Melisa menangis sembari membawa mobilnya pergi dari rumah sakit. Dia tahu ini berbahaya, tetapi bertahan di sana pun tidak mungkin. Dia menghapus air mata di pipi secara kasar.
"Kalian jahat! Kalian pengkhianat!" teriak Melisa dengan keras sembari memukul kemudi. Dia tidak peduli kalau tangannya akan merasa kesakitan. Menutupi bibir dengan punggung tangan, dia menangis dengan tersedu-sedu. Melisa menggeleng pelan. "Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?" tanyanya di sela tangis. Masih merasa terkejut dan kecewa karena melihat mamanya yang menutupi kebusukan adik dan juga suaminya. Tiba-tiba Melisa mengingat satu orang. "Papa," bisiknya. Perempuan itu menangis semakin kencang. Dalam hati dia menduga kalau mamanya tahu mengenai hal ini, pasti papanya juga mengetahui hal ini. Kedua tangan Melisa mencengkeram kemudi, dia semakin menangis kencang. "Kenapaa? Kenapa kalian jahat sekali?" tanyanya dengan berteriak. Perempuan yang tengah terluka hatinya itu melajukan mobil menuju kantor, tempatnya bekerja dan juga milik sang papa. Seakan tidak peduli dengan keselamatan, Melisa memacu kendaraannya dengan sangat kencang. Dia ingin segera menemui papanya dan menanyakan apa maksud semua ini. Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan lobi sebuah kantor. Tanpa mau repot memarkirkan kendaraannya dengan tepat, Melisa segera turun dan berjalan cepat menuju ruangan papanya berada. Dia menemui seorang pria yang tak lain adalah sekretaris papanya. "Papa ada?" tanya Melisa. Mungkin sekretaris itu akan merasa bingung karena untuk pertama kalinya Melisa memanggil papanya dengan sebutan itu, karena selama ini mereka mengedepankan profesional di mana papanya memanglah atasan di sini. "Ada." Pria di balik meja mengangguk. Melisa langsung membuka pintu ruangan sang papa. Terlihat papanya yang langsung menatap ke arahnya dengan senyum mengembang. "Melisa." Mungkin biasanya dia akan bersikap sopan atau memeluk sang papa. Namun, kekecewaan yang ada di dalam hatinya saat ini membuat Melisa kembali meneteskan air mata. Dia mendekati sang papa. "Kenapa Papa tega?" Bagus yang sebelumnya sedang mengerjakan sebuah berkas tentu saja merasa bingung kala tiba-tiba putrinya datang dengan menangis dan menyebut dirinya tega. "Apa maksud kamu, Sayang?" tanya Bagus dengan kerutan di kening. "Kenapa Papa tega sama Melisa? Untuk apa Papa berlagak menolak keinginan Rani menikahi Mas Okta kemarin kalau Papa diam saja ketika tahu mereka berselingkuh dan menutupi semuanya dari Melisa," ujar Melisa dengan cepat dan juga rasa kesal yang dia tahan. Tangisnya sudah banjir, napasnya terlihat memburu saat ini. Bagus yang mendengar itu menganga sektika. Bola matanya melotot tak percaya. Dia mencoba mensugesti dirinya telah salah dengar karena Melisa mengatakan hal tadi dalam keadaan menangis. "Apa maksud kamu, Sayang?" "Papa nggak usah pura-pura lagi. Melisa tidak habis pikir sama Papa. Kenapa Papa menutupi perselingkuhan Rani dan Mas Okta dari aku?" Melisa menggeleng pelan dengan menekan dadanya kuat. Bahkan sesekali dia memukulnya. "Papa sama Mama tega menutupi kebusukan mereka dari Melisa. Kalian tega. Kalian tega sama Melisa," ujar Melisa yang melirih pada kalimat terkahir. Perempuan itu jatuh meluruh ke lantai dengan tangis yang menyayat hati. Bahunya bergetar menandakan betapa terguncangnya perempuan