"Akh... ampuun Mas... ampun, apa salah Di Mas." Bimo yang baru pulang dari kantor langsung menarik rambut Diandra yang sedang tertidur di kamarnya, menyeretnya keluar lalu melemparkan tubuhnya kelantai hingga bersimpuh di kaki sang Ibu.
"Minta maaf sama Mama, seenaknya kamu tidur tiduran dikamar sementara Mamaku yang harus membersihkan rumah dan mengerjakan semuanya!"
Diandra menatap wajah Ibu Mertuanya, ada senyum licik terurai disana.
Dalam hati Diandra membatin, "Mas Bimo andai engkau tau yang sebenarnya. Ah, sudahlah tak mungkin juga dia lebih percaya kepadaku daripada ibunya." Gegas Diandra mencium tangan ibu mertuanya itu.
"Maafkan Di ma, Di ketiduran," ujarnya seraya menghapus air mata.
"Bangun Di, sudah nggak apa apa, Bimo kamu juga jangan keterlaluan sama Diandra, Mama nggak apa apa kok. Sudah menjadi kewajiban Mama juga bukan, karena mama cuma numpang disini." Sang ibu memasang mimik muka sedih.
"Ma, ini rumah Bimo, Mama nggak numpang disini. Ini rumah Mama juga, sudah Mama skrng istirahat yaa biarkan Diandra yang mengerjakan semuanya."
Bimo melotot kepada Diandra.
"Sekali lagi saya lihat Mama yang mengerjakan semuanya, awas kamu Di!" ancam Bimo kepada istrinya itu seraya berlalu.
Diandra hanya diam mematung, padahal ia hanya tertidur setengah jam saja. Dari pagi setelah kepergian Bimo ke kantor, dia mengerjakan semua pekerjaan rumah tak henti-hentinya, menyapu mengepel mencuci baju orang serumah termasuk baju kak Sita dan kedua anaknya. Diandra merasa tidak enak badan hingga akhirnya tertidur sebentar, tapi malah seperti ini jadinya.
"Ah kenapa Mas Bimo menjadi terlalu kejam sekarang, Mas Bimo berubah semenjak ibu dan kak Sita masuk dalam kehidupan rumah tangga kami."
Gegas Diandra membersihkan rumah, membereskan mainan kedua anak Kak Sita, Khenan yang usianya baru menginjak lima tahun dan si cantik Riana tiga tahun.
Sehari-harinya bahkan dia yang mengasuh kedua anak ini, tetapi itu tak menjadi masalah baginya, karena itulah yang menjadi hiburan Diandra satu satunya dirumah ini. Melihat tingkah lucu dan menggemaskan mereka berdua.
"Ya Allah kapan aku bisa hamil," batinnya.
***
Malam harinya, Diandra semakin merasa tak enak badan, demam tinggi dan menggigau.
Bimo yg melihatnya menjadi tak tega, menyesal telah memarahinya dan berbuat kasar.
"Ah... Kenapa aku selalu tak bisa menahan emosiku," batin Bimo.
"Di, bangun sayang. Kita ke Dokter ya, badan kamu panas sekali," ujar Mas Bimo panik, sembari meraba kening Diandra cemas dan khawatir itu yang dirasakannya.
Gegas dia turun ke bawah menuju kamar Ibunya, pasti Ibunya lebih mengerti dan faham apa yang mesti dilakukan. Dengan panik Bimo mengetuk kamar sang Ibu.
"Ma... Mama... tolong Bimo Ma!" ujarnya dengan sedikit berteriak.
Mama terbangun dari tidurnya seraya membuka pintu.
"Iya Bim, ada apa," Mama ikutan panik.
"Diandraa Ma... Badannya panas tinggi dan menggigau. Bimo takut terjadi sesuatu padanya Ma."
Mama Bimo terlihat sedikit lega, tadinya dia fikir takut terjadi apa apa pada Bimo, ternyata hanya karena Diandra yang demam. Huhh...
"Berlebihan sekali Bimo ini," batinnya namun dia ikut berpura-pura panik, sembari gegas menuju kamar anak dan menantunya.
***
"Sudah nggak perlu dibawa ke rumah sakit yaa, Diandra hanya butuh istirahat mungkin dia kecapekan tadi sore. Kamu juga tidak boleh terlalu kejam padanya Bim," ujar sang mama sembari memeras handuk kecil dan menempelkan kembali ke kening Diandra.
