"…."
Rhea berkedip, dengan tatapan menyelidik dia menatap pria didepannya ini.
Tampan. Itu kata pertama yang terlintas di benaknya. Kata kedua adalah uang. Menjadi artis membuatnya melek terhadap produk produk fashion dan segala ke eksklusivitasnya. Pria ini, dari atas dan bawah memancarkan uang, banyak uang. Jenis laki-laki yang memiliki keduanya bisa dipastikan tidak pernah kekurangan wanita, hal terakhir yang Rhea inginkan adalah keluar dari lubang buaya dan masuk ke mulut singa. Tapi dia tidak berada di situasi yang menguntungkan. Dia akan menikahi pria ini.
Sudut mulutnya tersungging untuk membentuk senyuman. "Anda bernilai dimata saya, Hansa."
"Jadi sekarang?"
Hal lain dari Hansa yang disukai Rhea adalah suaranya. Suaranya dalam dan tenang.
Rhea melirik ke arah orangtuanya. Mereka memolototinya, bukan- mereka memolototi Hansa.
Yah, satu-satunya pria yang berani mendatanginya bukan orang sembarangan. Seperti yang laki-laki itu kenalkan, dia adalah pemimpin grup Prisma. Siapa di negara ini yang tidak mengenal perusahaan multinasional tersebut? Seluruh produk mereka memiliki nama di berbagai lapisan sektor industri. Sederhananya, Hansa Adiwinata jauh dari liganya.
Rhea mengendikkan bahu. Dia mengangkat tangan kirinya ke udara. "Pengantin wanita butuh cincin pernikahan dan kau harus meminta izin dari orangtuaku."
Melirik calon suami barunya dan mengetes apakah dia memang serius untuk pernikahan dadakan.
"Beri aku dua puluh menit untuk menyelesaikannya."
Dengan itu Rhea berjalan menuju latar belakang diikuti oleh Hansa.
Penampilan dramatis Hansa yang naik ke altar membuat keterkejutan yang menyebar seperti api di kalangan tamu. Sekali lagi, ini Hansa Adiwinata, bujangan nomor satu se indonesia raya yang terkenal sebagai kaisar muda yang berhasil mengembangkan grup Prisma menjadi perusahaan raksasa yang memiliki cabang di beberapa negara asia. Tampan, banyak uang, bersih dari skandal wanita, dan berada di umur matang untuk menikah membuatnya menjadi incaran wanita. Para wanita itu berlomba lomba untuk menjadi nyonya Adiwinata berikutnya, dari model hingga putri aristokrat.
Hansa Adiwinata, pria yang bisa memilih wanita manapun untuk menjadi istrinya, ternyata memilih untuk mengajukan diri menjadi pengantin pria pengganti. Kegilaan macam apa ini?!
"Aku mendapat pasangan baru, yah, bu." Rhea memperkenalkan Hansa secara personal ke orangtuanya. Dia mengatakan seolah-olah tidak ada yang luar biasa dari memiliki Hansa sebagai calon suaminya.
Hansa mengangguk dan menjabat kedua tangan mereka. Tuan dan nyonya Aslein memandangnya secara menyeluruh dan menilai. Masih tidak percaya mereka baru saja mendapat calon menantu pengganti yang seribu kali lipat lebih baik dari sebelumnya dalam waktu tak kurang dari setengah jam. Entah ini baik atau buruk, sebanyak yang mereka ingin percayai, Hansa adalah orang yang penuh perhitungan dan berorientasi pada bisnis. Jika niatnya menikahi putri mereka hanya untuk memperlebar perusahanya ke ranah game dengan mengambil Theseus, mereka akan menolaknya mentah mentah. Kemungkinannya memang kecil tetapi selalu ada kemungkian untuk itu.
"Rhea," panggil ayahnya. "Bisakah kamu meninggalkan Hansa sebentar. Ini pembicaraan khusus antara calon menantu dan mertua."
"Tentu saja."
Rhea melirik Hansa yang masih memiliki ekspresi tabah di wajahnya. Laki-laki ini jelas berwajah batu.
"Sejak kapan kakak mengenal dia?"Baru saja dia duduk di kursinya, Eda langsung menodongnya dengan pertanyaan. Adiknya itu beringsut mendekat dan memojokkannya.
Rhea menghela nafas lelah. Dia hanya ingin tidur, demi Tuhan. "Aku tidak tahu. Aku tidak mengenalnya." Jawabnya, lebih menyerupai gumaman.
"…."
