Sudah sepuluh menit Keira duduk di hadapan Rasya. Tetapi orang yang bersangkutan masih terus saja mendiaminya. Rasya hanya duduk santai di kursi kebesarannya sambil sesekali mengetik di keyboard laptop. Matanya hanya fokus memandangi layar laptopnya. Kehadirannya hanya dianggap seperti lemari arsip saja sepertinya. Semenit, dua menit, tiga menit pun berlalu. Keira mulai gerah dan merasa tidak betah.
Apa mungkin si Rasya ini sedang menunggunya mengakui kesalahannya terlebih dahulu ya? Biasanya dalam film-film detektif 'kan seperti itu. Pengacara menunggu clientnya menceritakan semua permasalahannya sampai tuntas terlebih dahulu. Setelah itu, baru 'lah si pengacara mencari solusi untuk menolong clientnya. Baiklah. Mungkin sebaiknya ia mengaku duluan saja. Mudah-mudahan kemarahan si Rasya ini bisa sedikit reda kalau ia menunjukkan itikad baiknya. Keira berdehem beberapa kali sebelum mulai berbicara.
"Saya minta maaf, Pak. Saya mengaku kalau saya memang terlambat masuk hari ini," ucap Keira pelan. Raut wajahnya ia usahakan menyesal. Rasya mengalihkan pandangan dari layar laptop. Rasya kini menatap wajahnya kala mendengarnya mulai berbicara. Ternyata dugaannya benar. Si Rasya ini baru bereaksi setelah ia dengan jujur mengakui kesalahannya.
"Tapi saya hanya terlambat dua menit, Pak. Saya bersumpah."
Krik... krik... krik...
"Soalnya ta--tadi jalanan macet sekali, Pak. Makanya saya ja--jadi sedikit terlambat."
Krik... krik... krik...
"Sekali lagi, sa--saya minta maaf ya, Pak?" Hening. Rasya sama sekali tidak bersuara. Keira mulai bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mendapatkam maaf dari Rasya.
"Saya harap Bapak bersedia memaafkan kesalahan saya. Sebelum ini saya tidak pernah terlambat bekerja," Keira menghentikan kalimatnya saat Rasya menatapnya dalam-dalam. Sepertinya Rasya tidak mempercayai segala ucapannya. Ya memang ia berbohong sedikit juga sih.
"Baiklah. Saya mengaku. Saya memang pernah terlambat beberapa kali dalam setahun ini. Tetapi semuanya tidak lebih dari sepuluh menit. Bapak tahu sendiri 'kan kalau pagi-pagi itu macetnya seperti apa?" terang Keira berusaha mencari pembenaran.
Keira semakin tidak betah berada dalam ruangan ini. Rasya kembali ke mode semula. Membisu. Keira memutar otak. Berusaha mencari cara agar ia bisa secepatnya keluar dari situasi yang tidak mengenakkan ini. Bukan apa-apa. Berdekatan dengan Rasya, auto membuat dosa-dosanya terancam bocor semua. Lihatlah, tatapan matanya saja seolah-olah mengatakan ; jangan berani-berani membohongi saya. Bagaimana orang bisa betah berdekatan dengannya?
"Kalau Bapak memang sedang sibuk, saya mohon diri dulu," pamit Keira sembari beringsut dari kursi.
"Apa tadi saya mengizinkan Anda untuk pergi? Lagi pula lebaran masih tiga bulan lagi. Ngapain Anda minta maafnya sekarang?"
"Saya... saya..."
"Duduk."
Mau tidak mau Keira duduk kembali. Rasya mengotak-atik laptopnya sebentar, baru kemudian menutupnya. Perhatiannya kini benar-benar hanya tercurah padanya.
"Kacamata kamu mana?"
Heh, kacamata? Keira cengo sejenak. Jadi ia secara khusus dipanggil ke sini hanya hanya untuk urusan kacamata doang? Ahelah rugi banget ia sudah mengakui semua kesalahan yang seharusnya tidak perlu ia umbar-umbar. Begini ini kalau berbicara dengan orang yang bicaranya lebih banyak menggunakan suara hati dari pada mulutnya. Kita jadi menebak-nebak terus dan akhirnya malah jadi salah terus.
Mengenai kacamata, sesungguhnya itu hanyalah kamuflase belaka. Matanya baik-baik saja. Tidak minus sama sekali. Awal ia memakai kacamata itu adalah karena ia dan Keisha bosan selalu dikenali sebagai orang yang salah. Bayangkan saja. Mereka itu kembar identik. Duduk sebangku lagi sejak TK. Orang-orang sering kali salah mengenali mereka berdua. Oleh karena itu mereka berdua pun mengambil inisiatif untuk membuat perbedaan saat mereka masuk SMP. Keisha mengusulkan kalau salah satu dari mereka memakai kacamata saja. Jadi ada yang berbeda. Karena ia kalah saat suit, maka ia lah yang harus memakai kacamata. Sejak saat itu, mereka terlihat sedikit berbeda dan tidak pernah salah dikenali lagi.
