Kevin adalah bencana nomor satu.
Rhea tidak mengerti kenapa orang tua dan adiknya menganggap dia imut. Oke, dia memang imut, tetapi itu sebelum dia memulai mengeluarkan kata-kata puitisnya yang berdarah di setiap langkah yang Rhea buat. Jujur saja, pemujaan yang berlebihan membuat Rhea terkadang bertanya-tanya sendiri sisi mana dari dirinya yang berhasil membuat pria itu tergila-gila padanya. Serius, pasti ada semacam neuron yang error di otaknya.
"Ya Kevin?" Rhea memanggil ketika tidak ada suara yang terdengar.
"Harusnya aku yang ada disana." Kevin membalas dengan nada serak. Tidak memungkiri dia habis menangis ketika melihat berita dari resor yang ia sewa.
Rhea tidak membalas. Ia sedikit memiliki simpati untuk Kevin. Dia terdengar sangat nelangsa di telepon. Sebanyak kejengkelannya terhadap pro player itu, memiliki Kevin sebagai suami lebih bagus dibanding Hansa. Setidaknya dia mengenal Kevin dan Kevin sangat mencintainya. Seperti yang kata-kata bijak ucapkan, lebih baik dicintai daripada mencintai.
"Ini salahku... " Kevin memulai. "Bisakah ini di reset ulang?"
Rhea memutar bola matanya. "Kau pikir ini game?" Semprotnya.
Kevin tak bersuara lagi. Setelah lima menit penuh keheningan dari kedua sisi, Rhea memutuskan untuk menutupnya secara sepihak. Dia harap bocah itu segera move on dan mengejar gadis malang lain yang tahan dengan sifatnya.
"Kasihan nian bocah itu." Komentar Kay dengan nada dramatis.
"Lebih baik membuat semuanya jelas." Gerutu Rhea. Dia memakan dua buah stroberi secara langsung.
"Oh ya, aku hampir lupa." Kay merogoh sesuatu dari dalam tas ranselnya yang sejak tadi teracuhkan. "Karena kau tidak pensiun, aku akan menghadiahkan ini sebagai hadiah pernikahan."
Ada lima proposal yang diletakkan di atas meja. Dua disisi kiri dan lainnya diletakkan di sisi kanan. Kiri untuk proyek yang akan berlangsundi waktu berbulan bulan yang akan datang, kanan untuk proyek yang akan segera syuting bulan ini. Tebal rata-rata dari mereka sekitar 20 halaman per buah karena hanya berupa konsep awal dan karakter beserta cuplikan adegan krusial dari tokoh yang ditawarkan. melihat mereka semua segera menumbuhkan minat Rhea.
"Itu hanya konsep awal. Pak Bertha ingin kau memilih dua untuk proyek tahun ini. Tiga jika nanti ada tawaran menarik, tetapi untuk sekarang hanya ini." Kay menyodorkan proposal itu kearah Rhea yang segera mengambil satu yang paling atas di tumpukan kiri dan membacanya.
"Ari Wijaya?" Rhea menyeringai.
Ari Wijaya adalah sutradara film sekaligus penulis naskah kondang yang karyanya selalu memenangkan penghargaan bergengsi. Dia pemain lama di dunia hiburan dan banyak artis yang ingin berkerja dengannya, tak terkecuali Rhea.
Kay mengangguk meski dia membuat wajah cemberut. "Aku membacanya sekilas dan dia secara terang terangan ingin kamu memainkan tokoh yang kontroversial."
Judul sementara adalah 'Bulan Dalam Gelas' , setelah membaca sinopsis singkatnya, Rhea segera masuk ke penokohan tokoh yang diminta untuk ia perankan. Seperti biasa, dia bukan pemain utama, tokoh yang ditawarkan bernama Natasha, seorang pekerja seks komersial yang berhasil merayu tokoh utama pria dengan pesonanya tetapi akhirnya tokoh utama pria itu tersadar dan meninggalkan Nath untuk kembali bersama kekasihnya, pemain utama wanita. Nath yang patah hati membuat surat untuk tokoh utama wanita lalu bunuh diri.
Rhea tidak masalah berperan seperti itu, hanya saja keterangan adegan spesifiknya berhasil membuatnya bergerak tidak nyaman di kursi.
"Aku akan menahannya terlebih dahulu." Dia akhirnya memutuskan setelah melakukan pertimbangan.