Eda menahan diri untuk tidak menggetok kepala kakaknya. "Lalu kenapa dia maju ke depan kalau tidak mengenal kakak?"
Rhea memandang Eda dan memberinya tatapan lelah. "Aku tidak tahu Edward, syaratnya yang berani maju ke depan mendatangiku, bukan seseorang yang harus kukenal."
Dia memejamkan mata dan yang terlihat adalah bayangan Hansa yang maju ke depan tanpa membatalkan kontak mata dengannya. "Mungkin dia terpesona denganku. Siapa tahu?" Lanjutnya.
Eda membuat suara muntah sambil memperagakannya.
"Aku mungkin percaya jika itu orang lain selain dia. Kakak tahu kan siapa itu Hansa Adiwinata?"
"Hansa Adiwinata. CEO grup Prisma. Lajang. Umur 32 tahun." Rhea mengulang kalimat yang Hansa katakan kepadanya.
"Kak?!" Eda mengerang frustasi.
"Dia adalah orang yang dingin, kejam, dan tak berperasaan, yang aneh, dia tidak pernah terlihat memiliki pacar, kekasih atau apalah itu." Eda menjelaskan panjang lebar akan reputasi Hansa yang terkenal. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Olivia pernah mencoba membual ke media bahwa dia dekat dengannya dan Hansa langsung membantahnya. Itu berita lama." Eda menyebut nama.
Rhea membuka matanya dan menegakkan tubuhnya, ia mulai tertarik dengan pembicaraan ini. "Olivia Mauren?"
Eda mengangguk.
Olivia Mauren adalah artis papan atas yang berbanding terbalik dengan Rhea. Olivia selalu menjadi pemain protagonis yang berbudi luhur, penggemarnya adalah salah satu yang memiliki fan base besar. Rhea tidak pernah bermain film atau drama dengannya sehingga dia tidak mempunyai komentar untuknya. Meski begitu, Rhea tidak bisa membandingkan untuk tidak membuat perbandingan antara dirinya dan Olivia. Harus diakui, dari segi reputasi publik, ia kalah telak.
"Mungkin dia gay dan mencoba menutupinya dengan menikahi kakak? Akhir-akhir ini banyak kasus seperti itu di media sosial."
"Mungkin." Rhea menyetujui hipotesis Eda. Itu masuk akal. "Aku tidak peduli jika dia gay, kami akan menikah hari ini. Mungkin selama satu atau dua tahun."
"Kakak berencana untuk bercerai dengannya?" Sekarang Eda tidak bisa mengikuti pemikiran Rhea.
"Tentu saja. Kau berpikir dia menikahiku karena jatuh cinta denganku? Kau yang mengatakan bahwa dia aneh. Ini mungkin lebih seperti dia membutuhkan suatu hal dariku, seperti pengalihan yang kau maksud misalnya." Jelasnya.
Percakapan mereka disela oleh pengumuman MC yang mengatakan bahwa pernikahan akan dilangsungkan sepuluh menit lagi. Rhea dan Eda saling berpandangan. Mereka tidak menyangka Hansa berhasil meyakinkan kedua orangtuanya secepat ini.
Mereka bertiga keluar dari ruangan belakang yang terlarang untuk tamu. Hansa masih berwajah datar seperti biasa, ayahnya tampak tidak tahu harus berekspresi apa, sedangkan ibunya tengah tersenyum.
Theodorus berdehem. Dia tersenyum ketika menatap putrinya. "Kami memutuskan Hansa cukup baik untuk menjadi suamimu."
"Sebenarnya lebih baik daripada si Rangga itu." Christina menambahkan. Dia menggandeng lengan Hansa seolah-olah mereka sudah kenal secara pribadi sejak lama.
"Oke?" Rhea bingung dalam menanggapi.
"Sekarang kita harus menunggu asisten Hansa untuk membawakan berkas penting dan cincin pernikahan, tentu saja." Lanjutnya dengan nada riang.
Cincin, Rhea tidak menyangka Hansa akan menyiapkannya dalam waktu singkat. 'Tunggu, dia tidak mengetahui ukuran jariku', pikirnya.
Kekhawatiran Rhea ternyata tidak perlu karena asisten Hansa, Jeremy datang sambil membawa set cincin dari berbagai ukuran. Semuanya hasil dari karya seniman terkenal dan berkualitas, dan Rhea memutuskan untuk memilih cincin dengan manik berlian biru, yang merupakan warna favoritnya.