itu mengetahu perselingkuhan adiknya dan juga sang suami. Sedangkan Bagus sendiri masih berdiri di tempatnya. Bola mata pria itu melotot lebar karena merasa syok mendengar apa yang dikatakan putrinya. Tubuhnya pun terpaku. "Rani. Dan Okta berselingkuh?" bisiknya. Pandangan Bagus mengarah pada putrinya yang menangis. Di mendekati Melisa lalu memegang kedua pundaknya. "Melisa. Tatap papa. Tatap papa." Dia berujar dengan sedikit mengguncang tubuh Melisa. Melisa menggeleng, dia mencoba melepaskan tangan papanya. "Melisa tidak mau melihat Papa. Papa tega sama Melisa." "Melissa! Melisa dengar papa!" Bagus sedikit membentak putrinya agar dia mendapat perhatian. Bagus menggeleng pelan ketika Melisa menatapnya. "Papa tidak tahu mengenai perselingkuhan mereka, Nak. Papa tidak tahu. Papa berani bersumpah sama kamu," ujar Bagus dengan suara sedih menyadari kenyataan ini. Melisa terpaku untuk sesaat. Detik kemudian dia kembali menangis dan menjatuhkan tubuhnya di pelukan sang papa. "Mereka berselingkuh, Pa. mereka menjalin hubungan di belakang Melisa," ujar Melisa lagi dengan suara yang menyayat hati. Bagus memeluk putrinya. Masih ada rasa tidak percaya dengan semua ini. Dia melepaskan pelukan melisa dan menatap putrinya lamat-lamat. "Kamu tahu dari mana hal ini, Nak?" Melisa mencoba meredakan tangisnya. Dia menelan ludah kasar. "Tadi Melisa mau mengantar makanan untuk Mama di rumah sakit. Ternyata di sana ada Mas Okta. Melisa mendengar semua percakapan mereka. Rani dan Mas Okta memiliki hubungan bahkan saat ini Rani sedang hamil anak Mas Okta, Pa. Mama pun juga tahu mengenai hubungan mereka," ujar Melisa yang diakhiri dengan tangis kembali. Bagus semakin merasa syok. Belum selesai rasa terkejutnya tentang perselingkuhan mereka, kenyataannya adalah Rani yang hamil dan juga istrinya yang menutupi semua ini dari dirinya. Bagus mengeratkan pelukan pada Melisa, ada kemarahan dalam ekspresi pria itu. Tak lama, dia merasakan berat dan tak lagi mendengar suara tangis putrinya. "Melisa. Melisa," panggil Bagus yang ternyata Melisa tak sadarkan diri. *** "Kamu yakin mau bercerai?" tanya Bagus pada Melisa. Setelah beristirahat seharian di ruangan privat sang papa, malam ini Melisa memutuskan untuk pulang. Ya, pulang ke rumah mertuanya tetapi hanya untuk mengambil barang-barangnya. Melisa yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung mengangguk. "Yakin, Pa. Lagi pun mau apalagi yang dipertahankan dalam rumah tangga ini. Perselingkuhan bukan kesalahan yang bisa ditolerir bagi Melisa apalagi Mas Okta berselingkuh dengan Rani, bahkan Rani sampai hamil." Melisa menggeleng pelan. "Membayangkan bertahan saja Melisa tidak mampu, Pa." Bagus menghela napas dalam. "Kalau papa mengatakan tidak baik mengambil keputusan di saat marah, itu hanya akan terlihat sebuah basa-basi. Semua keputusan papa serahkan sama kamu. Papa hanya berharap kamu bisa bahagia ke depannya," ujar bagus kemudian. "Satu yang harus kamu ingat. Papa akan selalu bersama kamu." Melisa mengangguk. Dia memeluk papanya sebelum pergi meninggalkan kantor. Menarik napas dalam, dia harus siap berpamitan pada mertuanya. Sedangkan Bagus sendiri menatap kepergian putrinya dengan sendu, tidak pernah dia bayangkan nasib pernikahan putrinya akan seperti ini. Tiba-tiba saja tatapannya menajam, urat di leher membentuk jelas, kemarahan tercetak di