"Apa?!" Rhea berkacak pinggang dan menatap Hansa dengan pandangan melotot, meminta penjelasan.
"Kita tidak akan bercerai." Jelas Hansa dalam nada kalemnya yang biasa.
Jawaban Hansa yang terlihat tenang dan santai semakin mengobarkan amarah artis itu. "Ha?!" Ia berkelakar. "Sangat lucu Hansa Adiwinata. Sangat lucu." Dia mengejek.
Dia yakin laki-laki itu hanya membual dan mempermainkannya.
Bedebah brengsek!
"Aku tidak bercanda, istriku sayang." Hansa bersedekap dada dan memandang Rhea dengan pandangan geli.
"Jangan memanggilku seperti itu." Perintah Rhea.
"Tapi kamu memang istriku." Hansa menggodanya. Dia tidak tahan untuk itu. Dia ingin sekali memeluknya tetapi Hansa yakin jika dia melakukannya ia hanya akan mendapat tendangan mentah.
"Hansa!" Tangan Rhea menggebrak meja. Mengesampingkan rasa berdenyut sakit di telapak tangannya, dia menghirup napas panjang dan menghembuskannya secara pelan-pelan, mencoba untuk mengontrol emosinya. "Dengarkan aku. Pernikahan ini bersifat pura-pura. Aku dan kamu-" dia menunjuk Hansa. "- hanya bersandiwara di depan publik jika dibutuhkan. Setelah satu tahun, kita akan bercerai, hidup kembali ke dunianya masing-masing." Katanya dengan penuh tekanan.
Hansa menggelengkan kepalanya. "Tidak, ini bukan pernikahan pura-pura. Aku bersumpah di depan Tuhan, begitu juga kamu." Ekspresinya berubah menjadi serius.
"Istri- Rhea, " panggilnya dalam. Mengalah mengenai nama panggilan istrinya dibawah tatapan tajamnya. "Kenapa kita tidak mencobanya? Aku, kamu, menjadi kita." Ia bertanya.
Ditatap seperti itu, Rhea menjadi salah tingkah. Dia memalingkan wajahnya, melihat ke lain arah selain menatap Hansa dan berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya yang tiba-tiba menjalar. "Kita akan bercerai, jika kamu menolak, aku bisa menuntutmu."
Dia tidak siap untuk hubungan baru. Hatinya masih berdarah darah karena pengkhianatan Rangga. Dia tidak ingin jatuh ke lubang yang sama. Ya, Rhea mencoba untuk antipati terhadap cinta.
Hansa menghela nafas. Wajahnya tertunduk ketika mendengar jawaban Rhea yang masih bersikukuh. Tangannya saling bertaut di atas meja.
"Baik." Dia akhirnya bersuara setelah keheningan yang mengerikan.
Rhea tersenyum penuh kemenangan.
"Tapi aku punya syarat." Hansa cepat-cepat menambahkan.
Senyum diwajah Rhea surut.
"Kita akan menjalani pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya selama dua tahun-" Dia menekankan kata 'sebenarnya'. "- dua tahun dan jika kita memang tidak cocok, aku akan menandatangani surat cerai yang kamu sodorkan."
Rhea bingung. Benar benar bingung. Sebenarnya dia bahkan tidak mengira akan terjadi perdebatan sore ini mengenai masa depan pernikahan mereka. Mereka berdua seharusnya tahu bahwa ini hanyalah pernikahan berkepentingan. Dia terselamatkan dari rasa malu dari gagal nikah dan Hansa sebaliknya mendapat istri terkenal yang bisa dia pamerkan ke kolega koleganya. Dia tidak mengerti kenapa Hansa begitu ngotot untuk mencoba pernikahan sungguhan. Jika Hansa ingin 'itu' dia bisa mendapatkannya dari sembarang wanita, Rhea yakin akan ada banyak model, artis atau siapapun yang mau tidur dengan Hansa.
"Tapi kenapa?!" Rhea bertanya, frustasi dengan kondisi ini.
"Karena aku mencintaimu." Jawab Hansa.
Rhea membeku. Dia mengerutkan dahinya seketika setelah mendengar jawaban Hansa. Rhea pikir dia sudah sinting. Apa tadi katanya? Dia mencintainya? Lelucon macam apa itu? Rhea benar-benar tidak menyangka pemimpin perusahaan Prisma adalah orang yang punya humor.
