Melisa menangis sembari membawa mobilnya pergi dari rumah sakit. Dia tahu ini berbahaya, tetapi bertahan di sana pun tidak mungkin. Dia menghapus air mata di pipi secara kasar.
"Kalian jahat! Kalian pengkhianat!" teriak Melisa dengan keras sembari memukul kemudi. Dia tidak peduli kalau tangannya akan merasa kesakitan. Menutupi bibir dengan punggung tangan, dia menangis dengan tersedu-sedu. Melisa menggeleng pelan. "Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?" tanyanya di sela tangis. Masih merasa terkejut dan kecewa karena melihat mamanya yang menutupi kebusukan adik dan juga suaminya. Tiba-tiba Melisa mengingat satu orang. "Papa," bisiknya. Perempuan itu menangis semakin kencang. Dalam hati dia menduga kalau mamanya tahu mengenai hal ini, pasti papanya juga mengetahui hal ini. Kedua tangan Melisa mencengkeram kemudi, dia semakin menangis kencang. "Kenapaa? Kenapa kalian jahat sekali?" tanyanya dengan berteriak. Perempuan yang tengah terluka hatinya itu melajukan mobil menuju kantor, tempatnya bekerja dan juga milik sang papa. Seakan tidak peduli dengan keselamatan, Melisa memacu kendaraannya dengan sangat kencang. Dia ingin segera menemui papanya dan menanyakan apa maksud semua ini. Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan lobi sebuah kantor. Tanpa mau repot memarkirkan kendaraannya dengan tepat, Melisa segera turun dan berjalan cepat menuju ruangan papanya berada. Dia menemui seorang pria yang tak lain adalah sekretaris papanya. "Papa ada?" tanya Melisa. Mungkin sekretaris itu akan merasa bingung karena untuk pertama kalinya Melisa memanggil papanya dengan sebutan itu, karena selama ini mereka mengedepankan profesional di mana papanya memanglah atasan di sini. "Ada." Pria di balik meja mengangguk. Melisa langsung membuka pintu ruangan sang papa. Terlihat papanya yang langsung menatap ke arahnya dengan senyum mengembang. "Melisa." Mungkin biasanya dia akan bersikap sopan atau memeluk sang papa. Namun, kekecewaan yang ada di dalam hatinya saat ini membuat Melisa kembali meneteskan air mata. Dia mendekati sang papa. "Kenapa Papa tega?" Bagus yang sebelumnya sedang mengerjakan sebuah berkas tentu saja merasa bingung kala tiba-tiba putrinya datang dengan menangis dan menyebut dirinya tega. "Apa maksud kamu, Sayang?" tanya Bagus dengan kerutan di kening. "Kenapa Papa tega sama Melisa? Untuk apa Papa berlagak menolak keinginan Rani menikahi Mas Okta kemarin kalau Papa diam saja ketika tahu mereka berselingkuh dan menutupi semuanya dari Melisa," ujar Melisa dengan cepat dan juga rasa kesal yang dia tahan. Tangisnya sudah banjir, napasnya terlihat memburu saat ini. Bagus yang mendengar itu menganga sektika. Bola matanya melotot tak percaya. Dia mencoba mensugesti dirinya telah salah dengar karena Melisa mengatakan hal tadi dalam keadaan menangis. "Apa maksud kamu, Sayang?" "Papa nggak usah pura-pura lagi. Melisa tidak habis pikir sama Papa. Kenapa Papa menutupi perselingkuhan Rani dan Mas Okta dari aku?" Melisa menggeleng pelan dengan menekan dadanya kuat. Bahkan sesekali dia memukulnya. "Papa sama Mama tega menutupi kebusukan mereka dari Melisa. Kalian tega. Kalian tega sama Melisa," ujar Melisa yang melirih pada kalimat terkahir. Perempuan itu jatuh meluruh ke lantai dengan tangis yang menyayat hati. Bahunya bergetar menandakan betapa terguncangnya perempuan itu mengetahu perselingkuhan adiknya dan juga sang suami. Sedangkan Bagus sendiri masih berdiri di tempatnya. Bola mata pria itu melotot lebar karena merasa syok mendengar apa yang dikatakan putrinya. Tubuhnya pun terpaku. "Rani. Dan Okta berselingkuh?" bisiknya. Pandangan Bagus mengarah pada putrinya yang menangis. Di mendekati Melisa lalu memegang kedua pundaknya. "Melisa. Tatap papa. Tatap papa." Dia berujar dengan sedikit mengguncang tubuh Melisa. Melisa menggeleng, dia mencoba melepaskan tangan papanya. "Melisa tidak mau melihat Papa. Papa tega sama Melisa." "Melissa! Melisa