Keira menutup kotak perhiasan yang berselimutkan beludru merah dengan hati-hati. Di dalam kotak itu terdapat sepasang anting-anting mutiara Tahiti grade A+ yang sudah diincarnya sejak lama. Ia menabung selama tiga bulan penuh untuk bisa memiliki mutiara laut berwarna hitam berkilauan ini. Mutiara ini ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Beberapa bulan lalu, ibunya pernah bercerita kalau ia sangat menginginkan mutiara berwarna hitam seperti yang dikenakan oleh teman arisannya, Bu Sastro. Saat itu ibunya mengatakan kalau ia menginginkannya karena warnanya yang unik. Ibunya memang telah memiliki anting-anting mutiara sebelumnya. Hanya saja warnanya putih. Keira mencatat keinginan ibunya itu dalam hati dan berjanji bahwa ia akan membelikannya apabila ia mempunyai rezeki berlebih. Dan setelah menabung tiga bulan lamanya, ia bisa juga mewujudkan keinginan ibunya dengan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Kerja kerasnya membuahkan hasil.
"Kamu jangan kurang ajar sama orang tua ya, Ra? Apa maksud kamu menyindir-nyindir Ibu seperti itu?" Ibunya memelototinya. Selama ini ia memang selalu diam setiap kali dipersalahkan. Melihatnya melawan seperti ini, pasti membuat ibunya kesal."Waktu itu 'kan Ibu sama sekali tidak tahu kondisi rumah tangga kamu. Ibu pikir, ada campur tangan orang ketiga dalam rumah tangga kalian. Makanya Ibu ingin agar kita mencari solusi bersama. Tapi ternyata masalahnya bukan di orang lain bukan? Tapi di antara kalian sendiri."Keira tersenyum di antara kabut yang menggelayuti matanya. Ia sedih. Ia sedih bukan karena akan bercerai dari Panji. Ia sudah siap lahir batin untuk itu. Tapi ia sedih karena ibunya begitu kentara membedakan kasih sayangnya. Dari mereka kecil, selalu saja seperti ini. Kerap dijadikan kambing hitam. Hanya karena ia tidak pandai berurai air mata seperti Keisha, maka ia lah yang selalu disalahkan apabila mereka berdua berselis
Keira mendorong brankar dengan tangan gemetar. Sementara Keisha dan ayahnya dengan setengah berlari mengikutinya dari belakang. Ia dan petugas ambulance terus mendorong brankar menuju ruang IGD. Saat brankar masuk ke dalam ruangan, pintu otomatis tertutup. Saat ini tidak dalam masa tugas. Jadi kehadirannya di rumah sakit ini hanya sebagai keluarga dari pasien. Bukan sebagai perawat. Makanya ia tidak berhak masuk ke dalam ruangan IGD dan memberi pertolongan seperti biasanya. Ia berikut ayahnya dan Keisha hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas di depan pintu ruangan."Lo ini kan perawat, Ra. Mana lo kerjanya di rumah sakit ini lagi. Masa lo nggak bisa minta dispensasi apa kek gitu biar kita bisa masuk?" Suara cempreng Keisha memecahkan keheningan di ruang tunggu IGD."Terus kalau kita semua bisa masuk, ibumu bisa langsung sadar, begitu?" Keisha langsung kicep begitu ayahnya bersuara. Bila tidak ada ibunya, Keisha mema
Keira menyusun barang-barang bawaannya ke dalam lemari. Di dalam travelling bag berukuran sedang itu, ia membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh ibunya selama beberapa hari ke depan. Ada beberapa stel pakaian dalam, blus dan celana panjang. Ia juga membawakan handuk kecil, jaket rajut dan juga minyak angin. Barang yang terakhir adalah soulmate ibunya. Ibunya dan minyak angin memang tidak bisa terpisahkan.Ia juga menyusun beberapa makanan yang ia beli di minimarket setempat, di atas meja makan pasien. Ada roti tawar gandum, selai kacang, gula putih dan juga sekotak teh melati. Ia membelinya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ibunya lapar saat tengah malam nanti. Dengan adanya beberapa macam makanan alternatif ini, sedikit banyak bisa mengganjal perut ibunya.Karena diburu waktu, ia sampai melupakan keperluannya sendiri. Sebenarnya ia tadi berniat untuk membawa matras tipis dan sehelai selimut sebagai alas tidurnya. Tetapi
