Share

Chapter 4

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-19 14:35:36

Keira terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut. Sepertinya kemarin malam ia menangis sampai ketiduran. Hanya memejamkan mata beberapa jam, tidak heran kalau sekarang kepalanya seperti dipasangi kitiran. Harap-harap cemas, Keira melirik ke samping kanan tempat tidurnya. Masih serapi semula. Itu artinya sampai pagi ini, Panji belum juga kembali ke rumah. Keira beringsut dari ranjang menuju kamar mandi. Sudah waktunya untuk membersihkan diri. Saat mencuci muka dan menggosok gigi, ia memandangi cermin. Dan penampakannya di sana sangat mengenaskan. Pantulan cermin memperlihatkan seorang gadis kurus dengan kantong mata menghitam. Dengan cepat ia membersihkan diri dan siap-siap bekerja. Ia tidak ingin terlalu lama mengasihani diri sendiri. Apapun yang terjadi, hidup ini memang harus terus berjalan. Siap tidak siap, suka tidak suka, semua harus dijalaninya.

Saat ia melangkahkan kaki ke dapur untuk sarapan, suasana terasa begitu sepi. Biasanya pagi hari seperti inilah ia bisa bertegur sapa dengan suaminya secara wajar. Panji memang sangat berhati-hati dalam bersikap jikalau ada orang tuanya di sekitar mereka. Walaupun ia tahu bahwa sikap manis Panji itu hanyalah pencitraan semata, tetapi jujur, terselip rasa bahagia juga di hatinya.

"Silahkan dicicipi nasi gorengnya, Neng Keira. Ini ada ayam suwir, telur dadar dan kerupuk juga," Mbak Surti meletakkan menu-menu sarapan saat melihat nyonya mudanya datang. Ketika menatap mata sembab sang nyonya muda, Surti menjadi kasihan. Pasti nyonya mudanya ini menangis semalaman karena suaminya tidak pulang. Sebagai salah seorang penghuni rumah, sedikit banyak ia mengetahui permasalahan suami istri muda ini. Ia tahu bahwa tuan mudanya itu hanya bersikap baik pada nyonya mudanya jikalau di hadapan kedua orang tuanya. Apalagi dia lah yang selalu membereskan kamar tidur mereka. Dia pernah mendapati keteledoran nyonya mudanya beberapa kali. Ada guling yang sepertinya membatasi ranjang mereka berdua. Hanya saja, ia memilih untuk tutup mulut. Bagaimana pun ia hanyalah seorang pembantu.

"Mbak, Mas Panji belum pulang ya? Atau Mas Panji sudah pulang, tapi pergi lagi?" tanya Keira penuh harap. Surti menghela napas panjang. Dadanya sesak saat menatap sekeping harapan dari kedua bola mata nyonya mudanya. Ia tidak tega menghancurkan secuil harapan yang terbias dari wajah nyonya mudanya ini.

"Belum, Neng. Mas Panji belum kembali lagi ke rumah sejak kemarin pagi. Mbak permisi ke dapur dulu ya, Neng?" Surti buru-buru kembali ke dapur. Ia tidak tega melihat wajah kecewa bercampur kesedihan yang terlihat di raut wajah nyonya mudanya. Ia juga seorang istri. Ia sangat memahami perasaan nyonya mudanya saat ini.

"Eh Neng, Mbak lupa bilang kalau di depan ada tamu. Mau menemui Neng Keira katanya," ucap Mbak Surti. Keira menjinjitkan alis. Tamu? Siapa tamu yang berkunjung pagi-pagi seperti ini? Namun tak urung ia menganggukkan kepala. Ia mengatakan akan menemui tamunya setelah ia selesai sarapan. Keira melanjutkan sarapan paginya tanpa semangat. Ini adalah kali pertama suaminya tidak pulang sampai keesokan harinya. Biasanya jika tidak pulang pun, pagi harinya Panji pasti sudah muncul di kala sarapan pagi. Sepertinya kali ini suaminya mempunyai kegiatan yang lebih menarik semalaman. Setelah menghabiskan sarapan pagi, Keira menemui tamunya di ruang tamu. Sebelum berangkat kerja, sebaiknya ia menemui tamunya terlebih dahulu.

Saat melewati ruang tamu pandangannya tertumbuk pada seorang pria muda berjaket jeans sedang duduk di sofa. Si pemuda seketika berdiri saat melihat kehadirannya.

"Selamat pagi, Bu. Kenalkan, saya Robyn Yudistira, supir pribadi Ibu," si pemuda menyalami Keira sembari membungkukkan sedikit bahu lebarnya. "Tadi pagi Pak Panji telah menelepon saya dan meminta agar saya mengantar jemput Ibu, mulai hari ini. Bapak sedang sibuk dan banyak pekerjaan, katanya. Ibu mau berangkat bekerja sekarang?" tanya si pemuda sopan.

