi. Berbagai prasangka langsung memenuhi kepala. Apa yang sedang wanita itu lakukan di ruangan pribadi kami? “Bentar lagi, Sayang. Nanggung, nih.” Deg! Langkahku terhenti seketika, bersama degup jantung yang kehilangan ritmenya. Dadaku rasanya sesak seketika. “Itu suara Mas Reza. Aku nggak mungkin salah.” Belum reda keterkejutanku, detik berikutnya kembali terdengar suara-suara yang terasa menjijikkan. Kata-kata kotor terdengar menusuk telinga, membuatku semakin yakin Mas Reza tengah enak-enakan di kamar kami. Ingin aku tutup telingaku supaya tidan mendengar suara mereka. Wanita itu tidak segan memanggil nama Mas Reza berkali-kali, membuat kakiku hampir tidak mampu berdiri lagi. Tubuhku limbung. “Ya Allah ... kuatkan hamba.” Tanganku mencengkeram besi berulir yang mengular sepanjang anak tangga. Hanya tersisa dua-tiga meter sebelum aku sampai di kamar, tapi tenagaku rasanya sudah habis. Tapi, aku harus kuat. Aku harus dapat bukti kalau memang Mas Reza benar-benar selingkuh. Meski itu kemungkinan terburuk yang paling tidak aku inginkan. Membayangkannya saja tidak. Tiket liburan yang dari tadi kugenggam, kini kuremas dan kubuang begitu saja. Rencana indah yang sudah kurancang sedemikian rupa, kini musnah seketika. Hatiku remuk redam rasanya. Desah dua makhluk laknat itu terdengar semakin jelas saat kakiku sampai di ambang pintu. "Joy, makasih, ya. Kamu selalu bikin aku puas," puji Mas Reza dengan suara yang cukup keras. Joy?! Mataku membulat seketika. Joy siapa? Dari celah pintu yang terbuka, aku lihat dia menarik diri dari wanita yang telah memuaskannya. Kecupan-kecupan penuh cinta diberikan di seluruh wajah lawan mainnya, sama persis seperti yang Mas Reza lakukan setelah menghabiskan malam denganku. Seluruh rasa cintaku pada Mas Reza tercerabut dengan paksa. Dia melakukan hal yang amat sangat aku benci, yakni berselingkuh. Itu benar-benar kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. "Mas Reza!" Tanganku terkepal erat, ingin berteriak. Ingin sekali menghambur ke dalam sana untuk menangkap basah dua insan yang begitu hina itu. Tapi, kakiku terpaku di lantai. Aku tidak bisa bergerak. Gemuruh di dalam dadaku tak terkontrol, tidak sabar ingin tahu siapa wanita yang sudah membuat Mas Reza terlena. Benar-benar tidak ada gambaran, suamiku yang pengertian itu menodai ikatan suci kami. Alih-alih menyudahi dosa yang mereka lakukan, aku dibuat tersentak saat suara wanita terdengar keenakan. Mereka melakukannya lagi. Mataku berkaca-kaca, teringat rumah tangga kami yang begitu harmonis sebelumnya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Mas Reza tidur dengan wanita lain di ranjang yang seharusnya hanya ditempati oleh kami berdua? Terlalu asyik memadu cinta, sampai membuat dua manusia minus logika itu tidak sadar waktu tanganku membuka pintu sedikit lebih lebar. Satu tanganku mengambil ponsel dan mengaktifkan fitur kamera. "Udahan ya, Mas? Aku udah bisa pulang sekarang? Capek," ucap wanita itu sambil beranjak dari ranjang. Dia duduk di samping Mas Reza, membelakangi pintu, membelakangiku. Namun, suaranya terdengar familiar. "Kenapa buru-buru, sih? Istirahat dulu sebentar." Mas Reza memeluknya sambil menciumi tengkuknya. Sial! Kemarahanku rasanya naik ke kepala, membuat ubun-ubunku mendidih dan ingin menghantam keduanya dengan benda tumpul apa saja yang ada. “Nggak, ah. Nanti kalau tiba-tiba Nadya pulang gimana? Aku takut ketahuan. Udah, ya.” "Nggak bakal. Dia tadi udah kirim pesan, bakal pulang malam. Restorannya rame, pesanan kateringnya juga lagi membludak. Kamu tidur aja