"Aku tahu ini dari penulis terkenal, tetapi kuharap kamu menolaknya." Kay menyuarakan pendapatnya.
Rhea mengambil naskah lain. Lima menit kemudian meletakkannya kembali tanpa berkomentar apapun dan langsung mengambil naskah ke tiga.
Matanya melebar tertarik hanya dengan membaca judulnya. Setelah membukanya, senyumannya muncul.
"Aku akan memilih ini."
Dia memberikan naskah itu kepada Kay. Asistennya menyeringai terhadap pilihannya.
"Ken Umang huh?" Dia menyebut peran yang akan Rhea mainkan.
Dua jam kemudian mereka habiskan untuk membaca naskah awal dari drama yang Rhea pilih dan menganalisis adegan-adegan penting dari perannya. Kay bahkan telah menghubungi bosnya untuk memberitahu hal ini dan meminta untuk segera mengirim naskah lengkap.
Jam tiga sore, Kay pamit pulang dan Rhea segera kembali ke bisnis terpentingnya. Membuat perjanjian.
***
Rhea duduk di kursi dengan gestur bersedekap dada. Matanya tertokus pada layar laptopnya untuk mengulas sekali lagi semua yang ia tuliskan. Setelah berpikir matang-matang, hanya ada lima peraturan pada akhirnya. Ia melirik jam di dasbor layar sisi kanannya dan menunjukkan pukul lima kurang lima menit.
Hansa pulang.
Secara mengejutkan dia pulang tepat pada pukul lima sesuai perkataannya. Hal pertama yang ia lihat setelah membuka pintu adalah sosok Rhea yang tengah duduk di kursinya dan menatapnya dengan pandangan tajam seperti biasa.
"Kuberi waktu sepuluh menit untuk bersiap."
"Bersiap untuk apa?" Hansa melirik kearah laptop istrinya yang menyala dan ingatan ucapan Rhea tadi pagi. "Oh." Dia mengangguk.
"Beri aku emailmu. Aku ingin mengirimkan dokumen yang harus kau setujui." Rhea memulai tanpa basa-basi setelah Hansa duduk tepat didepannya.
Setelah dipikir-pikir, Rhea tidak memiliki kontak Hansa. Dia tidak tahu nomor ponsel Hansa, email atau apapun yang bisa dihubungi. Mereka benar-benar asing satu sama lain.
"Simpan nomorku juga." Hansa menyerahkan ponselnya ke pada Rhea yang menerimanya dengan canggung.
Setelah mengembalikan ponselnya dan mengirimkan file. Rhea menegakkan tubuhnya untuk memulai presentasinya.
Hansa mengerutkan keningnya ketika membaca klausa pertama.
1. Dilarang untuk mencampuri urusan pribadi kedua belah pihak. Termasuk barang dan kepemilikan pribadi.
2. Dilarang memaksakan kontak seksual tanpa persetujuan pihak lain.
3. Selama dalam hubungan pernikahan, kedua belah pihak dilarang untuk berhubungan terang-terangan dengan pihak lain demi reputasi masing-masing.
4. Kedua belah pihak setuju untuk mengakhiri pernikahan setelah satu tahun dari sekarang atau paling lama lima tahun.
5. Perjanjian ini tidak boleh diketahui orang lain selain kedua belah pihak dan pengacara.
Pernyataan pertama masih bisa diterima, begitu pula kedua dan ke tiga. Tetapi ketika dia membaca klausa ke empat, Hansa memutuskan untuk meletakkan ponselnya dan menatap tepat kearah Rhea yang menatapnya dengan penuh harap.
Rhea harap-harap cemas ditempatnya saat dahi Hansa berkerut. Dia tidak boleh lupa bahwa pria didepannya ini adalah pemimpin perusahaan besar yang pastinya dibutuhkan keahlian untuk itu. Dia bukan pria yang bisa ia remehkan. Dilihat dari sisi lain, menatap Hansa yang tengah serius membaca memberikan kesan baru untuknya. Dengan kemeja standar putihnya yang lengannya digulung hingga ke siku dan dasi yang terlihat miring di tempat membuat Rhea seakan melihat karakter fiksi yang keluar dari novel yang ia pernah baca.
Lupakan saja, Rhea menghilangkan pikiran konyolnya. Dia tidak berniat untuk jatuh cinta dengan Hansa. Laki-laki yang memiliki uang, kedudukan, dan ketampanan dalam satu paket adalah tipe yang harus dia jauhi.