Lihatlah? Panji lebih memilih menghubungi supir pribadinya daripada istrinya sendiri. Sia-sia saja ia melirik ponselnya setiap detik semalaman dan sepagian. Berharap-harap cemas semoga suaminya menghubungi. Seseorang memang cenderung bodoh kalau sudah dibutakan oleh cinta. Ia adalah salah seorang contoh soalnya. Sudah tahu kalau suaminya itu tidak pernah menganggap keberadaannya, tapi ia masih terus berharap juga.

"Iya. Kita berangkat sekarang saja, Robyn. Tunggu sebentar ya? Saya akan mengambil tas saya di kamar dulu," Keira melanjutkan langkah menuju kamarnya. Si pemuda mengangguk dan bergegas berdiri saat melihatnya keluar dari kamar. Tanpa banyak bicara lagi mereka berdua berjalan ke arah ke garasi.

Di sepanjang perjalanan, suara hati Keira terus berperang. Antara ingin mempertahankan biduk rumah tangga atau melepaskan Panji dari ikatan yang tidak diinginkannya. Keira merasa kali ini Panji pasti tidak akan menolak permohonan perceraiannya. Tentu saja, mengingat ia telah mempunyai wanita lain yang menjadi sumber kebahagiaannya.

Jikalau melihat bahasa tubuh keduanya kemarin, sepertinya mereka sudah saling kenal cukup lama. Keira sangat mengenali karakter Panji. Panji itu tidak mudah dekat dengan orang-orang baru. Ia cenderung kaku dan rikuh. Melihat kedekatan keduanya kemarin, ia bisa menarik satu kesimpulan. Sepertinya Panji sudah berhubungan cukup lama dengan perempuan ini. Kenyamanan mereka satu sama lain, adalah buktinya. Sepertinya keputusannya kali ini sudah benar. Tekadnya semakin bulat saja. Ia akan mengutarakan niat yang sudah semalaman dipikirkannya pada ibunya sepulang bekerja nanti. Semoga saja ibunya bisa memahami keputusannya.

"Kita sudah sampai di rumah sakit, Bu," suara Robyn memutus lamunannya. Keira meraih tas dan bermaksud untuk membuka pintu mobil. Tapi ia keduluan oleh Robyn yang mengitari mobil dengan cepat, dan membukakan pintu mobilnya.

"Terima kasih ya, Robyn." Keira menyunggingkan seulas senyum pada supir barunya ini. "Sama-sama, Bu." Robyn balas tersenyum. Gigi putih bersihnya tersembul seperti iklan pasta gigi. Keira baru menyadari kalau supir barunya ini ternyata tampan sekali. Gaya berpakaian dan rambutnya juga sangat kekinian. Khas anak muda zaman sekarang. Robyn bahkan memakai subang di kedua telinganya. Ia lebih cocok menjadi bintang K-Pop daripada seorang supir.

"Maaf, Ibu nanti mau saya jemput jam berapa, ya?" tanya Robyn sopan.

"Tidak usah, Robyn. Nanti saya pulang sendiri saja. Saya ada sedikit keperluan." Robyn menggelengkan kepala. "Tidak bisa, Bu. Pak Panji berpesan kalau saya harus mengantar Ibu ke mana pun. Karena saya 'kan memang supir pribadi, Ibu," imbuhnya lagi.

"Baiklah. Kamu boleh menjemput saya, pukul empat sore nanti."

"Baik, Bu." Setelah Robin berlalu, Keira melanjutkan langkah ke loker. Kali ini ia tidak perlu terburu-buru. Masih ada waktu sekitar dua puluh menit lagi sebelum pergantian shift dimulai. Sepuluh menit kemudian ia telah menggunakan seragam perawatnya dengan rapi dan siap untuk bertugas. Ia berkaca sekali lagi untuk memastikan kalau penampilannya telah benar-benar sempurna.

Ia selalu bangga dengan seragam dan juga profesinya. Seragam yang ia pakai mungkin tidak semenarik seragam pramugari atau sekeren seragam POLWAN. Tapi, pakaiannya ini telah disumpah untuk melayani sesama tanpa membeda-bedakan garis keturunan maupun pangkat mereka. Jerih payahnya terbayar lunas saat melihat senyuman pasien kala mereka sembuh dan mengucapkan terima kasih. Pekerjaannya bukan hanya masalah uang. Tapi juga pengabdian.

"Ra, tebak deh, ada keajaiban dunia apa hari ini?" Marini masuk ke ruang ganti pakaian sembari menari dan berputar-putar dengan gembira. Sejurus kemudian ia mengeluarkan lipgloss dari saku dan memulaskannya berulang-ulang pada bibirnya. Padahal bibirnya masih merah dan berkilat-kilat seperti orang yang baru saja makan mie ayam.

"Ya mana gue tau, Rin. 'Kan gue juga baru dateng," Keira memasang satu jepit rambut lagi, saat ia merasa cepolan rambutnya sedikit longgar.

"Lo minggir dikit dong, Ra. Gue mau nambah bedak dikit lagi. Kurang kinclong muka gue, kayaknya." Marini kembali merogoh saku. Mengeluarkan sebuah bedak padat kemasan praktis.