dulu. Nanti jam enam aku bangunin & antar kamu pulang." "Tapi, Mas ...." “Sst, udah deh nggak usah bantah. Kalau masih ngeyel, aku buat kamu nggak bisa pulang.” “Mas!” “Yakin udahan? Nggak mau ronde ketiga?” "Mas Reza, jangan genit!" Telingaku semakin pekak mendengar canda tawa mereka. Ingin sekali kuambil pisau, menerobos masuk dan menghabisi mereka. Tega-teganya Mas Reza mengkhianati kepercayaanku. Apa katanya tadi? Ronde ketiga? Gigiku gemeletuk saling beradu satu sama lain. Apa kurangku sampai Mas Reza selingkuh? Bukannya aku masih penuhi hak dia semalam? Kenapa sekarang dia main gila dengan wanita lain? Sudah berapa lama mereka selingkuh? Apa aku tidak menarik lagi di matanya?Kudorong pintu di depanku sekuat tenaga, membuat dua orang di depan sana terperanjat seketika. Mereka saling tatap, tidak menyangka akan tertangk4p basah seperti sekarang. "Nadya?" Joyce, yang merupakan sahabatku sejak kecil, memanggil namaku sambil menjauh dari ranjank dengan wajah pucat. "Nadya! Apa-apaan kamu?" Mas Reza langsung berdiri, serabutan memakai kaus hitam dan celana pendek. Suaranya tercekat di tenggorokan, menatapku seperti melihat hantu. Dia sadar, kamera ponselku merekam perselingkuhan mereka. "Nadya, ini nggak seperti yang kamu lihat." Joyce menatapku sambil berurai air mata. "Aku sama Mas Reza cuma—" "Diam!" Aku menyentak galak. Dadaku terasa semakin sesak. Sudah ketahuan, masih saja coba berkilah. "Aku nggak butuh penjelasan wanita murahan kayak kamu!" Kemarahanku tak tertahankan membuat tanganku sampai bergetar. Rekaman video yang kuambil sedikit blur. Yang penting aku punya bukti. Mas Reza mendekatiku dengan wajah merah padam. "Turunin ponsel kamu!" "Ngga
"Mulai sekarang kita nggak ada ikatan. Kamu bukan lagi istriku dan aku bukan suami kamu." Aku memaksakan berdiri dengan tangan gemetar setelah menyimpan ponsel di saku. Kakiku mundur dua langkah sambil menatap Mas Reza yang acuh tak acuh. Tidak ada rasa bersalah, juga tak ada lagi cinta yang tersisa di matanya untukku. "Mas, kamu jangan bercanda. Kalimat itu nggak bisa diucapkan sembarangan. Sekali kamu mengatakannya, aku sudah haram kamu sentuh." Mas Reza mendecih sambil membuang muka. Tampaknya dia begitu jijik padaku. Bukankah seharusnya aku yang bersikap demikian? Kenapa jadi terbalik sekarang? "Haram? Ya, aku memang nggak akan menyentuhmu lagi, Nadya binti Bagaskara. Besok aku sendiri yang akan mendaftarkan perceraian kita. Kamu tunggu aja panggilan buat sidang. Secepatnya!" "Mas, jangan ambil keputusan selagi kamu emosi. Pernikahan kita, ada Bima di dalamnya. Kamu mau dia jadi korban broken home yang kehilangan kasih sayang orang tua?" "Dia nggak akan kehilangan kasih saya
Seharusnya di saat seperti ini aku semakin menyayangi putraku, tapi nyatanya aku malah seperti kehilangan jati diri sebagai seorang ibu. Wajah anak itu sangat mirip dengan ayahnya. Aku masih sakit hati mengingat pengkhianatan Mas Reza. “Ayo, Sayang.” Mama menepuk-nepuk punggung Bima, membawanya ke dalam kamar. Dari arah lain, Papa mendekat sambil membenahi kacamata tebal yang bertengger di atas hidung. Raut wajahnya keruh, jelas menunjukkan kalau beliau tidak baik-baik saja. Putri semata wayangnya sudah tersakiti, bahkan dicampakkan begitu saja oleh suaminya. Orang tua mana yang tega melihat kesayangannya menderita? Cukup lama kami berdiam diri. Papa menatap televisi layar datar di depan kami tanpa ekspresi. Tayangan kartun anak-anak dengan warna mencolok, yang semula ditonton oleh Bima, sama sekali gagal menarik perhatian. Rahangnya mengerat, berusaha mengendalikan emosi. Aku yakin Mama sudah menceritakan masalahku sampai membuat Papa pulang segera dari Bandung. Aku membenahi posi
