Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam kurang sepuluh menit. Itu artinya sepuluh menit lagi shift malamnya akan berakhir. Hari ini Robin izin untuk tidak masuk kerja. Ia sedang sibuk menyiapkan sidang skripsinya. Itu artinya ia harus pulang sendiri. Sebenarnya ia bisa saja menghubungi Pak Min, supir keluarga mereka. Hanya saja ia segan harus merepotkan Pak Min pada jam-jam seperti ini. Pak Min itu sudah tua dan sakit-sakitan. Ia tidak tega mengurangi jadwal istirahatnya di luar jam kerja normalnya. Makanya ia memutuskan akan memesan taksi online saja. Setelah menukar seragamnya, ia bersiap-siap keluar dan memesan taksi online. Belum sempat mengeluarkan ponsel dari tasnya, sebuah suara cempreng singgah di pendengarannya.
"Ra, taksi online lo udah nyampe tuh di parkiran. Beruntung banget ya lo bisa dapet driver dan mobil grade A begini?" Marlina, perawat satu shiftnya menghampiri. Keira mengernyitkan alisnya. Taksi online? Orang ia sama sekali belum mengorder, bagaimana bisa tiba-tiba taksinya
nongol aja? Walaupun bingung tapi Keira berjalan juga ke arah tempat parkir.Sebuah mobil Lexus berplat B 4 NDU membunyikan klaksonnya. Apa ini taksi online yang dikatakan oleh Marlina tadi ya? Tapi dia kan sama sekali belum memesan? Saat kaca mobil diturunkan, barulah ia tahu siapa sebenarnya orang yang diduga sebagai driver taksi online ini. Pandu Wicaksana. Kakak iparnya. Tumben sekali Pandu yang biasanya betah di kebun tehnya di Jambi sana, bisa ada di sini. Menjemputnya lagi. Double-double rasa anehnya.
"Masuk, Ra." Mendengar seruan kakak iparnya, mau tidak mau ia masuk juga ke dalam mobil. Aroma maskulin antara campuran tembakau dan kayu-kayuan menyerbu indra penciumannya. Ada sesuatu yang salah di sini. Biasanya kepalanya langsung keliyengan apabila mencium aroma parfum yang kelewat tajam. Tetapi anehnya, ia suka sekali menghirup aroma khas laki-laki di dalam mobil ini. Ia mencium-cium udara di sekitarnya dengan nikmat. Segar sekali rasanya.
"Kenapa, Ra? Saya bau ya?" Keira melihat kakak iparnya mengangkat kedua tangannya, dan mencium pangkal lengan kanan dan kirinya sendiri. Mampus! Kakak iparnya ini salah paham sepertinya. Kakak iparnya pasti mengira kalau tubuhnya itu bau. Salahnya juga tadi karena terus saja mengendus-endus udara.
"Tapi saya baru saja mandi kok, Ra. Atau kamu tidak suka dengan aroma parfum saya?"
Nah kan, benar tebakannya. Kakak ipar merasa kalau aroma tubuhnya tidak enak.
"Suka kok, Mas. Suka banget malahan. Makanya terus saya cium-cium tadi. Hehehe."
Mati! Ngomong apa sih lo, Ra? Bikin malu aja. Ini mulut remnya blong kayaknya.
Kakak iparnya mengulum senyum. Pandu ini pasti geli sendiri karena melihat kelakuan noraknya.
"Syukurlah kalau kamu suka. Kalau masih belum puas menghirup aromanya dari tubuh saya, nanti di rumah saya berikan langsung botol parfumnya. Hehehe."
Mendengar tawa kakak iparnya, ia hanya tersenyum canggung saja. Sejujurnya ia merasa agak sungkan berdekatan dengan Pandu. Bayangkan, ia hanya pernah bertemu sekali tok dengan kakak iparnya ini. Itu pun mereka tidak berbicara. Hanya saling melempar senyum tipis saja. Tiba-tiba berduaan di dalam mobil begini membuatnya bingung harus bersikap bagaimana. Perlahan mobil pun melaju meninggalkan area parkir rumah sakit.