"Nih ambil semua kacanya buat lo. Tumben banget lo ganjen bener hari ini, Rin?" Keira menyingkir dan memberikan cermin besar itu dipakai oleh Marini seorang. Marini menjentikkan jarinya hingga bersuara. Ia sungguh-sungguh terlihat gembira.

"Ini nih yang mau gue bilang sama lo soal keajaiban dunia," sahut Marini masih dengan senyum lebarnya. " Lo inget kan sama pasien lo yang kena begal beberapa hari lalu?" tukas Marini semangat. Keira mengangguk.

"Terus?" tanya Keira penasaran.

"Terus pelakunya baru aja ketangkep. Dan sekarang ada polisi nguanteng yang lagi nanya-nanya sama ibu korban begal itu di ruangannya. Lo tahu nggak Ra, ternyata polisi ganteng itu temennya Pak Rasya. Namanya Demitrio Atmanegara. Gantengnya nggak ketulungan, Ra. Gue sama anak-anak sampai panas dingin tadi." Marini mengibas-ngibaskan tangannya meniru kipas seolah-olah ia sedang kepanasan hebat. Berbanding terbalik dengan Marini yang begitu gembira karena bertemu dengan Demitrio, Keira malah gelisah setengah mati. Ia kenal dengan si Demitrio yang biasa di panggil dengan sebutan Rio ini. Kenal banget malahan. Semoga saja si Rio ini bisa secepatnya menyelesaikan tugasnya. Dengan begitu ia tidak perlu bertatap muka dengan salah satu pembullynya di masa lalu ini. Semoga.

"Ya udah lo nikmatin sono keajaiban dunia lo sebelum orangnya pada pulang. Siapa tahu jodoh lo sedang on the way menjemput tulang rusuknya," goda Keira yang seketika diamini berkali-kali oleh Marini.

"Semoga aja ya, Ra? Pasangan polisi dan perawat itu kan memang cucok meong banget. Siapa tahu kisah cinta kami nantinya kayak film lawas Pearl Harbour atau drakor Descendent Of The Sun?" Keira hanya tertawa saja. Setiap orang boleh punya harapan bukan? Masalah terkabul atau tidak, itu sih lain cerita.

Ya kurang lebih sama denganmu lah, Ra. Sudah tahu kenyataannya seperti apa, tapi kamu masih saja mengharap yang sebalikny. Kamu hidup, tapi bukan di hidupnya. Kamu bernafas tapi juga bukan dalam hembusannya. Itu pun kamu masih membodohi diri sendiri dan bilang, sabar ini ujian. Ngapain juga kamu ikut ujian kalau kamu tahu tidak akan pernah lulus? Orang bodoh memang cenderung nekad ya? Dan dirinyalah orang nekad dan bodoh itu.

***

Bell pasien di ruangan 301 menyala. Itu artinya pasien tersebut membutuhkan bantuan. Keira bergegas menghampiri ruangan pasien. Langkahnya terhenti saat berada tepat di pintu ruangan 301. Ia baru teringat bahwa ruangan itu adalah ruangan pasien wanita korban begal yang baru saja diceritakan oleh Marini tadi. Suara-suara beberapa orang yang berbicara dalam waktu yang bersamaan membuatnya semakin yakin bahwa ada Rio dan Rasya di dalam sana. Langkahnya makin berat saja saat harus memasuki ruangan yang sama dengan Rio.

Ia mempunyai cerita masa kecil yang buruk dengan Rio ini. Di sekolah mereka dulu, Rio kerap mengejeknya sebagai anak mantan napi. Di masa lalu, ibunya memang pernah di penjara karena mencelakai Tante Ochi. Ibunya bekerjasama dengan Tante Gina dan juga Tante Tari. Jauh sebelum itu, ibunya juga pernah mencelakai Tante Senja. Istri Pak Sabda, pemilik rumah sakit ini. Karena reputasi ibunya yang selalu bersinggungan dengan perbuatan yang melawan hukum, Rio selalu mengejeknya dengan sebutan anak napi. Belum lagi julukan pelakor yang kerap disematkan dengan nama ibunya. Rio makin menjadi-jadi saja mengejeknya. Rio selalu mengatakan bahwa darah yang mengalir di tubuhnya itu tidak ada bagus-bagusnya. Sudahlah anak pelakor eh, mantan napi pula. Darah kriminil pasti mengalir deras di setiap tetesnya.

Pikiran Keira kini bercabang. Antara ingin masuk dan melaksanakan tugasnya, atau meminta salah satu perawat lain untuk menggantikannya? Hanya saja kok rasa-rasanya ia jadi seperti anak kecil yang takut dengan momok masa kecilnya? Jika ia terus menghindar seperti ini, kapan ia bisa mendewasa dan melupakan semua kepahitan-kepahitannya? Menurut salah satu buku yang ia baca, cara terbaik melupakan kepahitan masa lalu adalah dengan dihadapi dan berani menerima kenyataan. Untuk itu mulai hati ini, ia akan belajar menerima kenyataan dan berkompromi dengan keadaan. Setelah cukup lama berkutat dengan pikirannya sendiri, Keira memegang handle pintu. Baiklah, ia akan belajar membantai naganya sendiri. Bismillahirrohmannirrohim. Keira dengan mantap membuka pintu bernomor 301. Benar saja. Ada Rio dan Rasya di sana.

