Saat Grand Duke berpikir putri Evelina akan segera kembali seperti dirinya semula yang selalu memohon-mohon kasih sayang. Ternyata perkiraan nya salah. Bahkan setelah beberapa hari berlalu, sifat santai Evelina tidak berubah terhadapnya.
"Ada apa denganmu Evelina?" tanya Grand Duke. "Apa maksudmu William? Memangnya aku kenapa?" tanya Evelina balik dengan santainya. "Kau..." Grand Duke terdiam. "Ya?" Karna merasa harga dirinya akan tercoreng jika ia menanyai istrinya. Grand Duke William mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi, dan langsung tertidur dengan alasan lelah. Melihat suaminya tertidur sembari memunggungi dirinya, dari sudut bibirnya Evelina tersenyum kecut. "Kenapa dulu aku tidak menyadari bahwa pria di sampingku ini tidak mencintaiku," batinnya. Keesokan paginya di waktu sarapan. Evelina meminta sesuatu yang sangat mengejutkan sang Grand Duke. Tepat sebelum Grand Duke berangkat ke istana, Evelina mengatakan bahwa ia ingin mengelola salah satu pertambangan yang diserahkan kerajaan Romagna sebagai hadiah kepada wilayah Utara. "Apa maksud dari perkataanmu ini Evelina?" tanya Grand Duke sembari menatap tajam ke arah Evelina. Dalam batinnya Evelina berkata. "Coba lihat mata yang penuh keserakahan itu. Aku hanya ingin mengambil sedikit dari apa yang diberikan ayahku dan dia langsung mengamuk." "Kenapa kau diam?" tanya Grand Duke lagi. "William, aku sangat bosan di rumah. Apa salahnya jika seorang Grand Duchess mengelola pertambangan permata dan menyalurkannya ke toko yang ingin ia bangun dan kelola," sahut Evelina. Mendengar apa yang baru saja dikatakan Evelina. Grand Duke langsung berdiri dari duduknya kemudian dengan acuh tak acuh ia langsung berniat pergi dan menganggap pembicaraan tadi tidak pernah ada. Melihat punggung suaminya yang perlahan menjauh dan mengabaikannya, Evelina berinisiatif memaksa. "William! Berikan tambangnya atau aku akan mengajukan perceraian!" ancam Evelina. Mendengar tentang perceraian keluar dari mulut Evelina. Grand Duke seketika menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Evelina dengan tatapan remeh. "Perceraian?! Lakukan saja apa yang kau ingin lakukan. Tapi aku tidak akan pernah memberikanmu tambang itu," ujar Grand Duke kemudian berlalu pergi. Dengan pikiran Evelina tidak akan berani bercerai dari dirinya. Grand Duke berangkat menuju istana sembari menyeringai. Saat itu Grand Duke tidak tahu, kalau setelah ia pergi ke istana, putri Evelina benar-benar langsung pergi ke kuil untuk meminta surat perceraian dari pendeta. "Anda benar-benar meminta surat perceraian Grand Dhucess?" tanya pendeta yang tampak ragu. Mengingat putri Evelina selalu menempel pada Grand Duke dan mematuhinya seperti boneka kayu. Tentu bukan hal aneh jika Pendeta meragukan apa yang baru saja ia dengar terkait perceraian. "Saya benar-benar ingin mengajukan perceraian pendeta. Jadi, cepat berikan surat cerainya!" tegas Evelina seraya mengulurkan tangannya ke arah Pendeta. Setelah melihat tekad kuat di mata Evelina. Mau tidak mau akhirnya Pendeta menulis surat perceraian untuk putri Evelina kemudian menyerahkannya. "Setelah surat ini ditandatangani oleh Grand Duke, saya akan kembali lagi Pendeta." "Baiklah Grand Dhucess," sahut sang Pendeta. Sepulangnya Grand Duke William dari istana. Ia dikejutkan oleh putri Evelina yang sudah menunggunya dengan menenteng selembar kertas dengan segel kuil di atasnya. "Ini William, tanda tangani surat cerainya," Evelina menyodorkan selembar kertas tadi kepada