"Saya menjemput kamu karena ibu bilang kalau kamu itu belum pulang. Supir kamu juga tidak masuk hari ini kan? Panji juga sedang ada urusan di luar," kata-kata Pandu menjawab rasa penasarannya. Rupanya ada campur tangan ibu mertuanya di sini.
"Tadinya sih Pak Min yang ditugaskan ibu untuk menjemput kamu. Tapi saya menawarkan diri. Saya pikir ya sudah, kamu saya jemput saja. Toh saya juga memang sedang ada keperluan di sekitar daerah ini." Terang Pandu lagi.
"Maaf, sudah merepotkan Mas Pandu. Seharusnya Mas tidak perlu repot-repot menjemput saya. Saya bisa naik taksi online kok, Mas. Zaman sekarang semua hal bisa dibuat mudah," timpalnya lagi. Suara getaran ponsel menghentikan kata-katanya. Saat ponsel diangkat, tampak nama Robin di layar ponselnya.
Hallo, Bu Rara? Ibu sudah ada yang menjemput belum? Kalau belum, tunggu saya sebentar ya? Saya akan menjemput ibu dengan meminjam mobil teman saya.
"Tidak usah repot-repot, Robin. Saya sekarang sudah menuju arah pulang."
Ibu pulang naik apa? Dengan siapa?
"Saya dijemput Mas Pandu. Kakaknya Mas Panji. Kamu tidak usah khawatir. Lanjutkan saja urusan skripsimu." Keira menutup teleponnya. Robin ini memang seorang supir yang baik. Tidak salah ayah mertuanya mempekerjakannya. Rasa khawatirnya terhadap dirinya, memperlihatkan besarnya tanggung jawabnya.
"Robin ini supir yang baik atau supir yang berusaha menarik perhatian kamu sebenarnya?" Keira menoleh ke samping. Mencoba meneliti air muka Pandu. Ia tidak tahu arah pembicaraan Pandu ini mengindikasikan apa. Apakah memang hanya sekedar bertanya? Atau ada maksud-maksud terselubung di dalamnya. Karena wajahnya terlihat biasa saja, maka ia pun memilih untuk memberi jawaban yang netral saja.
"Setahu saja Robin memang supir yang baik. Masalah ia berusaha menarik perhatian saya? Saya tidak merasa," sahut Keira sambil mengedikkan bahunya. "Tapi seandainya ia berusaha menarik perhatian saya pun, wajar bukan? Bukan hal yang aneh seorang pekerja ingin menarik perhatian majikannya. Mereka tentu ingin upah berlebih dari yang sekarang sudah mereka terima." Imbuhnya lagi.
"Bukan perhatian seperti itu yang saya maksudkan," Pandu meliriknya sekilas seraya memindahkan persnelling. "Tapi perhatian antara seorang laki-laki terhadap seorang perempuan. Saya yakin kamu cukup cerdas untuk memahami maksud saya." Pandu melanjutkan kalimatnya dengan pandangan tetap lurus ke depan. Berkonsentrasi menyetir.
"Saya tidak punya maksud apa-apa menanyakan hal itu kepada kamu. Saya hanya mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan saja. Bagaimanapun perasaan antara seorang laki-laki dan perempuan itu 'kan seperti arus listrik. Nyetrum kalau didekatkan." Sahut kakak iparnya santai.
"Saya mengerti maksud Mas Pandu. Tapi sampai sejauh ini, saya tidak menemukan adanya indikasi ke arah hal yang Mas takutkan tadi. Sikap Robin masih saya kategorikan dalam batas wajar."
Yang tidak wajar itu hubungan adik lo dengan banyak perempuan di luaran sana!