Lama kelamaan, ia jadi terbiasa dengan kacamata kamuflasenya. Nyaman sekali rasanya menjadi diri sendiri tanpa harus dibanding-bandingkan dengan Keisha yang memang sangat populer di sekolahnya. Keisha yang cantik, ramah, dan terkenal, menjadi rebutan para senior laki-laki di sekolahnya. Sementara ia yang nerd, tertutup dan pendiam, semakin tenggelam dari bayang-bayang Keisha. Mereka berdua akhirnya memang benar-benar berbeda.
Kacamata sekarang telah melekat erat pada dirinya. Hingga sekitar dua bulan lalu, penyamarannya terbongkar oleh ibu mertuanya sendiri. Sejak hari itu ibu mertuanya melarangnya untuk menggunakan kacamata lagi. Menurut ibu mertuanya, ia terlihat jauh lebih cantik tanpa menggunakan kacamata. Ibu mertuanya juga mengatakan, tidak baik kalau ia tidak mensyukuri anugerah dari Sang Pencipta. Diberi kesempurnaan dalam hal penglihatan, masa ingin disamarkan? Kalau dipikir-pikir, ibu mertuanya benar juga bukan?
"Apakah kamu mengalami masalah dengan pendengaran?" Suara datar-datar kesal Rasya seketika menghentikan lamunannya.
"Saya sedang tidak mengenakan kacamata saat ini, Pak?" jawab Keira cepat.
"Saya tidak buta, Keira. Saya jelas-jelas melihat kalau kamu tidak menggunakan kacamata saat ini. Makanya saya tanya, kacamata kamu mana?" Keira terdiam. Ia merasa heran. Rasya sudah dua kali menyapanya dengan sapaan kamu dan bukan anda lagi. Ia bahkan memanggil namanya saja tanpa embel-embel ibu lagi. Sepertinya Rasya ini lebih santai kalau mereka hanya berdua saja.
"Saya sudah tidak perlu memakai kacamata lagi sekarang, Pak."
"Kenapa?" Rasa penasaran membayangi mata gelap Rasya.
"Mata minus saya sudah sembuh. Jadi saya tidak perlu menggunakan kacamata lagi."
"Kamu melakukan operasi lasik?" Keira menggeleng. "Tidak, Pak. Mata minus saya sembuh dengan sendirinya," sahut Keira asal. Ia kebingungan karena terus saja dicecar oleh Rasya. 'Kan tidak mungkin kalau ia mengatakan bahwa ia menggunakan kacamata hanya karena kalah suit dari Keisha bukan?
"Kalau begitu mungkin kamu adalah salah satu bukti dari keajaiban dunia. Karena setahu saya, dalam dunia medis, mata minus itu tidak dapat disembuhkan kecuali dengan operasi lasik. Saya rasa mulai hari ini, kamu sudah bisa menerima endorsement suplemen khusus mata. Jika ekstrak kulit manggis saja bisa mendunia, mungkin kali ini kamu bisa mencoba ekstrak kulit buah durian," sindir Rasya lagi.
Keira menelan salivanya sendiri. Ia malu. Bayangkan saja. Ia yang nota bene adalah seorang perawat, bisa mengeluarkan pernyataan setidak masuk akal itu? Ia sudah mempermalukan profesinya sendiri.
"Saya--saya--" Keira tidak tahu harus menjawab apa terhadap sindiran Rasya. Rasya mengangkat tangan kanannya ke udara. "Baiklah. Kalau kamu memang tidak mau menceritakan tentang misteri kacamata ajaibmu itu, ya sudah. Kita akhiri saja masalah itu sampai di sini."
Rasya kini membuka tas kerja dan mengeluarkan beberapa buah map coklat. Ia membuka lembarannya sebentar sebelum menutupnya kembali.
"Saya memanggil kamu ke mari sebenarnya adalah untuk urusan dokumen-dokumen ini. Ketiga dokumen ini berisi draft-draft perjanjian kerjasama perusahaan ayah mertua kamu yang sudah saya legalkan. Tadinya saya ingin mengantarkan dokumen-dokumen ini ke kantor Om Abi. Hanya saja, karena ada kamu di sini, jadi sekalian saja saya titipkan. Tolong berikan dokumen-dokumen ini pada Om Abi ya, Ra?"
Keira lekas-lekas mengangguk. Dengan cepat ia menyatukan tiga dokumen itu dan memeluknya di dada. Ia sudah tidak betah lama-lama di ruangan ini.
