Keira memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul delapan lewat empat puluh lima menit. Berarti lima belas menit lagi baru jam kerjanya akan berakhir. Hari ini ia memang kebagian shift sore di ruang IGD. Yang artinya ia akan bertugas mulai dari pukul dua sore sampai dengan pukul sembilan malam. Sebagai seorang perawat, jam kerjanya memang diatur sesuai dengan shift yang ditentukan oleh pihak rumah sakit.
Kamu ingin cepet-cepet pulang untuk apa, Ra? Untuk Panji? Tapi suamimu itu toh tidak pernah menanti kepulanganmu? Sudahlah. Jangan terus membohongi hatimu, Ra. Kasihan. Karena kamu telah menipunya sekian lama.
Keira mengeleng-gelengkan kepala. Mencoba mengibaskan bayang-bayang gelap hidupnya selama kurang lebih satu setengah tahun ini. Ya, satu setengah tahun lalu, ia terpaksa menggantikan adik kembarnya, Keisha, untuk menikah dengan Panji Wicaksana. Adik kembarnya itu kabur seminggu menjelang hari pernikahannya. Keluarga besarnya kalang kabut. Selama seminggu penuh keluarga besarnya tidak henti-hentinya mencari keberadaan adik kembarnya tersebut.
Ketika tiba di hari H dan Keisha belum juga ditemukan, ibunya dengan berurai air mata memintanya untuk menggantikan posisi Keisha. Ibunya beralasan kalau ia harus menyelamatkan muka keluarga besarnya. Dan seperti biasa, ia tidak kuasa menolak keinginan ibunya. Ia mengiyakan walaupun pengantin prianya terlihat begitu enggan untuk melanjutkan pernikahan. Dari cerita yang ia dengar, sebenarnya Panji sempat menolak keras untuk dinikahkan dengannya. Namun karena kedua orang tuanya terus saja memaksa, mau tidak mau ia menurut juga. Tetapi sangat jelas terlihat kalau ia setengah hati menjalaninya.
Begitulah akhirnya. Mereka berdua memang menikah juga. Hanya saja mereka berdua tidak pernah menjadi suami istri yang sesungguhnya. Ada beberapa kesepakatan yang telah mereka setujui bersama. Salah satu poinnya adalah mereka tidak akan berhubungan suami istri selama mereka belum memiliki rasa cinta. Makanya selama satu setengah tahun pernikahannya, ia masih tetap seorang perawan. Mereka memang tidur seranjang. Tetapi selalu ada guling yang memisahkan di tengah-tengah ranjang. Mereka juga tidak saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Ia tidak pernah tahu apa kesibukan suaminya, ataupun kegiatan-kegiatannya. Begitu juga suaminya. Mereka benar-benar asing satu sama lain.
Sekitar pukul 20.30 WIB, seorang ibu hamil diantar oleh keluarganya masuk ke ruangan Instalasi Gawat Darurat. Di atas kursi rodanya, sang ibu yang ditaksir berusia sekitar 30 tahunan itu terus merintih kesakitan. Tangan kanannya tidak berhenti mengelus-elus perut besarnya. Sepertinya si ibu akan segera melahirkan.
Keira segera menghampiri si ibu dan membaringkannya di examination table atau meja periksa pasien. Sembari menunggu dokter IGD yang sedang ke kamar kecil, Keira menanyakan keluhan si ibu. Menurut si ibu, pinggangnya terasa nyeri dan perutnya mulas sekali. Air bening telah keluar melalui kemaluannya sejak satu jam yang lalu. Berdasarkan keterangan si ibu, Keira menyimpulkan kalau si ibu mengalami kontraksi dan telah pecah air ketuban.
Keira segera meminta perawat jaga untuk melakukan anamnesis dan mencatat data-data pasien untuk keperluan registrasi rawat inap di ruang administrasi. Sementara ia sendiri melakukan pemeriksaan fisik serta tanda-tanda vital pada tubuh si ibu. Keira mengecek tekanan darah, nadi dan pernafasan si ibu. Setelah memastikan kalau keadaan si ibu baik-baik saja, Keira mengajari si ibu teknik relaksasi. Gunanya adalah untuk menghilangkan nyeri dengan pola nafas efektif.