Grand Duke William. "Apa maksudmu ini Evelina? Apa kau benar-benar ingin bercerai dariku?" tanya Grand Duke dengan raut kesal. "Jika kau tidak memberikanku otoritas atas tambang itu, aku akan bercerai denganmu." "Kau pikir kau bisa bercerai denganku!!! Jangan harap!" dengan kesal meraih lalu merobek lembaran kertas perceraian yang di sodorkan Evelina tadi. "Jika kau merobeknya aku tidak keberatan kembali ke kuil besok untuk memintanya." "Evelina!!!" teriak Grand Duke. "Ada apa?! Aku di depanmu William, kau tidak perlu memanggilku sekencang itu," sahut Evelina dengan wajah datar. Melihat reaksi putri Evelina yang tidak seperti biasanya. Dengan kesal Grand Duke mengacak-acak rambutnya kemudian membuka dasinya. "Baiklah, aku akan memberikanmu surat hak atas tambang itu besok. Jadi jangan lakukan hal konyol lagi." Setelah berkata demikian, Grand Duke berjalan menuju ruang mandi meninggalkan Evelina dengan senyum kemenangan di wajahnya. Dalam batinnya Evelina berkata. "Sudah ku duga kau tidak akan menceraikanku. Kau pasti sedang mengusahakan pelabuhan aswam dengan meminjam nama Ayahku kan! Kali ini tidak akan aku biarkan pelabuhan aswam jatuh ke tanganmu William." Keesokan harinya Grand Duke benar-benar memberikan putri Evelina surat hak atas pertambangan permata. Dan sejak menerima tambang, putri Evelina mulai sibuk mengelola permata dan membuat rancangan perhiasan di toko miliknya sendiri. Melihat putri Evelina yang sibuk, di hati Grand Duke tiba-tiba terasa sebuah debaran kencang. Deg Deg...Deg Deg..Deg Deg.. "Ada apa denganku?" batin Grand Duke. "Apa kau butuh sesuatu William? Dari tadi kau berdiri di sana tanpa berbicara sepatah kata pun," ujar Evelina sembari mengurus beberapa lembaran kertas yamg dikirim tokonya. "Kau terlihat cantik saat bekerja." Mendengar pujian yang dilontarkan Grand Duke William untuk pertama kalinya setelah bertahun tahun mereka menikah. Dengan wajah tercengang putri Evelina menoleh ke arah Grand Duke. "Ada apa? kenapa kau menatapku seperti itu Evelina?" tanya Grand Duke. "Jika saja aku yang dulu mendengar itu, betapa bahagianya aku," gumam Evelina. "Apa kau mengatakan sesuatu?" tanya Grand Duke lagi sembari mengernyitkan keningnya "Tidak, aku sangat sibuk sekarang. Jadi aku tidak punya waktu untuk mendengarmu yang hanya sekedar mengatakan bahwa aku cantik," sahut Evelina sembari tersenyum manis. Setelah mengatakan itu pada Grand Duke suaminya, putri Evelina kembali sibuk menatap lembaran kertas yang berisi rancangan-rancangan perhiasan didepan nya itu. Begitu mata Evelina melihat satu rancangan kalung dengan batu safir sebagai bahan utamanya, ia langsung memanggil Manager toko yang bekerja untuknya. "Isaak!" "Ya Grand Dhucess, apa anda sudah selesai memilih perhiasannya?" tanya Manager yang bernama Isaak. "Ya, aku ingin perhiasan ini diproduksi dalam jumlah banyak," tunjuk Evelina ke arah kalung berbentuk seperti tetesan air dengan batu safir sebagai hiasannya. "Apakah anda yakin untuk memproduksi perhiasan ini dalam jumlah banyak Grand Dhucess?" "Ya, ikuti saja perkataanku." Begitu keputusan Evelina sudah bulat. Manager toko pun pamit undur diri. Setelah semuanya selesai, Evelina dikejutkan oleh keberadaan Grand Duke William yang rupanya masih ada di sana mengamatinya. Meski demikian, Evelina yang tadinya terkejut dengan cepat merubah ekspresinya dan berjalan santai melewati Grand Duke. "Apa kau sudah selesai Evelina?" tanya Grand Duke. "Ya." "Kau sangat ceroboh. Bagaimana bisa kau memerintahkan Manager