Rhea tertawa. Menertawainya lebih jelasnya. "Cinta? Permisi Hansa, apakah kita sudah saling kenal sebelumnya? Jangan bilang kamu jatuh cinta padaku pada pandangan pertama."
"Jika iya?"
Tawa Rhea berhenti. "Benarkah?" Dia beringsut maju, mendekat kearah Hansa untuk meneliti apakah laki-laki itu masih bisa mempertahankan leluconnya.
"Setuju atau tidak bisa bercerai selamanya?" Hansa menawarkan. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Rhea dan kembali ke topik serius.
Rhea menatapnya. Entah kenapa dia seperti dijebak. Otaknya berpacu. Melihat sifat Hansa yang kukuh untuk enggan bercerai dan pasti memiliki pengacara handal dibelakangnya, penawaran pertama lebih aman. Rhea bergidik, memikirkan harus hidup selamanya menjadi istri Hansa hingga ia tua atau disuruh untuk melahirkan anak-anaknya. Pikiran itu sangat menakutkan. Daripada menjalani masa tua dengan suami dalam hubungan platonis, lebih baik Rhea hidup sendiri saja.
"Baik. Dua tahun." Dia memutuskan. Rhea sangsi dia bisa jatuh cinta dengan Hansa dalam waktu dua tahun. Dua tahun itu singkat, Hansa akan sibuk dengan pekerjaannya dan dia sibuk dengan jadwal syuting, lalu tidak terasa dua tahun berlalu dan dia akhirnya bisa lepas dari jeratan Hansa.
"Aku senang." Hansa berterus terang. "Besok kita akan menemui keluargamu lalu kamu bisa tinggal di tempatku." Lanjutnya.
"Kenapa aku harus tinggal di tempatmu?" Rhea menolak.
"Rhea, kamu sudah setuju bahwa pernikahan ini nyata. Tidak ada suami istri yang hidup terpisah." Hansa dengan sabar menjelaskan. "Lagipula, kau tidak ingin ini menjadi topik gosip kan?" Dia menyinggung status selebritinya.
Penjelasannya masuk akal. Dia telah membuat headline berita dari pernikahannya dengan Hansa. Jika di masa depan ada sesuatu, Rhea tidak bisa membayangkan apa yang para jurnalis akan tulis tentang mereka.
"Baik." Ia dengan enggan menyetujui.
"Diskusi selesai. Aku akan membuat surat perjanjian untuk ini. Dua tahun." Hansa menyimpulkan.
Rhea dengan berat hati dan penuh ketidakpuasan mengangguk.
***
Ketika Hansa selesai mandi, dia melihat istrinya sedang duduk bersila di kursi dan tengah memakan stroberi dengan serampangan. Itu menggemaskan ketika pipinya menggembung karena memakan dua tiga buah sekaligus.
Sadar telah dipandangi, Rhea berhenti makan dan menatapnya dalam pandangan sebal.
"Bisa pakai handuk nggak sih? Lantainya basah." Cercanya.
Hansa mengangkat handuk yang tersampir di pundaknya. Kemudian tangannya dengan sengaja mengusap rambutnya yang basah, menyebabkan tetesan air jatuh ke lantai marmer yang dingin.
"Bisa pakaikan?"
Pertanyaannya di jawab dengan pelototan tajam. Hansa terkekeh lalu dengan santai mengeringkan rambutnya dan duduk di pinggir ranjang.
"Bagaimana keluargamu?" Ia membuat topik bicara.
Sama seperti pada umumnya, memikirkan untuk bertemu mertua barunya di kediamannya besok membuat Hansa gugup. Dia tidak mengenal Theodorus dan Christina. Bincang-bincang singkat kemarin membuatnya tahu bahwa mereka berdua adalah orang tua yang baik. Hansa bersyukur saat mereka mengijinkan dia untuk menikahi putrinya.
"Sebenarnya aku penasaran apa yang kamu bicarakan dengan mereka sehingga mengijinkanmu menikahiku." Rhea membalas.
"Hmm... Rahasia?" Jawabnya.
Sebuah stroberi melayang kearahnya, tepat mengenai bahu kirinya sebelum tergeletak di atas kasur. Hansa mengambilnya dan memakannya sambil menahan tawa.
"Lemparan bagus." Pujinya.Rhea melemparinya lagi. Kali ini Hansa berhasil menangkapnya dari udara.