Dokter IGD tiba tepat pada pukul sembilan malam. Itu artinya jam kerjanya telah usai. Setelah si ibu ditangani oleh dokter IGD, barulah ia melakukan serah terima pekerjaan dengan perawat yang akan bertugas berikutnya. Ia melaporkan jumlah pelaksanaan operasi, alat-alat medis dan keperawatan serta jumlah obat-obatan yang telah terpakai. Setelah semua tugasnya selesai, Keira bergegas menuju loker. Ia menukar seragam perawatnya dengan pakaian biasa. Setelah itu barulah ia memesan taksi online dan bersiap pulang ke rumah.
Selama menunggu datangnya taksi online, Keira kembali tercenung. Setiap kali memikirkan tentang nasib rumah tangganya, ia putus asa. Sungguh, menjadi seorang istri yang tidak dianggap itu sangat menyakitkan. Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Taksi online yang ia pesan telah tiba. Dan ia kembali melanjutkan lamunan sepanjang perjalanan. Empat puluh lima menit kemudian ia telah tiba di rumah. Pandangannya tertuju pada mobil Panji terparkir di garasi. Itu artinya Panji tidak keluar rumah malam ini. Tumben sekali. Biasanya jika dirinya tugas sore atau tugas malam, Panji akan hang out hingga tengah malam atau pagi buta sekalian. Kepada kedua orang tuanya, Panji selalu beralasan kalau ia kesepian di rumah karena istrinya sedang bertugas. Keira sampai ingin menganugerahi Panji piala Oscar saking piawainya suaminya itu dalam berakting. Peran sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, watak sekali dilakoni oleh Panji.
Saat tiba di depan pintu utama, Keira menarik napas panjang dua kali dan menghembuskannya perlahan melalui mulut. Ia harus merelaksasikan dirinya terlebih dahulu, sebelum berakting.
Inhale... exhale... Oke Keira, sekarang waktunya bermain telenovela. Tegakkan bahu dan pasang senyum terlebar lo. Satu, dua, tiga, action!
"Assalamualaikum Bu, Ayah, Mas Panji," Keira mengucapkan salam sembari melangkahkan kaki ke ruang tamu. Tiga kepala menoleh serempak ke arahnya seraya membalas salamnya.
"Kamu ini bagaimana tho Nji? Bukannya menjemput Keira, eh kamu malah ongkang-ongkang kaki saja di rumah. Kasihan istrimu pulang sendirian malam-malam seperti ini?" omel ibu mertuanya sambil memelototi Panji.
"Mas Panji tadinya memang ingin menjemput Keira, Bu. Hanya saja Keira tolak. Keira pikir Mas Panji 'kan sudah capek seharian kerja di kantor. Jadi biar saja Mas Panji beristirahat di rumah, Bu," ucap Keira. Ia tidak ingin memojokkan Panji. Ia 'kan sedang berakting sebagai seorang istri yang baik.
"Lain kali kalau kamu tugas sore atau malam, telepon saja, Mas, Ra. Mas pasti akan menjemput kamu pulang," sela Panji penuh perhatian. "Ayo, sekarang bersihkan dirimu dan segera istirahat," lanjut Panji seraya beringsut dari sofa. Dengan beriringan mereka berdua masuk ke dalam kamar. Setelah pintu kamar tertutup, akting pun di cut.
"Mulai besok saya akan mencarikan seorang supir untuk kamu. Jadi kamu tidak perlu lagi berakting sebagai seorang istri yang teraniaya. Saya mau keluar. Jangan mengunci pintu kamar," ancam Panji dingin. Keira hanya mengangguk kecil. Beginilah keadaan mereka yang sesungguhnya apabila sudah berada jauh dari telinga orang lain.
"Kalau nanti ayah atau ibu menanyakan keberadaan, Mas. Saya harus jawab apa?"
"Terserah," jawab Panji singkat. Panji kemudian membuka pintu kamar dan berlalu begitu saja dari hadapannya.
"Saya sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi saya juga tidak sampai hati menolak permohonan kedua orang tua saya. Bagaimanapun nama besar keluarga saya harus saya junjung tinggi. Bertahanlah jika kamu betah, dan silahkan pergi jika kamu lelah. Saya tidak pernah memaksa."