"Syukurlah. Kedekatan antara dua makhluk yang berlainan jenis memang cenderung menimbulkan percikan api. Kita harus pintar-pintar mengontrol perasaan kita sendiri, kalau kita tidak mau hidup kita jadi berantakan."
"Iya, Mas. Saya paham. Eh Mas, itu ada yang jual martabak. Berhenti sebentar boleh, Mas?" Keira merasa mulutnya mendadak berliur saat melihat jajaran martabak manis di stealing pinggir jalan. Mobil direm mendadak oleh Pandu. Sepertinya ia kaget saat disuruh berhenti tiba-tiba. Suara decitan rem dan tubuh yang sedikit terdorong ke depan membuktikan dugaannya.
"Oh, kamu suka makan martabak manis, Ra?"
"Biasanya sih nggak, Mas. Terlalu manis soalnya. Tapi entah kenapa, kok hari ini saya kepengen banget makan martabak keju jagung itu ya?" Guman Keira seraya menunjuk martabak jagung keju yang menumpuk di stealing bapak penjual martabak.
"Ya sudah. Ayo kita turun," ucap Pandu seraya mematikan mesin mobilnya. Keira membuka pintu mobil dengan tidak sabaran. Harumnya aroma keju dan jagung menguar di udara. Semakin diendus, gemuruh di perutnya semakin hebat saja. Cacing-cacing di perutnya seperti sedang main tik tok semua. Keira memilih tempat yang paling dekat dengan gerobak bapak penjual martabaknya. Ia suka memandangi si bapak penjual martabaknya beraksi. Ada kepuasan tersendiri saat melihat proses pembuatan makanan yang akan ia santap nanti.
"Jangan duduk terlalu dekat dengan tungku, Ra. Panas 'kan? Duduk di sini saja ya?" Pandu menggamit lengannya saat ia akan duduk di salah satu kursi plastik yang telah disediakan. "Saya mau duduk di sini saja. Saya kepengen melihat proses pembuatan martabaknya, Mas." Keira mempertahankan pilihannya.
"Tapi kan panas, Ra. Dari sini juga 'kan kamu bisa melihat proses pembuatannya. Nanti kamu bisa kecipratan minyak lho." Bujuk Pandu lagi.
"Tapi..." Keira masih merasa berat mengikuti permintaan Pandu. Ia jadi heran sendiri. Sejak kapan ia menjadi orang yang manja dan kolokan seperti ini? Hormon kehamilan ternyata telah mengambil alih pikiran logisnya.
"Baiklah. Kita cari jalan tengahnya saja. Bagaimana kalau kita duduk di sudut sana? Deal?" Bujuk Pandu seraya menunjuk tempat yang ia sebutkan tadi. lagi. Keira memandang tempat yang ditunjuk oleh Pandu. Lumayanlah, setidaknya ia masih bisa melihat bapak penjual martabaknya bekerja. Keira mengangguk. Melihat anggukannya, Pandu menarik sebuah kursi plastik berwarna merah. Memeriksa kekuatan dan pijakannya. Setelah itu baru lah ia mempersilahkan Keira duduk. Dalam hati Keira membatin. Pandu dan Panji. Dua orang dengan darah dan daging yang sama, tetapi sikap dan sifatnya sangat jauh berbeda. Panji sangat datar dan dingin. Sementara Pandu, gentle dan laki banget. Ia terlihat sangat menghargai perempuan. Heran sekali laki-laki segagah dan segentle ini tidak mau menikah.
Sepuluh menit kemudian martabak keju pandan jagung spesialnya, sudah ada di depan mata. Sementara Pandu memesan martabak kit kat green tea oreo. Dengan semangat empat lima, Keira langsung menyantap martabaknya. Tanpa Keira sadari, Pandu terus saja memandanginya. Pandu merasa ada yang aneh dengan cara Keira makan. Adik iparnya ini mirip seperti orang yang tiga hari belum menyentuh makanan. Pandu sampai merasa kenyang hanya dengan memandangi adik iparnya ini makan.
