Share

6. Pergi

"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.

Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.

Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak.

"Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.

Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.

Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan bertanya hal seperti itu?" tanya Riyanti yang tiba-tiba ikut merasa kesal sebab suaminya menanyakan hal yang menyakitkan hati.

Bagus masih menatap tajam Rani dan sang istri. "Lalu apa yang harus papa tanyakan kalau bukan bertanya seperti itu?" tanyanya kemudian.

"Katakan! Apa yang harus papa tanyakan kalau bukan bertanya mengenai itu?" Bagus mengulang kalimat pertanyaannya.

"Papa ini apa-apaan sih?" tanya Riyanti sedikit sewot.

"Apa papa harus bertanya bagaimana keadaan kandungan kamu? Begitu?" Bagus bisa melihat bola mata kedua perempuan di hadapannya semakin melotot lebar, bahkan keduanya saling tatap untuk beberapa saat.

"Atau papa harus bertanya sejak kapan dia menjadi simpanan Okta?" lanjut Bagus kemudian.

Semakin terkejutlah Rani dan Riyanti. "Papa," panggil Riyanti, dalam hati mereka bertanya-tanya apakah Bagus sudah mengetahui mengenai perselingkuhan Rani dan Okta?

Bagus mengangkat tangan ketika melihat istrinya yang membuka bibir, pertanda untuk Riyanti tetap diam karena dia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun saat ini.

Bagus menggeleng pelan, gurat kekecewaan terlihat jelas di wajahnya saat ini. "Papa benar-benar tidak menyangka sama kamu Rani. Bisa-bisanya kamu berselingkuh dengan Okta. Dengan suami kakakmu sendiri?" tanyanya dengan Nada tinggi di akhir kata. Urat di leher menunjukkan jelas seberapa marahnya Bagus saat ini.

"Memalukan!" Maki Bagus pada Rani.

"Pa---"

"Dan kamu?" teriak Bagus memotong kalimat yang akan diucapkan istrinya. Pria itu kini menunjuk wajah Riyanti dengan kemarahan yang kembali tersulut mengingat istrinya menyembunyikan hal sebesar ini.

"Kamu sudah keterlaluan, Ma. Kamu menutupi kebusukan anak kamu yang menjadi selingkuhan ini! Kamu mendukung apa yang dia lakukan begitu?" Bagus berkacak pinggang.

"Kamu mendukung dia menjadi pelakor begitu? Iya?" Suara Bagus semakin meninggi.

'Keterlaluan!" Dada Bagus naik turun akibat kemarahan. Dia masih benar-benar tidak menyangka dengan apa yang sudah dilakukan pada dua orang ini.

Riyanti kini sangat yakin kalau suaminya telah mengetahui perselingkuhan Rani dan juga suami Melisa. Dia mencoba mendekati Bagus dengan menggapai tangannya. "Pa---"

"Kami menjalin hubungan karena kami saling mencintai, Pa." Tiba-tiba saja Rani yang sejak tadi diam membuka suaranya. Kalimat yang diucapkan perempuan itu mengatakan kebenaran atas perselingkuhannya.

Riyanti yang mendengar itu melotot seketika, menatap tajam putrinya dan merutuki kebodohan Rani. "Rani! Diam!" Dia menegurnya.

"Apa, Ma? Biarkan saja aku bicara. Toh Papa sudah tahu semuanya. Apalagi yang harus kita tutup-tutupi?" Rani menatap mamanya penuh tanya.

Riyanti semakin melotot. Ingin sekali dia menoyor kepala Rani agar otak perempuan itu bisa encer sedikit.

"Kalian." Bagus menunjuk dua orang itu secara bergantian.

"Kalian benar-benar keterlaluan! Papa kecewa sama kalian!" Bagus langsung membalikkan badan dan pergi dari ruangan itu.

"Papa. Papa." Riyanti bermaksud mengejar sang suami, tetapi dia menyadari kalau itu terasa percuma.

"Kamu ini, Ran. Gimana sih?" Dia berujar kesal pada putrinya.

Sedangkan Rani yang masih santai memilih untuk kembali memakan jeruknya yang tersisa. "Sudahlah, Ma. Jangan dipikirkan lagi. Cepat atau lambat Papa dan Kak Melisa harus tahu juga, kan?"