Hati Bimo tenang sekali melihat ini semua. Dia berfikir bahwa Ibunya begitu amat menyayangi menantunya itu. Padahal...
"Makasih ya Ma. Mama segalanya buat Bimo."
Bimo memeluk Ibunya.
"Tak akan aku biarkan Diandra merebut Bimo dariku, perhatiannya kasih sayangnya apalagi uangnya. Oh tidak aku tak dapat membayangkannya. Bimo, dia anakku! Aku yang membesarkannya dengan darah, air mata dan tetes keringatku sendiri .Sedang kau, hanya orang baru dalam hidupnya Diandra!" batin sang Ibu.
****
"Ma Bimo berangkat kerja dulu ya, tolong jaga Diandra ya Ma. Mama juga jangan cape cape melakukan pekerjaan rumah, atau apa perlu Bimo carikan pembantu?" tanya Bimo sembari mencium tangan sang Mama.
"Ohh itu, nggak perlu Bim. Biarin nanti Mama sm Kakak kamu yang ngerjain." Elak Mama cepat, "ahh untuk apa pembantu jika si Diandra itu bisa dijadikan babu," batinnya.
"Baik Ma, tapi mama janji jangan cape cape yaa.. Bimo berangkat ma."
"iyaa sayang."
***
"Heh... Diandra bangun!"
Mama Bimo mengguncang kuat pundak Diandra yang sedang tertidur.
"Enak ya, semalaman saya di suruh ngurusin kamu sampai nggak tidur. Sekarang kamu beresin itu dapur cucian piring sm cucian baju," perintah Mama, dengan mata yang melotot. Sungguh membuat Diandra takut tak punya nyali sama sekali untuk melawan. Percuma membantah pun yang ada Mama akan semakin kasar dan menyiksanya.
"Iya Ma, Diandra segera turun kebawa." Diandra beranjak dari tempat tidur, padahal kepalanya masih terasa begitu berat.
***
"Mamaaaa... sakit kepala dede," teriak Riana kecil menangis, dia terjatuh ke belakang dan kepalanya terbentur lantai, rupanya dia terpeleset menginjak lantai yang sedang di pel Diandra. Gegas Diandra menggendok Riana membelainya dan menciuminya, tangganya gemetar ketakutan. Takut akan kemarahan Mama mertuanya dan Kak Sita.
"Ah... Kenapa Kak Sita tak menjaga anaknya, padahal dari tadi dia hanya bermain ponsel," batin Diandra.
"Maafkan tante sayang, maafin tante ya." Tak henti Diandra menciumi pucuk kepala Riana, dan mengusap belakang kepalanya. Tangis bocah itu mereda.
Benar saja Mama dan Kak Sita datang dengan mata melotot. Dan dengan kasar mama merebut Riana kecil dari gendongan Diandra, sedang kak Sita dengan cepat menarik rambut Diandra.
"Kamu nggak ikhlas ya ngerjainnya ini semua, hah! ngepel aja nggak beres. Bisa-bisanya Riana jatuh, oohh apa kamu sengaja!" teriak Kak Sita, tangan satu kiri menjambak rambut Diandra, serta tangan sebelah kanan menampar pipi Diandra.
Diandra menangis sembari memohon maaf.
Bukannya mereda Kak Sita semakin marah dan mendorong tubuh Diandra hingga terbentur kaca meja makan.
Diandra pingsang darah mengucur dari dahinya.
Kak Sita kaget dan panik, bukan... bukan karena iba pada Diandra melainkan hanya takut pada adiknya Bimo. Sita tau, walaupun Bimo terkadang kasar pada adik iparny ini, tapi Bimo sangatlah mencintai istrinya. Kekasaran Bimo pada Diandra hanyalah karena disebabkan tipu daya mama dan dirinya.
"Ma, Mama, tolong Sita Ma!" teriak Sita dengan panik. Sang Mama menurunkan Riana dari gendongannya dan menaruhnya disova. Setengah berlari gegas menuju ruang makan menghampiri Sita.
"Sita... apa-apaan kamu hah. kamu mau membunuh dia," Mama yg terkejut ikut ikutan panik.
"Sita nggak sengaja Ma, Sita dorong terus kena meja, gimana ini Ma nanti ketahuan sama Bimo," teriak Sita panik.
"Hadu, kamu benar-benar cari masalah lagian, jangan sampai Bimo tau ini. Bisa-bisa dia akan membenci kamu, mengusir kamu dari rumah ini, mau kamu!" ujar Mama jengkel.