wajahnya. "Riyanti, Rani," geram Bagus. Dia pun berjalan menuju mobilnya dan segera meminta sopir untuk menuju rumah sakit guna bertemu istri dan juga anak bungsunya. Sesampainya di rumah sakit, Bagus langsung menuju ruang rawat putrinya. Dia membuka pintu ruangan dengan kasar juga tatapan tajam ke arah sang istri dan juga Rani. Riyanti yang belum menyadari kemarahan suaminya menatap Bagus dengan kesal. "Papa ini bikin kaget aja sih?" Dia mengelus dadanya beberapa kali. "Papa ini dari mana aja? Kok baru datang? Dari pagi sampai malam juga. Nggak kasihan apa sama mama yang sampai telat makan karena nungguin Rani?" ujar Riyanti yang terus menggerutu dan mengeluh. Bagus mengabaikan itu. Dia menatap tajam ke arah Rani yang tengah duduk di brankar sembari menikmati buah. Bagus mendekati Rani tanpa kata, tepat ketika dia sudahh berdiri di depan putrinya, tanpa ragu Bagus langsung melayangkan tamparan ke wajah Rani. "Papa!" teriak Riyanti keras karena terkejut."Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak."Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan
Okta sempat terkejut sesaat mendengar apa yang dikatakan Melisa. Namun, beberapa saat kemudian dia menunduk dan tak lama bahunya bergetar, terdengar suara tawa dari bibir pria itu. Melisa yang sudah dalam keadaan kembali menangis langsung menatap bingung sang suami yang kini malah tertawa. Dalam hati Melisa bertanya apakah suaminya ini sudah gila? Sedangkan Okta sendiri kini menatap Melisa kembali, masih dengan tawanya. "Oh. Ternyata kamu sudah tahu?" tanyanya kemudian. "Baguslah kalau kamu sudah tahu," lanjut Okta. Sedangkan Melisa malah merasa syok dengan sikap suaminya. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah pria itu akan apa yang telah dia lakukan di belakangnya. "Sinting kamu," maki Melisa. "Memang sudah keputusan yang tepat kalau kita berpisah," lanjutnya yang mana Melisa langsung kembali memasukkan sisa pakaiannya. Kali ini Okta tidak lagi menghalangi niat Melisa untuk pergi. Terserah istrinya itu meminta apa saat ini. Toh semuanya sudah jelas kalau dia akan me
Kemarahan Winda memuncak mendengar perkataan Okta. "Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengan orang lain ketika kamu sudah beristri, Okta?" tanyanya dengan suara meninggi.Okta memegang pipinya yang terasa panas. Meski dia seorang lelaki, tak menutupi kenyataan bahwa dirinya juga merasa kesakitan dengan tamparan barusan.Dia menatap mamanya yang baru saja memberinya tamparan, ada rasa tidak percaya akan hal itu. "Ma. Aku dan Rani saling mencintai." Dia menjelaskan."Persetan dengan cinta yang kau agungkan sejak tadi. Jika kau masih memiliki istri, kenyataannya hanya nafsu yang kau dahulukan bersama perempuan tidak tahu diri itu." Winda berteriak dengan menunjuk ke arah luar rumah seolah yang dibicarakan ada di sana.Okta tidak setuju kala mendengar Rani yang disebuat sebagai perempuan tidak tahu diri oleh mamanya. "Ma. Jangan bicara seperti itu. Dia calon menantu mama juga," ujar Okta."Mama tidak sudi menjadik