"Aku menolak."
Dua kata itu berhasil membangkitkan kemarahan dan kejengkelan Rhea.
"Yang mana?!" Suaranya naik satu oktaf dari nada biasanya dan sedikit membentak.
"Nomor 4."
Rhea membacanya. Bukankah sudah jelas bahwa mereka akan berpisah pada akhirnya? Apa yang salah dari itu?
"Mari berpura-pura menikah selama satu tahun lalu berpisah dengan baik-baik." Rhea mengatakannya dengan langsung.
Hansa menatap klausa tersebut dan tersenyum manis kepadanya. "Cerai? Jangan bermimpi wanita, kau akan menjadi istriku selamanya."
"Apa?!" Rhea berkacak pinggang dan menatap Hansa dengan pandangan melotot, meminta penjelasan."Kita tidak akan bercerai." Jelas Hansa dalam nada kalemnya yang biasa.Jawaban Hansa yang terlihat tenang dan santai semakin mengobarkan amarah artis itu. "Ha?!" Ia berkelakar. "Sangat lucu Hansa Adiwinata. Sangat lucu." Dia mengejek.Dia yakin laki-laki itu hanya membual dan mempermainkannya.Bedebah brengsek!"Aku tidak bercanda, istriku sayang." Hansa bersedekap dada dan memandang Rhea dengan pandangan geli."Jangan memanggilku seperti itu." Perintah Rhea."Tapi kamu memang istriku." Hansa menggodanya. Dia tidak tahan untuk itu. Dia ingin sekali memeluknya tetapi Hansa yakin jika dia melakukannya ia hanya akan mendapat tendangan mentah."Hansa!" Tangan Rhea menggebrak meja. Mengesampingkan rasa berdenyut sakit di telapak tangannya, dia menghirup napas panjang dan menghembuskannya secara pelan-pelan, menco
Ini adalah situasi yang canggung. Rhea ingin merutuki kebodohannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar mandi. Bukan, dia menyalahkan makanan pedas yang tadi malam ia makan. Bukan, ia lebih suka menyalahkan Hansa. Ya, dia lah yang bersalah dalam menciptakan adegan yang penuh kecanggungan ini. Mereka saling berpandangan. Wajah panik Rhea dan wajah kebingungan Hansa yang masih tidak mengerti keadaan. "Mesum!" Ia menyalak. Hansa segera tersadar dan sebelum botol sampo itu mendarat ke kepalanya, dia menutup kembali pintu kamar mandi secepat tangannya bisa. Pipi Rhea memerah meski dia tidak mandi uap hari ini. Sial! Hari paginya yang sempurna harus dihancurkan oleh kejadian memalukan. Ia mendengar gumaman dari balik pintu. Rhea mengerang kesal. Tuhan! Kenapa laki-laki itu masih berdiri di depan kamar mandi? Hal pertama yang ia lihat setelah membuka pintu kamar mandi adalah sosok Hansa yang berdiri didepannya. Tunggu, kenapa pipinya
Ibunya meninggalkannya sendirian. Rhea menyukai sifatnya yang penuh perhatian, tahu bahwa dia butuh waktu sendiri di kamarnya, tempat yang pernah menjadi tempat dia menghabiskan sebagian besar waktu di masa anak-anak hinggga remaja.Dia melihat-lihat sekelilingnya dan tatapannya berakhir di meja belajarnya. Kamarnya tidak berubah, bahkan letak penempatan deretan pulpennya yang ia atur sesuai warna tetap berbaris rapi di raknya.Rhea menyunggingkan senyum dan duduk di kursi belajarnya. Tidak ada debu yang melapisi furnitur telah memberikan jawaban bahwa kamarnya telah rutin dibersihkan secara berkala. Ia menyenderkan kepalanya ke alas meja, merasakan nostalgia.Rhea remaja selalu berteman dengan meja belajarnya. Tidak mengenal waktu dalam belajar dan menggambar hingga tangannya pegal dan sempat kram. Ia juga membaca naskah-naskah perannya di awal karirnya disini. Mengingat semua itu membuatnya menyesalkan diri karena dia jarang pulang ke rumah, pulang ke ka