Pertemuanku dengan klien baru saja selesai saat Mira, resepsionis di firma hukum tempatku bekerja menelepon. Tadinya masih ada agenda makan siang bersama, sekaligus ucapan terima kasih dari orang itu. Namun, begitu mendengar siapa yang mencariku, aku melupakan hidangan aneka seafood kesukaanku. Itu tidak lebih penting dari orang yang sekarang menungguku. Lebih tepatnya satu nama yang sangat ingin kutemui. Aku memacu kendaraan secepat mungkin, ingin segera melihat wajah ayu wanita itu. Wanita yang kutinggalkan sepuluh tahun lalu demi mengejar impianku menjadi seorang pengacara. Hingga akhirnya dia menikah dengan orang lain. Jika waktu bisa diputar kembali dan aku tidak pergi meninggalkannya, mungkinkah kami tetap bersama? Langkahku terasa semakin berat saat meniti anak tangga satu persatu. Matahari semakin membuat peluhku bercucuran. Mataku memicing tajam selepas melewati pintu kaca yang otomatis terbuka. Mira menunjuk ruang tunggu, di mana kedua tamuku duduk di sana. Dadaku terasa s
Saat Pak Bagaskara masih bicara dengan putrinya di dalam sana, aku terjebak dalam riuh rendah isi kepalaku sendiri mengingat kisah kasih kami semasa SMA. “Nonton, yuk,” ajak Nadya, mendekat ke arahku setelah pelajaran terakhir usai dan menunjukkan tiket film di salah satu bioskop tak jauh dari sekolah kami. Senyum di wajahnya begitu cerah, mengabaikan terik matahari di luar sana yang amat menyengat. Dia gadis yang ceria, murah senyum dan memiliki banyak teman. Berbanding terbalik denganku yang lebih banyak diam dan menutup diri. Aku hanya bisa menggeleng, menolak ajakannya dan pergi lebih dulu dari sana, canggung menatap wajahnya yang cantik menawan. Jujur saja aku menyukainya, tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan. Lagi pula, Nadya dari keluarga berada, sedangkan aku hanya anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usulnya. “Aku maunya sama kamu. Nggak mau sama yang lain.” Bibirnya mengerucut. Dia menghadangku, berdiri sambil merentangkan tangan demi menghalangi jalan. Tip
"Om, tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Nana. Dia nggak mau angkat telepon. SMS juga nggak dibalas," ucapku malam itu, sehari sebelum terbang ke Eropa demi mengambil beasiswa di salah satu universitas ternama. Om Bagaskara mengangguk, menepuk pundakku dan mulai bercerita masa kecil Nadya, putri kesayangannya yang lebih sering dipanggil Nana. Meski satu jam lamanya kami bercengkerama di beranda, Nana menolak turun dari kamarnya. Dia hanya mengintip dari jendela saat aku melangkah keluar melewati pintu gerbang. "Kamu nggak harus ambil tawaran beasiswa itu!" Suaranya yang melengking sebulan sebelumnya masih terbayang di kepala. Saat itu aku mengungkapkan keputusanku menerima tawaran beasiswa dari sebuah yayasan. "Na, ini demi kebaikan kita berdua. Aku serius sama kamu, tapi aku juga harus serius sama masa depanku. Nggak mungkin yatim piatu kayak aku, layak bersanding sama putri semata wayang Pak Bagaskara. Apa kata orang nantinya?" Nana menghempas tanganku, berdiri dengan ce