"Papa benar-benar kecewa sama kamu, Okta! Bisa-bisanya. Bisa-bisanya kamu dan Rani ...." Bahkan Khalif saja tidak mampu mengatakan betapa bejatnya anaknya ini."Belajar dari siapa kamu ini, Okta? Papa tidak pernah mengajari kamu seperti ini!" bentaknya keras. Dia sampai menunjuk wajah putranya. Asal tahu saja kalau dia ingin memukul wajah Okta saat ini.Sedangkan Okta hanya bisa diam saja. Dia pikir, orang tuanya akan merasa bahagia dan langsung menerima Rani kalau dia mengatakan kehamilan perempuan itu. Tapi nyatanya malah membuat semua menjadi semakin runyam."Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan. Hancur," ujar Khalif dengan berjalan mondar-mandir di depan anaknya. Tidak henti dia mengurut keningnya."Kam---" Kalimat yang akan dikatakan Khalif urung kala terdengar suara erangan dari arah ranjang. Khalif menoleh dan melihat istrinya yang mulai sadar dari pingsannya. Dia pun segera
Melisa terkejut dengan kedatangan papanya kembali malam ini. "Papa? Kok Papa balik lagi?" tanya Melisa."Ada yang ketinggalan?" Melisa kembali bertanya, tetapi Tidak ada jawaban.Dia menatap papanya dengan kerutan di kening kala melihat pria itu yang memasuki apartemennya dengan diam.Melisa menutup pintu kala tak ada jawaban dari sang papa. Dia ikut duduk di samping Bagus. "Pa. Ada apa?" tanya Melisa dengan menggenggam tangan papanya.Bagus menatap Melisa dengan sedih. "Tadi Okta dan orang tuanya datang ke rumah. Khalif dan Winda mencari keberadaan kamu. Mereka ingin menemui kamu.""Papa kasih tahu mereka Melisa di mana?" tanya Melisa cepat.Bagus menggeleng dan itu membuat Melisa mengembuskan napas penuh kelegaan. "Syukurlah." Dia mengusap dadanya pelan.Dia memerhatikan wajah sang papa dan melihat ada kegelisahan di sana. "Tapi kenapa Papa sepertinya sedih begitu? Papa merasa bersala
"Sekarang Rani harus mencari papa kandung Rani di mana, Ma?" tanya Rani pada sang mama. Keinginan menikahi Okta harus tertunda kembali karena tidak ada wali nikah untuk dirinya."Mana mama tahu, Ran. Mama sudah lama tidak bertemu dengan bapak kandung kamu itu." Bu Riyanti sendiri juga merasa bingung dengan hal ini. Jujur saja, dia tidak pernah berpikir sejauh ini ketika dia berpisah dulu. Apalagi ketika dirinya sudah menemukan Bagus, suami keduanya yang jauh lebih kaya dari suami pertamanya. Dia tak pernah lagi kepikiran tentang mantan suaminya."Mana papa kamu tidak pulang sejak tadi malam lagi. Entah di mana di berada sekarang," gerutu Riyanti. Sejak kepergian suaminya semalam, pria itu memang belum kembali pulang.Rani mengembuskan napas kasar. "Ih Mama. Ngapain juga nyari Papa. Toh Papa juga nggak bisa jadi wali nikah aku," ujar Rani dengan memberenggut kesal."Nikah, nikah, nikah saja yang kamu pikirkan itu." Riyanti meneg
Seperti rencananya kemarin, Rani benar-benar mencari keberadaan bapaknya agar dia bisa segera menikah dengan Okta. Perempuan itu mendatangi alamat yang diberikan oleh sang mama. Niat hati ingin mengajak mamanya juga, tetapi Riyanti menolak hal itu.Alasannya, selain karena Riyanti tidak ingin bertemu dengan mantan suaminya lagi, dia juga masih ingin mencari keberadaan Bagus yang sudah beberapa hari ini tidak pulang.Mau bagaimanapun tawaran menggiurkan Rani kalau sudah menjadi istri Okta, tetap saja dia ingin bersama Bagus. Sudah ada cinta di hatinya untuk suaminya itu.Rani baru saja turun dari mobilnya yang susah mendapatkan parkir. Bola matanya melotot dan mulut menganga lebar melihat tempat yang ada di hadapannya."His. Ini beneran aku ke tempat seperti ini sendirian?" tanya Rani dengan ekspresi yang menunjukkan rasa jijik. Bagaimana tidak? Dia harus mendatangi pasar kumuh yang tidak pernah dia datangi sama sekali dalam hid