tokomu untuk memproduksi suatu perhiasan yang baru saja di buat oleh karyawanmu dan itu pun dalam jumlah banyak." Melihat tatapan remeh suaminya ke arah dirinya, dalam hatinya Evelina berkata. "Memangnya apa yang kau tahu. Sebentar lagi, kalung dengan batu safir akan menjadi trend di Utara. Bahkan hal itu akan sampai ke Kekaisaran Romagna." "Kenapa kau diam? Apa sekarang kau baru menyadari betapa ceroboh nya kau!" "Tidak! Aku hanya sedang berpikir, bagaimana bisa kau berbicara seolah aku selalu salah dalam mengambil keputusan. Bahkan di hari aku meminta hak atas pengelolaan tambang permata itu, kau terlihat jelas sangat meragukan ku kan!" Perkataan Evelina barusan sontak membuat Grand Duke terdiam dan membeku. meski Grand Duke tidak merasa ia sudah menghakimi tindakan Evelina, tetapi kata-kata Evelina membuatnya merasa demikian. Di pikiran Grand Duke saat itu, ia berpikir bahwa dirinya memang selalu mengkritik keras terhadap sikap dan Sifat Evelina. Tapi karna harga dirinya yang tinggi, ia pun tetap menyanggah perasaannya itu dan tetap membenarkan dirinya. "Ada apa dengannya?! Kenapa dia berubah?" batin Grand Duke.Keesokan paginya William melupakan apa yang ia bicarakan dengan Putri Evelina kemarin. Dan saat ini ia tengah bersiap-siap berangkat menuju rumah seorang Count yang menawarkannya untuk membeli hak atas pelabuhan Aswam. "Aku akan pergi sekarang," Ujar William. "Ya," Sahut Evelina dengan santai.Melihat Evelina yang bahkan tidak melihat ke arahnya, William mendecak kesal. Setelah itu William berangkat bersama ajudannya ke kediaman Count Estel. Setibanya William di sana, Count Estel langsung keluar untuk menyambutnya. Yang berbeda hari itu adalah, ekspresi Count Estel yang tampak tidak enak. "Ada apa denganmu Count, apa ada masalah?" Tanya William. "Anu, begini Grand Duke. Kemarin ada seorang penguasa baru menawarkan bayaran tinggi untuk pelabuhan Aswam. Jadi kami..""Jadi kalian menjualnya padanya?" Potong William. "Maafkan kami Grand Duke, anda tahu benar situasi saya sekarang sangat darurat dan membutuhkan uang secepat mungkin. Jadi, mau tidak mau saya menjualnya," Jelas Count d
Di siang hari saat Evelina akan berangkat menuju toko perhiasan karna ada urusan mendadak, ia melihat suaminya menggandeng tangan seorang wanita berambut hitam dan bermata merah. Seketika raut wajah Evelina yang tadinya panik berubah menjadi raut tercengang. "Kenapa wanita itu ada disini?" Batin Evelina.Melihat wajah tercengang Evelina, sudut bibir William sedikit terangkat. Ekspresi seperti itulah yang selama ini William harapkan muncul di wajah Evelina setelah berhari-hari ia hanya melihat ekspresi datarnya."Siapa dia?" Tanya Evlina."Isbel, dia adalah rekan kerjaku. Mulai sekarang dia akan tinggal bersama kita di sini.""Kenapa kau membawanya kemari? Dia bisa tinggal di penginapan atau semacamnya. Utara kita ini penuh dengan penginapan bintang lima.""Ya, kau benar soal itu Evelina. Tapi Isbel tidak terbiasa hidup sendiri, dia butuh seseorang bersamanya.""Apakah itu artinya orangnya harus kamu William?"Seketika William tertegun mendengar apa yang baru saja dilontarkan oleh Eve
