"Bercerai? Ibu 'kan sudah berulang kali bilang kalau Ibu tidak setuju dengan keinginan kamu itu? Sudah. Ibu tidak mau membahas masalah itu lagi!" bentak Danti seraya mengibaskan tangan ke udara. Ia kesal karena anak perempuannya ini selalu membahas masalah yang itu-itu saja. Ia sudah mencium bau-bau tidak enak saat anak perempuannya ini tiba-tiba saja menyambanginya. Pasti ada berita tidak enak yang dibawanya. Ternyata firasatnya benar. Putri bodohnya ini meminta dukungannya untuk bercerai.
"Tapi Keira sudah tidak tahan hidup begini terus, Bu. Semalam Mas Panji tidak pulang. Pada Keira, Mas Panji ngakunya sedang ada urusan penting. Tapi saat Keira melihat story Soraya, Mas Panji malah terlihat sedang bersenang-senang di club dengan seorang perempuan. Mereka saling berpelukan mesra, Bu. Keira... Keira sakit hati, Bu," adu Keira dengan suara terbata-bata.
"Makanya kamu usaha dong, Ra, biar bisa hamil secepatnya. Panji itu begitu, pasti karena dia merasa kesepian. Hampa. Tidak ada yang menarik hatinya untuk pulang ke rumah. Coba kalau kalian punya anak, hidupnya pasti tidak akan kesepian seperti lagi. Dia akan lebih cepat pulang ke rumah, dan menghabiskan waktunya bermain bersama anak-anak kalian. Percaya deh sama Ibu."
Keira menghela napas kasar. Seperti yang telah ia duga, ibunya sama sekali tidak menyetujui keinginannya untuk bercerai. Bukannya marah pada Panji yang telah mencuranginya, ibunya malah menyalahkannya. Keira melirik sang ayah. Seperti biasa ayahnya bersikap santai-santai saja. Ia seperti tidak mendengar apa-apa. Pandangan ayahnya tetap tertuju pada televisi yang tengah menayangkan berita-berita politik dalam negeri. Ayahnya lebih tertarik untuk mengikuti terpecah belahnya hubungan para elit politik, daripada pecahnya rumah tangga anaknya sendiri.
"Kamu ini 'kan perawat. Kerjanya di rumah sakit. Harusnya kamu itu usaha, Ra. Minum suplemen apa kek gitu biar subur dan bisa cepat hamil. Eh, ini malah nyari jalan pintas pengen cerai. Punya otak itu mikir yang beneran sedikit dong, Ra? Enak banget kamu memberi jalan si pelakor ujug-ujug menguasai singgasanamu. Sekarang kamu cari tahu dulu siapa perempuan itu. Biar nanti Ibu temani kamu melabraknya. Jadi istri kok ya nggak punya daya juang sama sekali? Heran!" gerutu ibunya lagi.
"Keira bukannya nggak mau berjuang, Bu. Tapi masalahnya Mas Panji 'kan sudah jelas-jelas bilang kalau dia itu tidak mencintai Keira. Keira sama sekali nggak punya senjata untuk memperjuangkan Mas Panji, Bu," keluh Keira lagi. Ia berusaha menjelaskan situasi rumah tangganya pada sang ibu.
"Ada Ra, ada. Anak. Itu satu-satunya jalan kalau kamu ingin memenangkan pertarungan ini. Anak akan menjerat kedua kaki suamimu untuk selamanya," tukas ibunya kian bersemangat. Pasti ibunya mengira kalau ia telah menemukan ide yang jitu.
"Mungkin saja Panji tidak mencintai kamu. Tapi dia pasti mencintai anak-anaknya. Salah satu kakinya sudah terikat di rumah. Jadi ke manapun dia melangkah, pada siapapun ia bersenang-senang, pada akhirnya ia akan tetap pulang ke rumah. Karena apa? Karena sebelah kakinya sudah kamu belenggu," sambung ibunya lagi.
"Kamu jangan mengajari anakmu dengan trik-trik kuno warisan devide et impera begitu, Danti. Trik kelabuh-mengkelabuhi hanya akan berhasil dipraktekkan dalam hubungan bisnis. Dagang. Niaga. Tapi tidak dalam hal rumah tangga. Kehadiran seorang anak mungkin bisa mengikat kaki seorang laki-laki, tapi tidak hatinya. Apa gunanya ia setiap hari pulang, tapi hatinya tidak ada di rumah. Kamu sudah lebih dulu merasakan hal itu bukan, Danti?"