"Iih... mama kok ngomong gitu sih, amit-amit Sita nggak mau balik lagi ke kampung terus tinggal di rumah tua peninggalan Papa itu lagi!" jawab Sita jengkel.
"Ya sudah kamu bantu Mama, angkat diandra kita obatin lukanya."
"Nggak dibawa ke rumah sakit aja Ma, atau klinik diujung komplek," Sita memberi saran pada sang Mama.
"Ngapain, kamu itu ya... nggak mikir apa hah, buang buang duit kita aja."
***
Hmm... gimana ya keadaan Diandra, dan apakah Bimo akan tau kejadian yang sebenarnya?
Pukul 17.30 wib, Bimo yang baru pulang dari kantor kaget melihat keadaan istrinya, pipinya nampak memar biru dan dahinya diperban. "Sayang kamu kenapa?'' tanya Bimo panik seraya menggenggam erat jemari istrinya. "i... itu Mas Di...." Diandra bingung hendak menjawab apa. "Diandra tadi jatuh di kamar mandi Bimo, katanya mau wudhu padahal sudah Mama bilang Mama temanin tapi Di nya nggak mau, itu sudah Mama obatin kok, udah kamu jangan terlalu khawatir ya. Kamu pasti cape baru pulang kerja," sela mama cepat. Mama nampak begitu perhatian. "Makasih ya Ma, Mama udah begitu baik pada Diandra," ujar Bimo haru. "Iya Bim Mama sayang sama Diandra seperti Mama sayang sama kamu." Kak Sita datang duduk disamping Diandra yang terbaring, "gimana Di, udah enakan?" ujarnya lembut. "U... udaah Kak, makasih ya Kak." Diandra memaksa tersenyum di depan Bimo. Diandra merasakan sakit sekali hatinya, "Salah apa aku kepada Ma
"Sayang, Mas punya kejutan buat kamu, liat deh apa yang Mas bawa." Bimo yang baru pulang kerja nampak sumringah, seraya menunjukkan sesuatu pada Diandra. "Sini, duduk. Di buka ya." Diandra membelalakkan mata, terkejut tak percaya. "Mas, ini cantik sekali." Ujarnya terkagum-kagum melihatnya. Sebuah kalung emas berbandul liontin. "Mas pakai kan ya." Bimo memasangkan kalung tersebut dileher jenjang istrinya, seraya mencium kening istrinya. "Maafin Mas ya Di, selama kita menikah nggak pernah bisa ngasih apa-apa sama kamu." Ujar Bimo lirih. "Mas Bimo ngomong apa sih, makasih yaa Mas, ehmm...." Belum selesai Diandra berbicara tiba-tiba Kak Sita datang. "Bagus ya Bim, kemarin Kakak pinjam uang untuk modal usaha Mas Dion kamu bilang nggak ada, hari ini tiba-tiba bisa beliin kalung buat istri kamu." Kak Sita yang baru datang langsung menghampiri Bimo dan Diandra diruang tengah. "Kamu itu lebi
"Mas Di ngerasa nggak enak sama Mama sama Kak Sita." ujar Diandra, ada rasa cemas dan khawatir dalam hati. Takut kebencian Mama dan Kak Sita membuat kamu menjadi. "Di, mas malu sama kamu, selama ini kan belum beliin kamu macem macem pernah.. Ohya Mas juga punya kejutan satu lagi, buat istri tersayang Mas. Bagaimana klo kita pulang ke rumah Orang Tua kamu, Mas ambil cuti 3 hari." Bimo tampak antusias sekali. Mata Diandra berbinar, "Mas kamu serius...?"