Pernikahan berjalan dengan lancar, setelah melakukan seremonial didepan pendeta, mereka berdua mengucapkan sumpah dengan tenang dan berakhir dengan ciuman. Ciuman itu singkat dan tidak memberi kesan karena hanya bertahan sekitar satu detik sebelum Rhea menjadi yang pertama untuk mengakhirinya. Setelahnya, mereka menandatangani dokumen agar pernikahan sah di mata hukum dan negara, dan ya, tidak kurang dari setengah jam sekarang Rhea telah menjadi nyonya Adiwinata yang baru.
Para tamu memberi selamat kepada mereka dan keluarganya. Tidak ada keluarga Hansa yang datang, selain karena pernikahan diadakan mendadak, Hansa ternyata telah tidak memiliki orang tua dan dia anak tunggal. Itu membuat Rhea sedikit tenang saat bertanya-tanya bagaimana reaksi keluarga Hansa atas pernikahan ini.
Ketika para tamu mulai sepi, ibunya menjatuhkan bom dengan pertanyaan.
"Jadi, kapan bulan madunya?"
Mereka tidak pergi ke luar pulau atau ke luar negeri. Sebenarnya mereka memutuskan untuk menyewa kamar premium selama dua malam di hotel Lamia itu sendiri. Alasannya, Hansa punya pertemuan penting yang akan dilaksanakan besok dan sejujurnya Rhea tidak peduli.Bulan madu hanya untuk pernikahan asli yang penuh bunga-bunga cinta. Sedangkan pernikahannya? Rhea tersenyum miris. Hal paling utama yang ia butuhkan adalah tidur dan tidur. Sehingga ketika mereka telah tiba di kamar berdekorasi mawar, Rhea tidak peduli untuk sekedar mengaguminya sejenak dan langsung membuang tatanan kelopak mawar yang membentuk huruf cinta di kasurnya ke lantai dan segera menelungkupkan diri di ranjang yang empuk.Tidur.Rhea mendengar sayu-sayup suara air gemericik, tanda bahwa Hansa tengah mandi. Itu berhasil membuatnya setengah terjaga dan memutuskan bahwa mandi dan berganti menjadi piyama serta menghapus rias wajah adalah pilihan terbaik sebelum tidur.Jadi dia menunggu. S
Sinar pagi berhasil menembus masuk melalui sela-sela gorden putih kamar suit nomor 607 di lantai lima. Rhea mengerjap-erjapkan matanya untuk menyesuaikan keadaan. Selain sensitif terhadap suara, dia juga sensitif terhadap sinar matahari. Suara hembusan nafas dibelakangnya membuat ia seketika menoleh ke sisi lain dan tersentak ketika melihat pemandangan disampingnya. Rupanya gerakannya membuat pria itu terbangun. Dia membuka mata dan langsung berada dibawah tatapan tajam. "Kenapa kamu disini?" Rhea bertanya dalam nada defensif. "Bukankah seharusnya aku memang berada disini?" Hansa membalas. Dia bangkit dari tempat tidurnya, membiarkan daging tubuh bagian atasnya terekspos, dia hanya memakai boxer. Sama seperti sebelumnya, Rhea mengawasi Hansa dengan tatapan tajamnya. Dia akan membuat laki-laki itu tidak nyaman berada disini sehingga dia akan menyewa kamar lain nanti malam. Ini adalah perang dingin yang ia coba untuk menangkan. Dia akan membuat
Kevin adalah bencana nomor satu.Rhea tidak mengerti kenapa orang tua dan adiknya menganggap dia imut. Oke, dia memang imut, tetapi itu sebelum dia memulai mengeluarkan kata-kata puitisnya yang berdarah di setiap langkah yang Rhea buat. Jujur saja, pemujaan yang berlebihan membuat Rhea terkadang bertanya-tanya sendiri sisi mana dari dirinya yang berhasil membuat pria itu tergila-gila padanya. Serius, pasti ada semacam neuron yang error di otaknya."Ya Kevin?" Rhea memanggil ketika tidak ada suara yang terdengar."Harusnya aku yang ada disana." Kevin membalas dengan nada serak. Tidak memungkiri dia habis menangis ketika melihat berita dari resor yang ia sewa.Rhea tidak membalas. Ia sedikit memiliki simpati untuk Kevin. Dia terdengar sangat nelangsa di telepon. Sebanyak kejengkelannya terhadap pro player itu, memiliki Kevin sebagai suami lebih bagus dibanding Hansa. Setidaknya dia mengenal Kevin dan Kevin sangat mencintainya. Seperti yang kata-kata b