Jangan gugup, Ra. Santai saja. Kamu bukan anak kecil lagi. Rio tidak akan bisa mengintimidasimu lagi. Tarik napas. Buang napas. Semuanya akan baik-baik saja, Ra.

"Selamat pagi, Bu. Tadi ibu menekan bell ya? Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Keira pada Bu Erna, si pasien korban begal.

"Bukan Ibu Erna yang menekan bell pasien tadi. Tapi saya," sebuah suara dalam menyahuti pertanyaannya.

"Woi, ada anak napi mendekat! Hati-hati ya teman-teman? Simpan kotak pensil dan barang-barang berharga kalian dengan baik. Silap mata, bisa hilang barang-barang kalian semua!"

Ingatan Keira melayang pada saat ia masih berseragam putih merah.

"Wuihhh... anak pelakor lewat euy! Bagi para cewek yang sudah jadian, atau baru saja mulai jadian, harap menjaga pasangan kalian masing-masing. Ada titisan pelakor yang lagi nyatronin mangsa kayaknya ini!"

Bayangan setiap ia akan ke kantin kala seragamnya sudah berganti putih biru, kini berseliweran di benaknya. Ia selalu ketakutan kalau ingin mengisi perut laparnya di kantin sekolah. Ada Rio dan teman-teman satu ganknya di sana. Mereka gemar mengejeknya tanpa jeda dalam seragam putih abu-abu mereka. Ternyata tidak mudah memang menghadapi trauma masa lalu. Saat ini saja, ia merasa seperti ada suara-suara tak kasat mata dan tangan-tangan yang menunjuk-nunjuk wajahnya. Ia sampai berkeringat dingin karenanya.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak polisi?" tanya Keira singkat. Telinganya terus berdenging. Situasi seperti ini membuatnya makin gelisah.

"Menurut kepala Unit Gawat Darurat, Andalah yang pertama sekali memberikan pertolongan pertama kepada pasien. Bisa Anda jelaskan mengenai luka-luka yang dialami oleh Ibu Erna saat pertama sekali Anda menanganinya?" Keira berusaha menenangkan debaran dadanya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Rio. Rio berbicara dalam bahasa formal. Berarti ia harus mengimbanginya dengan sikap formal juga.

Kamu sekarang sedang tugas, Ra. Tunjukkan profesionalitas dirimu.

"Ibu Erna mengalami beberapa luka sabetan akibat sajam di punggungnya. Ada daging tangan yang terkoyak juga. Kemungkinan besar Bu Erna berusaha menangkis sajam dengan cara menggenggamnya. Ada beberapa luka sayatan di lengan dan juga kepalanya," jawab Keira lancar sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

"Apakah dari luka-luka itu ada yang usianya lebih dari beberapa hari? Soalnya kami menerima laporan dari keluarganya, kalau Bu Erna ini juga mengalami KDRT dan laporannya sedang diproses," imbuh Rio lagi.

Ini rupanya penyebab lebam-lebam di tubuh pasien yang sudah berubah warna menjadi ungu kekuningan.

"Ada Pak Polisi. Di sebagian besar punggung dan dada Bu Erna, ada luka lebam yang usianya kira-kira lima atau paling lama seminggu yang lalu. Lebamnya sudah berubah warna menjadi ungu kekuningan."

"Baik. Terima kasih atas keterangan Anda. Saya tidak menyangka kalau anak mantan--"

"Cukup, Yo." Rasya yang sedari tadi diam, memotong kata-kata Rio. Tapi Keira sudah tahu kalau Rio ini ingin membullynya lagi. Beginilah nasib anak-anak yang orang tuanya bermasalah. Mereka yang tidak tahu apa-apa selalu dikait-kaitkan dengan dosa orang tuanya. Dosa warisan istilahnya.

"Elah, gue cuma bercanda kali, Sya."

"Tapi gue nggak ngeliat dia ketawa dengan candaan lo, Yo. It is not joke, Man. But a bully! Kata-kata lo itu bukan candaan, tapi penghinaan. Ada pasal-pasal yang mengatur tentang masalah perudungan. Gue dan lo tau banget tentang hal itu," tegas Rasya lagi. Keira melihat Rio terdiam. Ada keterkejutan di wajahnya. Keira mundur selangkah saat Rio mendekatinya.

"Oke, saya salah. Saya minta maaf. Melihat wajahmu, saya jadi terbawa suasana masa lalu yang menyenangkan."

"Tapi bagi saya masa-masa itu tidak menyenangkan. Sangat menyakitkan rasanya disalahkan atas sesuatu yang tidak pernah saya lakukan. Kalian semua menghancurkan saya pelan-pelan," bisik Keira sendu. Ia seperti masih bisa merasakan saat-saat penuh lukanya lagi. Meresapi semua kesedihan yang menggulungnya dari semua sisi. Dan ketika ia berkedip, air matanya jatuh membasahi kedua pipi.