"Kamu boleh kembali bekerja sekarang,"
Alhamdullilah hirobbil alamin.
"Oh iya. Sekedar ingin mengingatkan. Terhitung mulai hari ini, saya telah membuat peraturan baru. Barang siapa yang terlambat lebih dari lima menit pada saat pergantian shift, maka keterlambatannya akan diakumulasikan. Apabila sudah mencapai satu jam, maka akan dikenakan pemotongan gaji. Jelas, Keira Wicaksana?"
"Jelas, Pak."
Nasib... nasib...
***
Keira membolak-balik tubuhnya di atas pembaringan dengan gelisah. Sudah hampir satu jam ia membaringkan tubuh. Tetapi ia belum juga tertidur. Ia melirik ke sebelah kanan ranjang. Kosong. Tempat yang biasa ditiduri oleh Panji itu masih rapi. Sebuah guling sudah terpasang rapi di sana. Tetapi sang penghuni ranjang itu masih belum juga menampakkan batang hidungnya.
Keira melirik jam dinding berbentuk hati di dinding. Pukul dua pagi kurang lima menit. Sebenarnya ia sangat cemas. Ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada Panji. Biasanya ibu mertuanya lah yang akan menelepon Panji kalau ia belum pulang pada jam-jam yang tidak lazim seperti ini. Tetapi saat ini kedua mertuanya sedang berada di luar kota. Mereka berdua mengunjungi Pandu di perkebunan tehnya di Jambi sana. Ibu mertuanya merindukan putra sulungnya yang memang sangat jarang pulang. Ia sendiri hanya pernah bertemu satu kali dengan Pandu. Itu pun terjadi pada satu setengah tahun yang lalu. Saat Pandu menghadiri pernikahannya dengan Panji.
Keira meraih ponsel, ia memutuskan untuk mengirim pesan singkat saja pada Panji. Ia tidak tenang sebelum mengetahui keadaan suaminya.
Mas Panji di mana?
Pesannya masuk. Namun belum dibaca. Keira menunggu lima menit, sepuluh menit, hingga tiga puluh menit pun berlalu begitu saja.
Ting!
Ada notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Keira buru-buru membuka aplikasi obrolannya.
Saya ada urusan di luar.
Keira menghela napas panjang. Hanya jawaban singkat seperti ini yang ia terima setelah semalaman cemas setengah mati.
Mas pulang jam berapa?
Kali ini pesannya langsung dibaca dan sepertinya langsung dibalas juga. Ada tulisan typing di sana.
Saya tidak pulang. Urusan saya masih lama. Jangan chat saya lagi.
Keira membaca balasan pesan singkat Panji tanpa berani untuk membalas lagi. Satu kata yang menggambarkan perasannya saat ini. Sakit hati sendiri. Tapi ya sudahlah. Setidaknya ia tahu kalau suaminya itu dalam keadaan baik-baik saja. Itu saja sudah cukup. Keira menatap langit-langit kamar. Ia benar-benar kehilangan kantuknya sekarang. Tatapannya mengembara hingga membentur photo pernikahannya dengan Panji di dinding kamar. Walaupun mereka berdua terlihat tersenyum di photo itu, tetapi tatapan kedua mata mereka itu hampa. Kosong. Tidak terlihat kebahagiaan sedikitpun di sana.
Keira beringsut dari pembaringan dan menghampiri photo pernikahannya. Entah mengapa malam ini ia rindu sekali pada Panji. Ia ingin melepaskan sedikit beban rindu sendirinya dengan memandangi photo suaminya.
Sampai kapan saya harus menunggu kamu membuka hati untuk saya, Mas? Kata orang waktu akan menyembuhkan segalanya. Tetapi kenapa kamu terus saja memandangi saya dengan penuh kepahitan, Mas? Satu setengah tahun telah berlalu. Apakah itu masih belum cukup, Mas?
Apakah Mas tahu kalau menunggu seseorang yang sebenarnya ada dalam sejangkauan tangan itu, sangat menyakitkan? Selama ini saya selalu menyediakan tangan saya untuk Mas genggam. Tetapi mengapa Mas masih saja mencari tangan lain yang tidak jelas keberadaannya?
Keira merasa matanya berembun. Jatuh cinta sendiri itu memang mengenaskan. Terlebih lagi pihak yang di jatuh cintai tidak pernah mengetahui perasaan kita. Rasa ngenesnya dua kali lipat rasanya. Karena kantuk yang sudah kadung hilang, Keira memutuskan untuk bermain ponsel saja. Ia tengkurap seperti bayi dan mulai berselancar di dunia maya. Posisi seperti ini memang paling nyaman untuk bermain ponsel. Berselancar di dunia maya memang mengasyikkan. Ia suka menghabiskan waktu dengan mengamati kehidupan teman-teman maupun suaminya dengan mengikuti medsos mereka. Biasanya Panji tidak mau menerima permintaan pertemanannya di semua medsosnya. Tetapi sejak ia membuat akun baru dengan mencomot wajah artis yang entah siapa namanya, permintaan pertemannya diterima oleh suaminya. Namanya juga laki-laki. Harus diberi trik-trik khusus baru bisa dikelabuhi.