"Apa?!" Rhea berkacak pinggang dan menatap Hansa dengan pandangan melotot, meminta penjelasan."Kita tidak akan bercerai." Jelas Hansa dalam nada kalemnya yang biasa.Jawaban Hansa yang terlihat tenang dan santai semakin mengobarkan amarah artis itu. "Ha?!" Ia berkelakar. "Sangat lucu Hansa Adiwinata. Sangat lucu." Dia mengejek.Dia yakin laki-laki itu hanya membual dan mempermainkannya.Bedebah brengsek!"Aku tidak bercanda, istriku sayang." Hansa bersedekap dada dan memandang Rhea dengan pandangan geli."Jangan memanggilku seperti itu." Perintah Rhea."Tapi kamu memang istriku." Hansa menggodanya. Dia tidak tahan untuk itu. Dia ingin sekali memeluknya tetapi Hansa yakin jika dia melakukannya ia hanya akan mendapat tendangan mentah."Hansa!" Tangan Rhea menggebrak meja. Mengesampingkan rasa berdenyut sakit di telapak tangannya, dia menghirup napas panjang dan menghembuskannya secara pelan-pelan, menco
Ini adalah situasi yang canggung. Rhea ingin merutuki kebodohannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar mandi. Bukan, dia menyalahkan makanan pedas yang tadi malam ia makan. Bukan, ia lebih suka menyalahkan Hansa. Ya, dia lah yang bersalah dalam menciptakan adegan yang penuh kecanggungan ini. Mereka saling berpandangan. Wajah panik Rhea dan wajah kebingungan Hansa yang masih tidak mengerti keadaan. "Mesum!" Ia menyalak. Hansa segera tersadar dan sebelum botol sampo itu mendarat ke kepalanya, dia menutup kembali pintu kamar mandi secepat tangannya bisa. Pipi Rhea memerah meski dia tidak mandi uap hari ini. Sial! Hari paginya yang sempurna harus dihancurkan oleh kejadian memalukan. Ia mendengar gumaman dari balik pintu. Rhea mengerang kesal. Tuhan! Kenapa laki-laki itu masih berdiri di depan kamar mandi? Hal pertama yang ia lihat setelah membuka pintu kamar mandi adalah sosok Hansa yang berdiri didepannya. Tunggu, kenapa pipinya
Ibunya meninggalkannya sendirian. Rhea menyukai sifatnya yang penuh perhatian, tahu bahwa dia butuh waktu sendiri di kamarnya, tempat yang pernah menjadi tempat dia menghabiskan sebagian besar waktu di masa anak-anak hinggga remaja.Dia melihat-lihat sekelilingnya dan tatapannya berakhir di meja belajarnya. Kamarnya tidak berubah, bahkan letak penempatan deretan pulpennya yang ia atur sesuai warna tetap berbaris rapi di raknya.Rhea menyunggingkan senyum dan duduk di kursi belajarnya. Tidak ada debu yang melapisi furnitur telah memberikan jawaban bahwa kamarnya telah rutin dibersihkan secara berkala. Ia menyenderkan kepalanya ke alas meja, merasakan nostalgia.Rhea remaja selalu berteman dengan meja belajarnya. Tidak mengenal waktu dalam belajar dan menggambar hingga tangannya pegal dan sempat kram. Ia juga membaca naskah-naskah perannya di awal karirnya disini. Mengingat semua itu membuatnya menyesalkan diri karena dia jarang pulang ke rumah, pulang ke ka
"Sudah sampai." Rhea membuka pintu mobil dan turun secepat yang ia bisa. Gara-gara masih memikirkan kejadian memalukan itu, dia bahkan tidak menyadari bahwa mobil telah memasuki area rumah Hansa sebelum akhirnya mobil mereka berhenti tepat didepan rumah berwarna biru dengan empat pilar putih yang menjulang. Dalam sekali lihat, kediaman rumah Hansa lebih besar dari rumah keluarganya. Tetapi bangunan itu sendiri tampak kuno dan membosankan seperti pemiliknya. Khas bangunan rumah mewah biasa tanpa ada sisi unik seperti yang dimiliki rumahnya. Rhea melirik Hansa. Suaminya itu tengah berdialog dengan wanita paruh baya yang Rhea tebak dia adalah kepala pelayan rumah. Sembari menunggu obrolan mereka selesai, Rhea mencoba melihat-lihat teras depan. "Rhea sayang," Hansa memanggil dalam nada lembut. Kepala pelayan dan beberapa pelayan lainnya dibelakangnya yang mendengar panggilan itu terkejut bukan main mendengar bosnya berbicara lemb