Saat William mendecak kesal, Evelina tidak sengaja mendengarnya. Dengan kesal Evelina pun menghampiri suaminya itu dan berkata."Apa maksud dari decakan mu itu William?" Dengan acuh tak acuh William menjawab. "Tidak ada." Setelah itu William berbalik pergi mengabaikan tatapan tajam Evelina yang melihat ke arahnya. Melihat sikap William yang mulai berubah tidak seperti biasanya, Evelina menghela nafas pelan. "Huhh~ aku harap semuanya berjalan dengan lancar." Keesokan paginya, William berangkat ke Istana bersama Isbel dengan alasan pekerjaan. Padahal sebenarnya, di Istana saat ini tidak ada yang perlu diurus oleh seorang Grand Duke. "Evelina, aku akan pergi bersama Isbel." "Kemana?" "Ke Istana." "Bukankah hari ini Istana tidak ada pertemuan atau semacamnya." Saat itu William terkejut karna Evelina tahu soal jadwalnya. Dan dengan penuh kecurigaan memenuhi hatinya, ia pun bertanya kepada Evelina seperti bertanya kepada seorang kriminal. "Bagaimana kau tahu soal jadwalku di Istan
Malam harinya setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Isbel, William menghampiri Evelina di ruang kerjanya. Melihat Evelina yang masih bekerja sampai larut malam, William tergerak hatinya menawarkan sebuah bantuan untuk Evelina. "Apakah pekerjaanmu masih banyak?" Tanya William yang datang menghampiri. "Tidak, ini hampir selesai." "Apa kau butuh sesuatu?" Dengan tatapan bingung Evelina menjawab."Tidak perlu, aku akan membereskan sisanya segera. Kau tunggu saja aku di kamar, William." Melihat betapa mandirinya Evelina, ada perasaan tertusuk di hati William. Tapi ia mengabaikan hal itu. "Evelina, ada yang ingin aku bicarakan." "Um..silahkan, katakan saja William," Sahut Evelina tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang sedang ia kerjakan. "Baron Luis akan mengadakan pesta besok malam." "Kapan kita akan pergi?" Tanya Evelina. Dengan ragu-ragu William menjawab."Tapi Evelina, aku akan pergi bersama Isbel." Seketi
Setelah beberapa hari telah berlalu sejak kejadian di pesta Baron Luis. Sejak itu juga, Evelina jadi lebih sering bertemu dengan Lyrius karna urusan pekerjaan. William yang mengetahui itu tak henti-hentinya mengecam Evelina bahkan tak segan-segan berkata kasar. "Sebenarnya ada hubungan apa kau dengan Kaisar dari Barat itu!" teriak William. "Dia rekan bisnisku," jawab Evelina. "Rekan bisnis! Kau selalu bertemu dengannya setiap hari, apa begitu rekan bisnis sesungguhnya!" bantah William. "Lalu bagaimana dengan rekan kerjamu. Aku hanya bertemu dengan Kaisar beberapa kali, sedangkan kau bertemu rekan kerjamu setiap hari. Terlebih lagi, dia tinggal satu atap dengan kita." "Itu hal yang berbeda!" "Katakan padaku apa perbedaannya?" tanya Evelina dengan raut datar. Melihat betapa datarnya tatapan Evelina saat melihat dirinya. William lagi-lagi merasakan denyutan sakit di dadanya. Perasaan kesal karna terus dibantah membuat William akhirnya meledak d
Setelah Evelina kembali dari pesta, ia mendapati pelayan pribadinya yang bernama Liliana tengah menunggunya di depan pintu mansion. Melihat raut wajah Liliana yang tampak gelisah, Evelina yang baru saja turun dari kereta kuda langsung menghampirinya. "Ada apa Liliana?" tanya Evelina. "Grand Ducess, saya melihat Grand Duke dan Lady Isbel berpelukan selepas anda pergi tadi," ujar Liliana seraya menunduk dalam. "Aneh, harusnya kejadian terungkapnya perselingkuhan antara Isbel dan William terjadi dua tahun lagi, dan hal itu pertama kali diketahui olehku. Tapi kenapa ini terjadi sekarang? Bukankah ini terlalu cepat?!" batin Evelina. "Saya bersumpah demi nyawa saya Grand Dhucess, saya tidak berbohong," ujar Liliana dengan air mata yang mulai menggenang. Melihat Liliana yang mulai menangis, dengan lembut Evelina mengelus kepala Liliana untuk menenangkannya. "Tenanglah Liliana, aku terdiam karna memikirkan sesuatu, bukan karna aku tidak percaya padamu.'