Keira terkesima. Ayahnya yang sangat irit bicara, bisa menasehati ibunya dengan kata-kata yang begitu menusuk, tapi benar adanya. Walaupun kerap diam dan terkesan tidak peduli, tapi rupanya ayahnya menyimak juga pembicaraannya dengan sang ibu. Keira terharu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ayahnya menyuarakan pendapatnya.
"Jangan mengulangi kesalahan yang pernah kamu lakukan pada anakmu, Danti. Kalau kamu sudah pernah terperosok di sebuah lubang, jangan menarik tangan orang lain lagi. Anakmu berhak bahagia, Danti," imbuh ayahnya lagi. Wajah ibunya memerah. Ibunya marah. Namun ada sesuatu yang aneh di sini. Mata ibunya memerah dan berkaca-kaca. Ibunya seperti memendam sesuatu.
"Aku juga ingin Rara bahagia, Mas. Rara adalah anakku. Darah dagingku. Aku hanya ingin dia bertahan sedikit lebih lama, demi untuk kenyamanannya sendiri," tandas ibunya geram.
"Kenyamanannya atau kenyamanan kamu?" sindir ayahnya singkat. Walaupun sedang berbicara pada ibunya, pandangan ayahnya masih tetap tercurah pada televisi dihadapannya.
"Jangan berpura-pura jadi orang baik nan bijaksana, Mas. Mas juga menikmati semua fasilitas yang diberikan Panji saat ia masih bersama Keisha bukan? Motor Harley itu salah satu contohnya. Ingat Mas, saat jari telunjuk Mas menunjuk padaku, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking Mas itu menunjuk diri Mas sendiri. Malu sama Harley, Mas!" sembur ibunya geram. Kemarahan ibunya kali ini berbarengan dengan lelehan air matanya. Sepertinya ayahnya telah menyinggung sesuatu yang menyakiti perasaan ibunya.
"Wajar saja Mas menikmati sedikit imbalan setelah Mas berkorban banyak demi keluarga tercinta kamu ini. Kamu adalah orang yang paling tahu, apa saja yang telah Mas korbankan selama ini. Pesan Mas cuma satu, Danti. Kalau kamu memang tidak bisa menasehati, minimal jangan meracuni. Biar saja Keira mengambil sikap atas keinginannya sendiri. Yang menjalani semuanya itu kan Keira. Bukan kamu." Ibunya diam saja. Ia sepertinya tidak ingin menanggapi kata-kata ayahnya lagi.
"Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus berjuang habis-habisan dulu untuk mempertahankan rumah tanggamu. Selama Panji tidak mengantarkan kamu pulang dan bilang kalau ia ingin menceraikan kamu, Ibu tidak akan menerima kehadiran kamu di rumah ini. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Sudah sore. Sebentar lagi pasti suamimu pulang. Kamu ini seorang istri. Kamu punya kewajiban untuk melayani suami kamu sebaik mungkin."
Kalau ibunya sudah memberi ultimatum seperti ini, mau tidak mau ia harus pulang. Waktu memang telah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit.
"Kenapa nasehat itu tidak kamu terapkan juga pada diri kamu sendiri, Danti? Seingat Mas, kalau kamu sudah keluar dengan Gina dan Tari, kamu selalu lupa Mas itu pulang kantor jam berapa?" sindiran ayahnya semakin membuat ibunya naik tensi. Ibunya tidak lagi mau menjawab sindiran ayahnya. Namun ia membanting asbak rokok kristal hingga hancur berkeping-keping. Inilah yang membuat Keira tidak betah di rumah. Kalau di depan para awak media dan para pewarta, ayah dan ibunya tampak mesra dan serasi sekali. Tapi kenyataan yang sebenarnya ya seperti ini. Mereka berdua seperti anjing dan kucing. Tidak pernah akur. Ayahnya yang merupakan salah satu petinggi partai, memang dituntut harus sempurna di depan publik. Makanya nama baik harus selalu dijaga sebaik mungkin oleh kedua orang tuanya. Dalam dunia politik, pencitraan itu penting. Tetapi pada dasarnya hubungan kekeluargaan mereka itu rapuh. Tidak pernah ada rasa cinta dan ketulusan di antara satu dengan yang lainnya.
***
Hari berganti minggu dan dua bulan pun telah berlalu. Selama dua bulan terakhir ini, tingkah Panji semakin menjadi-jadi. Setiap malam ada saja alasannya untuk bisa keluar rumah. Yang masalah kongkow-kongkow dengan teman lamalah. Mengentertaint tamulah. Pokoknya ada saja upayanya untuk bisa keluar rumah. Keira sendiri sudah pasrah. Ia tidak pernah lagi ingin mengetahui apa saja kegiatan Panji di luar rumah. Bukan hanya karena sepertinya ia mulai kehilangan rasa cinta. Tetapi juga karena kehadiran seseorang yang sama sekali tidak ia duga-duga.
