Share

6. Pergi

Penulis: Evie Edha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-05 13:00:58

"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.

Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.

Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak.

"Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.

Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.

Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan bertanya hal seperti itu?" tanya Riyanti yang tiba-tiba ikut merasa kesal sebab suaminya menanyakan hal yang menyakitkan hati.

Bagus masih menatap tajam Rani dan sang istri. "Lalu apa yang harus papa tanyakan kalau bukan bertanya seperti itu?" tanyanya kemudian.

"Katakan! Apa yang harus papa tanyakan kalau bukan bertanya mengenai itu?" Bagus mengulang kalimat pertanyaannya.

"Papa ini apa-apaan sih?" tanya Riyanti sedikit sewot.

"Apa papa harus bertanya bagaimana keadaan kandungan kamu? Begitu?" Bagus bisa melihat bola mata kedua perempuan di hadapannya semakin melotot lebar, bahkan keduanya saling tatap untuk beberapa saat.

"Atau papa harus bertanya sejak kapan dia menjadi simpanan Okta?" lanjut Bagus kemudian.

Semakin terkejutlah Rani dan Riyanti. "Papa," panggil Riyanti, dalam hati mereka bertanya-tanya apakah Bagus sudah mengetahui mengenai perselingkuhan Rani dan Okta?

Bagus mengangkat tangan ketika melihat istrinya yang membuka bibir, pertanda untuk Riyanti tetap diam karena dia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun saat ini.

Bagus menggeleng pelan, gurat kekecewaan terlihat jelas di wajahnya saat ini. "Papa benar-benar tidak menyangka sama kamu Rani. Bisa-bisanya kamu berselingkuh dengan Okta. Dengan suami kakakmu sendiri?" tanyanya dengan Nada tinggi di akhir kata. Urat di leher menunjukkan jelas seberapa marahnya Bagus saat ini.

"Memalukan!" Maki Bagus pada Rani.

"Pa---"

"Dan kamu?" teriak Bagus memotong kalimat yang akan diucapkan istrinya. Pria itu kini menunjuk wajah Riyanti dengan kemarahan yang kembali tersulut mengingat istrinya menyembunyikan hal sebesar ini.

"Kamu sudah keterlaluan, Ma. Kamu menutupi kebusukan anak kamu yang menjadi selingkuhan ini! Kamu mendukung apa yang dia lakukan begitu?" Bagus berkacak pinggang.

"Kamu mendukung dia menjadi pelakor begitu? Iya?" Suara Bagus semakin meninggi.

'Keterlaluan!" Dada Bagus naik turun akibat kemarahan. Dia masih benar-benar tidak menyangka dengan apa yang sudah dilakukan pada dua orang ini.

Riyanti kini sangat yakin kalau suaminya telah mengetahui perselingkuhan Rani dan juga suami Melisa. Dia mencoba mendekati Bagus dengan menggapai tangannya. "Pa---"

"Kami menjalin hubungan karena kami saling mencintai, Pa." Tiba-tiba saja Rani yang sejak tadi diam membuka suaranya. Kalimat yang diucapkan perempuan itu mengatakan kebenaran atas perselingkuhannya.

Riyanti yang mendengar itu melotot seketika, menatap tajam putrinya dan merutuki kebodohan Rani. "Rani! Diam!" Dia menegurnya.

"Apa, Ma? Biarkan saja aku bicara. Toh Papa sudah tahu semuanya. Apalagi yang harus kita tutup-tutupi?" Rani menatap mamanya penuh tanya.

Riyanti semakin melotot. Ingin sekali dia menoyor kepala Rani agar otak perempuan itu bisa encer sedikit.

"Kalian." Bagus menunjuk dua orang itu secara bergantian.

"Kalian benar-benar keterlaluan! Papa kecewa sama kalian!" Bagus langsung membalikkan badan dan pergi dari ruangan itu.

"Papa. Papa." Riyanti bermaksud mengejar sang suami, tetapi dia menyadari kalau itu terasa percuma.

"Kamu ini, Ran. Gimana sih?" Dia berujar kesal pada putrinya.

Sedangkan Rani yang masih santai memilih untuk kembali memakan jeruknya yang tersisa. "Sudahlah, Ma. Jangan dipikirkan lagi. Cepat atau lambat Papa dan Kak Melisa harus tahu juga, kan?"

Riyanti berdecak. Dia merasa bingung saat ini. Mendudukkan diri pada sofa, dia pun hanya bisa memegang ujung keningnya karena merasa pusing.