Byurrr... Kak Sita mengambil air yang digunakan Diandra untuk mengepel lantai, lalu mengguyurnya ke tubuh Diandra dengan air kotor tersebut. Diandra nampak terkejut dan gelagapan. Bukanny iba kak Sita malah tertawa sinis. "Kenapa kamu! mau marah hah... berani sm aku." Kak Sita berkacak pinggang. "Enak ya habis dibeliin kalung, terus diajak pulang jalan jalan." Ujarnya sinis nampak sekali penuh dengan kebencian. "Kak, Di buat salah apa lagi sama Kakak." Diandra mulai terisak. Air pel an mengguyur seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya kedinginan. "Mau tau salah kamu apa, baiklah! aku benci kamu nikah sama Bimo. Aku benci kamu menjadi istri Bimo, ngerti kamu!" Ujar Kak Sita dengan berteriak. "Tapi Kak, apa salah Di jadi istri mas Bimo. Mas Bimo sayang sama Di, dan Di juga sayang sama mas Bimo." Jawab Diandra pelan. Sungguh dia sudah tidak ada tenaga untuk sekedar menjawab kak Sita. Sudah terlalu letih tub
"Di ini minum tehnya dulu terus sarapan, kamu kan cape tuh habis jemurin pakaian," ujar mama dengan lembut. Pagi ini tak seperti biasanya mama sampai membuatkan teh dan menyuruh Diandra sarapan, biasany Mama dan kak Sita tak pernah memberikannya sarapan sebelum semua pekerjaan beres, dan itu menjelang makan siang. "I..iyaa ma, makasih Ma." Diandra tersenyum. Entahlah apa maunya mama kali ini pikir Diandra. "Hoam..." tak sadar Diandra menguap. "Duh kenapa jadi ngantuk banget ya, apa karena habis makan," batin Diandra "Kenapa kamu Di, ngantuk?" Mama nampak memperhatikan Diandra. "Nggak kok Ma. Makasih ya Ma, udah buatin teh dan sarapan buat Di," ujar Di sembari terus menguap. "Iya, sudah sana kamu istirahat dulu dikamar." "Tapi ma kerjaan Di belum selesai" "Udah ga usah dipikirin."
"Diandra...bangun! Bimo mengguncang bahu istrinya itu dengan sedikit kencang, sungguh benar-benar emosi rasanya melihat tingkah Diandra kali ini. "Semalam tiba-tiba saja meminta pindah dari rumah ini, entah apa alasannya. Sepertinya kamu memang nggak mau tinggal bersama Mama dan Kak Sita. Padahal Mama dan Kakak ku tak pernah jahat padamu... ada apa dengan kamu Diandra!" batin Bimo "Diandra bangun!" kali ini suara Bimo meninggi, karena melihat Diandra hanya menggeliat. "Mas... Mas Bimo udah pulang." Diandra yang baru bangun nampak kaget melihat suaminya sudah didepan matany Dia mengucek matanya dan menguap beberapa kali. "Perasaan baru tidur sebentar kok taunya sudah sore aja," Diandra menggumam sendiri Bimo hanya memandang istrinya itu dengan pandangan tak suka "Kamu tidur dari jam berapa memangnya?" tanya Bimo sinis
Pulang kerja, lagi dan lagi Bimo melihat pemandangan seperti kemarin. Diandra hanya tidur dan tidur dikamar. Tak bisa lagi mengendalikan emosinya Bimo membangunkan Diandra dengan suara baritonnya."Diandra bangun kamu, Suami pulang kerja bukannya dilayani malah enak enakan tidur, kamu fikir Ibu dan Kakakku tinggal disini buat jadi pembantu kamu,hah!" ujar Bimo setengah berteriak.Diandra terbangun dan kaget, kepalanya nampak berat sekali seluruh tubuhnya terasa nyeri."Ahh keterlaluan sekali kak Sita, nggak aku nggak mau terus terusan diperlakukan semena-mena lagi seperti ini," batin Diandra.Tanpa sadar Diandra menangis, entah kali ini rasany sudah cukup kesabarannya. Selalu di perlakukan dengan buruk oleh Ipar dan Mertua.Bimo yang kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun, tiba-tiba kaget melihat muka istrinya itu penuh memar. Dia nampak begitu terkejut dan khawatir
Minggu pagi, Bimo mengajak Mama dan Kakaknya juga Diandra berkumpul diruang tengah. Semalaman Bimo tidak bisa tidur karena mendengar semua pengakuan Diandra. Entah siapa yang harus dipercayanya, dan pada siapa dia harus berpihak. "Tapi aku harus mengungkap kebenarannya," batin Bimo. Sita yang sudah tau maksud dan tujuan Bimo, mendahului berbicara. "Pasti istri kamu semalam udah ngadu yang macam-macam kan Bim, sama kamu?" Kak Sita tersenyum sinis ke arah Diandara. "Sudah aku duga! istri kamu ini pasti akan cari muka sama kamu," ujar Kak Sita menatap Diandra dengany penuh kebencian "Kamu mau tau alasannya, kenapa Kaka sampai bisa menghajar istri kamu ini. Pertama dia udah nuduh kakak yang ambil kalungnya, padahal jelas-jelas kalung itu ada dilehernya, dan Kakak nggak terima dong, dia yang menampar Kakak duluan ya Kakak bales lah," Diandra terke