Ia hamil. Kejadian di malam Panji memilikinya secara tidak sadar waktu itu, telah menciptakan malaikat kecil di rahimnya. Dan malaikat kecil yang masih berupa segumpal darah ini, telah membuat gonjang ganjing kondisi tubuhnya. Morning sickness membuatnya kerap muntah-muntah hebat di pagi hari hingga isi perutnya kosong. Belum lagi kesulitannya berdiri terlalu lama karena kerap pusing dan cepat lelah. Perutnya juga selalu bergejolak setiap menghirup aroma tertentu. Saat ini, untuk tetap bisa bekerja saja, ia sudah merasa sangat beruntung. Makanya ia tidak sempat lagi memikirkan tentang masalah Panji. Suaminya itu mau berbuat apa atau bertingkah seperti apa, ia sudah tidak peduli lagi. Sekarang ia lebih memfokuskan diri pada kehamilannya. Ia telah memiliki semangat hidup baru. Buah hatinya.
Pada Panji ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Begitu juga dengan kedua mertuanya. Ia belum menemukan waktu yang tepat untuk memberitahukan mereka. Ia menunggu untuk memberitahu Panji terlebih dahulu, baru ia akan memberitahukan kedua mertuanya. Ia ingin melihat reaksi suaminya terlebih dahulu. Hanya saja waktu untuk berbicara secara khusus dengan Panji tidak pernah ada. Panji benar-benar menutup diri darinya. Jikalau dulu Panji masih mau berbicara dengannya walaupun kalimatnya singkat-singkat, sekarang tidak pernah sama sekali. Saat ia ingin membuka pembicaraan dengan Panji, ada saja cara suaminya itu untuk mengelak. Yang sedang sibuklah. Tidak mau diganggulah, dan beribu alasan lainnya.
Satu-satunya orang yang mengetahui soal kehamilannya adalah Robyn. Sangat sulit untuk menyembunyikan keadaan dirinya dari supir pribadinya itu. Dengan seringnya ia meminta Robyn untuk berhenti tiba-tiba di pinggir demi memuntahkan sarapannya, atau ia yang mendadak kepingin makan ini dan itu, pasti telah membuat Robyn curiga. Tanda-tanda kalau ia sedang hamil begitu kentara. Robyn itu mengikuti semua aktivitasnya. Di mulai dari pagi sampai sore hari. Bahkan terkadang sampai malam kalau ia kebetulan mendapat shift malam. Makanya Robyn adalah orang yang pertama tahu, saat ada perubahan yang signifikan pada dirinya.
Seperti malam ini misalnya. Perutnya kram dan ia terus muntah-muntah hebat. Sedari di rumah sakit tadi sebenarnya ia sudah merasa kurang enak badan. Tetapi ia terus bertahan karena beberapa jam baru waktunya pulang. Tanggung, pikirnya. Dan kini saat mereka telah sampai di rumah, Keira menyerah. Kondisi tubuhnya benar-benat drop. Ia nyaris tidak bisa berdiri. Makanya ia tidak bisa keluar dari mobil. Tanpa banyak bicara Robyn menggendongnya masuk ke dalam rumah. Karena merasa sangat lelah, ia pun meminta Robin untuk membaringkannya di kamar saja. Mbak Surti yang melihatnya masuk ke dalam kamar dengan digendong oleh Robyn, buru-buru ke dapur. Katanya si Mbak ingin membuatkan segelas teh manis hangat untuknya. Robyn yang sepertinya tidak tega meninggalkannya sendiri, berdiri canggung di pintu kamar. Saat perutnya kembali bergolak, Keira berusaha bangkit dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Ia takut muntahannya akan mengotori tempat tidur. Akibat dari gerakan buru-burunya, tubuhnya terhuyung-huyung dan nyaris terjatuh di lantai. Untung saja Robyn dengan sigap segera menahan laju tubuhnya.
Robyn jugalah yang memapahnya ke kamar mandi dan menungguinya mengeluarkan isi perutnya di atas closet. Keira sampai gemetaran dan berkeringat dingin karenanya. Saat Robyn memapahnya keluar dari kamar mandi, Panji masuk ke dalam kamar. Robyn buru-buru menjelaskan tentang keadaannya yang sedang kurang sehat dan ia yang hanya berniat menolong sebelum Mbak Surti datang. Panji hanya mengangguk singkat sambil lalu. Suaminya ini sekali tidak mempedulikan keadaannya. Setelah mandi, suaminya pergi lagi dan baru kembali pada pukul dua pagi.