Kedua pria gagah di depannya terdiam. Mereka seperti tidak tahu harus melakukan apa untuk menghapus wajah merana wanita yang berdiri tepat di hadapan mereka. Akan halnya Rio, ia sungguh menyesali kata-katanya tadi. Padahal ia hanya ingin menggoda Keira. Ia ingin mengatakan bahwa anak mantan napi bisa sesukses ini sekarang. Tapi saat melihat air bening yang terus membasahi pipi mulus Keira, hatinya tertohok. Rasya benar, kata-kata itu bukan candaan, tapi penghinaan.

"Saya minta maaf, Keira. Saya sungguh-sungguh minta maaf."

Bab terkait

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 5

    "Bercerai? Ibu 'kan sudah berulang kali bilang kalau Ibu tidak setuju dengan keinginan kamu itu? Sudah. Ibu tidak mau membahas masalah itu lagi!" bentak Danti seraya mengibaskan tangan ke udara. Ia kesal karena anak perempuannya ini selalu membahas masalah yang itu-itu saja. Ia sudah mencium bau-bau tidak enak saat anak perempuannya ini tiba-tiba saja menyambanginya. Pasti ada berita tidak enak yang dibawanya. Ternyata firasatnya benar. Putri bodohnya ini meminta dukungannya untuk bercerai."Tapi Keira sudah tidak tahan hidup begini terus, Bu. Semalam Mas Panji tidak pulang. Pada Keira, Mas Panji ngakunya sedang ada urusan penting. Tapi saat Keira melihat story Soraya, Mas Panji malah terlihat sedang bersenang-senang di club dengan seorang perempuan. Mereka saling berpelukan mesra, Bu. Keira... Keira sakit hati, Bu," adu Keira dengan suara terbata-bata."Makanya kamu usaha dong, Ra, biar bisa hamil secepatnya. Panji itu begitu, pa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 6

    Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam kurang sepuluh menit. Itu artinya sepuluh menit lagishiftmalamnya akan berakhir. Hari ini Robin izin untuk tidak masuk kerja. Ia sedang sibuk menyiapkan sidang skripsinya. Itu artinya ia harus pulang sendiri. Sebenarnya ia bisa saja menghubungi Pak Min, supir keluarga mereka. Hanya saja ia segan harus merepotkan Pak Min pada jam-jam seperti ini. Pak Min itu sudah tua dan sakit-sakitan. Ia tidak tega mengurangi jadwal istirahatnya di luar jam kerja normalnya. Makanya ia memutuskan akan memesan taksionlinesaja. Setelah menukar seragamnya, ia bersiap-siap keluar dan memesan taksionline. Belum sempat mengeluarkan ponsel dari tasnya, sebuah suara cempreng singgah di pendengarannya."Ra, taksionlinelo udah nyampe tuh di parkiran. Beruntung banget ya lo bisa dapetdriverdan mobil grade A begini?" Marlina, perawat satu 

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 7

    Seminggu telah berlalu dari pembicaraannya dengan Pandu. Tetapi Panji sama sekali belum mengambil sikap apa-apa. Sepertinya ia masih bimbang memberitahukan keinginannya pada kedua orang tuanya. Tetapi Keira tau kalau sebenarnya Panji tengah menerapkan strategi baru. Sekarang Panji telah mengurangi jadwal keluar malamnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengobrol dan membahas masalah pekerjaan dengan sang ayah. Panji sedang berupaya untuk mengambil hati ayahnya.Pandu juga sudah dua minggu penuh ini ada rumah. Biasanya kakak iparnya itu tidak pernah tinggal lama setiap berkunjung ke Jakarta. Paling banter seminggu. Menurut ibu mertuanya, Pandu sedang mengurus kerjasama dengan pabrik pembuat teh instan di sini. Di zaman modern seperti ini membuat teh dengan cara diseduh atau pun dicelup terkadang membuat orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi merasa repot. Karenanya mereka lebih memilih mengkonsumsi teh dalam kemasan instan

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 8

    Keira menutup kotak perhiasan yang berselimutkan beludru merah dengan hati-hati. Di dalam kotak itu terdapat sepasang anting-anting mutiara Tahiti grade A+ yang sudah diincarnya sejak lama. Ia menabung selama tiga bulan penuh untuk bisa memiliki mutiara laut berwarna hitam berkilauan ini. Mutiara ini ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Beberapa bulan lalu, ibunya pernah bercerita kalau ia sangat menginginkan mutiara berwarna hitam seperti yang dikenakan oleh teman arisannya, Bu Sastro. Saat itu ibunya mengatakan kalau ia menginginkannya karena warnanya yang unik. Ibunya memang telah memiliki anting-anting mutiara sebelumnya. Hanya saja warnanya putih. Keira mencatat keinginan ibunya itu dalam hati dan berjanji bahwa ia akan membelikannya apabila ia mempunyai rezeki berlebih. Dan setelah menabung tiga bulan lamanya, ia bisa juga mewujudkan keinginan ibunya dengan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Kerja kerasnya membuahkan hasil.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31
  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 9