"Firman, nggak bisa besok aja?" Suara Nana tercekat di tenggorokan, tampak tidak nyaman saat mobilku mulai memasuki gerbang perumahan tempat tinggalnya. Dia akhirnya buka mulut, tak hanya diam. Sejak naik ke mobil Jeep milikku, dia memang menutup mulutnya rapat-rapat. "Kenapa? Kamu belum siap ketemu suamimu yang sebentar lagi bakal jadi mantan itu?" Alih-alih menjawab, dia justru meremas tas di pangkuannya. Aku terpaksa menepikan mobilku, mengajaknya bicara. Keraguan bergelayut di matanya. "Kalau aku sama Mas Reza beneran pisah, apa Bima akan baik-baik saja? Yang paling dirugikan dari sebuah perceraian adalah anak-anak. Nggak sedikit yang kekurangan kasih sayang dan pada akhirnya lari ke hal-hal negatif. Apalagi Bima masih masa tumbuh kembang. Dia pasti akan kehilangan sosok ayah." Aku terpaksa meraup wajah dengan tangan sambil menarik napas dalam-dalam. Bagaimana cara meyakinkan Nana bahwa rumah tangganya sudah rusak? Perselingkuhan adalah dosa yang sulit ditinggalkan. Set
"Di sini?" tanyaku setelah menatap nomor di samping pintu gerbang bertuliskan A15. Sebuah rumah dua lantai yang terlihat mewah dengan halaman yang luas, langsung tertangkap mataku. "Iya." "Yakin kita selesaikan hari ini, Na? Setelah aku ketemu suami kamu, aku pantang mundur kecuali kamu sendiri yang mencabut tuntutan itu nanti. Kalaupun kamu mau membatalkannya, bukan berarti proses perceraian bisa langsung berhenti. Ada prosedur yang harus dilalui dan itu cukup berlarut-larut." "Aku udah siap. Apa pun resikonya, itu yang terbaik untuk kita bertiga. Seperti yang kamu tahu, Joyce hamil. Mas Reza harus tanggung jawab kalau itu beneran anak dia, tapi aku nggak akan pernah mau dimadu. Jadi, cepat atau lambat, kami memang akan berpisah." Aku mengangguk, merasa cukup lega saat melihat tekad kuat yang dia tunjukkan. Tak ada lagi air mata maupun kesedihan di wajahnya. Justru dia terlihat seperti wanita yang begitu kuat. "Ayo!" Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, mengik
Alya berdiri di dalam bus TransJakarta dengan tangan kanan memegang erat gantungan di atas kepala. Setiap yang Firman katakan ke Nadya, seolah menikam jantungnya."Selama ini aku menempel dengan Mas Dani tanpa peduli perasaannya. Aku bahkan tinggal di apartemennya dengan nggak tahu malu," bisik Alya tanpa suara, menatap keluar jendela yang padat merayap oleh kendaraan. Jalanan kota Jakarta yang semrawut menambah rumit isi kepala."Sini duduk, Nak. Ada kursi kosong."Alya sedikit terhenyak saat seorang wanita berjilbab memegang lengannya. Dia menunjuk tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh penumpang yang bersiap turun di halte berikutnya."Mau berangkat kerja?" tanyanya dengan lembut seolah mereka saling mengenal. Padahal Alya yakin, ini pertama kalinya mereka bertemu.Gadis yang sedang kacau perasaannya itu hanya mengangguk, enggan menjelaskan lebih lanjut. Sebelum terlibat perbincangan lebih jauh, Alya memutuskan untuk membuang pandangan ke arah lain sambil memasang earphone w
Alih-alih pulang setelah sarapan, Alya justru terus mengekor, membuntuti Firman untuk meminta penjelasan."Mas Firman," panggil Alya sambil menghentakkan kaki, membuat pria itu berhenti mengeringkan piring dan menoleh. Alisnya sedikit terangkat, tapi mulutnya terkatup rapat."Ceritain yang tadi, dong. Jangan bikin penasaran!""Buat apa cerita? Nggak ada gunanya." "Ada!" Alya mendekat, ekspresinya penuh tuntutan. "Aku harus tahu biar nggak salah langkah pdkt-in Mas Dani. Salah sendiri kenapa tadi mancing-mancing kayak gitu. Aku jadi penasaran, kan," imbuhnya.Firman menyeka tangannya yang basah dengan kain, lalu menghadap Alya dan menjentikkan jari di kening gadis itu."Saya nggak mancing karena kamu bukan ikan. Saya cuma kasih tahu biar kamu nggak buang waktu.""Maksudnya apa? Buang waktu gimana?" Sepasang mata Alya menyipit, lipatan di dahinya semakin jelas. Firman menghela napas panjang, melepas celemek di tubuhnya dengan gerakan cepat. Dia menatap Nadya—yang berdiri sambil menge
Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan kecil di rumah minimalis dua lantai berwarna biru. Pagi itu, suasana terasa hangat, bukan karena sinar matahari, tetapi karena kebahagiaan yang masih membara setelah bulan madu yang baru berlalu. Nadya berdiri di dapur, mengenakan apron bergambar bunga, sibuk membalik telur di wajan. Dari arah kamar, Firman muncul dengan rambut yang masih acak-acakan, mengenakan kaos polos yang melekat di badan dan celana pendek santai. Tatapannya langsung tertuju pada Nadya yang tampak begitu alami dalam balutan baju tidur satin lengan panjang dengan rambut yang tergerai hingga punggung.“Sayang,” bisik Firman di dekat telinga Nadya dengan suara berat khas orang bangun tidur. Tangannya melingkar di pinggang wanita itu seolah tidak rela sang istri meninggalkan ranjang mereka. “Kok kabur, sih? Padahal aku masih mau peluk cium kamu kayak tadi.”Nadya sedikit tersentak, tapi langsung tersenyum kecil. “Mas, ini masih pagi, jangan mulai usil, deh. Siapa suru
"Saya nikahkan dan jodohkan engkau, Firman Alamsyah dengan putri saya, Nadya Kinanthi Bagaskara, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan logam mulia 50 gram, dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Nadya Kinanthi Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!" Suara Firman tegas, mantap, menggema di ruangan sederhana itu. Begitu ijab kabul selesai, suasana mendadak hening, hanya terdengar isak haru dari beberapa tamu yang hadir. Nadya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Firman yang kini resmi menjadi suaminya. Hatinya bergemuruh, rasa syukur dan kebahagiaan berbaur jadi satu. "Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah!" Penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai disertai semua orang yang menengadahkan tangan mengaminkan. Nadya terlihat begitu anggun dalam balutan kebaya putih yang sederhana tapi tetap terlihat elegan. Kristal Swarovski menyertai sulaman halus di sepanjang kainnya, memancarkan keanggunan yang tak tertandingi. Meski kebaya itu memeluk tubuhnya dengan s
Di sebuah restoran mewah yang elegan dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan di langit-langit, Nadya, Firman, dan keluarga duduk melingkar di sebuah meja panjang. Aroma makanan lezat memenuhi udara, membuat suasana semakin hangat dan nyaman. Lilin-lilin kecil di atas meja menambah keintiman momen itu, sementara pelayan dengan sigap menyajikan hidangan satu per satu—dari steak yang empuk hingga seafood segar yang disusun indah di atas piring. Nadya duduk di samping Firman, masih tersenyum bahagia setelah momen lamaran yang manis beberapa jam lalu. Di sebelahnya, Bima yang selalu ceria, sibuk memakan pasta kesukaannya dengan tawa kecil setiap kali Firman mencoba mencuri satu gigitan dari piringnya. Ting! Ting! "Mohon perhatiannya sebentar." Di ujung meja, Papa Bagaskara mengetukkan ujung sendoknya ke bibir gelas, meminta atensi. Semua pasang mata tertuju padanya. Suasana makan yang semula dihiasi percakapan dan tawa, kini menjadi tenang. "Firman," Papa Bagaskara membuka percakap