Jikalau dulu ia selalu menanyakan apakah suaminya ingin siapkan makanan atau minuman jika pulang larut, kini tidak lagi. Ia bahkan tidak menanyakan suaminya dari mana saja. Ia sudah tidak peduli lagi. Ia memang belum tidur saat suaminya masuk ke dalam kamar. Perutnya yang masih saja kram membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Mereka saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya sama-sama membuang muka. Dari semua kesalahan yang pernah terjadi dalam hidupnya, pernah mencintai Panji adalah satu kesalahan terbesar yang pernah dilakukannya.
"Kenapa kamu belum tidur? Menunggu saya pulang?"
Perasaan banget ditungguin, Mas Bro? Iyuh banget nungguin tukang selingkuh pulang kandang.
"Saya kurang enak badan," jawab Keira acuh. Panji menatapnya sekilas. Mungkin ia heran mendapatkan jawaban yang terkesan ogah-ogahan darinya. Sesaat kemudian terdengar suara percikan air di kamar mandi. Membersihkan bekas-bekas dosa sepertinya.
Astaga Ra, jangan membatin. Ada malaikat kecil yang kini berkongsi raga denganmu. Jaga batinmu, jaga ucapanmu.
Terdengar suara pintu kamar mandi yang dibuka kemudian ditutup kembali. Keira memejamkan mata. Berusaha menghitung domba demi mencari kantuk yang tak kunjung datang.
"Lho, piyama saya mana? Kenapa tidak kamu siapkan?" Panji memelototi Keira saat tidak mendapati piyamanya di atas ranjang. Biasanya setiap ia mandi, Keira sudah menyiapkan piyamanya di atas ranjang.
"Saya lagi mager, Mas. Mas ambil saja sendiri dari lemari," sahut Keira acuh sembari membalik tubuh. Membelakangi suaminya. Semenjak hamil ia memang eneg banget melihat wajah Panji. Sepertinya malaikat kecilnya pun tidak suka berdekatan dengan ayahnya. Panji tidak menjawab. Sejurus kemudian Keira mendengar suara pintu lemari pakaian di buka. Berarti Panji melaksanakan apa yang tadi dikatakannya. Ia tetap memejamkan mata. Kalau ia tidak tidur sekarang, besok pagi pasti ia akan terkantuk-kantuk saat bertugas. Lesakan tempat tidur di sebelahnya menandakan ada beban lain di sampingnya.
"Kenapa kamu tidak menanyakan saya dari mana saja tadi? Biasanya kamu selalu tanya?"
Tumben ini orang kepengen ditanya?
"Saya tidak ingin tahu lagi," jawab Keira singkat.
"Kenapa tidak ingin tahu lagi? Karena kamu lebih suka mengetahui kabar Robyn daripada kabar suami sendiri? Begitu?" celetuk Panji ketus. Mendengar nama Robyn disebut-sebut, Keira membalikkan tubuhnya. Ia paling benci dengan orang yang suka bersikap playing victim seperti ini.
"Hanya karena Mas suka berbuat curang di belakang saya, bukan berarti saya juga akan melakukan hal yang sama. Saya tidak semenyedihkan itu, Mas." Balas Keira getas. Emosinya terkait saat Panji membawa-bawa nama orang lain dalam permasalahan mereka.
"Saya tahu kalau kamu mencintai saya. Seseorang baru saja memberitahu saya. Coba jawab saya dengan jujur, benar atau tidak kata-kata orang tersebut?
"Kalau Mas tanyanya beberapa bulan lalu, saya akan menjawab, iya."
"Kalau sekarang?"
"Sekarang sudah tidak lagi,"
"Mengapa?"
"Karena ada seseorang yang kehadirannya kini merampas semua rasa cinta yang saya punya," jawab Keira lantang.
"Baguslah. Karena saya juga sudah menemukan kembali seseorang yang saya cinta. Kita tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan tentang semua perasaan kita pada kedua orang tua kita. Keadaan kita sekarang ini, toh satu sama."