Kalimat demi kalimat yang diucapkan Panji dulu kembali terngiang-ngiang di telinganya. Ia dan Panji sebenarnya memiliki tekanan batin yang sama. Ia bertahan sampai sejauh ini, sebenarnya juga demi nama baik keluarga. Setiap ia mengutarakan niatnya untuk bercerai dari Panji, ibunya pasti mengamuk. Ibunya bahkan mengancam tidak akan mengakuinya sebagai seorang anak lagi jikalau ia masih saja berniat ingin bercerai dari Panji. Makanya ia berusaha bertahan hingga satu setengah tahun ini. Ia tidak tahu, sampai kapan ia harus menjalani pernikahan yang tidak wajar seperti ini. Ia lelah. Kalau ia mau jujur, sebenarnya ia lelah menanti cinta Panji.
Mungkin tidak akan pernah ada seorang pun yang tahu, kalau sebenarnya Panji itu adalah cinta pertamanya. Ia jatuh cinta pada Panji, yang kala ia adalah kakak kelasnya, mengajarinya melukis. Ia masih kelas satu SMP kala itu, sementara Panji sudah kelas tiga SMA. Sejak kejadian itu, ia mengagumi Panji secara diam-diam. Ia hanya berani menuliskan nama Panji pada buku hariannya dan mencurahkan segenap perasaannya dalam coretan pena. Hanya saja, ia segera membuang perasaannya jauh-jauh, saat ia tahu bahwa adik kembarnya, Keisha, juga ternyata menyukai Panji. Apalagi tidak lama kemudian Panji dan Keisha mulai dekat dan akhirnya berpacaran.
Panji dan Keisha berpacaran sampai Panji lulus SMA dan kuliah di UPH. Karena kesibukan Panji di kampus, hubungan mereka pun akhirnya kandas. Beberapa tahun berpisah, mereka kembali dekat saat kantor Panji memakai jasa Keisha untuk memasarkan produk-produknya. Keisha memang berprofesi sebagai seorang artis. Mereka akhirnya kembali berpacaran dan memutuskan untuk menikah. Tapi apa mau dikata, Keisha kabur seminggu menjelang pernikahannya dan menghilang hingga saat ini.
Suara notifikasi dari provider di ponselnya, menyadarkan Keira lamunan yang berkepanjangan. Dengan langkah yang diseret, ia meraih handuk dan berjalan ke kamar mandi. Hari ini ia lelah luar biasa. Pasien yang tidak henti-hentinya mendatangi IGD membuat energinya terkuras habis. Ia berencana untuk langsung tidur saja setelah ia membersihkan diri. Tidur adalah salah satu hiburan baginya. Karena dalam tidur ia bisa melupakan semua masalahnya. Dan apabila beruntung, ia bisa bermimpi indah.
***
Keira terbangun saat mendengar seperti ada suara benda yang jatuh. Saat membuka mata, ia melihat Panji sudah tergeletak di lantai. Aroma alkohol menguar dari tubuhnya. Keira menarik napas pasrah. Selalu begini. Setiap Panji sedang banyak pikiran, pasti ia akan mabuk-mabukan. Pilihan para pengecut. Melarikan diri dari masalah sementara, dan terbangun juga masih dalam pusaran masalah yang sama. Mereka bisa memesan bir namun tidak bisa memesan takdir. Sia-sia saja bukan?
"Kamu ada di mana, Sa? Mas kangen. Keisha... Keisha..." Panji terus saja memanggil nama Keisha dalam racauannya. Keira yang masih duduk di ranjang, mematung. Hatinya seperti dicubiti. Panji benar-benar mencintai Keisha rupanya. Seseorang yang terus menyebutkan namamu kala ia dalam keadaan tidak sadar sekalipun, itu artinya kamu selalu ada dalam pikirannya bukan?
Keira mengangkat tubuh besar Panji dengan susah payah ke atas ranjang. Dengan sabar, ia membuka kemeja Panji yang berbau alkohol bercampur dengan muntahannya sendiri. Saat akan membuka celana panjang Panji, ia menutup bagian pinggang Panji dengan selimut dari batas pinggang hingga kaki. Keira merasa wajahnya memerah saat meraba-raba ikat pinggang Panji. Biasanya saat pulang dalam keadaan mabuk begini, ia akan hanya membuka kemeja Panji dan menyisakan celananya. Tapi kali ini sepertinya tidak bisa. Ada bekas-bekas muntahan yang beraroma tidak enak menempel di celananya. Mau tidak mau ia harus membuka celananya juga.