Segalanya tampak vivid. Dia mengintip dari balik jendela kereta kudanya hanya untuk menemukan deretan pohon yang berjejer disepanjang perjalanan yang terlihat tiada ujungnya. Matahari telah tenggelam, hanya menyisakan semburat jingga yang terlihat dari sela-sela batang pohon yang setiap saat tampak semakin berubah menjadi kelabu menyeramkan. Suara-suara hewan penghuni hutan mulai terdengar. Dimulai dari bunyi jangkrik hingga burung gagak yang bertengger diantara rating pohon. Dia mulai menyesali keputusannya untuk memulai perjalanan di siang hari sehingga harus membelah rimba hutan saat malam. Melakukan perjalanan di malam hari sangat riskan dan rawan. Menyusuri hutan yang sebulan lalu sempat terkenal karena penjambretan dan sarang penyamun tentu berada di diatas level yang berbeda. Seperti bunuh diri atau sengaja masuk mencari petaka. Dia sendiri tahu itu. Selain ancaman dari gerombolan bandit dia juga harus mewaspadai serangan hewan buas yang bisa tiba-tiba muncul
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac
Laksita memberitahunya kabar. Kabar yang membuat dia langsung menebaskan pedangnya ke kumpulan bambu didepannya saking inginnya untuk membunuh seseorang. Tidak peduli dia tengah dilihat oleh pasukannya dibelakangnya.Mereka telah memenangkan pertarungan berdarah selama lima bulan sejak dia diutus memimpin wilayah barat. Arya telah mengerahkan seluruh kemampuan mengatur strateginya untuk menaklukkan pasukan koalisi tiga kadipaten paling barat yang ternyata lebih tangguh dari prediksinya. Lalu apa yang dia dapatkan? Hukuman mati dari raja menantinya di ibukota dengan tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan bersama Sekar."Tenang Arya, kami disini berada disisimu." Ucap salah satu senopatinya yang segera diangguki yang lain.Namun itu tak menyurutkan kemarahan Arya yang ditujukan kepada rajanya."Bagaimana keadaan permaisuri?" Tanyanya kepada Laksita yang memang tidak ikut dengannya ke perang terakhir.
Sekar jelas-jelas sangat terkejut dan tersinggung dengan tuduhan yang Ayushita arahkan kepadanya. Bagaimana tidak? Dia tidak peduli dan sama sekali tidak ikut campur dengan kehamilan Ayushita sejak awal. Jika bukan karena adat pun dia tak akan mengunjungi selir itu. Kemarin pun dia datang hanya untuk kunjungan singkat. Kegilaan apa yang tengah Ayushita miliki hingga berani menuduhnya seperti itu?"Jaga ucapanmu selir Ayushita. Kau tahu sendiri aku tidak pernah berhubungan denganmu selain kemarin, itupun kau tahu sendiri aku melakukan apa di rumahmu." Balasnya dengan penuh penekanan.Tuduhan semacam ini hanya akan memunculkan rumor yang semakin menyudutkannya."Sebelum kedatanganmu, bayiku sehat-sehat saja. Tapi gara-gara kamu, aku harus kehilangan anakku!" Balas Ayushita histeris. Dia masih menangis terisak dengan tangan memegangi perutnya. Disampingnya seorang dayangnya tengah mencoba menenangkannya."Yang Mulia, kamu harus bersik
Bulan-bulan berlalu seperti lintasan sekejap mata. Kediaman Sekar masih tertutup dan tampak terlihat dingin dibanding rumah-rumah lainnya. Dia lebih suka tinggal di pendopo belakang rumahnya sambil menyesap teh dan melihat senja berakhir.Hubungannya dengan Ayudhipa masih renggang, sesekali dia menerima pria itu datang dan bermalam di rumahnya tapi hubungan mereka tidak sebagus sebelum mereka menikah.Hari ini dia akan menemui salah satu selir. Kehamilan selir Ayushita telah berusia lima bulan dan sesuai adat istiadat, sang permaisuri harus mengunjunginya dan memberi berkat ke bayi itu. Karena sesuai legalitas, setiap anak yang dilahirkan selir akan menjadi milik permaisuri dan anak itu akan memanggil permaisuri dengan sebutan 'ibunda'.Sekar memakai pakaian resminya yang berwarna merah. Dia naik tandu untuk pergi ke kediaman selir yang dituju dengan sepuluh dayang dan kasimnya yang mengikuti dari belakang."Salam Kanjeng Ratu." Serempak