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam kurang sepuluh menit. Itu artinya sepuluh menit lagishiftmalamnya akan berakhir. Hari ini Robin izin untuk tidak masuk kerja. Ia sedang sibuk menyiapkan sidang skripsinya. Itu artinya ia harus pulang sendiri. Sebenarnya ia bisa saja menghubungi Pak Min, supir keluarga mereka. Hanya saja ia segan harus merepotkan Pak Min pada jam-jam seperti ini. Pak Min itu sudah tua dan sakit-sakitan. Ia tidak tega mengurangi jadwal istirahatnya di luar jam kerja normalnya. Makanya ia memutuskan akan memesan taksionlinesaja. Setelah menukar seragamnya, ia bersiap-siap keluar dan memesan taksionline. Belum sempat mengeluarkan ponsel dari tasnya, sebuah suara cempreng singgah di pendengarannya."Ra, taksionlinelo udah nyampe tuh di parkiran. Beruntung banget ya lo bisa dapetdriverdan mobil grade A begini?" Marlina, perawat satu 
Seminggu telah berlalu dari pembicaraannya dengan Pandu. Tetapi Panji sama sekali belum mengambil sikap apa-apa. Sepertinya ia masih bimbang memberitahukan keinginannya pada kedua orang tuanya. Tetapi Keira tau kalau sebenarnya Panji tengah menerapkan strategi baru. Sekarang Panji telah mengurangi jadwal keluar malamnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengobrol dan membahas masalah pekerjaan dengan sang ayah. Panji sedang berupaya untuk mengambil hati ayahnya.Pandu juga sudah dua minggu penuh ini ada rumah. Biasanya kakak iparnya itu tidak pernah tinggal lama setiap berkunjung ke Jakarta. Paling banter seminggu. Menurut ibu mertuanya, Pandu sedang mengurus kerjasama dengan pabrik pembuat teh instan di sini. Di zaman modern seperti ini membuat teh dengan cara diseduh atau pun dicelup terkadang membuat orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi merasa repot. Karenanya mereka lebih memilih mengkonsumsi teh dalam kemasan instan
Keira menutup kotak perhiasan yang berselimutkan beludru merah dengan hati-hati. Di dalam kotak itu terdapat sepasang anting-anting mutiara Tahiti grade A+ yang sudah diincarnya sejak lama. Ia menabung selama tiga bulan penuh untuk bisa memiliki mutiara laut berwarna hitam berkilauan ini. Mutiara ini ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Beberapa bulan lalu, ibunya pernah bercerita kalau ia sangat menginginkan mutiara berwarna hitam seperti yang dikenakan oleh teman arisannya, Bu Sastro. Saat itu ibunya mengatakan kalau ia menginginkannya karena warnanya yang unik. Ibunya memang telah memiliki anting-anting mutiara sebelumnya. Hanya saja warnanya putih. Keira mencatat keinginan ibunya itu dalam hati dan berjanji bahwa ia akan membelikannya apabila ia mempunyai rezeki berlebih. Dan setelah menabung tiga bulan lamanya, ia bisa juga mewujudkan keinginan ibunya dengan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Kerja kerasnya membuahkan hasil.
"Kamu jangan kurang ajar sama orang tua ya, Ra? Apa maksud kamu menyindir-nyindir Ibu seperti itu?" Ibunya memelototinya. Selama ini ia memang selalu diam setiap kali dipersalahkan. Melihatnya melawan seperti ini, pasti membuat ibunya kesal."Waktu itu 'kan Ibu sama sekali tidak tahu kondisi rumah tangga kamu. Ibu pikir, ada campur tangan orang ketiga dalam rumah tangga kalian. Makanya Ibu ingin agar kita mencari solusi bersama. Tapi ternyata masalahnya bukan di orang lain bukan? Tapi di antara kalian sendiri."Keira tersenyum di antara kabut yang menggelayuti matanya. Ia sedih. Ia sedih bukan karena akan bercerai dari Panji. Ia sudah siap lahir batin untuk itu. Tapi ia sedih karena ibunya begitu kentara membedakan kasih sayangnya. Dari mereka kecil, selalu saja seperti ini. Kerap dijadikan kambing hitam. Hanya karena ia tidak pandai berurai air mata seperti Keisha, maka ia lah yang selalu disalahkan apabila mereka berdua berselis