Ia memulai aksi selancarnya dengan membuka IG. Berkali-kali ia tertawa-tawa sendiri saat melihat akun khusus gambar-gambar lucu. Akun suaminya sepi-sepi saja. Tidak ada postingan baru di sana. Ketika secara tidak sengaja ia menekan story Soraya, hatinya mencelos seketika. Story Soraya memperlihatkan suasana party meriah salah satu club papan atas negeri ini. Bukan clubnya yang menarik perhatiannya. Tetapi laki-laki berkemeja putih yang sedang memeluk mesra pinggang seorang wanita berambut panjanglah, yang membuat jantungnya berdetak kencang.
Keira langsung duduk dari posisi tengkurapnya. Ia kembali memandangi story anak Tante Gina itu dengan seksama. Tidak salah lagi. Laki-laki berkemeja putih itu memang Panji. Ia sangat hapal postur maupun gesture tubuh suaminya. Hanya saja perempuan yang dipeluk erat oleh Panji itu, selalu menyembunyikan wajahnya pada dada bidang suaminya. Ia jadi tidak bisa melihat secara jelas wajahnya.
Keira menutup ponsel dan melemparnya ke sudut ranjang. Air matanya kembali tumpah mengingat bagaimana mesranya suaminya memperlakukan wanita tadi. Hang out di club bersama wanita lain, rupanya urusan suaminya. Hatinya menjerit-jerit tidak terima. Tetapi ia bisa apa? Paling hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya. Paling mentok-mentoknya, berdoa memohon kekuatan untuk bisa menjalani pernikahan tanpa bahtera dan tujuan seperti ini.
Keira menutup wajahnya dengan bantal agar suara tangisnya sedikit teredam. Sakit sekali hati ini, ya Allah. Seperti beribu-ribu sembilu yang mengiris kecil-kecil kepingan hatinya. Kejadian seperti inilah yang kerap kali membuatnya ingin bercerai. Hanya saja ibunya dan Panji selalu saja menghalanginya. Ibunya selalu menekankan nama baik keluarga, dan Panji selalu beralasan belum waktunya. Mungkin Panji sedang menunggu orang yang tepat sebelum menendangnya keluar, apabila wanita impiannya sudah didapat. Selama ini ia sabar karena ia mengira, suatu saat keadaan ini pasti akan berubah. Hanya saja ia tidak menyangka, kalau keadaan seperti ini malah bisa membunuhnya pelan-pelan.
Ia telah salah mencintai seseorang yang tidak mampu ia raih. Ia diiizinkan untuk bertemu setiap hari, bahkan tidur di ranjang yang sama. Namun hatinya terus menahan perih karena menyadari bahwa hati seseorang itu tidak akan pernah ia miliki. Air matanya kembali mengalir diam-diam. Jalan hidupnya memang selalu tidak pernah mudah. Apa pun yang pernah diinginkannya harus selalu ia raih dengan susah payah. Dulu masalah cita, dan kini masalah cinta.
Ia ingat sewaktu Keisha ingin mengikuti kelas modelling dulu. Ibunya langsung mendaftarkannya pada salah satu agensi terkenal pada saat itu juga. Kata ibunya bakat itu memang harus dikembangkan. Dan ia akan selalu mendukung keinginan anak-anaknya. Di saat yang sama, ia ingin mengikuti les piano di sekitar komplek rumahnya. Ibunya menolak dan mengatakan bahwa les-les seperti itu hanya buang-buang uang saja. Ia sampai harus mengumpulkan uang saku selama berbulan-bulan demi bisa mengikuti dua kali pertemuan. Darah boleh sama, wajah juga bisa serupa. Tapi nasib mereka berdua sangat jauh berbeda.
Dalam kesedihan dan keputus asaan, Keira hanya bisa berdoa. Jika di waktu lalu ia meminta kemudahan dalam menjalani hari-harinya, kali ini isi doanya sudah berubah. Ia tidak ingin meminta kemudahan hidup lagi. Tetapi ia memohon agar lebih dikuatkan. Dengan begitu semua kesulitan-kesulitan yang ia hadapi, akan lebih mudah untuk dijalani. Semoga saja kesedihan di malam ini, akan berbuah kebahagiaan di pagi hari. Semoga. Aamiin ya rabbal alamin.