“Capek nggak?” Firman memecah keheningan sambil menatap Nadya yang duduk bersebelahan di teras rumah. Langit sepenuhnya gelap dan udara dingin mengelus pelan wajah mereka. Melihat Nadya banyak terdiam sejak meninggalkan rumah sakit jiwa tempat Joyce dirawat, pria itu belum tega meninggalkannya. Khawatir Nadya merasa bersalah atas keadaan mantan sahabatnya itu. "Boleh kok sini bersandar di bahu. Gratis!" Nadya menghela napas, tapi akhirnya menggeser posisi duduknya mendekati Firman. “Bukan capek fisik, sih, tapi... rasanya hari ini berat banget.” Matanya menerawang ke arah taman kecil di depan mereka, sinar bulan samar-samar menerangi bunga-bunga yang berjejer rapi di bawah pohon cemara. Firman mengangguk paham. “Iya, aku ngerti. Hari ini memang berat buat kamu,” Dia melirik Nadya sejenak, lalu kembali menatap langit yang penuh bintang, “tapi kamu nggak sendirian, Na. Aku ada di sini.” Nadya tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Ia menundukan pandangan, menatap jemarinya sendiri
Dua bulan kemudian …. Langit sore tampak mendung seakan turut merasakan kesunyian yang menggantung di antara suara langkah kaki Nadya dan Firman. Mereka berjalan perlahan di sebuah rumah sakit jiwa, tempat di mana Joyce sekarang tinggal—atau lebih tepatnya, terpaksa tinggal. Sejak ditangkap oleh pihak berwajib, wanita itu mengalami banyak sekali pukulan yang membuat fisik maupun mentalnya berantakan. Dinding putih yang kusam dan aroma obat yang menusuk memenuhi udara, menambah nuansa berat pada hati Nadya. “Silakan. Ini ruangan Ibu Joyce. Jam-jam seperti sekarang ini, Ibu Joyce biasanya duduk di teras belakang sambil menggendong ‘bayinya’,” ucap perawat sambil memberi tanda kutip saat mengucapkan kata bayi. Wanita cantik dengan jilbab pashmina warna mustard itu mengangguk, berterima kasih dan membiarkan perawat pergi. Kakinya bergerak perlahan, mendekat ke arah pintu belakang kamar Joyce. Mata Nadya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bangku panjang yang menghadap tam
Firman melirik ke arah kaca spion, menatap cemas Nadya yang terbaring lemah di bangku belakang. Tubuh wanita itu tampak lunglai, wajahnya pucat pasi. Sesekali dia memanggil namanya, “Na... Nana, kamu bisa dengar aku?" Tidak ada respons. “Nadya!” seru Firman sambil membelokkan mobil ke arah kiri, menuju rumah sakit terdekat dari posisinya sekarang. Hanya gerakan pelan dari kelopak mata Nadya yang menunjukkan wanita itu tetap sadar, tapi cukup untuk membuat Firman sedikit lega. Tangan kirinya memegang kemudi erat, sementara tangan kanannya berkali-kali membunyikan klakson, menyingkirkan kendaraan lain yang menghalangi jalannya. “Tahan sebentar, Na. Kita hampir sampai!” Firman menggigit bibirnya dengan napas tak beraturan saat mendapati Nadya meringis menahan sakit. Matanya terpaku pada jalan di depan, tapi pikirannya sudah berlarian ke segala arah. Dia harus cepat sebelum wanita itu kehilangan banyak darah yang bisa membahayakan nyawa. Suara detak jantungnya sendiri terdengar
Firman melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di jalan yang sepi. Udara di luar agak panas, tapi di dalam mobil, suasananya justru terasa dingin dan tegang. Sesekali, dia melirik ke arah Nadya yang duduk di sampingnya. Sejak mereka meninggalkan tontonan Reza yang ditangkap polisi, Nadya belum mengucapkan sepatah kata pun, matanya lurus menatap jalan di depan. Merasa tercekik, akhirnya Firman memecah kesunyian. "Na, kamu yakin mau menemui Joyce?" Tanpa menoleh, Nadya mengangguk pelan. "Yakin. Gimanapun juga, dia pernah ada di masa-masa tersulitku. Aku mau kasih dia kesempatan sekali lagi buat menyesali perbuatannya. Kalau dia ngaku salah, aku nggak akan perpanjang kesalahannya selama ini. Aku biarin dia pergi dengan uang hasil penjualan rumahku. Mungkin dia bisa memulai hidup yang lebih baik di tempat neneknya." Firman mendesah pelan, menggelengkan kepala dengan sedikit heran. "Kamu terlalu baik, Na. Joyce udah khianati kamu, tapi kamu masih bisa selembut itu." Nadya terkekeh