Belum lagi martabaknya habis, Keira sudah merasa eneg. Ia kini memandangi martabak Pandu penuh minat. Sepertinya martabak kakak iparnya itu lebih enak dari punyanya sendiri. Ia jadi kepengen mencicipinya. Lihatlah, taburan oreonya seperti memanggil-manggilnya untuk segera disantap. Glek! Keira menelan salivanya sendiri.
"Kenapa Ra? Mau mencicipi martabak seperti pesanan saya? Sebentar, saya pesankan satu lagi buat kamu ya?" Pandu beringsut dari kursinya. Bermaksud memesan satu martabak lagi. "Nggak usah, Mas. Saya mau mencicipi punya Mas aja. Boleh?" Tanya Keira dengan ekspresi mupeng. Pandu menaikkan satu alisnya. Kecurigaannya makin bertambah saja.
"Tapi ini sudah saya makan sebagian, lho, Ra." Imbuhnya lagi.
"Nggak apa-apa, Mas. Saya bukan kepengen martabak yang baru lagi. Tapi saya kepengen martabak Mas ini." Tegas Keira lagi. Pandu terdiam. Dugaan kuat yang melintasi kepalanya tadi sepertinya benar. "Ya, sudah. Nah, ini martabaknya. Silahkan dicicipi. Dihabisi juga tidak apa-apa. Hehehe."
Mendengar jawaban Pandu, tanpa banyak cincong, Keira menyantap martabak kit kat green tea oreo itu dengan cepat. Ada rasa puas yang tidak bisa dijelaskan saat potongan demi potongan martabak itu melewati tenggorokannya dan masuk ke dalam perutnya. Ia sendiri juga bingung. Kenapa ia sekarang jadi serakus ini. Pandu terus memandangi Keira dalam diam. Ketika melihat martabak Keira hampir habis, ia memutuskan untuk menjalankan aksinya. Bagaimana pun ia harus adil. Walaupun Panji memang adik kandungnya, tapi sebagai kakak tertua ia harus bisa menjaga nama baik keluarga.
"Ra, ehm... sebenarnya saya mempunyai tujuan lain saat menjemput kamu tadi," Keira mengangkat kepalanya yang sebelumnya terus menunduk karena menikmati makanannya. Sepertinya ada masalah penting yang ingin dibicarakan oleh kakak iparnya ini.
"Selain menjemput kamu, saya sebenarnya ingin membahas sesuatu dengan kamu. Tetapi saat melihat kondisi kamu seperti ini, Mas jadi bimbang." Air muka kakak iparnya memang terlihat serba salah. Sepertinya kakak iparnya ini sedang menimbang-nimbang sesuatu. Keira jadi semakin penasaran. Masalah apa yang sebenarnya yang ingin dibicarakan oleh kakak iparnya ini.
"Memangnya kondisi saya kenapa, Mas? Mas katakan saja apa yang ingin Mas tanyakan. Jangan membuat saya jadi penasaran." Keira meletakkan sendok dan garpunya. Ia sudah kehilangan selera untuk makan sekarang.
"Baiklah. Kita akan mulai berbicara. Mas mohon, bersikap jujurlah pada Mas. Karena tanpa kejujuran, masalah ini akan menghancurkan semuanya."
"Baik, Mas." Jawab Keira patuh. Ada ketidaksabaran dalam nada suaranya.
"Bagaimana hubungan kamu dengan, Panji sebenarnya? Baik, buruk atau biasa-biasa saja?"
"Buruk, Mas." Keira memutuskan untuk bersikap jujur.
"Baik. Kalau begitu Mas akan melanjutkan pembicaraan ini. Ra, seminggu yang lalu Panji bertukar pikiran dengan Mas. Katanya ia ingin bercerai dengan kamu. Ia sudah menemukan seseorang yang ia cintai, katanya."