Keira mendorong brankar dengan tangan gemetar. Sementara Keisha dan ayahnya dengan setengah berlari mengikutinya dari belakang. Ia dan petugas ambulance terus mendorong brankar menuju ruang IGD. Saat brankar masuk ke dalam ruangan, pintu otomatis tertutup. Saat ini tidak dalam masa tugas. Jadi kehadirannya di rumah sakit ini hanya sebagai keluarga dari pasien. Bukan sebagai perawat. Makanya ia tidak berhak masuk ke dalam ruangan IGD dan memberi pertolongan seperti biasanya. Ia berikut ayahnya dan Keisha hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas di depan pintu ruangan."Lo ini kan perawat, Ra. Mana lo kerjanya di rumah sakit ini lagi. Masa lo nggak bisa minta dispensasi apa kek gitu biar kita bisa masuk?" Suara cempreng Keisha memecahkan keheningan di ruang tunggu IGD."Terus kalau kita semua bisa masuk, ibumu bisa langsung sadar, begitu?" Keisha langsung kicep begitu ayahnya bersuara. Bila tidak ada ibunya, Keisha mema
Keira menyusun barang-barang bawaannya ke dalam lemari. Di dalam travelling bag berukuran sedang itu, ia membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh ibunya selama beberapa hari ke depan. Ada beberapa stel pakaian dalam, blus dan celana panjang. Ia juga membawakan handuk kecil, jaket rajut dan juga minyak angin. Barang yang terakhir adalah soulmate ibunya. Ibunya dan minyak angin memang tidak bisa terpisahkan.Ia juga menyusun beberapa makanan yang ia beli di minimarket setempat, di atas meja makan pasien. Ada roti tawar gandum, selai kacang, gula putih dan juga sekotak teh melati. Ia membelinya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ibunya lapar saat tengah malam nanti. Dengan adanya beberapa macam makanan alternatif ini, sedikit banyak bisa mengganjal perut ibunya.Karena diburu waktu, ia sampai melupakan keperluannya sendiri. Sebenarnya ia tadi berniat untuk membawa matras tipis dan sehelai selimut sebagai alas tidurnya. Tetapi
Keira memegang cangkir stainlessteelnya dengan hati-hati. Kali ini ia memegangnya dengan tangan kiri karena tangan kanannya diperban. Ia telah mengganti tehnya yang tumpah tadi dengan yang baru. Kini ia telah berada di ambang pintu ruang rawat inap ibunya. Keira memutar handle pintu perlahan. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Siapa tahu ibunya sedang tidur. Dan ia tidak mau mengusik tidurnya. Obat yang paling mujarab bagi orang sakit sebenarnya adalah istirahat yang cukup. Baru saja ia menutup pintu, suara ibunya telah menyinggahi pendengarannya."Buat teh saja hampir satu jam? Apa saja yang kamu lakukan di luar sana, Ra?" Keira meringis. Ibunya tidak tidur rupanya."Tadi tehnya tumpah, Bu," ujarnya pelan. "Lihat, ini tangan Keira aja di perban." Keira berusaha menjelaskan duduk persoalannya pada sang ibu. Ia masuk ke dalam kamar dan meletakkan tehnya di atas overbed table. Ia kemudian menuangkan
Jika orang-orang selalu mengatakan bahwa hari berlalu begitu cepat, tapi bagi Keira waktu malah terasa seperti jalan di tempat. Saat ini ia sedang mengalami fase mati rasa. Fase di mana ia sudah tidak mampu lagi menangis. Akibat dari hujatan kanan kiri, atas bawah, yang tidak ada habis-habisnya, hatinya kini menjadi alot. Bukan keras, kuat, tegar atau apalah sebutan lainnya. Jika keras, kuat, tegar, pasti suatu saat bisa menjadi lembek, lemah atau putus asa. Tetapi kalau alot? Mau diapakan saja, bentuknya akan kembali seperti semula. Dipukul, ditendang, paling akan membal alias mental. Seperti itulah kondisi hatinya saat ini.Akhir-akhir ini sebutan pelakor begitu melekat pada dirinya. Tidak hanya di dunia nyata. Di dunia maya pun para netizen yang sebagian besar adalah fans-fans Keisha, juga beramai-ramai merudungnya. Hal itu juga berimbas pada pekerjaannya. Terutama dari keluarga pasien. Walaupun mereka tidak berani terang-terangan menghujatnya.