    "Kamu jangan kurang ajar sama orang tua ya, Ra? Apa maksud kamu menyindir-nyindir Ibu seperti itu?" Ibunya memelototinya. Selama ini ia memang selalu diam setiap kali dipersalahkan. Melihatnya melawan seperti ini, pasti membuat ibunya kesal."Waktu itu 'kan Ibu sama sekali tidak tahu kondisi rumah tangga kamu. Ibu pikir, ada campur tangan orang ketiga dalam rumah tangga kalian. Makanya Ibu ingin agar kita mencari solusi bersama. Tapi ternyata masalahnya bukan di orang lain bukan? Tapi di antara kalian sendiri."Keira tersenyum di antara kabut yang menggelayuti matanya. Ia sedih. Ia sedih bukan karena akan bercerai dari Panji. Ia sudah siap lahir batin untuk itu. Tapi ia sedih karena ibunya begitu kentara membedakan kasih sayangnya. Dari mereka kecil, selalu saja seperti ini. Kerap dijadikan kambing hitam. Hanya karena ia tidak pandai berurai air mata seperti Keisha, maka ia lah yang selalu disalahkan apabila mereka berdua berselis

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31
  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 10

    Keira mendorong brankar dengan tangan gemetar. Sementara Keisha dan ayahnya dengan setengah berlari mengikutinya dari belakang. Ia dan petugas ambulance terus mendorong brankar menuju ruang IGD. Saat brankar masuk ke dalam ruangan, pintu otomatis tertutup. Saat ini tidak dalam masa tugas. Jadi kehadirannya di rumah sakit ini hanya sebagai keluarga dari pasien. Bukan sebagai perawat. Makanya ia tidak berhak masuk ke dalam ruangan IGD dan memberi pertolongan seperti biasanya. Ia berikut ayahnya dan Keisha hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas di depan pintu ruangan."Lo ini kan perawat, Ra. Mana lo kerjanya di rumah sakit ini lagi. Masa lo nggak bisa minta dispensasi apa kek gitu biar kita bisa masuk?" Suara cempreng Keisha memecahkan keheningan di ruang tunggu IGD."Terus kalau kita semua bisa masuk, ibumu bisa langsung sadar, begitu?" Keisha langsung kicep begitu ayahnya bersuara. Bila tidak ada ibunya, Keisha mema

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31
  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 11

    Keira menyusun barang-barang bawaannya ke dalam lemari. Di dalam travelling bag berukuran sedang itu, ia membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh ibunya selama beberapa hari ke depan. Ada beberapa stel pakaian dalam, blus dan celana panjang. Ia juga membawakan handuk kecil, jaket rajut dan juga minyak angin. Barang yang terakhir adalah soulmate ibunya. Ibunya dan minyak angin memang tidak bisa terpisahkan.Ia juga menyusun beberapa makanan yang ia beli di minimarket setempat, di atas meja makan pasien. Ada roti tawar gandum, selai kacang, gula putih dan juga sekotak teh melati. Ia membelinya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ibunya lapar saat tengah malam nanti. Dengan adanya beberapa macam makanan alternatif ini, sedikit banyak bisa mengganjal perut ibunya.Karena diburu waktu, ia sampai melupakan keperluannya sendiri. Sebenarnya ia tadi berniat untuk membawa matras tipis dan sehelai selimut sebagai alas tidurnya. Tetapi

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31
  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 12

    Keira memegang cangkir stainlessteelnya dengan hati-hati. Kali ini ia memegangnya dengan tangan kiri karena tangan kanannya diperban. Ia telah mengganti tehnya yang tumpah tadi dengan yang baru. Kini ia telah berada di ambang pintu ruang rawat inap ibunya. Keira memutar handle pintu perlahan. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Siapa tahu ibunya sedang tidur. Dan ia tidak mau mengusik tidurnya. Obat yang paling mujarab bagi orang sakit sebenarnya adalah istirahat yang cukup. Baru saja ia menutup pintu, suara ibunya telah menyinggahi pendengarannya."Buat teh saja hampir satu jam? Apa saja yang kamu lakukan di luar sana, Ra?" Keira meringis. Ibunya tidak tidur rupanya."Tadi tehnya tumpah, Bu," ujarnya pelan. "Lihat, ini tangan Keira aja di perban." Keira berusaha menjelaskan duduk persoalannya pada sang ibu. Ia masuk ke dalam kamar dan meletakkan tehnya di atas overbed table. Ia kemudian menuangkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31