***

Melisa sudah sampai di kediaman Okta. Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu utama. Sebelum membuka pintu, Melisa tampak menarik napas dalam seolah menyiapkan diri untuk segala hal yang akan terjadi.

Setelah siap, Melisa pun memasuki rumah. Dia melihat suami dan kedua mertuanya sedang bersantai berada di ruang tengah.

"Itu Melisa," ujar Okta yang melihat kedatangan sang istri. Semua atensi pun terarah kepadanya.

"Kamu lembur, Sayang makanya baru pulang?" tanya Okta.

Melisa memang menghentikan langkah sebentar, tetapi dia hanya mengangguk lalu meninggalkan ruang tengah menuju kamar. Dia akan mengemasi pakaiannya lebih dulu.

Okta yang menatap gelagat aneh istrinya memilih langsung mengikuti Melisa. Memasuki kamar, dia mengerutkan kening kala melihat sang istri yang mulai mengemasi pakaian ke dalam koper.

"Melisa? Apa yang kamu lakukan?" tanya Okta. Dia mendekati sang istri.

Berdiri di ujung ranjang, dia menatap pergerakan istrinya yang mengambil pakaian dari dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper. Tak ada jawaban untuk pertanyaannya tadi. 

"Kamu ada tugas ke luar kota? Dan harus siap-siap sekarang?" tanyanya lagi dan tetap tidak mendapat jawaban.

Okta pun mulai kesal karena merasa diabaikan. "Sayang. Kamu masih kesal karena aku memiliki niatan menikahi Rani? Oh ayolah jangan kekanak-kenakan seperti ini dengan mendiamkan aku," ujarnya dengan kekehan.

Namun, tetap tidak ada jawaban sama sekali.

Okta mulai merasa aneh kala Melisa memasukkan semua pakaiannya. Dia pun mendekati sang istr, mengulurkan tangan lalu memegang pundak sang istri sembari bertanya. "Melisa apa yang ka---"

"Jangan sentuh aku!" teriak Melisa keras sembari menepis tangan Okta yang ingin memegang pundaknya.

Kini dia berbalik badan dan menatap tajam sang suami sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah Okta. Dia menggeleng pelan. "Jangan sekali-kali menyentuhku dengan tangan kotormu yang sudah menjamah tubuh perempuan lain itu," ujarnya sekali lagi dengan air mata yang jatuh membasahi pipi.

Okta yang melihat keadaan Melisa pun merasa aneh. Dalam hati bertanya apakah semarah itu Melisa sampai ingin meninggalkan rumah? Dan apa pertanyaannya tadi? 

"Kamu ini kenapa sih? Marah-marah tidak jelas. Dan itu ...." Okta menunjuk ke arah koper sang istri.

"Untuk apa juga kamu memasukkan semua pakaian kamu ke dalam koper? Kamu mau pergi dari rumah ini?" tanya Okta kemudian.

"Ya." Hanya itu jawaban dari Melisa dan dia melanjutkan kembali aktivitasnya memindahkan pakaiannya.

"Kamu ini kenapa sih? Kalau kamu marah soal Rani, tidak perlu seperti ini." Dia mencoba mengeluarkan pakaian sang istri yang sudah masuk ke koper.

Namun, di luar dugaan Melisa yang melihat itu langsung melabuhkan sebuah tamparan pada Okta dengan sangat keras. Dia melakukannya dengan sekuat tenaga yang dia punya. Napasnya memburu dengan dada naik turun.

Tangan Melisa kembali menunjuk ke arah Okta. "Jangan, coba-coba menghentikan aku," ujarnya penuh penekanan.

Okta marah dengan hal itu. "Bisa tidak kita bicara baik-baik? Jangan seperti in---"

"Istri mana yang bisa baik-baik saja kalau suaminya sudah berselingkuh di belakangnya!" teriak Melisa keras karena dia sudah benar-benar merasa muak. Tidak peduli kalau mertuanya akan mendengar keributan ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   7 Dilarang Mertua Pergi