Keira terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut. Sepertinya kemarin malam ia menangis sampai ketiduran. Hanya memejamkan mata beberapa jam, tidak heran kalau sekarang kepalanya seperti dipasangi kitiran. Harap-harap cemas, Keira melirik ke samping kanan tempat tidurnya. Masih serapi semula. Itu artinya sampai pagi ini, Panji belum juga kembali ke rumah. Keira beringsut dari ranjang menuju kamar mandi. Sudah waktunya untuk membersihkan diri. Saat mencuci muka dan menggosok gigi, ia memandangi cermin. Dan penampakannya di sana sangat mengenaskan. Pantulan cermin memperlihatkan seorang gadis kurus dengan kantong mata menghitam. Dengan cepat ia membersihkan diri dan siap-siap bekerja. Ia tidak ingin terlalu lama mengasihani diri sendiri. Apapun yang terjadi, hidup ini memang harus terus berjalan. Siap tidak siap, suka tidak suka, semua harus dijalaninya.Saat ia melangkahkan kaki ke dapur untuk sarapan, suasana terasa begitu sepi. Biasanya pagi hari
"Bercerai? Ibu 'kan sudah berulang kali bilang kalau Ibu tidak setuju dengan keinginan kamu itu? Sudah. Ibu tidak mau membahas masalah itu lagi!" bentak Danti seraya mengibaskan tangan ke udara. Ia kesal karena anak perempuannya ini selalu membahas masalah yang itu-itu saja. Ia sudah mencium bau-bau tidak enak saat anak perempuannya ini tiba-tiba saja menyambanginya. Pasti ada berita tidak enak yang dibawanya. Ternyata firasatnya benar. Putri bodohnya ini meminta dukungannya untuk bercerai."Tapi Keira sudah tidak tahan hidup begini terus, Bu. Semalam Mas Panji tidak pulang. Pada Keira, Mas Panji ngakunya sedang ada urusan penting. Tapi saat Keira melihat story Soraya, Mas Panji malah terlihat sedang bersenang-senang di club dengan seorang perempuan. Mereka saling berpelukan mesra, Bu. Keira... Keira sakit hati, Bu," adu Keira dengan suara terbata-bata."Makanya kamu usaha dong, Ra, biar bisa hamil secepatnya. Panji itu begitu, pa
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam kurang sepuluh menit. Itu artinya sepuluh menit lagishiftmalamnya akan berakhir. Hari ini Robin izin untuk tidak masuk kerja. Ia sedang sibuk menyiapkan sidang skripsinya. Itu artinya ia harus pulang sendiri. Sebenarnya ia bisa saja menghubungi Pak Min, supir keluarga mereka. Hanya saja ia segan harus merepotkan Pak Min pada jam-jam seperti ini. Pak Min itu sudah tua dan sakit-sakitan. Ia tidak tega mengurangi jadwal istirahatnya di luar jam kerja normalnya. Makanya ia memutuskan akan memesan taksionlinesaja. Setelah menukar seragamnya, ia bersiap-siap keluar dan memesan taksionline. Belum sempat mengeluarkan ponsel dari tasnya, sebuah suara cempreng singgah di pendengarannya."Ra, taksionlinelo udah nyampe tuh di parkiran. Beruntung banget ya lo bisa dapetdriverdan mobil grade A begini?" Marlina, perawat satu 
Seminggu telah berlalu dari pembicaraannya dengan Pandu. Tetapi Panji sama sekali belum mengambil sikap apa-apa. Sepertinya ia masih bimbang memberitahukan keinginannya pada kedua orang tuanya. Tetapi Keira tau kalau sebenarnya Panji tengah menerapkan strategi baru. Sekarang Panji telah mengurangi jadwal keluar malamnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengobrol dan membahas masalah pekerjaan dengan sang ayah. Panji sedang berupaya untuk mengambil hati ayahnya.Pandu juga sudah dua minggu penuh ini ada rumah. Biasanya kakak iparnya itu tidak pernah tinggal lama setiap berkunjung ke Jakarta. Paling banter seminggu. Menurut ibu mertuanya, Pandu sedang mengurus kerjasama dengan pabrik pembuat teh instan di sini. Di zaman modern seperti ini membuat teh dengan cara diseduh atau pun dicelup terkadang membuat orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi merasa repot. Karenanya mereka lebih memilih mengkonsumsi teh dalam kemasan instan
Keira menutup kotak perhiasan yang berselimutkan beludru merah dengan hati-hati. Di dalam kotak itu terdapat sepasang anting-anting mutiara Tahiti grade A+ yang sudah diincarnya sejak lama. Ia menabung selama tiga bulan penuh untuk bisa memiliki mutiara laut berwarna hitam berkilauan ini. Mutiara ini ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Beberapa bulan lalu, ibunya pernah bercerita kalau ia sangat menginginkan mutiara berwarna hitam seperti yang dikenakan oleh teman arisannya, Bu Sastro. Saat itu ibunya mengatakan kalau ia menginginkannya karena warnanya yang unik. Ibunya memang telah memiliki anting-anting mutiara sebelumnya. Hanya saja warnanya putih. Keira mencatat keinginan ibunya itu dalam hati dan berjanji bahwa ia akan membelikannya apabila ia mempunyai rezeki berlebih. Dan setelah menabung tiga bulan lamanya, ia bisa juga mewujudkan keinginan ibunya dengan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Kerja kerasnya membuahkan hasil.