Bab terbaru

  • Air mata yang Kutumpahkan   Extra Part II

    Keira berkali-kali menghembuskan napas lega sesaat keluar dari rumah keluarga Abiyaksa. Beban yang tadinya bertengger di pundaknya mendadak hilang semua. Kekhawatirannya sungguh berlebihan. Om Saka dan Tante Dara ternyata menyambut baik kehadirannya. Mereka berdua malah menanyakan keberadaan Dhira. Bagaimana Keira jadi tidak ingin menangis haru karenanya? Om Saka dan Tante Dara seakan ingin memberitahukan kalau mereka bukan hanya menerimanya sebagai calon menantu. Tetapi juga menerima Dhira sebagai cucu. Selain itu mereka berdua juga mendesak agar hubungannya dan Rasya segera diresmikan saja alias menikah. Mereka ingin agar rumah mereka semarak oleh tangisan cucu-cucu katanya. Perut Keira langsung mulas karenanya. Dhira saja belum genap setahun. Tetapi kedua calon mertuanya ini, ingin agar ia melahirkan banyak cucu. Bagaimana ia tidak ngeri jadinya?"Sekarang kamu lega 'kan? Sudah saya katakan kalau mereka akan menerima kamu dan Dhira dengan tangan terbuka

  • Air mata yang Kutumpahkan   Extra Part I

    Empat bulan kemudian."Kamu jangan mondar mandir di depan pintu begitu, Ra. Ibu jadi pusing melihatnya. Kalau Rasya datang, pasti dia akan mengetuk pintu. Sudah, kamu duduk saja di sini," Danti menepuk-nepuk sofa di sampingnya. Ia heran melihat putrinya yang terus hilir mudik seperti setrikaan. Keira meringis malu saat sang ibu menyindir tingkah alaynya. Sejujurnya, ia bukan nervous karena menunggu kedatangan Rasya. Tapi ia nervous karena akan dipertemukan Rasya dengan kedua orang tuanya.Minggu lalu, ia sudah resmi bercerai dengan Panji. Oleh karena itulah, Rasya baru berani membawanya bertemu dengan kedua orang tuanya. Statusnya sekarang sudah jelas. Ia adalah seorang janda. Bukan istri orang lagi. Masalahnya sekarang, ia yang minder. Bayangkan saja. Rasya adalah seorang lelaki bujang. Sementara dirinya hanyalah seorang janda beranak satu. Janda

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 47 (end)

    "Selamat sore rekan-rekan pewarta sekalian. Saya Alrasya Abiyaksa sarjana hukum, dalam hal ini mewakili ibu Keira Wicaksana, ingin meluruskan beberapa hal menyangkut nama baik client saya." Rasya membuka konfrensi pers dengan menempatkan dirinya sebagai pengacara Keira. Saat ini ruang kerjanya yang cukup luas telah ia sulap menjadi tempat konfrensi pers. Di meja panjang telah duduk Om Raga, Keira, dirinya sendiri, Panji, Pandu, Soraya dan juga Irman, kakak kandung almarhumah Irma. Sementara di hadapan mereka, telah berjejer beberapa pewarta dari berbagai media nasional online maupun offline tanah air. Mereka semua berkumpul untuk mendengarkan klarifikasi mengenai video viral menantu keluarga Wicaksana yang disinyalir mempunyai affairs dengan iparnya sendiri. "Sebagai pengacara Ibu Keira, saya ingin menjelaskan beberapa hal. Memang benar laki-laki dan perempuan yang ada dalam vide

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 46

    Panji menjejalkan pakaian-pakaiannya begitu saja ke dalam koper. Ia sudah tidak mempunyai banyak waktu untuk menyusunnya lagi. Yang paling ia inginkan saat ini adalah secepatnya pergi dari rumah ini. Ia ingin menenangkan dirinya sendiri. Ia memang sudah kalah. Tetapi ia tidak ingin patah. Semoga saja ditempat yang baru nanti, ia bisa menata diri. Ia ingin memulai kehidupan baru dengan semangat baru lagi. Semua yang terjadi di sini, biarlah tertinggal di sini. Ia sudah tidak ingin mengingat-ingatnya lagi.Suara tawa geli keponakannya dan godaan-godaan kedua orang tuanya seolah-olah mengejek nasib sialnya. Apakah ia marah pada mereka semua? Sama sekali tidak. Sungguh ia tidak bisa menyalahkan Praja ataupun kedua orang tuanya yang kesenangan karena menemukan keluarga baru. Ya, keluarga baru. Praja bertemu dengan ayah, kakek, nenek dan ia sendiri sebagai omnya. Sementara kedua orang tuanya menemukan cucu yang baru mereka ketahui. Ia ikut berbahagia untuk merek

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 45

    Beberapa jam sebelumnya...Panji mengaduk-aduk laci meja kerjanya. Mencari-cari alat pemotong kuku. Kukunya sudah panjang sehingga tidak nyaman saat ia harus mengetik cepat di macbook. Setelah capek membongkar namun ia tidak juga menemukan apa yang ia cari, ia memutuskan akan meminjam pemotong kuku Pandu saja. Abangnya yang selalu teliti dalam menyimpan barang, pasti punya. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamar abangnya, tetapi tidak ada jawaban. Karena pintu kamar tidak di kunci, ia nyelonong masuk saja.Suara percikan air terdengar samar-samar dari arah kamar mandi. Pantas saja abangnya tidak menjawab. Rupanya abangnya sedang mandi. Ia membuka laci tengah meja kerja abangnya. Biasanya abangnya menyimpan pemotong kuku dan pernak pernik lainnya di sana. Prediksinya memang benar. Alat pemotong kuku abangnya tersusun rapi di sana. Bersebelahan dengan ponsel dan dompet abangnya. Abangnya ini memang rapi sekali dalam menyusun