"Katakan padaku, makanan, minuman, bunga, permainan, apapun yang mereka sukai." Pintanya.Rhea harus menahan tawa saat Hansa dengan sengaja memakan stroberi sambil berpose selayaknya model. Dia mendengus sebagai gantinya. Siapa yang mengira pria yang terkenal dingin dan kejam bisa menjadi kekanakan seperti ini? Media memang tidak bisa dipercaya dalam mengetahui karakter profil seseorang.
Rhea berjalan mendekat sambil membawa parsel stroberinya. Dia meletakkannya di atas nakas lalu berbaring menyandar di atas ranjang dan mengeluarkan ponselnya.
"Kamu ingin aku membantumu membuat persepsi bagus untuk orang tuaku? Seolah aku akan menjawabnya." Gerutunya sebal.
Ini adalah situasi yang canggung. Rhea ingin merutuki kebodohannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar mandi. Bukan, dia menyalahkan makanan pedas yang tadi malam ia makan. Bukan, ia lebih suka menyalahkan Hansa. Ya, dia lah yang bersalah dalam menciptakan adegan yang penuh kecanggungan ini. Mereka saling berpandangan. Wajah panik Rhea dan wajah kebingungan Hansa yang masih tidak mengerti keadaan. "Mesum!" Ia menyalak. Hansa segera tersadar dan sebelum botol sampo itu mendarat ke kepalanya, dia menutup kembali pintu kamar mandi secepat tangannya bisa. Pipi Rhea memerah meski dia tidak mandi uap hari ini. Sial! Hari paginya yang sempurna harus dihancurkan oleh kejadian memalukan. Ia mendengar gumaman dari balik pintu. Rhea mengerang kesal. Tuhan! Kenapa laki-laki itu masih berdiri di depan kamar mandi? Hal pertama yang ia lihat setelah membuka pintu kamar mandi adalah sosok Hansa yang berdiri didepannya. Tunggu, kenapa pipinya
Ibunya meninggalkannya sendirian. Rhea menyukai sifatnya yang penuh perhatian, tahu bahwa dia butuh waktu sendiri di kamarnya, tempat yang pernah menjadi tempat dia menghabiskan sebagian besar waktu di masa anak-anak hinggga remaja.Dia melihat-lihat sekelilingnya dan tatapannya berakhir di meja belajarnya. Kamarnya tidak berubah, bahkan letak penempatan deretan pulpennya yang ia atur sesuai warna tetap berbaris rapi di raknya.Rhea menyunggingkan senyum dan duduk di kursi belajarnya. Tidak ada debu yang melapisi furnitur telah memberikan jawaban bahwa kamarnya telah rutin dibersihkan secara berkala. Ia menyenderkan kepalanya ke alas meja, merasakan nostalgia.Rhea remaja selalu berteman dengan meja belajarnya. Tidak mengenal waktu dalam belajar dan menggambar hingga tangannya pegal dan sempat kram. Ia juga membaca naskah-naskah perannya di awal karirnya disini. Mengingat semua itu membuatnya menyesalkan diri karena dia jarang pulang ke rumah, pulang ke ka
"Sudah sampai." Rhea membuka pintu mobil dan turun secepat yang ia bisa. Gara-gara masih memikirkan kejadian memalukan itu, dia bahkan tidak menyadari bahwa mobil telah memasuki area rumah Hansa sebelum akhirnya mobil mereka berhenti tepat didepan rumah berwarna biru dengan empat pilar putih yang menjulang. Dalam sekali lihat, kediaman rumah Hansa lebih besar dari rumah keluarganya. Tetapi bangunan itu sendiri tampak kuno dan membosankan seperti pemiliknya. Khas bangunan rumah mewah biasa tanpa ada sisi unik seperti yang dimiliki rumahnya. Rhea melirik Hansa. Suaminya itu tengah berdialog dengan wanita paruh baya yang Rhea tebak dia adalah kepala pelayan rumah. Sembari menunggu obrolan mereka selesai, Rhea mencoba melihat-lihat teras depan. "Rhea sayang," Hansa memanggil dalam nada lembut. Kepala pelayan dan beberapa pelayan lainnya dibelakangnya yang mendengar panggilan itu terkejut bukan main mendengar bosnya berbicara lemb