Riyanti marah pada putri sambungnya ini. Secara tidak langsung, Melisa baru saja menyebut kalau Rani adalah tempat sampah yang menampung pria yang sudah dibuang dan tidak diharapkan oleh Melisa.Riyanti berdiri menatap tajam Melisa dengan napas memburu. "Tega kamu mengatakan itu tentang adik kamu?""Tega Mama menyembunyikan perselingkuhan Rani dengan calon mantan suamiku," balas Melisa dengan nada rendah penuh penekanan. Dia membalas tatapan perempuan yang sudah membesarkan dirinya itu dengan tajam.Melisa tidak masalah kalau Riyanti adalah bukan mama kandungnya, asal perempuan itu juga menyayanginya, Melisa pun akan berbuat sama. Namun, mengetahui apa yang telah Riyanti lakukan di belakangnya, sungguh kecewa dia."Itu artinya Mama mendukung apa yang dilakukan oleh Rani," lanjut Melisa.Riyanti menunduk, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuh seperti menahan sebuah gejolak yang sulit dia artikan. "Mama tidak---" Kalimat yang akan dia
Melissa yang mendapat laporan dari Irit pun merasa bingung. Perempuan itu mengerutkan kening pertanda berpikir. "Seingat aku ini bukanlah hari di mana aku dan dia harus mengecek lokasi pekerjaan."Namun, Argo menepuk pundaknya dan membuat mereka saling tetap. Argo meggangguk. "Temuilah dulu. Toh pekerjaan kita selesai bukan? Aku akan pulang lebih dulu," ujar pria itu kemudian.Melissa mengangguk. "Baikkah."Dia menatap Irin. "Minta saja dia masuk," ujar Melisa kemudian."Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Argo. pria itu berpamitan lalu keluar dari ruangan Melisa.Di depan ruangan, dia berpapasan dengan Kafka. Keduanya hanya saling mengangguk tanpa berbicara lalu melanjutkan langkah.Kafka sendiri langsung memasuki ruang Melissa. "Selamat siang.""Siang. Duduklah," ujar Melisaa dengan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.Kafka pun mengangguk, pria itu duduk dan berhadapan dengan Melissa "Ada apa? Bukankah hari ini bukan jadwal kita untuk meninjau lokasi?" tanya Me
Suasana ruangan tempat Melissa dirawat tampak akwward. kedatangan Keluarga Kafka membuat Tuan Bagus tidak menyukai hal itu. Namun, adanya campur tangan Kafka dalam menyelamatkan Melissa membuat pria tua itu tidak bisa mengusir mereka yang datang.Windi mendekati Melissa. Perempuan itu tersenyum tipis dan berdiri di samping brankar mantan menantunya. Dia meraih tangan Melissa dan menggenggamnya."Kabar kamu bagaimana?" tanya Windy dengan suara pelan.Melissa pun tersenyum tipis. "Baik, Tante."Windi yang mendengar itu sedikit merasa tercubit hatinya, karena rasa sakit ini. Beberapa waktu lalu Melisa masih memanggilnya dengan sebutan Mama, tapi kini tak ada lagi panggilan itu.Melissa sudah memanggilnya dengan sebutan Tante. Windi menarik nafas dalam. "Syukurlah," ujarnya kemudian.Namun, ada ekspresi sedih yang dipasang perempuan itu. "Maafkan Okta, ya sudah merepotkan kamu. Maaf kalau Okta sudah membuat kamu seperti ini," ujar perempuan itu. Dia mengelus punggung tangan Melissa yang s