dengar papa!" Bagus sedikit membentak putrinya agar dia mendapat perhatian. Bagus menggeleng pelan ketika Melisa menatapnya. "Papa tidak tahu mengenai perselingkuhan mereka, Nak. Papa tidak tahu. Papa berani bersumpah sama kamu," ujar Bagus dengan suara sedih menyadari kenyataan ini. Melisa terpaku untuk sesaat. Detik kemudian dia kembali menangis dan menjatuhkan tubuhnya di pelukan sang papa. "Mereka berselingkuh, Pa. mereka menjalin hubungan di belakang Melisa," ujar Melisa lagi dengan suara yang menyayat hati. Bagus memeluk putrinya. Masih ada rasa tidak percaya dengan semua ini. Dia melepaskan pelukan melisa dan menatap putrinya lamat-lamat. "Kamu tahu dari mana hal ini, Nak?" Melisa mencoba meredakan tangisnya. Dia menelan ludah kasar. "Tadi Melisa mau mengantar makanan untuk Mama di rumah sakit. Ternyata di sana ada Mas Okta. Melisa mendengar semua percakapan mereka. Rani dan Mas Okta memiliki hubungan bahkan saat ini Rani sedang hamil anak Mas Okta, Pa. Mama pun juga tahu mengenai hubungan mereka," ujar Melisa yang diakhiri dengan tangis kembali. Bagus semakin merasa syok. Belum selesai rasa terkejutnya tentang perselingkuhan mereka, kenyataannya adalah Rani yang hamil dan juga istrinya yang menutupi semua ini dari dirinya. Bagus mengeratkan pelukan pada Melisa, ada kemarahan dalam ekspresi pria itu. Tak lama, dia merasakan berat dan tak lagi mendengar suara tangis putrinya. "Melisa. Melisa," panggil Bagus yang ternyata Melisa tak sadarkan diri. *** "Kamu yakin mau bercerai?" tanya Bagus pada Melisa. Setelah beristirahat seharian di ruangan privat sang papa, malam ini Melisa memutuskan untuk pulang. Ya, pulang ke rumah mertuanya tetapi hanya untuk mengambil barang-barangnya. Melisa yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung mengangguk. "Yakin, Pa. Lagi pun mau apalagi yang dipertahankan dalam rumah tangga ini. Perselingkuhan bukan kesalahan yang bisa ditolerir bagi Melisa apalagi Mas Okta berselingkuh dengan Rani, bahkan Rani sampai hamil." Melisa menggeleng pelan. "Membayangkan bertahan saja Melisa tidak mampu, Pa." Bagus menghela napas dalam. "Kalau papa mengatakan tidak baik mengambil keputusan di saat marah, itu hanya akan terlihat sebuah basa-basi. Semua keputusan papa serahkan sama kamu. Papa hanya berharap kamu bisa bahagia ke depannya," ujar bagus kemudian. "Satu yang harus kamu ingat. Papa akan selalu bersama kamu." Melisa mengangguk. Dia memeluk papanya sebelum pergi meninggalkan kantor. Menarik napas dalam, dia harus siap berpamitan pada mertuanya. Sedangkan Bagus sendiri menatap kepergian putrinya dengan sendu, tidak pernah dia bayangkan nasib pernikahan putrinya akan seperti ini. Tiba-tiba saja tatapannya menajam, urat di leher membentuk jelas, kemarahan tercetak di wajahnya. "Riyanti, Rani," geram Bagus. Dia pun berjalan menuju mobilnya dan segera meminta sopir untuk menuju rumah sakit guna bertemu istri dan juga anak bungsunya. Sesampainya di rumah sakit, Bagus langsung menuju ruang rawat putrinya. Dia membuka pintu ruangan dengan kasar juga tatapan tajam ke arah sang istri dan juga Rani. Riyanti yang belum menyadari kemarahan suaminya menatap Bagus dengan kesal. "Papa ini bikin kaget aja sih?" Dia mengelus dadanya beberapa kali. "Papa ini dari mana aja? Kok baru datang? Dari pagi sampai malam juga. Nggak kasihan apa sama mama yang sampai telat makan karena nungguin Rani?" ujar Riyanti yang terus menggerutu dan mengeluh. Bagus mengabaikan itu. Dia menatap tajam ke arah Rani yang tengah duduk di brankar sembari menikmati buah. Bagus mendekati Rani tanpa kata, tepat ketika dia sudahh berdiri di depan putrinya, tanpa ragu Bagus langsung melayangkan tamparan ke wajah Rani. "Papa!" teriak Riyanti keras karena terkejut."Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak."Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan
Permintaan Gila Adikku***"Ada apa tiba-tiba Rani minta kami datang, Pa, Ma?" tanya Melisa ketika dia baru saja memasuki kediaman kedua orang tuanya. Padahal, beberapa hari lalu dia baru saja mengunjungi tempat ini sebagai kegiatan rutin dia dan sang suami mengunjungi rumah orang tuanya. Kini, dia dan Okta harus datang kembali ke rumah ini. Keduanya menyalami tangan orang tua Melisa.Melisa menatap pasangan paruh baya yang ada di hadapannya secara bergantian untuk mendapat jawaban. Namun, keduanya sama-sama menggeleng."Mama tidak tahu." Riyanti. Perempuan paruh baya itu menjawab."Papa juga."Melisa pun akhirnya memilih duduk. "Sekarang dia di mana?" tanyanya kemudian."Tuh masih di kamar," ujar Riyanti sembari menunjuk kamar Rani menggunakan dagu.Tak lama, Rani pun keluar dari kamarnya. "Eh. Kak Okta. Kak Melisa sudah datang."Perempuan yang baru saja lulus dari kuliahnya beberapa minggu lalu itu mendekati semua anggota keluarga lalu ikut bergabung dengan mereka, duduk di kursi s
Okta dan Melisa sudah berada di rumah mereka sendiri, lebih tepatnya di rumah kedua orang tua Okta. Sebelum menikah memang Okta mengatakan dia ingin keduanya tinggal di rumahnya karena tidak ada yang mengurus kedua orang tuanya. Okta dua bersaudara. Satu Adik laki-lakinya masih menempuh pendidikan di luar Negri yang pastinya tidak berada di rumah. Kalau pulang pun hanya sesaat saja. Melisa menyanggupi karena di rumahnya sudah ada Rani yang akan mengurus kedua orang tua mereka.Namun, kejadian hari ini benar-benar membiat dirinya merasa syok. Keduanya tengah berbaring di atas ranjang, menatap ke atas dengan pikiran yang bercabang."Kenapa kamu diam saja sejak tadi, Mas?" tanya Melisa pada suaminya. Dia tahu kalau Okta belum tidur sejak tadi.Terdengar helaan napas dalam dari Okta. Pria itu melipat tangan di atas perutnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Melisa. Ini ... Ini terlalu mengejutkan bagiku," ujarnya kemudian.Melisa malah merasa aneh dengan suaminya ini yang sejak tadi te
"Apa maksud kamu, mas?" tanya Melisa yang sudah berhasil menguasai diri dari rasa terkejut. Dia menatap suaminya dengan bola mata melotot."Jangan sembarangan kalau bicara, Mas. Ini bukan hal sepele. Sadar kamu." Dia melanjutkan."Nak Okta. Kamu tenangkan diri dulu, kanga bertindak gegabah. Ini bukan keputusan yang asal ambil dan akan berlalu begitu saja. Ini akan mempengaruhi masa depan banyak orang," Bagus ikut berujar menasihati suami dari anak pertamanya itu.Okta menghela napas dalam. Dia menatap mertua dan juga istrinya. "Pa, Mel. Aku sadar. Aku sadar benar dengan apa yang aku katakan." Dia memberi tahu."Mel. Coba kamu lihat adik kamu. Dia dalam keadaan lemah. Bukankah menyelamatkan nyawa itu termasuk hal kebaikan?" tanya Okta.Melisa semakin menatap tidak percaya suaminya. Pandangan macam apa itu? "Apa-apaan itu, Mas? Kita bisa menyelamatkan nyawanya tanpa harus kamu menikahinya. Lagi pun dia sudah selamat, kan? Dokter juga mengatakan kalau dia sudah dalam keadaan baik meski l
"Kalian sudah baikan?" tanya Winda. Ibunya Okta. Ini adalah hari setelah Melisa dan Okta berdebat mengenai rencana pria itu yang akan menikahi Rani."Mereka bertengkar?" tanya pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Okta."Ya kemarin." Winda mengangguk.Okta tersenyum. "Maklumin saja, Pa, Ma. Namanya juga rumah tangga. Pasti ada perdebatan kecil sedikit. Ya nggak, Sayang?" tanya Okta pada Melisa."Tapi kita sudah baikan kok." Okta melanjutkan.Sekedar informasinya saja, kedua orang tua Okta belum mengetahui rencana anak mereka yang ingin menikahi adik dari menantunya itu. Jujur saja Melisa merasa ragu untuk mengatakan pada keduanya karena kebanyakan, orang tua laki-laki pasti akan mendukung apa yang anak mereka lakukan."Benar itu, Melisa?" tanya Khalif, papanya Okta.Melisa memaksakan senyum lalu mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Kami sudah baikan kok."Khalif mengangguk beberapa kali. "Syukurlah. Kalau Okta berbuat Saka sama kamu lagi, jangan ragu untuk mengatakannya pada papa. Saat it