Jangan sedih, Ra. Semuanya nggak akan lama. Sedih lo nggak akan lama. Sakit lo pun nggak akan lama. Hidup ya begini ini. Ada tawa ada duka. Ada sedih ada bahagia. Nikmati saja semua rasa yang ada selagi bisa. Lo kan udah punya seseorang sekarang. Lepaskan saja ikatan tidak jelas lo sama orang yang nggak nganggep lo itu. Siapa tahu dengan bercerainya lo dengan Panji, hidup lo akan jauh lebih bahagia.
"Saya sudah tahu, Mas. Mas Panji sudah pernah mengatakannya pada saya. Saya akan mengabulkan keinginannya, Mas. Saya setuju untuk bercerai." Sahut Keira mantap.
"Tapi kamu sedang hamil, Ra. Makanya tadi saya sempat bimbang. Sepertinya Panji tidak tahu tentang kehamilan kamu ini, bukan?" Pandu memijat-mijat pelipisnya. Masalahnya jadi rumit kalau ada anak dalam pernikahan penuh sandiwara adiknya. Ia menyesali sikap egois adiknya yang hanya memikirkan kebahagiannya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai kakaknya, ia wajib untuk mengurai benang kusut ini. Dia tidak buta. Ia tahu bahwa adik iparnya ini pun tidak bahagia. Masalahnya ia sama sekali tidak menyangka akan hadirnya orang lain di antara mereka berdua.
"Dari mana Mas tahu kalau saya sedang hamil?"
"Dari semua gelagat dan gerak gerik kamu," jawab Pandu singkat. Keira diam saja. Ia tahu tidak ada gunanya membantah. Pandu ini orangnya sangat cermat. Membohonginya adalah perbuatan sia-sia.
"Anak kalian berhak bahagia, Ra. Jangan menuruti nafsu sesaat. Pikirlah baik-baik sekali lagi. Saya tahu kalau kamu mencintai Panji," kakak iparnya meraih kedua tangannya di atas meja. Menggenggamnya erat seakan ingin memberinya kekuatan. "Kalau kamu memang mencintai Panji, berjuanglah. Jangan berpikir soal ego dan gengsi. Tapi pandanglah dari sudut strategi. Kamu itu sangat mudah untuk dicintai, Ra. Tunggu saja sampai efek dopamine di dalam diri Panji itu memudar. Yakinlah, ia pasti akan sadar dan lebih memilih kamu dari pada siapa pun itu. Atur saja napasmu agar lebih panjang. Saya, ayah dan ibu akan selalu berada di pihakmu." Bujuk kakak iparnya lagi.
"Menunggu sampai kapan, Mas? Sampai rambut Mas Panji memutih atau sampai ia terkena penyakit? Saya tidak mau, Mas. Saya tidak mau cuma kebagian jatah merawat orang sakit doang? Maaf, Mas. Saya tidak seputus asa itu. Bilang saja pada Mas Panji, saya menunggu gugatan cerainya dengan senang hati!"