Keira berkali-kali menghembuskan napas lega sesaat keluar dari rumah keluarga Abiyaksa. Beban yang tadinya bertengger di pundaknya mendadak hilang semua. Kekhawatirannya sungguh berlebihan. Om Saka dan Tante Dara ternyata menyambut baik kehadirannya. Mereka berdua malah menanyakan keberadaan Dhira. Bagaimana Keira jadi tidak ingin menangis haru karenanya? Om Saka dan Tante Dara seakan ingin memberitahukan kalau mereka bukan hanya menerimanya sebagai calon menantu. Tetapi juga menerima Dhira sebagai cucu. Selain itu mereka berdua juga mendesak agar hubungannya dan Rasya segera diresmikan saja alias menikah. Mereka ingin agar rumah mereka semarak oleh tangisan cucu-cucu katanya. Perut Keira langsung mulas karenanya. Dhira saja belum genap setahun. Tetapi kedua calon mertuanya ini, ingin agar ia melahirkan banyak cucu. Bagaimana ia tidak ngeri jadinya?"Sekarang kamu lega 'kan? Sudah saya katakan kalau mereka akan menerima kamu dan Dhira dengan tangan terbuka
Empat bulan kemudian."Kamu jangan mondar mandir di depan pintu begitu, Ra. Ibu jadi pusing melihatnya. Kalau Rasya datang, pasti dia akan mengetuk pintu. Sudah, kamu duduk saja di sini," Danti menepuk-nepuk sofa di sampingnya. Ia heran melihat putrinya yang terus hilir mudik seperti setrikaan. Keira meringis malu saat sang ibu menyindir tingkah alaynya. Sejujurnya, ia bukan nervous karena menunggu kedatangan Rasya. Tapi ia nervous karena akan dipertemukan Rasya dengan kedua orang tuanya.Minggu lalu, ia sudah resmi bercerai dengan Panji. Oleh karena itulah, Rasya baru berani membawanya bertemu dengan kedua orang tuanya. Statusnya sekarang sudah jelas. Ia adalah seorang janda. Bukan istri orang lagi. Masalahnya sekarang, ia yang minder. Bayangkan saja. Rasya adalah seorang lelaki bujang. Sementara dirinya hanyalah seorang janda beranak satu. Janda
"Selamat sore rekan-rekan pewarta sekalian. Saya Alrasya Abiyaksa sarjana hukum, dalam hal ini mewakili ibu Keira Wicaksana, ingin meluruskan beberapa hal menyangkut nama baik client saya." Rasya membuka konfrensi pers dengan menempatkan dirinya sebagai pengacara Keira. Saat ini ruang kerjanya yang cukup luas telah ia sulap menjadi tempat konfrensi pers. Di meja panjang telah duduk Om Raga, Keira, dirinya sendiri, Panji, Pandu, Soraya dan juga Irman, kakak kandung almarhumah Irma. Sementara di hadapan mereka, telah berjejer beberapa pewarta dari berbagai media nasional online maupun offline tanah air. Mereka semua berkumpul untuk mendengarkan klarifikasi mengenai video viral menantu keluarga Wicaksana yang disinyalir mempunyai affairs dengan iparnya sendiri. "Sebagai pengacara Ibu Keira, saya ingin menjelaskan beberapa hal. Memang benar laki-laki dan perempuan yang ada dalam vide
Panji menjejalkan pakaian-pakaiannya begitu saja ke dalam koper. Ia sudah tidak mempunyai banyak waktu untuk menyusunnya lagi. Yang paling ia inginkan saat ini adalah secepatnya pergi dari rumah ini. Ia ingin menenangkan dirinya sendiri. Ia memang sudah kalah. Tetapi ia tidak ingin patah. Semoga saja ditempat yang baru nanti, ia bisa menata diri. Ia ingin memulai kehidupan baru dengan semangat baru lagi. Semua yang terjadi di sini, biarlah tertinggal di sini. Ia sudah tidak ingin mengingat-ingatnya lagi.Suara tawa geli keponakannya dan godaan-godaan kedua orang tuanya seolah-olah mengejek nasib sialnya. Apakah ia marah pada mereka semua? Sama sekali tidak. Sungguh ia tidak bisa menyalahkan Praja ataupun kedua orang tuanya yang kesenangan karena menemukan keluarga baru. Ya, keluarga baru. Praja bertemu dengan ayah, kakek, nenek dan ia sendiri sebagai omnya. Sementara kedua orang tuanya menemukan cucu yang baru mereka ketahui. Ia ikut berbahagia untuk merek
Beberapa jam sebelumnya...Panji mengaduk-aduk laci meja kerjanya. Mencari-cari alat pemotong kuku. Kukunya sudah panjang sehingga tidak nyaman saat ia harus mengetik cepat di macbook. Setelah capek membongkar namun ia tidak juga menemukan apa yang ia cari, ia memutuskan akan meminjam pemotong kuku Pandu saja. Abangnya yang selalu teliti dalam menyimpan barang, pasti punya. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamar abangnya, tetapi tidak ada jawaban. Karena pintu kamar tidak di kunci, ia nyelonong masuk saja.Suara percikan air terdengar samar-samar dari arah kamar mandi. Pantas saja abangnya tidak menjawab. Rupanya abangnya sedang mandi. Ia membuka laci tengah meja kerja abangnya. Biasanya abangnya menyimpan pemotong kuku dan pernak pernik lainnya di sana. Prediksinya memang benar. Alat pemotong kuku abangnya tersusun rapi di sana. Bersebelahan dengan ponsel dan dompet abangnya. Abangnya ini memang rapi sekali dalam menyusun