"Kamu jangan kurang ajar sama orang tua ya, Ra? Apa maksud kamu menyindir-nyindir Ibu seperti itu?" Ibunya memelototinya. Selama ini ia memang selalu diam setiap kali dipersalahkan. Melihatnya melawan seperti ini, pasti membuat ibunya kesal."Waktu itu 'kan Ibu sama sekali tidak tahu kondisi rumah tangga kamu. Ibu pikir, ada campur tangan orang ketiga dalam rumah tangga kalian. Makanya Ibu ingin agar kita mencari solusi bersama. Tapi ternyata masalahnya bukan di orang lain bukan? Tapi di antara kalian sendiri."Keira tersenyum di antara kabut yang menggelayuti matanya. Ia sedih. Ia sedih bukan karena akan bercerai dari Panji. Ia sudah siap lahir batin untuk itu. Tapi ia sedih karena ibunya begitu kentara membedakan kasih sayangnya. Dari mereka kecil, selalu saja seperti ini. Kerap dijadikan kambing hitam. Hanya karena ia tidak pandai berurai air mata seperti Keisha, maka ia lah yang selalu disalahkan apabila mereka berdua berselis
Keira mendorong brankar dengan tangan gemetar. Sementara Keisha dan ayahnya dengan setengah berlari mengikutinya dari belakang. Ia dan petugas ambulance terus mendorong brankar menuju ruang IGD. Saat brankar masuk ke dalam ruangan, pintu otomatis tertutup. Saat ini tidak dalam masa tugas. Jadi kehadirannya di rumah sakit ini hanya sebagai keluarga dari pasien. Bukan sebagai perawat. Makanya ia tidak berhak masuk ke dalam ruangan IGD dan memberi pertolongan seperti biasanya. Ia berikut ayahnya dan Keisha hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas di depan pintu ruangan."Lo ini kan perawat, Ra. Mana lo kerjanya di rumah sakit ini lagi. Masa lo nggak bisa minta dispensasi apa kek gitu biar kita bisa masuk?" Suara cempreng Keisha memecahkan keheningan di ruang tunggu IGD."Terus kalau kita semua bisa masuk, ibumu bisa langsung sadar, begitu?" Keisha langsung kicep begitu ayahnya bersuara. Bila tidak ada ibunya, Keisha mema
Keira menyusun barang-barang bawaannya ke dalam lemari. Di dalam travelling bag berukuran sedang itu, ia membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh ibunya selama beberapa hari ke depan. Ada beberapa stel pakaian dalam, blus dan celana panjang. Ia juga membawakan handuk kecil, jaket rajut dan juga minyak angin. Barang yang terakhir adalah soulmate ibunya. Ibunya dan minyak angin memang tidak bisa terpisahkan.Ia juga menyusun beberapa makanan yang ia beli di minimarket setempat, di atas meja makan pasien. Ada roti tawar gandum, selai kacang, gula putih dan juga sekotak teh melati. Ia membelinya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ibunya lapar saat tengah malam nanti. Dengan adanya beberapa macam makanan alternatif ini, sedikit banyak bisa mengganjal perut ibunya.Karena diburu waktu, ia sampai melupakan keperluannya sendiri. Sebenarnya ia tadi berniat untuk membawa matras tipis dan sehelai selimut sebagai alas tidurnya. Tetapi
Keira berkali-kali menghembuskan napas lega sesaat keluar dari rumah keluarga Abiyaksa. Beban yang tadinya bertengger di pundaknya mendadak hilang semua. Kekhawatirannya sungguh berlebihan. Om Saka dan Tante Dara ternyata menyambut baik kehadirannya. Mereka berdua malah menanyakan keberadaan Dhira. Bagaimana Keira jadi tidak ingin menangis haru karenanya? Om Saka dan Tante Dara seakan ingin memberitahukan kalau mereka bukan hanya menerimanya sebagai calon menantu. Tetapi juga menerima Dhira sebagai cucu. Selain itu mereka berdua juga mendesak agar hubungannya dan Rasya segera diresmikan saja alias menikah. Mereka ingin agar rumah mereka semarak oleh tangisan cucu-cucu katanya. Perut Keira langsung mulas karenanya. Dhira saja belum genap setahun. Tetapi kedua calon mertuanya ini, ingin agar ia melahirkan banyak cucu. Bagaimana ia tidak ngeri jadinya?"Sekarang kamu lega 'kan? Sudah saya katakan kalau mereka akan menerima kamu dan Dhira dengan tangan terbuka