Riyanti berdecak. Dia merasa bingung saat ini. Mendudukkan diri pada sofa, dia pun hanya bisa memegang ujung keningnya karena merasa pusing.

***

Melisa sudah sampai di kediaman Okta. Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu utama. Sebelum membuka pintu, Melisa tampak menarik napas dalam seolah menyiapkan diri untuk segala hal yang akan terjadi.

Setelah siap, Melisa pun memasuki rumah. Dia melihat suami dan kedua mertuanya sedang bersantai berada di ruang tengah.

"Itu Melisa," ujar Okta yang melihat kedatangan sang istri. Semua atensi pun terarah kepadanya.

"Kamu lembur, Sayang makanya baru pulang?" tanya Okta.

Melisa memang menghentikan langkah sebentar, tetapi dia hanya mengangguk lalu meninggalkan ruang tengah menuju kamar. Dia akan mengemasi pakaiannya lebih dulu.

Okta yang menatap gelagat aneh istrinya memilih langsung mengikuti Melisa. Memasuki kamar, dia mengerutkan kening kala melihat sang istri yang mulai mengemasi pakaian ke dalam koper.

"Melisa? Apa yang kamu lakukan?" tanya Okta. Dia mendekati sang istri.

Berdiri di ujung ranjang, dia menatap pergerakan istrinya yang mengambil pakaian dari dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper. Tak ada jawaban untuk pertanyaannya tadi. 

"Kamu ada tugas ke luar kota? Dan harus siap-siap sekarang?" tanyanya lagi dan tetap tidak mendapat jawaban.

Okta pun mulai kesal karena merasa diabaikan. "Sayang. Kamu masih kesal karena aku memiliki niatan menikahi Rani? Oh ayolah jangan kekanak-kenakan seperti ini dengan mendiamkan aku," ujarnya dengan kekehan.

Namun, tetap tidak ada jawaban sama sekali.

Okta mulai merasa aneh kala Melisa memasukkan semua pakaiannya. Dia pun mendekati sang istr, mengulurkan tangan lalu memegang pundak sang istri sembari bertanya. "Melisa apa yang ka---"

"Jangan sentuh aku!" teriak Melisa keras sembari menepis tangan Okta yang ingin memegang pundaknya.

Kini dia berbalik badan dan menatap tajam sang suami sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah Okta. Dia menggeleng pelan. "Jangan sekali-kali menyentuhku dengan tangan kotormu yang sudah menjamah tubuh perempuan lain itu," ujarnya sekali lagi dengan air mata yang jatuh membasahi pipi.

Okta yang melihat keadaan Melisa pun merasa aneh. Dalam hati bertanya apakah semarah itu Melisa sampai ingin meninggalkan rumah? Dan apa pertanyaannya tadi? 

"Kamu ini kenapa sih? Marah-marah tidak jelas. Dan itu ...." Okta menunjuk ke arah koper sang istri.

"Untuk apa juga kamu memasukkan semua pakaian kamu ke dalam koper? Kamu mau pergi dari rumah ini?" tanya Okta kemudian.

"Ya." Hanya itu jawaban dari Melisa dan dia melanjutkan kembali aktivitasnya memindahkan pakaiannya.

"Kamu ini kenapa sih? Kalau kamu marah soal Rani, tidak perlu seperti ini." Dia mencoba mengeluarkan pakaian sang istri yang sudah masuk ke koper.

Namun, di luar dugaan Melisa yang melihat itu langsung melabuhkan sebuah tamparan pada Okta dengan sangat keras. Dia melakukannya dengan sekuat tenaga yang dia punya. Napasnya memburu dengan dada naik turun.

Tangan Melisa kembali menunjuk ke arah Okta. "Jangan, coba-coba menghentikan aku," ujarnya penuh penekanan.

Okta marah dengan hal itu. "Bisa tidak kita bicara baik-baik? Jangan seperti in---"

"Istri mana yang bisa baik-baik saja kalau suaminya sudah berselingkuh di belakangnya!" teriak Melisa keras karena dia sudah benar-benar merasa muak. Tidak peduli kalau mertuanya akan mendengar keributan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status