"Sudah sampai." Rhea membuka pintu mobil dan turun secepat yang ia bisa. Gara-gara masih memikirkan kejadian memalukan itu, dia bahkan tidak menyadari bahwa mobil telah memasuki area rumah Hansa sebelum akhirnya mobil mereka berhenti tepat didepan rumah berwarna biru dengan empat pilar putih yang menjulang. Dalam sekali lihat, kediaman rumah Hansa lebih besar dari rumah keluarganya. Tetapi bangunan itu sendiri tampak kuno dan membosankan seperti pemiliknya. Khas bangunan rumah mewah biasa tanpa ada sisi unik seperti yang dimiliki rumahnya. Rhea melirik Hansa. Suaminya itu tengah berdialog dengan wanita paruh baya yang Rhea tebak dia adalah kepala pelayan rumah. Sembari menunggu obrolan mereka selesai, Rhea mencoba melihat-lihat teras depan. "Rhea sayang," Hansa memanggil dalam nada lembut. Kepala pelayan dan beberapa pelayan lainnya dibelakangnya yang mendengar panggilan itu terkejut bukan main mendengar bosnya berbicara lemb
Segalanya tampak vivid. Dia mengintip dari balik jendela kereta kudanya hanya untuk menemukan deretan pohon yang berjejer disepanjang perjalanan yang terlihat tiada ujungnya. Matahari telah tenggelam, hanya menyisakan semburat jingga yang terlihat dari sela-sela batang pohon yang setiap saat tampak semakin berubah menjadi kelabu menyeramkan. Suara-suara hewan penghuni hutan mulai terdengar. Dimulai dari bunyi jangkrik hingga burung gagak yang bertengger diantara rating pohon. Dia mulai menyesali keputusannya untuk memulai perjalanan di siang hari sehingga harus membelah rimba hutan saat malam. Melakukan perjalanan di malam hari sangat riskan dan rawan. Menyusuri hutan yang sebulan lalu sempat terkenal karena penjambretan dan sarang penyamun tentu berada di diatas level yang berbeda. Seperti bunuh diri atau sengaja masuk mencari petaka. Dia sendiri tahu itu. Selain ancaman dari gerombolan bandit dia juga harus mewaspadai serangan hewan buas yang bisa tiba-tiba muncul
Rhea mendengar suara Mia di belakang. Bisik-bisik antar pelayan langsung menyebar, Rhea bisa menangkap apa yang mereka bicarakan adalah betapa selesai Rhea sekarang dan dia akan segera diusir Hansa.Rhea tidak ambil pusing, dia menatap kepingan-kepingan vas yang berceceran di antara meja dan lantai, bercampur dengan darah Karna. Vas itu memang terlihat unik, tapi itu hanya sebuah vas. Tidak seperti Rhea, Karna sangat ketakutan melihat apa yang telah ia lakukan. Dia ingat dulu ada salah satu pelayan yang secara tidak sengaja menggores bagian leher vas hingga meninggalkan bekas dan Hansa langsung memecat pelayan yang malang itu. Menunjukkan bahwa Hansa sangat tidak menoleransi orang-orang yang merusakkan barang peinggalan orangtuanya dan sekarang dia memecahkan satu. Secara teknis dia tidak sengaja melakukannya dan itu karena Rhea. Ya, salahkan Rhea saja! Rhea masih acuh tak acuh meski orang-orang disekelilingnya gempar hanya karena sebuah vas yang hancur. D
"Lihat, dia memberikan aku kuasa penuh atas rumah ini." Rhea bersolek penuh kemenangan. Karna tersenyum kecut, lalu menggelandang pergi.Para pelayan saling berkomunikasi dalam diam. Tampaknya berita yang beredar di sudut-sudut rumah tentang majikannya sangat mencintai Rhea itu benar. Para pelayan berusia muda diam-diam iri dengan si aktris yang berhasil menaklukkan seorang Hansa Adiwinata."Jadi, aku menginginkan semua pegawai di rumah ini untuk berkumpul satu jam kemudian. Diluar." Perintahnya.Mereka mengangguk.Rhea menatap Mia yang masih berdiri di sudut. "Kau," tunjuknya. "Jika kau begitu tidak punya kesibukan hingga selalu kesini, kau bisa mulai menulis surat lamaranmu."Dia berdiri dan menepuk-nepuk piyamanya dalam rangka untuk meluruskan."Bersihkan kekacauan ini."Pada akhirnya dia memanggil Rani dan Sinta untuk memindahkan pakaian di kopernya ke lemari. Itu juga membuat Rhea baru sadar kalau lemari pakaian