Di ruang tamu dengan interior yang mewah, Evelina mengajak ayahnya untuk duduk dan menikmati teh bersama. Dalam percakapan mereka, Evelina tidak ingin membahas hal berat seperti soal surat yang tidak sampai, atau keluhan yang selama ini ia pendam. Yang dibahas Evelina hanyalah cerita-cerita kecil seperti bagaimana ia merindukan Romagna dan ibunya, atau memikirkan betapa ia ingin pergi ke Romagna sesekali. "Lalu kenapa kau tidak datang saja ke Romagna Nak?" tanya sang Raja. "Ayah, sebagai Grand Dhucess, aku di sini memiliki pekerjaan yang cukup banyak. Apa lagi sekarang aku sudah membuka usaha tokoku sendiri." "Kau berbisnis lagi?! Ayah ingat bagaimana di masa lajang mu, kau sangat suka mengunjungi Madam Aina untuk membahas bisnis permata. Ayah tidak menyangka kau akan mengembangkan bakatmu di Utara." Mengingat soal Madam Aina yang selalu membantunya mempelajari dunia bisnis Kerajaan, Evelina langsung menggenggam erat kedua tangan ayahnya dan b
setelah mendorong William yang akan menyentuhnya, Evelina yang sedari tadi tercengang membuat William ketakutan. Dengan tangan yang penuh keraguan, William kembali bangkit dan mencoba memegang Evelina. Tepat sebelum tangan William menyentuhnya, Evelina langsung memejamkan matanya seolah ia tidak ingin disentuh. Dan hal itu membuat William spontan menarik tangannya. "Ehem...maafkan aku Evelina, aku rasa kau sangat terkejut. Walau bagaimanapun selama ini aku tidak pernah menyentuhmu," ujar William. Setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh William, Evelina akhirnya tersadar bahwa dirinya baru saja mendorong suaminya menjauh. "Maafkan aku William. Sepertinya karna terlalu lelah bekerja sepanjang hari, tubuhku tanpa sadar merespon penolakan," sahut Evelina dengan kepala tertunduk. "Ya, tidak masalah. Tidurlah! Aku akan ke ruang kerjaku sekarang." Setelah William pergi dari kamar, Evelina menatap tangannya yang gemetar. Bayangan
Kembali ke saat ini... "Jadi....alasan saya tidak bisa mengingat anda, karna anda menggunakan sihir pada saya?" tanya Evelina. "Ya, maafkan aku soal hal itu Evelina. Aku melakukannya semata-mata demi menjaga semuanya tetap aman." "Lalu bagaimana anda berhasil merebut tahta, Yang Mulia?" "Aku kembali ke Barat saat aku sudah berusia lima belas tahun. Saat itu Selir tertinggi sudah melahirkan. Sayangnya, anak itu adalah seorang anak perempuan. Awalnya Selir tertinggi tidak mempermasalahkannya, tapi karna aku yang kembali setelah dikabarkan mati, hal itulah yang memicu kemarahan Selir tertinggi." "Karna ia melahirkan seorang anak perempuan?" tanya Evelina. "Ya. Tidak seperti Romagna yang bisa menaikkan pewaris baik itu perempuan atau pun lelaki tergantung performanya. Di Barat, pewaris perempuan bisa naik tahta, hanya jika tidak ada pewaris laki-laki yang akan menjadi Kaisar. Tapi tekad ingin menjadi penguasa membuat Selir tertinggi gelap mata sampai ia melakukan pemberontakan
Setelah diselamatkan oleh Evelina terakhir kali, selama empat hari Lyrius tinggal di Istana Putri tanpa diketahui keberadaannya oleh Kaisar dan Permaisuri Romagna. "Apa namamu Lilius?" tanya Evelina. "Lyrius, namaku Lyrius bukan Lilius," jelas Lyrius untuk yang kesekian kalinya. "Humph! Itu kalna yidahku pendek. Jadi aku kecuyitan menyebut namamu," bantah Evelina sambil menggembungkan pipinya dan memalingkan wajahnya. "Hahaha begitu ya. Maafkan aku Putri kecil," bujuk Lyrius. "Baikyah. Kalna aku baik hati, aku akan memaafkanmu." Saat itu, Evelina pikir ia bisa menyembunyikan Lyrius di Istananya selamanya. Namun sayangnya harapan itu sirna. Di hari keenam Lyrius tinggal di Istana Evelina, akhirnya Kaisar mengetahui keberadaan anak lelaki asing yang saat ini tengah disembunyikan oleh putri kecilnya. Tak ingin membuang waktu lagi, sang Kais