"Kami berhasil menyelamatkan Melissa dan saat ini Kak Okta sudah ditahan oleh polisi," ujar Kafka lebih jelas.Windi yang mendengar itu meremas tangannya. Ada rasa lega kalau Kafka mengatakan jika mereka berhasil menyelamatkan Melissa. Namun, ada rasa sedih juga ketika mendengar putra pertamanya kini sedang dalam penjara.Jujur saja dia merasa tidak tega terlepas bagaimana parahnya sikap anaknya itu selama ini."Mama sedih?" tanya Kafka yang melihat ekspresi mamanya.Windi langsung tersenyum sedikit samar. "Tidak," jawabnya kemudian. Meskipun perempuan itu mengatakan tidak, Kafka tahu benar bagaimana perasaan mamanya. Dia meraih tangan Windi dan menggenggamnya dengan erat."Kafka tahu Mama sayang sama Kak Okta. Sama seperti mama sayang pada Kafka. Kami tahu itu. Tapi, apa pun itu Kak Okta harus mendapatkan hukumannya. Dia harus menjalani itu semua. Itu adalah risiko dari apa yang sudah dia lakukan." Kafka mencoba menjelaskan."Iya Mama tahu," ujar Windi seperti seseorang yang frustas
Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Kini, semua mata tertuju pada dua pria yang kali ini sedang beradu mekanik. Okta yang sempat mengambil pisau kecil dari saku celananya sempat melukai lengan pria yang tidak dikenal dan mencampuri urusannya itu."Lisa," panggil Argo lirih. Dia pun berlari cepat untuk mendekati Melissa."Melissa," panggil Argo sekali lagi ketika berada di samping perempuan itu."Argo," panggil Melissa dengan suara takut. Perempuan itu langsung memeluk Argo dengan erat."Aku takut," ujarnya kemudian.Argo membelai kepala Melissa dengan lembut. "Tenang. Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang," ujarnya kemudian."Bawa dia menjauh," ujar Kafka menatap Argo.Argo pun mengangguk. "Ayo kita menjauh dari tempat ini," ujarnya pada Melissa.Melissa pun mengangguk lalu mengikuti langkah Argo untuk berada di tempat yang aman.Kafka yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Sedih pastinya, karena dia melihat kemesraan antara Argo dan juga Melissa. Namun, di
"Diam!" bentak Okta kemudian. Dia merasa kesal karena mobilnya tidak bisa dikendalikan.Dan kini Melissa yang sudah sadar. "Apa yang kamu lakukan, Okta? Apa yang terjadi?" tanya Melissa bertubi-tubi. Dia tidak peduli jika Okta marah dan memintanya untuk diam.Hingga sebuah sirine dia dengar. Melissa langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dia melihat beberapa mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari keberadaan mobilnya. "Polisi," ujarnya penuh dengan rasa senang.Dia merasa bahwa dirinya akan selamat dari tragedi ini. Melisa pun mencoba untuk membuka pintu mobil yang tertutup. Namun, tidak bisa. "Buka pintunya, Okta," ujar Melissa kemudian dengan mencoba, terus mencoba disertai tatapannya yang begitu tajam ke arah Okta."Tidak. Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap sama aku," ujar Okta Yang sepertinya tidak tahu jika nasibnya sudah berakhir."Kamu sudah terkepung Okta. Kamu tidak bisa lari. Lebih baik menyerah saja. Kamu tidak melihat begitu banyak poli
Okta langsung membanting ponsel miliknya k atas ranjang. Dia pun bangkit dari duduknya sembari meraih tangan Melissa. "Ayo," ujarnya dengan ekspresi yang menunjukkan kepanikan.Melisaa yang tida tahu apa yang terjadi pun menatap Okta dengan bingung. "Ayo?" tanyanya kemudian."Iya ayo. Cepat kita pergi." Okta kembali berujar. Kali ini dengan sedikit menarik tangan Melissa.Melisaa yang masih belum paham pun tetap pada posisinya. "Pergi? Pergi ke mana? Makanannya kan belum habis," ujar Melissa dengan menunjuk ke arah mangkuk miliknya yang masih teleihat banyak.Okta menggeram kesal. "Hah! Itu kita bisa beli lagi nanti. Yang penting ayo kita pergi sekarang," ujar Okta yang semakin terlihat panik."Ngapain sih buru-buru banget?" Melissa menatap curiga Okta. Hingga sesuatu terlintas di kepalanya."Nanti lah." Dia menarik tangannya yang dipegang Okta. "Nikmatin dulu aja makanannya. Udah dari pagi belum makan, sekarang makan malah disuruh cepet-cepet. Mending kalau udah habis. Lah ini masih