"Atau... Cinta dari kehidupan sebelumnya?"Hansa menegang ditempatnya. Dia selalu berpikir bahwa sepupunya orang yang berpikiran pendek tetapi tampaknya dia salah. Sepupunya gila."Sekarang kau mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal." Ia membalas."Memang tidak masuk akal!" Karna menyetujui. "Tapi menikahi Rhea juga langkah yang tidak masuk akal!" Pungkasnya.Sekarang setelah diucapkan, Karna merasa ucapannya memang keterlaluan. "Sudahlah, kamu tampaknya memang sedang di mabuk cinta."Dia beranjak berdiri untuk pergi, tapi sebelumnya dia memberi nasehat, "Hanya mau mengingatkan, hati-hati dengan cinta, karena deritanya tiada akhir."Mungkin Rhea entah bagaimana bisa menaklukkan hati baja Hansa. Mungkin, Hansa memang entah karena eror di otaknya atau tekanan pekerjaan sehingga menjadi rada sinting sehingga jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Rhea yang memakai gaun pengantin. Semua kemungkinan itu tetap tidak mengubah bahwa Hans
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac
Laksita memberitahunya kabar. Kabar yang membuat dia langsung menebaskan pedangnya ke kumpulan bambu didepannya saking inginnya untuk membunuh seseorang. Tidak peduli dia tengah dilihat oleh pasukannya dibelakangnya.Mereka telah memenangkan pertarungan berdarah selama lima bulan sejak dia diutus memimpin wilayah barat. Arya telah mengerahkan seluruh kemampuan mengatur strateginya untuk menaklukkan pasukan koalisi tiga kadipaten paling barat yang ternyata lebih tangguh dari prediksinya. Lalu apa yang dia dapatkan? Hukuman mati dari raja menantinya di ibukota dengan tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan bersama Sekar."Tenang Arya, kami disini berada disisimu." Ucap salah satu senopatinya yang segera diangguki yang lain.Namun itu tak menyurutkan kemarahan Arya yang ditujukan kepada rajanya."Bagaimana keadaan permaisuri?" Tanyanya kepada Laksita yang memang tidak ikut dengannya ke perang terakhir.
Sekar jelas-jelas sangat terkejut dan tersinggung dengan tuduhan yang Ayushita arahkan kepadanya. Bagaimana tidak? Dia tidak peduli dan sama sekali tidak ikut campur dengan kehamilan Ayushita sejak awal. Jika bukan karena adat pun dia tak akan mengunjungi selir itu. Kemarin pun dia datang hanya untuk kunjungan singkat. Kegilaan apa yang tengah Ayushita miliki hingga berani menuduhnya seperti itu?"Jaga ucapanmu selir Ayushita. Kau tahu sendiri aku tidak pernah berhubungan denganmu selain kemarin, itupun kau tahu sendiri aku melakukan apa di rumahmu." Balasnya dengan penuh penekanan.Tuduhan semacam ini hanya akan memunculkan rumor yang semakin menyudutkannya."Sebelum kedatanganmu, bayiku sehat-sehat saja. Tapi gara-gara kamu, aku harus kehilangan anakku!" Balas Ayushita histeris. Dia masih menangis terisak dengan tangan memegangi perutnya. Disampingnya seorang dayangnya tengah mencoba menenangkannya."Yang Mulia, kamu harus bersik
Bulan-bulan berlalu seperti lintasan sekejap mata. Kediaman Sekar masih tertutup dan tampak terlihat dingin dibanding rumah-rumah lainnya. Dia lebih suka tinggal di pendopo belakang rumahnya sambil menyesap teh dan melihat senja berakhir.Hubungannya dengan Ayudhipa masih renggang, sesekali dia menerima pria itu datang dan bermalam di rumahnya tapi hubungan mereka tidak sebagus sebelum mereka menikah.Hari ini dia akan menemui salah satu selir. Kehamilan selir Ayushita telah berusia lima bulan dan sesuai adat istiadat, sang permaisuri harus mengunjunginya dan memberi berkat ke bayi itu. Karena sesuai legalitas, setiap anak yang dilahirkan selir akan menjadi milik permaisuri dan anak itu akan memanggil permaisuri dengan sebutan 'ibunda'.Sekar memakai pakaian resminya yang berwarna merah. Dia naik tandu untuk pergi ke kediaman selir yang dituju dengan sepuluh dayang dan kasimnya yang mengikuti dari belakang."Salam Kanjeng Ratu." Serempak