Di sepanjang perjalanan menuju ke LP, Praja terus tertawa-tawa gembira di pangkuan Keira. Sesekali bocah tampan itu mengoceh-ngoceh sambil menjejak-jejakkan kakinya. Meminta berdiri di pangkuan Keira. Setelah berdiri ia akan membalikkan tubuhnya dan menepuk-nepuk pipi Keira. Tertawa-tawa gembira. Keira sekarang tahu kebiasaan Praja. Keponakannya ini senang sekali mengelus-elus wajahnya. Mungkin Praja gembira karena mengira kalau ia adalah mommynya. "Mom... mom... my..." dengan gembira Praja kembali melonjak-lonjak di pangkuannya. Mendengus-dengus dan mengerutkan hidungnya dengan lucu. Salivanya sampai ikut tersembur keluar saat ia menghembus-hembuskan udara dari mulutnya. Sepertinya Praja ingin bermain-main dengannya."Kenapa, sayang? Mau main ya? Nanti ya kita main dengan mommy. Sekarang Praja duduk manis dulu. Lihat tuh, daddy sedang menyetir. Praja jangan mengganggu konsentrasi daddy ya? Pra
Keira berkali-kali melirik Rasya yang sedang menyetir di sampingnya. Mencoba mencari sisa-sisa kemarahan dalam raut wajahnya. Tetapi ia sama sekali tidak mendapatinya. Sikap Rasya biasa saja. Ia malah sempat-sempatnya bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti lagu yang sedang diputar di mobil. Seolah-olah perseteruan mereka kemarin tidak pernah terjadi. Keira jadi penasaran sekali."Kenapa kamu melirik-lirik saya terus? Saya tahu kok kalau ketampanan saya itu valid dan tidak dapat diganggu gugat. Hanya saja saya agak-agak risih kalau dipandangi dengan cara mencuri-curi seperti itu. Tapi kalau mencuri-curi cium sih, ya alhamdullilah sekali kalau kamu sudi," dekik kecil di kedua pipi Rasya muncul saat ia tersenyum lebar. Hah, si manusia jaelangkung ini perasaan dicintai sekali."Bapak kepedean sekali," Keira mencebikkan bibir. Rasya ini memang tingkat kepedeannya level dewa. Namun tak urung ia merasa lega. Sangat lega sekali tepatnya. Ternya
Semalaman Keira tidak bisa memejamkan matanya sepicing pun. Benaknya dipenuhi dengan potongan adegan demi adegan perselisihannya dengan Rasya. Setelah cukup dekat dengan Rasya, ini adalah kali pertama mereka berselisih paham. Dan ternyata rasanya begitu tidak nyaman. Mirip dengan rasa gatal yang tidak bisa ia garuk. Intinya sangat menyiksa! Suara tangisan lirih yang kian lama kian melengking mengalihkan perhatiannya. Dhira sudah bangun rupanya. Keriuhan yang disebabkan terbangunnya malaikat kecilnya ini menyita seluruh perhatiannya. Ia jadi bisa sedikit melupakan kegundahan hatinya."Wah, anak Bunda sudah bangun rupanya. Bangun-bangun kok malah nangis? Mau mimik susu ya?" Keira mengajak Dhira mengobrol. Dan pertanyaannya hanya dijawab dengan suara ocehan khas bayi berusia tiga bulan. Sepertinya Dhira haus dan meminta jatah ASInya. Keira melirik jam dinding. Pukul enam lewat lima menit. Ini memang j
"Sebaiknya kita pindah ke ruang kerja saya saja, Rasya, Keira." Raga merasa tidak akan mudah bagi mereka berdua untuk memperoleh jawaban dari Keira. Pembicaraan mereka pasti akan berlangsung alot mengingat betapa kerasnya sifat Keira. Tanpa banyak bicara Keira dan Rasya mengekori langkah Raga. Ketika tiba di dalam ruang kerjanya, seperti biasa Raga menempati kursi kebesarannya. Sementara Rasya dan Keira lebih memilih duduk di sofa dalam posisi saling berhadap-hadapan. Keira jadi merasa seolah-olah sedang menjalani persidangan sungguhan. Ia terdakwanya, Rasya jaksanya dan papanya hakimnya."Baiklah. Saya sederhanakan saja pertanyaan saya. Ada keperluan apa kamu di apartemen, Pandu?" Rasya mengeja kalimatnya lamat-lamat. Tatapannya sengaja ia fokuskan pada kedua mata indah yang kini terlihat gelisah. Keira menatap ke segala arah, kecuali padanya."Apakah jawabannya ada di plafon rumah dan lukisan kuda yang sedari tadi kamu pandangi, Ra?" sar