Kamu 'kan sudah sering membuka celana pasien laki-laki, Ra? Jadi untuk apa kamu malu? Anggap saja Panji ini korban tabrak lari. Tidak usah memakai perasaan saat membukanya. Selamatkan hatimu sendiri.
Setelah berhasil membuka ikat pinggang dan resleting celana Panji, Keira menariknya turun secara bersamaan. Keira sama sekali tidak menyangka kalau dalaman Panji juga ikut tertarik bersama dengan celana panjangnya. Alhasil Panji sekarang telanjang dibalik selimut yang menutupinya dari batas pinggang ke bawah. Keira membawa semua pakaian kotor Panji ke keranjang cucian pakaian kotor. Ia kemudian membasahi sebuah washlap lebar. Ia bermaksud untuk mengelap wajah dan semua bagian tubuh Panji dengan washlap hingga bersih. Saat harus membersihkan bagian pinggang ke bawah, Keira ragu-ragu. Ia malu.
Anggap saja kamu sedang mengelap pasien yang sedang terkena stroke, Ra. Hitung-hitung latihan, siapa tahu kalau Panji akan terkena stroke sungguhan.
Keira menyingkap selimut dan mengelap kedua kaki Panji dengan cepat. Ia menyisakan bagian bawah perutnya. Setelah semuanya bersih ia mengambil piyama Panji dan bermaksud memakaikannya. Saat ia membungkuk di atas tubuh Panji, kedua mata Panji tiba-tiba saja terbuka.
"Keisha, kamu ada di sini, sayang? Mas tidak bermimpi 'kan?" Keira kaget saat tiba-tiba saja Panji memanggilnya Sasa dan memeluknya erat.
"Lepaskan, Mas. Saya bukan Keisha. Saya ini Keira, Mas. Keira." Keira meronta-ronta sewaktu Panji terus saja menciuminya dengan ganas.
"Kamu jangan bohong, Sa. Mas tidak mungkin melupakan wajah kamu. Kamu ini Keisha-nya, Mas!" Panji menceracau sambil terus menciumi semua bagian wajah, rahang dan leher Keira dengan nafsu membara. Keira mulai ketakutan. Panji sedang mabuk. Nalar dan logikanya sedang tumpul. Wajahnya dan Sasa tentu saja sama. Namanya juga mereka itu kembar identik. Keira menjerit ketakutan saat Panji menggulingkan tubuhnya ke bawah dan kembali mencumbuinya.
Tidak ada gunanya bicara baik-baik dengan orang mabuk. Jangankan mengerti ucapannya. Kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri pun tidak ia mengerti. Satu-satunya cara adalah ia harus melawannya dengan kekuatannya sendiri. Tetapi apa daya, tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuatan Panji. Hari ini tepat pukul dua pagi, ia kehilangan kesuciannya oleh suaminya sendiri. Dadanya sesak oleh tangis tertahan saat suaminya terus saja mendesahkan nama Keisha selama ia mencumbuinya. Lihatlah, dalam keadaan tidak sadar saja Panji masih sanggup menyakiti hatinya.
"Mas mencintai kamu, Sa. Jangan pergi lagi. Jangan pergi. Jangan..." Kalimat terakhir Panji setelah menuntaskan hasratnya, membuat perasaan Keira remuk redam. Bukan hanya menyakiti perasaannya, beberapa kalimat pendek Panji telah menghancurkan sisa-sisa harga dirinya.
Setelah semuanya usai, tertatih-tatih Keira melangkah ke kamar mandi. Ia membersihkan diri dari sisa-sisa aroma percintaan tanpa cinta yang baru saja dipaksakan padanya. Ia melirik Panji yang tertidur dengan senyum bahagia yang tersungging di bibirnya. Mungkin saja ia bermimpi bertemu kembali dengan Keisha. Keira mengeringkan rambut basahnya dengan handuk seadanya. Ia tidak berani mengunakan hair dryer pada jam-jam tidak lazim seperti ini. Setelah ia merasa kalau rambutnya cukup kering, barulah ia membaringkan diri di samping Panji. Ia sangat berharap semoga saja semua kejadian ini hanya mimpi. Siapa tahu esok pagi ia akan terbangun dan semuanya akan baik-baik saja. Semoga.