Seminggu telah berlalu dari pembicaraannya dengan Pandu. Tetapi Panji sama sekali belum mengambil sikap apa-apa. Sepertinya ia masih bimbang memberitahukan keinginannya pada kedua orang tuanya. Tetapi Keira tau kalau sebenarnya Panji tengah menerapkan strategi baru. Sekarang Panji telah mengurangi jadwal keluar malamnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengobrol dan membahas masalah pekerjaan dengan sang ayah. Panji sedang berupaya untuk mengambil hati ayahnya.Pandu juga sudah dua minggu penuh ini ada rumah. Biasanya kakak iparnya itu tidak pernah tinggal lama setiap berkunjung ke Jakarta. Paling banter seminggu. Menurut ibu mertuanya, Pandu sedang mengurus kerjasama dengan pabrik pembuat teh instan di sini. Di zaman modern seperti ini membuat teh dengan cara diseduh atau pun dicelup terkadang membuat orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi merasa repot. Karenanya mereka lebih memilih mengkonsumsi teh dalam kemasan instan
Keira menutup kotak perhiasan yang berselimutkan beludru merah dengan hati-hati. Di dalam kotak itu terdapat sepasang anting-anting mutiara Tahiti grade A+ yang sudah diincarnya sejak lama. Ia menabung selama tiga bulan penuh untuk bisa memiliki mutiara laut berwarna hitam berkilauan ini. Mutiara ini ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Beberapa bulan lalu, ibunya pernah bercerita kalau ia sangat menginginkan mutiara berwarna hitam seperti yang dikenakan oleh teman arisannya, Bu Sastro. Saat itu ibunya mengatakan kalau ia menginginkannya karena warnanya yang unik. Ibunya memang telah memiliki anting-anting mutiara sebelumnya. Hanya saja warnanya putih. Keira mencatat keinginan ibunya itu dalam hati dan berjanji bahwa ia akan membelikannya apabila ia mempunyai rezeki berlebih. Dan setelah menabung tiga bulan lamanya, ia bisa juga mewujudkan keinginan ibunya dengan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Kerja kerasnya membuahkan hasil.
"Kamu jangan kurang ajar sama orang tua ya, Ra? Apa maksud kamu menyindir-nyindir Ibu seperti itu?" Ibunya memelototinya. Selama ini ia memang selalu diam setiap kali dipersalahkan. Melihatnya melawan seperti ini, pasti membuat ibunya kesal."Waktu itu 'kan Ibu sama sekali tidak tahu kondisi rumah tangga kamu. Ibu pikir, ada campur tangan orang ketiga dalam rumah tangga kalian. Makanya Ibu ingin agar kita mencari solusi bersama. Tapi ternyata masalahnya bukan di orang lain bukan? Tapi di antara kalian sendiri."Keira tersenyum di antara kabut yang menggelayuti matanya. Ia sedih. Ia sedih bukan karena akan bercerai dari Panji. Ia sudah siap lahir batin untuk itu. Tapi ia sedih karena ibunya begitu kentara membedakan kasih sayangnya. Dari mereka kecil, selalu saja seperti ini. Kerap dijadikan kambing hitam. Hanya karena ia tidak pandai berurai air mata seperti Keisha, maka ia lah yang selalu disalahkan apabila mereka berdua berselis
Keira mendorong brankar dengan tangan gemetar. Sementara Keisha dan ayahnya dengan setengah berlari mengikutinya dari belakang. Ia dan petugas ambulance terus mendorong brankar menuju ruang IGD. Saat brankar masuk ke dalam ruangan, pintu otomatis tertutup. Saat ini tidak dalam masa tugas. Jadi kehadirannya di rumah sakit ini hanya sebagai keluarga dari pasien. Bukan sebagai perawat. Makanya ia tidak berhak masuk ke dalam ruangan IGD dan memberi pertolongan seperti biasanya. Ia berikut ayahnya dan Keisha hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas di depan pintu ruangan."Lo ini kan perawat, Ra. Mana lo kerjanya di rumah sakit ini lagi. Masa lo nggak bisa minta dispensasi apa kek gitu biar kita bisa masuk?" Suara cempreng Keisha memecahkan keheningan di ruang tunggu IGD."Terus kalau kita semua bisa masuk, ibumu bisa langsung sadar, begitu?" Keisha langsung kicep begitu ayahnya bersuara. Bila tidak ada ibunya, Keisha mema