Argo menatap Tuan Bagus. "Irin baru saja menghubungi saya, Om. Dia mengatakan satpam yang kemarin bertugas menjaga pos melihat kedatangan Okta yang katanya ingin mengambil uang pesangon. Tapi mereka baru sadar tidak pernah melihat Okta keluar dari perusahaan. Dugaan Argo, bisa saja yang mengendarai mobil Melissa ketika pergi dari perusahaan adalah Okta," jelasnya tanpa ada yang ditutupi karena rasanya itu percuma.Sebab Tuan Bagus bukanlah orang yang mudah dibohongi."Jadi menurutmu Okta menjebak Melisa?" tanya dengan mengepalkan tangan.Argo mengangguk dan menggeleng sedikit. Terlihat rumit. "Entahlah. Ini susah dijelaskan tapi saya yakin dia yang melakukan semua ini. Dan saya juga yakin dia juga yang membawa mobil Melissa.""Jadi, menurutmu Melissa dibawa ke mana sama dia?" tanya Tuan Bagus.Argo menggeleng. "Saya juga belum tahu, Om. Tapi yang jelas dia ingin membawa Melisa jauh dari kita karena yang kita tahu Okta sangat menginginkan Melisa bersamanya," ujarnya kemudian.Tuhan Bag
Kepulangan Argo Malam ini terasa sangat berat. Aplagi dia yang belum bisa menemukan Melisa dan tidak tahu harus mengatakan apa pada Tuan bagus. Mengingat bagaimana kondisi pria itu saat ini sepertinya tidak boleh mendengarkan hal-hal buruk tentang apapun.Argo memasuki rumah, dia langsung disambut oleh tawa Lisa yang berlari ke arah dirinya dan memeluk pria itu. "Papa baru pulang?" tanya Lisa dengan suara khas anak kecilnya.Argo tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Pria itu mengangguk di depan Lisa. "Ya. Papa baru pulang.""Pasti papa lelah," ucapnya kemudian."Kamu tahu saja." Argo menyentil hidung Lisa lalu keduanya tertawa bersama."Gimana, Pa? Papa sudah menemukan Mama?' tanya Lisa kemudian.Dia tahu betul kalau kepergian Argo hari ini adalah untuk mencari Melisa. Argo yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya bisa mengembuskan napas kasarnya. "Maaf, Sayang. Papa belum bisa menemukan Mama," ujarnya penuh penyesalan.Lisa yang sebelumnya penuh senyuman ini melunturkan sen
Melissa melotot melihat keberadaan Okta di hadapannya. erempuan itu menata benci mantan suaminya yang telah menculik dirinya."Di mana aku?" tanya Melisa dengan suara keras. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangannya meski saat ini sudah merasakan sakit.Okta yang melihat itu malah tersenyum. "Jangan teriak-teriak. Nanti suara kamu jadi serak terus tenggorokan kamu jadi sakit," ujar Okta. Pria itu menutup kembali pintu lalu mendekati Melissa dan duduk di samping mantan istrinya itu.Dia menatap Melissa yang masih terus berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dia buat. Okta hanya tersenyum miring. Dia meletakkan bungkusan makanan yang baru saja dia beli di atas meja samping ranjang."Kamu jangan bergerak seperti itu. Nanti tangan kamu lecet." Kali ini Okta mengulurkan tangan dan melihat tangan Melissa yang masih terikat."Tuh lihat. Pergelangan tangan kamu sudah memerah. Kalau kamu terus seperti ini, nanti benar-benar luka," ujar pria itu penuh perhatian.Mungkin jika Okta m