Suasana pagi yang damai. Dua pasang suami istri berbeda generasi sedang menikmati sarapan pagi. Ritual pagi di keluarga Wicaksana memang seperti ini. Semua penghuni rumah wajib sarapan pagi bersama sebelum memulai aktifitas masing-masing.Keira menuangkan kembali air minum Panji saat melihat isinya hampir habis. Tindakannya itu dihadiahi seulas senyum manis oleh Panji.Tidak ada seorang pun yang akan percaya kalau rumah tangga mereka sebenarnya bermasalah, apabila mereka menyaksikan keintiman mereka pagi ini. Begitu juga dengan ke dua orang tua mereka masing-masing. Di mata mereka, pernikahan anak menantu mereka sempurna adanya. Hanya ada satu hal yang mereka rasa masih kurang. Tentu saja masalah momongan. Satu setengah tahun menikah, dalam diri Keira belum juga tampak adanya tanda-tanda kehadiran calon cucu yang sudah lama mereka idam-idamkan."Panji, Rara. Bukannya Ibu bermaksud untuk mencampuri rumah tangga kalian. Ibu hanya sekeda
Sudah sepuluh menit Keira duduk di hadapan Rasya. Tetapi orang yang bersangkutan masih terus saja mendiaminya. Rasya hanya duduk santai di kursi kebesarannya sambil sesekali mengetik di keyboard laptop. Matanya hanya fokus memandangi layar laptopnya. Kehadirannya hanya dianggap seperti lemari arsip saja sepertinya. Semenit, dua menit, tiga menit pun berlalu. Keira mulai gerah dan merasa tidak betah.Apa mungkin si Rasya ini sedang menunggunya mengakui kesalahannya terlebih dahulu ya? Biasanya dalam film-film detektif 'kan seperti itu. Pengacara menunggu clientnya menceritakan semua permasalahannya sampai tuntas terlebih dahulu. Setelah itu, baru 'lah si pengacara mencari solusi untuk menolong clientnya. Baiklah. Mungkin sebaiknya ia mengaku duluan saja. Mudah-mudahan kemarahan si Rasya ini bisa sedikit reda kalau ia menunjukkan itikad baiknya. Keira berdehem beberapa kali sebelum mulai berbicara."Saya minta maaf
Keira terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut. Sepertinya kemarin malam ia menangis sampai ketiduran. Hanya memejamkan mata beberapa jam, tidak heran kalau sekarang kepalanya seperti dipasangi kitiran. Harap-harap cemas, Keira melirik ke samping kanan tempat tidurnya. Masih serapi semula. Itu artinya sampai pagi ini, Panji belum juga kembali ke rumah. Keira beringsut dari ranjang menuju kamar mandi. Sudah waktunya untuk membersihkan diri. Saat mencuci muka dan menggosok gigi, ia memandangi cermin. Dan penampakannya di sana sangat mengenaskan. Pantulan cermin memperlihatkan seorang gadis kurus dengan kantong mata menghitam. Dengan cepat ia membersihkan diri dan siap-siap bekerja. Ia tidak ingin terlalu lama mengasihani diri sendiri. Apapun yang terjadi, hidup ini memang harus terus berjalan. Siap tidak siap, suka tidak suka, semua harus dijalaninya.Saat ia melangkahkan kaki ke dapur untuk sarapan, suasana terasa begitu sepi. Biasanya pagi hari
"Bercerai? Ibu 'kan sudah berulang kali bilang kalau Ibu tidak setuju dengan keinginan kamu itu? Sudah. Ibu tidak mau membahas masalah itu lagi!" bentak Danti seraya mengibaskan tangan ke udara. Ia kesal karena anak perempuannya ini selalu membahas masalah yang itu-itu saja. Ia sudah mencium bau-bau tidak enak saat anak perempuannya ini tiba-tiba saja menyambanginya. Pasti ada berita tidak enak yang dibawanya. Ternyata firasatnya benar. Putri bodohnya ini meminta dukungannya untuk bercerai."Tapi Keira sudah tidak tahan hidup begini terus, Bu. Semalam Mas Panji tidak pulang. Pada Keira, Mas Panji ngakunya sedang ada urusan penting. Tapi saat Keira melihat story Soraya, Mas Panji malah terlihat sedang bersenang-senang di club dengan seorang perempuan. Mereka saling berpelukan mesra, Bu. Keira... Keira sakit hati, Bu," adu Keira dengan suara terbata-bata."Makanya kamu usaha dong, Ra, biar bisa hamil secepatnya. Panji itu begitu, pa