Segalanya tampak vivid. Dia mengintip dari balik jendela kereta kudanya hanya untuk menemukan deretan pohon yang berjejer disepanjang perjalanan yang terlihat tiada ujungnya. Matahari telah tenggelam, hanya menyisakan semburat jingga yang terlihat dari sela-sela batang pohon yang setiap saat tampak semakin berubah menjadi kelabu menyeramkan. Suara-suara hewan penghuni hutan mulai terdengar. Dimulai dari bunyi jangkrik hingga burung gagak yang bertengger diantara rating pohon. Dia mulai menyesali keputusannya untuk memulai perjalanan di siang hari sehingga harus membelah rimba hutan saat malam. Melakukan perjalanan di malam hari sangat riskan dan rawan. Menyusuri hutan yang sebulan lalu sempat terkenal karena penjambretan dan sarang penyamun tentu berada di diatas level yang berbeda. Seperti bunuh diri atau sengaja masuk mencari petaka. Dia sendiri tahu itu. Selain ancaman dari gerombolan bandit dia juga harus mewaspadai serangan hewan buas yang bisa tiba-tiba muncul
Rhea mendengar suara Mia di belakang. Bisik-bisik antar pelayan langsung menyebar, Rhea bisa menangkap apa yang mereka bicarakan adalah betapa selesai Rhea sekarang dan dia akan segera diusir Hansa.Rhea tidak ambil pusing, dia menatap kepingan-kepingan vas yang berceceran di antara meja dan lantai, bercampur dengan darah Karna. Vas itu memang terlihat unik, tapi itu hanya sebuah vas. Tidak seperti Rhea, Karna sangat ketakutan melihat apa yang telah ia lakukan. Dia ingat dulu ada salah satu pelayan yang secara tidak sengaja menggores bagian leher vas hingga meninggalkan bekas dan Hansa langsung memecat pelayan yang malang itu. Menunjukkan bahwa Hansa sangat tidak menoleransi orang-orang yang merusakkan barang peinggalan orangtuanya dan sekarang dia memecahkan satu. Secara teknis dia tidak sengaja melakukannya dan itu karena Rhea. Ya, salahkan Rhea saja! Rhea masih acuh tak acuh meski orang-orang disekelilingnya gempar hanya karena sebuah vas yang hancur. D
"Lihat, dia memberikan aku kuasa penuh atas rumah ini." Rhea bersolek penuh kemenangan. Karna tersenyum kecut, lalu menggelandang pergi.Para pelayan saling berkomunikasi dalam diam. Tampaknya berita yang beredar di sudut-sudut rumah tentang majikannya sangat mencintai Rhea itu benar. Para pelayan berusia muda diam-diam iri dengan si aktris yang berhasil menaklukkan seorang Hansa Adiwinata."Jadi, aku menginginkan semua pegawai di rumah ini untuk berkumpul satu jam kemudian. Diluar." Perintahnya.Mereka mengangguk.Rhea menatap Mia yang masih berdiri di sudut. "Kau," tunjuknya. "Jika kau begitu tidak punya kesibukan hingga selalu kesini, kau bisa mulai menulis surat lamaranmu."Dia berdiri dan menepuk-nepuk piyamanya dalam rangka untuk meluruskan."Bersihkan kekacauan ini."Pada akhirnya dia memanggil Rani dan Sinta untuk memindahkan pakaian di kopernya ke lemari. Itu juga membuat Rhea baru sadar kalau lemari pakaian
"Atau... Cinta dari kehidupan sebelumnya?"Hansa menegang ditempatnya. Dia selalu berpikir bahwa sepupunya orang yang berpikiran pendek tetapi tampaknya dia salah. Sepupunya gila."Sekarang kau mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal." Ia membalas."Memang tidak masuk akal!" Karna menyetujui. "Tapi menikahi Rhea juga langkah yang tidak masuk akal!" Pungkasnya.Sekarang setelah diucapkan, Karna merasa ucapannya memang keterlaluan. "Sudahlah, kamu tampaknya memang sedang di mabuk cinta."Dia beranjak berdiri untuk pergi, tapi sebelumnya dia memberi nasehat, "Hanya mau mengingatkan, hati-hati dengan cinta, karena deritanya tiada akhir."Mungkin Rhea entah bagaimana bisa menaklukkan hati baja Hansa. Mungkin, Hansa memang entah karena eror di otaknya atau tekanan pekerjaan sehingga menjadi rada sinting sehingga jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Rhea yang memakai gaun pengantin. Semua kemungkinan itu tetap tidak mengubah bahwa Hans