Cerita Kaisar.... dua puluh tahun lalu saa Kaisar baru berusia lima tahun, sang Permaisuri menghembuskan nafas terakhirnya. Raja yang sangat bersedih atas kepergian Permaisuri yang ia cintai terlarut dalam kesedihan sampai tidak memperhatikan Selir tertingginya menyiksa sang Pangeran Mahkota. "Karna Yang Mulia sedang sakit, pemerintahan Kekaisaran ada di tanganku," ujar Selir tertinggi. "Baik Yang Mulia Selir," ucap para mentri dan pejabat Kekaisaran yang sudah disuap oleh sang Selir. Selama pemerintahan berada di bawah Kuasa sang Selir, Pangeran Mahkota banyak menerima perlakuan yang tidak layak baik dari para pejabat sampai para pelayan. Pangeran pikir penderitaannya itu hanya akan berlangsung beberapa waktu saja, oleh sebab itu sang Pangeran terus bersabar dan dengan tenang ia menerima semua perlakuan lancang Pelayan padanya. Sampai Selir tertinggi berbuat hal melewati batas dengan mengirim sang Pangeran Mahkota yang baru ber
Keesokan harinya, sidang pun dimulai. Di ruang sidang yang penuh dengan bangsawan-bangsawan kelas tinggi, sekali lagi Evelina dan William berdiri berhadapan dalam rangka sidang perceraian. Tapi tidak seperti sebelumnya dimana William berusaha mempertahankan Evelina dan menimbulkan banyak perdebatan di depan hakim. Kali ini, sidang berjalan dengan sangat lancar dan cepat karna William langsung menyetujui perceraian yang diajukan oleh Evelina. "Karna Grand Duke William Northern setuju dengan perceraian, maka mulai saat ini, hubungan Grand Duke William Northern dan Grand Dhucess Evelina Northern telah terputus." Tok... Tok... Tok... Begitu hakim menotok palu, senyum indah terukir dengan sangat jelas di wajah Evelina. Dan William yang melihat itu sontak tertegun. Awalnya William merasa sedih dan sedikit kesal karna ia harus melepaskan Evelina tepat setelah ia menyadari per
Kembali ke saat ini... Setelah William mendengar detail cerita Evelina, dengan kepala tertunduk ia meminta maaf kepada Evelina. Sayangnya, hati Evelina sudah mati saat itu. Dan dengan acuh tak acuh Evelina berbalik pergi meninggalkan William dengan kata maafnya. "Aku tahu semua ini sudah terlambat," gumam William. Karna Evelina sudah pergi, pelayan mansion pun menuntun William menuju pintu keluar karna William berniat pergi. Setelah itu, William langsung kembali ke mansion Northern untuk memperbaiki suasana hatinya. "Selamat datang kembali Grand Duke," sambut para pelayan Northern. "Siapkan secangkir kopi untukku dan antarkan ke ruang kerjaku!" titah William. "Baik, Grand Duke." baru saja William akan mendinginkan kepalanya di ruang kerjanya, ia malah bertemu dengan alasan pusingnya, yaitu Isbel. Mengingat dirinya tidak dalam emosi yang stabil untuk menghadapi Isbel, William pun melangkah cepat melewati Isbel dan langsung masuk ke ruang kerjanya tanpa menyapa Isbel terlebih da