Keira menyusun barang-barang bawaannya ke dalam lemari. Di dalam travelling bag berukuran sedang itu, ia membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh ibunya selama beberapa hari ke depan. Ada beberapa stel pakaian dalam, blus dan celana panjang. Ia juga membawakan handuk kecil, jaket rajut dan juga minyak angin. Barang yang terakhir adalah soulmate ibunya. Ibunya dan minyak angin memang tidak bisa terpisahkan.Ia juga menyusun beberapa makanan yang ia beli di minimarket setempat, di atas meja makan pasien. Ada roti tawar gandum, selai kacang, gula putih dan juga sekotak teh melati. Ia membelinya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ibunya lapar saat tengah malam nanti. Dengan adanya beberapa macam makanan alternatif ini, sedikit banyak bisa mengganjal perut ibunya.Karena diburu waktu, ia sampai melupakan keperluannya sendiri. Sebenarnya ia tadi berniat untuk membawa matras tipis dan sehelai selimut sebagai alas tidurnya. Tetapi
Keira memegang cangkir stainlessteelnya dengan hati-hati. Kali ini ia memegangnya dengan tangan kiri karena tangan kanannya diperban. Ia telah mengganti tehnya yang tumpah tadi dengan yang baru. Kini ia telah berada di ambang pintu ruang rawat inap ibunya. Keira memutar handle pintu perlahan. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Siapa tahu ibunya sedang tidur. Dan ia tidak mau mengusik tidurnya. Obat yang paling mujarab bagi orang sakit sebenarnya adalah istirahat yang cukup. Baru saja ia menutup pintu, suara ibunya telah menyinggahi pendengarannya."Buat teh saja hampir satu jam? Apa saja yang kamu lakukan di luar sana, Ra?" Keira meringis. Ibunya tidak tidur rupanya."Tadi tehnya tumpah, Bu," ujarnya pelan. "Lihat, ini tangan Keira aja di perban." Keira berusaha menjelaskan duduk persoalannya pada sang ibu. Ia masuk ke dalam kamar dan meletakkan tehnya di atas overbed table. Ia kemudian menuangkan
Jika orang-orang selalu mengatakan bahwa hari berlalu begitu cepat, tapi bagi Keira waktu malah terasa seperti jalan di tempat. Saat ini ia sedang mengalami fase mati rasa. Fase di mana ia sudah tidak mampu lagi menangis. Akibat dari hujatan kanan kiri, atas bawah, yang tidak ada habis-habisnya, hatinya kini menjadi alot. Bukan keras, kuat, tegar atau apalah sebutan lainnya. Jika keras, kuat, tegar, pasti suatu saat bisa menjadi lembek, lemah atau putus asa. Tetapi kalau alot? Mau diapakan saja, bentuknya akan kembali seperti semula. Dipukul, ditendang, paling akan membal alias mental. Seperti itulah kondisi hatinya saat ini.Akhir-akhir ini sebutan pelakor begitu melekat pada dirinya. Tidak hanya di dunia nyata. Di dunia maya pun para netizen yang sebagian besar adalah fans-fans Keisha, juga beramai-ramai merudungnya. Hal itu juga berimbas pada pekerjaannya. Terutama dari keluarga pasien. Walaupun mereka tidak berani terang-terangan menghujatnya.
Panji ternyata benar-benar membawa Keira ke kantor polisi. Tetapi seperti yang Keira katakan tadi, ia tidak sedikitpun gentar. Karena ia toh memang tidak bersalah. Lagi pula ia yakin, para penegak hukum di negeri ini bukanlah orang dungu. Mana mungkin mereka langsung menelan bulat-bulat pengaduan Panji, tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu."Ayo kita turun, Mas. Kita langsung ke bagian SPKT saja. Di sana Mas bisa segera melakukan pengaduan." Keisha bersiap-siap turun dari mobil. Sementara Panji malah meragu. Terlebih lagi saat ia melihat Keira mengernyitkan kening, sambil mengelus-elus perut buncitnya. Sepertinya Keira sedang kesakitan. Ada getaran halus yang merambati hatinya, saat melihat Keira mengelus-elus perutnya seperti itu. Rasanya seperti terharu."Cepetan Mas, panas banget di sini!" Mendengar teguran Keisha, Panji buru-buru turun. Di saat yang bersamaan, ia melihat Keira agak kesusahan turun dari mobil. Panji segera memut