Keira memegang cangkir stainlessteelnya dengan hati-hati. Kali ini ia memegangnya dengan tangan kiri karena tangan kanannya diperban. Ia telah mengganti tehnya yang tumpah tadi dengan yang baru. Kini ia telah berada di ambang pintu ruang rawat inap ibunya. Keira memutar handle pintu perlahan. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Siapa tahu ibunya sedang tidur. Dan ia tidak mau mengusik tidurnya. Obat yang paling mujarab bagi orang sakit sebenarnya adalah istirahat yang cukup. Baru saja ia menutup pintu, suara ibunya telah menyinggahi pendengarannya."Buat teh saja hampir satu jam? Apa saja yang kamu lakukan di luar sana, Ra?" Keira meringis. Ibunya tidak tidur rupanya."Tadi tehnya tumpah, Bu," ujarnya pelan. "Lihat, ini tangan Keira aja di perban." Keira berusaha menjelaskan duduk persoalannya pada sang ibu. Ia masuk ke dalam kamar dan meletakkan tehnya di atas overbed table. Ia kemudian menuangkan
Jika orang-orang selalu mengatakan bahwa hari berlalu begitu cepat, tapi bagi Keira waktu malah terasa seperti jalan di tempat. Saat ini ia sedang mengalami fase mati rasa. Fase di mana ia sudah tidak mampu lagi menangis. Akibat dari hujatan kanan kiri, atas bawah, yang tidak ada habis-habisnya, hatinya kini menjadi alot. Bukan keras, kuat, tegar atau apalah sebutan lainnya. Jika keras, kuat, tegar, pasti suatu saat bisa menjadi lembek, lemah atau putus asa. Tetapi kalau alot? Mau diapakan saja, bentuknya akan kembali seperti semula. Dipukul, ditendang, paling akan membal alias mental. Seperti itulah kondisi hatinya saat ini.Akhir-akhir ini sebutan pelakor begitu melekat pada dirinya. Tidak hanya di dunia nyata. Di dunia maya pun para netizen yang sebagian besar adalah fans-fans Keisha, juga beramai-ramai merudungnya. Hal itu juga berimbas pada pekerjaannya. Terutama dari keluarga pasien. Walaupun mereka tidak berani terang-terangan menghujatnya.
Panji ternyata benar-benar membawa Keira ke kantor polisi. Tetapi seperti yang Keira katakan tadi, ia tidak sedikitpun gentar. Karena ia toh memang tidak bersalah. Lagi pula ia yakin, para penegak hukum di negeri ini bukanlah orang dungu. Mana mungkin mereka langsung menelan bulat-bulat pengaduan Panji, tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu."Ayo kita turun, Mas. Kita langsung ke bagian SPKT saja. Di sana Mas bisa segera melakukan pengaduan." Keisha bersiap-siap turun dari mobil. Sementara Panji malah meragu. Terlebih lagi saat ia melihat Keira mengernyitkan kening, sambil mengelus-elus perut buncitnya. Sepertinya Keira sedang kesakitan. Ada getaran halus yang merambati hatinya, saat melihat Keira mengelus-elus perutnya seperti itu. Rasanya seperti terharu."Cepetan Mas, panas banget di sini!" Mendengar teguran Keisha, Panji buru-buru turun. Di saat yang bersamaan, ia melihat Keira agak kesusahan turun dari mobil. Panji segera memut
"Hallo, Keshia. Apa kabar? Ini gue, abangnya Irma alias Puput. Lo masih berhubungan baik sama adek gue kan? Hehehe."Keisha menjauhkan ponsel dari telingnya. Wajahnya memucat. Ternyata para pemeras dalam hidupnya terus saja bermunculan. Tidakk adik, tidak abang, sama saja brengseknya."Hallo? Lo jangan diem-diem bae ah. Gue tau kalo lo ada kerjasama yang baik dengan adek gue. Benerkan tebakan gue?"Keshia menarik napas panjang beberapa kali. Berusaha untuk menenangkan debaran jantungnya sendiri. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Ia harus berpura-pura tidak tahu apa-apa, agar orang ini berhenti mengganggunya."Lo siapa? Gue nggak kenal sama lo. Gue juga nggak kenal dengan orang yang lo sebut-sebut sebagai Irma atau Puput itu. Lo salah orang barangkali!" Keshia terus merasa sport jantung selama berbicara dengan orang yang mengak
"Mas Pandu pernah nggak, sekali saja, memikirkan nasib saya ke depannya. Pernah nggak, Mas? Coba Mas, sekaliii... aja, Mas memposisikan saya sebagai adik kandung, Mas. Bukan adik ipar. Bagaimana, Mas?" Kata-kata Keira membuat air muka Pandu berubah-ubah. Sebentar termangu, sebentar malu dan sebentar berpikir keras. Kedua alis Pandu menyatu saat ia mengernyitkan kening. Pandu diam seribu bahasa. Setelah beberapa menit hening, Pandu bersuara."Saya memang egois, Ra. Saya minta maaf.""Mas, coba Mas bayangkan. Apa kata orang kalau setelah saya bercerai dengan Mas Panji, saya malah menikah dengan Mas Pandu? Mereka pasti mengira bahwa saya selingkuh dengan Mas Pandu, makanya Mas Panji menceraikan saya. Itu anggapan mereka yang pertama," Keira menatap Panji lurus-lurus. Ia juga merubah posisi duduknya. Ia ingin menatap Pandu secara langsung saat mengemukakan argumennya."Kemudian setelah menikah dengan Mas Pandu, saya kembali be