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 44

    Di sepanjang perjalanan menuju ke LP, Praja terus tertawa-tawa gembira di pangkuan Keira. Sesekali bocah tampan itu mengoceh-ngoceh sambil menjejak-jejakkan kakinya. Meminta berdiri di pangkuan Keira. Setelah berdiri ia akan membalikkan tubuhnya dan menepuk-nepuk pipi Keira. Tertawa-tawa gembira. Keira sekarang tahu kebiasaan Praja. Keponakannya ini senang sekali mengelus-elus wajahnya. Mungkin Praja gembira karena mengira kalau ia adalah mommynya. "Mom... mom... my..." dengan gembira Praja kembali melonjak-lonjak di pangkuannya. Mendengus-dengus dan mengerutkan hidungnya dengan lucu. Salivanya sampai ikut tersembur keluar saat ia menghembus-hembuskan udara dari mulutnya. Sepertinya Praja ingin bermain-main dengannya."Kenapa, sayang? Mau main ya? Nanti ya kita main dengan mommy. Sekarang Praja duduk manis dulu. Lihat tuh, daddy sedang menyetir. Praja jangan mengganggu konsentrasi daddy ya? Pra

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 43

    Keira berkali-kali melirik Rasya yang sedang menyetir di sampingnya. Mencoba mencari sisa-sisa kemarahan dalam raut wajahnya. Tetapi ia sama sekali tidak mendapatinya. Sikap Rasya biasa saja. Ia malah sempat-sempatnya bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti lagu yang sedang diputar di mobil. Seolah-olah perseteruan mereka kemarin tidak pernah terjadi. Keira jadi penasaran sekali."Kenapa kamu melirik-lirik saya terus? Saya tahu kok kalau ketampanan saya itu valid dan tidak dapat diganggu gugat. Hanya saja saya agak-agak risih kalau dipandangi dengan cara mencuri-curi seperti itu. Tapi kalau mencuri-curi cium sih, ya alhamdullilah sekali kalau kamu sudi," dekik kecil di kedua pipi Rasya muncul saat ia tersenyum lebar. Hah, si manusia jaelangkung ini perasaan dicintai sekali."Bapak kepedean sekali," Keira mencebikkan bibir. Rasya ini memang tingkat kepedeannya level dewa. Namun tak urung ia merasa lega. Sangat lega sekali tepatnya. Ternya

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 42

    Semalaman Keira tidak bisa memejamkan matanya sepicing pun. Benaknya dipenuhi dengan potongan adegan demi adegan perselisihannya dengan Rasya. Setelah cukup dekat dengan Rasya, ini adalah kali pertama mereka berselisih paham. Dan ternyata rasanya begitu tidak nyaman. Mirip dengan rasa gatal yang tidak bisa ia garuk. Intinya sangat menyiksa! Suara tangisan lirih yang kian lama kian melengking mengalihkan perhatiannya. Dhira sudah bangun rupanya. Keriuhan yang disebabkan terbangunnya malaikat kecilnya ini menyita seluruh perhatiannya. Ia jadi bisa sedikit melupakan kegundahan hatinya."Wah, anak Bunda sudah bangun rupanya. Bangun-bangun kok malah nangis? Mau mimik susu ya?" Keira mengajak Dhira mengobrol. Dan pertanyaannya hanya dijawab dengan suara ocehan khas bayi berusia tiga bulan. Sepertinya Dhira haus dan meminta jatah ASInya. Keira melirik jam dinding. Pukul enam lewat lima menit. Ini memang j

  • Air mata yang Kutumpahkan   Chapter 41

    "Sebaiknya kita pindah ke ruang kerja saya saja, Rasya, Keira." Raga merasa tidak akan mudah bagi mereka berdua untuk memperoleh jawaban dari Keira. Pembicaraan mereka pasti akan berlangsung alot mengingat betapa kerasnya sifat Keira. Tanpa banyak bicara Keira dan Rasya mengekori langkah Raga. Ketika tiba di dalam ruang kerjanya, seperti biasa Raga menempati kursi kebesarannya. Sementara Rasya dan Keira lebih memilih duduk di sofa dalam posisi saling berhadap-hadapan. Keira jadi merasa seolah-olah sedang menjalani persidangan sungguhan. Ia terdakwanya, Rasya jaksanya dan papanya hakimnya."Baiklah. Saya sederhanakan saja pertanyaan saya. Ada keperluan apa kamu di apartemen, Pandu?" Rasya mengeja kalimatnya lamat-lamat. Tatapannya sengaja ia fokuskan pada kedua mata indah yang kini terlihat gelisah. Keira menatap ke segala arah, kecuali padanya."Apakah jawabannya ada di plafon rumah dan lukisan kuda yang sedari tadi kamu pandangi, Ra?" sar

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status