"Berhenti disini."Meski bingung, Jeremy menghentikan mobilnya. Dia selalu memarkir mobilnya tepat di depan rumah Hansa untuk mengantar jemput Tuannya itu. Tapi dia tetap mematuhi perintah yang diucapkan Tuannya meski akhir-akhir ini banyak permintaan aneh.Hansa segera keluar dan menyuruh Jeremy memakirkan mobilnya ke tempat biasa. Bukan tanpa alasan dia meminta turun disini. Dia melihat istrinya tengah bermain dengan anjingnya dan Hansa berniat untuk langsung menemuinya.Dia melepaskan jasnya dan melampirkannya ke tangan kirinya. Semakin dia dekat dengan mereka, dia bisa mulai mendengar tawa kecil Rhea yang tengah bersenang-senang melempar boneka tulang untuk diambil anjingnya."Bersenang-senang?" Ia menghampiri.Rhea menoleh kearahnya, "Little White Sangat pintar." Beritahunya.Little White?Anjing itu menginterupsi mereka dengan menempel ke kaki Rhea dan menjatuhkan mainannya. Menatapnya dengan ekor bergoyang-goyang, meminta
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac
Laksita memberitahunya kabar. Kabar yang membuat dia langsung menebaskan pedangnya ke kumpulan bambu didepannya saking inginnya untuk membunuh seseorang. Tidak peduli dia tengah dilihat oleh pasukannya dibelakangnya.Mereka telah memenangkan pertarungan berdarah selama lima bulan sejak dia diutus memimpin wilayah barat. Arya telah mengerahkan seluruh kemampuan mengatur strateginya untuk menaklukkan pasukan koalisi tiga kadipaten paling barat yang ternyata lebih tangguh dari prediksinya. Lalu apa yang dia dapatkan? Hukuman mati dari raja menantinya di ibukota dengan tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan bersama Sekar."Tenang Arya, kami disini berada disisimu." Ucap salah satu senopatinya yang segera diangguki yang lain.Namun itu tak menyurutkan kemarahan Arya yang ditujukan kepada rajanya."Bagaimana keadaan permaisuri?" Tanyanya kepada Laksita yang memang tidak ikut dengannya ke perang terakhir.
Sekar jelas-jelas sangat terkejut dan tersinggung dengan tuduhan yang Ayushita arahkan kepadanya. Bagaimana tidak? Dia tidak peduli dan sama sekali tidak ikut campur dengan kehamilan Ayushita sejak awal. Jika bukan karena adat pun dia tak akan mengunjungi selir itu. Kemarin pun dia datang hanya untuk kunjungan singkat. Kegilaan apa yang tengah Ayushita miliki hingga berani menuduhnya seperti itu?"Jaga ucapanmu selir Ayushita. Kau tahu sendiri aku tidak pernah berhubungan denganmu selain kemarin, itupun kau tahu sendiri aku melakukan apa di rumahmu." Balasnya dengan penuh penekanan.Tuduhan semacam ini hanya akan memunculkan rumor yang semakin menyudutkannya."Sebelum kedatanganmu, bayiku sehat-sehat saja. Tapi gara-gara kamu, aku harus kehilangan anakku!" Balas Ayushita histeris. Dia masih menangis terisak dengan tangan memegangi perutnya. Disampingnya seorang dayangnya tengah mencoba menenangkannya."Yang Mulia, kamu harus bersik
Bulan-bulan berlalu seperti lintasan sekejap mata. Kediaman Sekar masih tertutup dan tampak terlihat dingin dibanding rumah-rumah lainnya. Dia lebih suka tinggal di pendopo belakang rumahnya sambil menyesap teh dan melihat senja berakhir.Hubungannya dengan Ayudhipa masih renggang, sesekali dia menerima pria itu datang dan bermalam di rumahnya tapi hubungan mereka tidak sebagus sebelum mereka menikah.Hari ini dia akan menemui salah satu selir. Kehamilan selir Ayushita telah berusia lima bulan dan sesuai adat istiadat, sang permaisuri harus mengunjunginya dan memberi berkat ke bayi itu. Karena sesuai legalitas, setiap anak yang dilahirkan selir akan menjadi milik permaisuri dan anak itu akan memanggil permaisuri dengan sebutan 'ibunda'.Sekar memakai pakaian resminya yang berwarna merah. Dia naik tandu untuk pergi ke kediaman selir yang dituju dengan sepuluh dayang dan kasimnya yang mengikuti dari belakang."Salam Kanjeng Ratu." Serempak