Flashback saat Evelina diculik... "Ini sudah dua hari, kemana orang yang menculikku itu. Dia tidak pernah telrihat lagi," ujar Evelina dalam posisi terikat. Dengan wajah yang sudah sangat pucat dan tubuh yang melemas, Evelina merasa berkunang-kunang dan perutnya terasa sangat lapar. Saking laparnya, Evelina mulai merasa dunia di sekitarnya berputar. Dan tepat sebelum Evelina jatuh pingsan, sosok pria yang tampak mengkhawatirkannya muncul sambil berlari kencang ke arahnya. "Lyrius," gumam Evelina. Saat itu juga, Evelina kehilangan kesadarannya. Dan begitu ia membuka mata, ia sudah berada di sebuah kamar mewah dengan pelayan-pelayan berdiri di sekitarnya. Saat itu, nampak raut senang para pelayan menyambut siumannya Evelina kemudian salah satu di antara mereka terlihat buru-buru keluar dari kamar. Dengan tubuh yang masih terasa berat, Evelina pun mencoba bangun dari berbaringnya. "Ukhh! Kepalaku sakit sekali," ujar Evelina. "Grand Dhucess, silahkan makan dulu. Anda sekarang
Malam harinya saat william akan beristirahat di kamarnya, ia mendapat tamu tak diundang yang tiba-tiba muncul di balkonnya. "Siapa?!" ujar William yang dengan sigap memegang pedang di tangannya. "Aku Agam, orang yang menculik Grand Dhucess," ujar Agam yang tak tanggung-tanggung langsung memperkenalkan namanya. "Menculik siapa?!" tanya William dengan raut tercengang. "Ceraikan Grand Dhucess dan nikahi simpananmu itu Si*lan. Kalau kau membuat wanita baik-baik seperti Grand Dhucess tersiksa. Aku bersumpah akan membunuhmu lebih dulu baru Gundikmu yang penipu itu," ujar Agam yang membuat William sukses terkejut untuk yang ke dua kalinya. Setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan, Agam berbalik pergi dan hendak melompat lewat balkon. Tepat sebelum Agam melompat ke bawah balkon, William sudah lebih dulu menodongkan pedangnya ke arah leher Agam guna menghentikannya. "Katakan padaku lebih banyak soal yang kau katakan tadi," ujar William. "Kenapa aku harus," sahut Agam dengan w
Beberapa hari telah berlalu sejak hilangnya Evelina di tokonya. Saat itu di mansion Northern, tidak ada seorang pun yang mengkhawatirkan Evelina kecuali pelayan yang selalu ada di sampingnya yaitu, Liliana. "Grand Duke! Tolong cari Grand Dhucess. Saya yakin tuduhan pelayan Nona Isbel tidak benar. Jika memang Grand Dhucess menculik Nona Isbel, lalu kemana dia pergi!" protes Liliana dengan segenap keberaniannya. "Mana ku tahu kemana Grand Dhucess mu pergi. Bisa saja dia melarikan diri setelah kedoknya ketahuan kan," sahut William dengan penuh kekesalan. "Grand Dhucess tidak mungkin melakukan hal serendah ini! Semua ini pasti hanya kebohongan pelayan itu!!" tunjuk Liliana ke arah Ema pelayan pribadi Isbel. Saat itu, dengan aktingnya yang sempurna Ema bertekuk lutut di depan William dengan bersimbah air mata. Sekali lagi ia menjual cerita sedihnya soal dirinya yang berhasil kabur tetapi tidak dengan Nona yang ia layani yaitu Isbel. "Hiks...hiks hamba pantas mati Grand Duke. Hamba pan
Keesokan harinya Isbel diam-diam keluar dari mansion setelah William pergi ke istana. Tujuan Isbel saat itu adalah, Guild pembunuh bayaran yang letaknya jauh dari pusat kota dan ada diantara gang-gang yang dihuni oleh para rakyat jelata yang terbuang. "Nona, bukankah ini berbahaya?" ujar Ema sambil memegang erat jubah yang dikenakan Isbel untuk menutupi dirinya. "Tenang saja. Aku dengar para Assassin disini melindungi klien mereka yang datang untuk bertransaksi dengan mereka," sahut Isbel. Saat itu seorang pengemis jalanan bangkit dari duduknya dan memegang jubah Isbel."Berikan uangmu Nona kaya, dilihat dari jubah mewah yang kau kenakan, kau pasti seorang bangsawan." "Ukh! Dia bau sekali," ujar Isbel sambil mengipas hidungnya. Marah karna Isbel mengatainya bau, pengemis itu langsung menarik kuat jubah Isbel sampai Isbel tertarik dan jatuh terduduk. Saat itulah pengemis tersebut mencekik Isbel. "Matilah kau!!! Perempuan kaya