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam kurang sepuluh menit. Itu artinya sepuluh menit lagishiftmalamnya akan berakhir. Hari ini Robin izin untuk tidak masuk kerja. Ia sedang sibuk menyiapkan sidang skripsinya. Itu artinya ia harus pulang sendiri. Sebenarnya ia bisa saja menghubungi Pak Min, supir keluarga mereka. Hanya saja ia segan harus merepotkan Pak Min pada jam-jam seperti ini. Pak Min itu sudah tua dan sakit-sakitan. Ia tidak tega mengurangi jadwal istirahatnya di luar jam kerja normalnya. Makanya ia memutuskan akan memesan taksionlinesaja. Setelah menukar seragamnya, ia bersiap-siap keluar dan memesan taksionline. Belum sempat mengeluarkan ponsel dari tasnya, sebuah suara cempreng singgah di pendengarannya."Ra, taksionlinelo udah nyampe tuh di parkiran. Beruntung banget ya lo bisa dapetdriverdan mobil grade A begini?" Marlina, perawat satu 
Seminggu telah berlalu dari pembicaraannya dengan Pandu. Tetapi Panji sama sekali belum mengambil sikap apa-apa. Sepertinya ia masih bimbang memberitahukan keinginannya pada kedua orang tuanya. Tetapi Keira tau kalau sebenarnya Panji tengah menerapkan strategi baru. Sekarang Panji telah mengurangi jadwal keluar malamnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengobrol dan membahas masalah pekerjaan dengan sang ayah. Panji sedang berupaya untuk mengambil hati ayahnya.Pandu juga sudah dua minggu penuh ini ada rumah. Biasanya kakak iparnya itu tidak pernah tinggal lama setiap berkunjung ke Jakarta. Paling banter seminggu. Menurut ibu mertuanya, Pandu sedang mengurus kerjasama dengan pabrik pembuat teh instan di sini. Di zaman modern seperti ini membuat teh dengan cara diseduh atau pun dicelup terkadang membuat orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi merasa repot. Karenanya mereka lebih memilih mengkonsumsi teh dalam kemasan instan
Keira menutup kotak perhiasan yang berselimutkan beludru merah dengan hati-hati. Di dalam kotak itu terdapat sepasang anting-anting mutiara Tahiti grade A+ yang sudah diincarnya sejak lama. Ia menabung selama tiga bulan penuh untuk bisa memiliki mutiara laut berwarna hitam berkilauan ini. Mutiara ini ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Beberapa bulan lalu, ibunya pernah bercerita kalau ia sangat menginginkan mutiara berwarna hitam seperti yang dikenakan oleh teman arisannya, Bu Sastro. Saat itu ibunya mengatakan kalau ia menginginkannya karena warnanya yang unik. Ibunya memang telah memiliki anting-anting mutiara sebelumnya. Hanya saja warnanya putih. Keira mencatat keinginan ibunya itu dalam hati dan berjanji bahwa ia akan membelikannya apabila ia mempunyai rezeki berlebih. Dan setelah menabung tiga bulan lamanya, ia bisa juga mewujudkan keinginan ibunya dengan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Kerja kerasnya membuahkan hasil.
"Kamu jangan kurang ajar sama orang tua ya, Ra? Apa maksud kamu menyindir-nyindir Ibu seperti itu?" Ibunya memelototinya. Selama ini ia memang selalu diam setiap kali dipersalahkan. Melihatnya melawan seperti ini, pasti membuat ibunya kesal."Waktu itu 'kan Ibu sama sekali tidak tahu kondisi rumah tangga kamu. Ibu pikir, ada campur tangan orang ketiga dalam rumah tangga kalian. Makanya Ibu ingin agar kita mencari solusi bersama. Tapi ternyata masalahnya bukan di orang lain bukan? Tapi di antara kalian sendiri."Keira tersenyum di antara kabut yang menggelayuti matanya. Ia sedih. Ia sedih bukan karena akan bercerai dari Panji. Ia sudah siap lahir batin untuk itu. Tapi ia sedih karena ibunya begitu kentara membedakan kasih sayangnya. Dari mereka kecil, selalu saja seperti ini. Kerap dijadikan kambing hitam. Hanya karena ia tidak pandai berurai air mata seperti Keisha, maka ia lah yang selalu disalahkan apabila mereka berdua berselis