Empat bulan kemudian."Kamu jangan mondar mandir di depan pintu begitu, Ra. Ibu jadi pusing melihatnya. Kalau Rasya datang, pasti dia akan mengetuk pintu. Sudah, kamu duduk saja di sini," Danti menepuk-nepuk sofa di sampingnya. Ia heran melihat putrinya yang terus hilir mudik seperti setrikaan. Keira meringis malu saat sang ibu menyindir tingkah alaynya. Sejujurnya, ia bukan nervous karena menunggu kedatangan Rasya. Tapi ia nervous karena akan dipertemukan Rasya dengan kedua orang tuanya.Minggu lalu, ia sudah resmi bercerai dengan Panji. Oleh karena itulah, Rasya baru berani membawanya bertemu dengan kedua orang tuanya. Statusnya sekarang sudah jelas. Ia adalah seorang janda. Bukan istri orang lagi. Masalahnya sekarang, ia yang minder. Bayangkan saja. Rasya adalah seorang lelaki bujang. Sementara dirinya hanyalah seorang janda beranak satu. Janda
"Selamat sore rekan-rekan pewarta sekalian. Saya Alrasya Abiyaksa sarjana hukum, dalam hal ini mewakili ibu Keira Wicaksana, ingin meluruskan beberapa hal menyangkut nama baik client saya." Rasya membuka konfrensi pers dengan menempatkan dirinya sebagai pengacara Keira. Saat ini ruang kerjanya yang cukup luas telah ia sulap menjadi tempat konfrensi pers. Di meja panjang telah duduk Om Raga, Keira, dirinya sendiri, Panji, Pandu, Soraya dan juga Irman, kakak kandung almarhumah Irma. Sementara di hadapan mereka, telah berjejer beberapa pewarta dari berbagai media nasional online maupun offline tanah air. Mereka semua berkumpul untuk mendengarkan klarifikasi mengenai video viral menantu keluarga Wicaksana yang disinyalir mempunyai affairs dengan iparnya sendiri. "Sebagai pengacara Ibu Keira, saya ingin menjelaskan beberapa hal. Memang benar laki-laki dan perempuan yang ada dalam vide
Panji menjejalkan pakaian-pakaiannya begitu saja ke dalam koper. Ia sudah tidak mempunyai banyak waktu untuk menyusunnya lagi. Yang paling ia inginkan saat ini adalah secepatnya pergi dari rumah ini. Ia ingin menenangkan dirinya sendiri. Ia memang sudah kalah. Tetapi ia tidak ingin patah. Semoga saja ditempat yang baru nanti, ia bisa menata diri. Ia ingin memulai kehidupan baru dengan semangat baru lagi. Semua yang terjadi di sini, biarlah tertinggal di sini. Ia sudah tidak ingin mengingat-ingatnya lagi.Suara tawa geli keponakannya dan godaan-godaan kedua orang tuanya seolah-olah mengejek nasib sialnya. Apakah ia marah pada mereka semua? Sama sekali tidak. Sungguh ia tidak bisa menyalahkan Praja ataupun kedua orang tuanya yang kesenangan karena menemukan keluarga baru. Ya, keluarga baru. Praja bertemu dengan ayah, kakek, nenek dan ia sendiri sebagai omnya. Sementara kedua orang tuanya menemukan cucu yang baru mereka ketahui. Ia ikut berbahagia untuk merek
Beberapa jam sebelumnya...Panji mengaduk-aduk laci meja kerjanya. Mencari-cari alat pemotong kuku. Kukunya sudah panjang sehingga tidak nyaman saat ia harus mengetik cepat di macbook. Setelah capek membongkar namun ia tidak juga menemukan apa yang ia cari, ia memutuskan akan meminjam pemotong kuku Pandu saja. Abangnya yang selalu teliti dalam menyimpan barang, pasti punya. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamar abangnya, tetapi tidak ada jawaban. Karena pintu kamar tidak di kunci, ia nyelonong masuk saja.Suara percikan air terdengar samar-samar dari arah kamar mandi. Pantas saja abangnya tidak menjawab. Rupanya abangnya sedang mandi. Ia membuka laci tengah meja kerja abangnya. Biasanya abangnya menyimpan pemotong kuku dan pernak pernik lainnya di sana. Prediksinya memang benar. Alat pemotong kuku abangnya tersusun rapi di sana. Bersebelahan dengan ponsel dan dompet abangnya. Abangnya ini memang rapi sekali dalam menyusun
Di sepanjang perjalanan menuju ke LP, Praja terus tertawa-tawa gembira di pangkuan Keira. Sesekali bocah tampan itu mengoceh-ngoceh sambil menjejak-jejakkan kakinya. Meminta berdiri di pangkuan Keira. Setelah berdiri ia akan membalikkan tubuhnya dan menepuk-nepuk pipi Keira. Tertawa-tawa gembira. Keira sekarang tahu kebiasaan Praja. Keponakannya ini senang sekali mengelus-elus wajahnya. Mungkin Praja gembira karena mengira kalau ia adalah mommynya. "Mom... mom... my..." dengan gembira Praja kembali melonjak-lonjak di pangkuannya. Mendengus-dengus dan mengerutkan hidungnya dengan lucu. Salivanya sampai ikut tersembur keluar saat ia menghembus-hembuskan udara dari mulutnya. Sepertinya Praja ingin bermain-main dengannya."Kenapa, sayang? Mau main ya? Nanti ya kita main dengan mommy. Sekarang Praja duduk manis dulu. Lihat tuh, daddy sedang menyetir. Praja jangan mengganggu konsentrasi daddy ya? Pra
Keira berkali-kali melirik Rasya yang sedang menyetir di sampingnya. Mencoba mencari sisa-sisa kemarahan dalam raut wajahnya. Tetapi ia sama sekali tidak mendapatinya. Sikap Rasya biasa saja. Ia malah sempat-sempatnya bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti lagu yang sedang diputar di mobil. Seolah-olah perseteruan mereka kemarin tidak pernah terjadi. Keira jadi penasaran sekali."Kenapa kamu melirik-lirik saya terus? Saya tahu kok kalau ketampanan saya itu valid dan tidak dapat diganggu gugat. Hanya saja saya agak-agak risih kalau dipandangi dengan cara mencuri-curi seperti itu. Tapi kalau mencuri-curi cium sih, ya alhamdullilah sekali kalau kamu sudi," dekik kecil di kedua pipi Rasya muncul saat ia tersenyum lebar. Hah, si manusia jaelangkung ini perasaan dicintai sekali."Bapak kepedean sekali," Keira mencebikkan bibir. Rasya ini memang tingkat kepedeannya level dewa. Namun tak urung ia merasa lega. Sangat lega sekali tepatnya. Ternya
Semalaman Keira tidak bisa memejamkan matanya sepicing pun. Benaknya dipenuhi dengan potongan adegan demi adegan perselisihannya dengan Rasya. Setelah cukup dekat dengan Rasya, ini adalah kali pertama mereka berselisih paham. Dan ternyata rasanya begitu tidak nyaman. Mirip dengan rasa gatal yang tidak bisa ia garuk. Intinya sangat menyiksa! Suara tangisan lirih yang kian lama kian melengking mengalihkan perhatiannya. Dhira sudah bangun rupanya. Keriuhan yang disebabkan terbangunnya malaikat kecilnya ini menyita seluruh perhatiannya. Ia jadi bisa sedikit melupakan kegundahan hatinya."Wah, anak Bunda sudah bangun rupanya. Bangun-bangun kok malah nangis? Mau mimik susu ya?" Keira mengajak Dhira mengobrol. Dan pertanyaannya hanya dijawab dengan suara ocehan khas bayi berusia tiga bulan. Sepertinya Dhira haus dan meminta jatah ASInya. Keira melirik jam dinding. Pukul enam lewat lima menit. Ini memang j
"Sebaiknya kita pindah ke ruang kerja saya saja, Rasya, Keira." Raga merasa tidak akan mudah bagi mereka berdua untuk memperoleh jawaban dari Keira. Pembicaraan mereka pasti akan berlangsung alot mengingat betapa kerasnya sifat Keira. Tanpa banyak bicara Keira dan Rasya mengekori langkah Raga. Ketika tiba di dalam ruang kerjanya, seperti biasa Raga menempati kursi kebesarannya. Sementara Rasya dan Keira lebih memilih duduk di sofa dalam posisi saling berhadap-hadapan. Keira jadi merasa seolah-olah sedang menjalani persidangan sungguhan. Ia terdakwanya, Rasya jaksanya dan papanya hakimnya."Baiklah. Saya sederhanakan saja pertanyaan saya. Ada keperluan apa kamu di apartemen, Pandu?" Rasya mengeja kalimatnya lamat-lamat. Tatapannya sengaja ia fokuskan pada kedua mata indah yang kini terlihat gelisah. Keira menatap ke segala arah, kecuali padanya."Apakah jawabannya ada di plafon rumah dan lukisan kuda yang sedari tadi kamu pandangi, Ra?" sar