    Okta sempat terkejut sesaat mendengar apa yang dikatakan Melisa. Namun, beberapa saat kemudian dia menunduk dan tak lama bahunya bergetar, terdengar suara tawa dari bibir pria itu. Melisa yang sudah dalam keadaan kembali menangis langsung menatap bingung sang suami yang kini malah tertawa. Dalam hati Melisa bertanya apakah suaminya ini sudah gila? Sedangkan Okta sendiri kini menatap Melisa kembali, masih dengan tawanya. "Oh. Ternyata kamu sudah tahu?" tanyanya kemudian. "Baguslah kalau kamu sudah tahu," lanjut Okta. Sedangkan Melisa malah merasa syok dengan sikap suaminya. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah pria itu akan apa yang telah dia lakukan di belakangnya. "Sinting kamu," maki Melisa. "Memang sudah keputusan yang tepat kalau kita berpisah," lanjutnya yang mana Melisa langsung kembali memasukkan sisa pakaiannya. Kali ini Okta tidak lagi menghalangi niat Melisa untuk pergi. Terserah istrinya itu meminta apa saat ini. Toh semuanya sudah jelas kalau dia akan me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Adikku Ingin Jadi Maduku   8. Rani Anak Siapa

    Kemarahan Winda memuncak mendengar perkataan Okta. "Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengan orang lain ketika kamu sudah beristri, Okta?" tanyanya dengan suara meninggi.Okta memegang pipinya yang terasa panas. Meski dia seorang lelaki, tak menutupi kenyataan bahwa dirinya juga merasa kesakitan dengan tamparan barusan.Dia menatap mamanya yang baru saja memberinya tamparan, ada rasa tidak percaya akan hal itu. "Ma. Aku dan Rani saling mencintai." Dia menjelaskan."Persetan dengan cinta yang kau agungkan sejak tadi. Jika kau masih memiliki istri, kenyataannya hanya nafsu yang kau dahulukan bersama perempuan tidak tahu diri itu." Winda berteriak dengan menunjuk ke arah luar rumah seolah yang dibicarakan ada di sana.Okta tidak setuju kala mendengar Rani yang disebuat sebagai perempuan tidak tahu diri oleh mamanya. "Ma. Jangan bicara seperti itu. Dia calon menantu mama juga," ujar Okta."Mama tidak sudi menjadik

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Adikku Ingin Jadi Maduku   9. Menantu Kami Melisa

    "Papa benar-benar kecewa sama kamu, Okta! Bisa-bisanya. Bisa-bisanya kamu dan Rani ...." Bahkan Khalif saja tidak mampu mengatakan betapa bejatnya anaknya ini."Belajar dari siapa kamu ini, Okta? Papa tidak pernah mengajari kamu seperti ini!" bentaknya keras. Dia sampai menunjuk wajah putranya. Asal tahu saja kalau dia ingin memukul wajah Okta saat ini.Sedangkan Okta hanya bisa diam saja. Dia pikir, orang tuanya akan merasa bahagia dan langsung menerima Rani kalau dia mengatakan kehamilan perempuan itu. Tapi nyatanya malah membuat semua menjadi semakin runyam."Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan. Hancur," ujar Khalif dengan berjalan mondar-mandir di depan anaknya. Tidak henti dia mengurut keningnya."Kam---" Kalimat yang akan dikatakan Khalif urung kala terdengar suara erangan dari arah ranjang. Khalif menoleh dan melihat istrinya yang mulai sadar dari pingsannya. Dia pun segera

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07
  • Adikku Ingin Jadi Maduku   10. Cerita Masa Lalu

    Melisa terkejut dengan kedatangan papanya kembali malam ini. "Papa? Kok Papa balik lagi?" tanya Melisa."Ada yang ketinggalan?" Melisa kembali bertanya, tetapi Tidak ada jawaban.Dia menatap papanya dengan kerutan di kening kala melihat pria itu yang memasuki apartemennya dengan diam.Melisa menutup pintu kala tak ada jawaban dari sang papa. Dia ikut duduk di samping Bagus. "Pa. Ada apa?" tanya Melisa dengan menggenggam tangan papanya.Bagus menatap Melisa dengan sedih. "Tadi Okta dan orang tuanya datang ke rumah. Khalif dan Winda mencari keberadaan kamu. Mereka ingin menemui kamu.""Papa kasih tahu mereka Melisa di mana?" tanya Melisa cepat.Bagus menggeleng dan itu membuat Melisa mengembuskan napas penuh kelegaan. "Syukurlah." Dia mengusap dadanya pelan.Dia memerhatikan wajah sang papa dan melihat ada kegelisahan di sana. "Tapi kenapa Papa sepertinya sedih begitu? Papa merasa bersala

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07
  • Adikku Ingin Jadi Maduku   11. Okta Harus Jadi Milikku

    "Sekarang Rani harus mencari papa kandung Rani di mana, Ma?" tanya Rani pada sang mama. Keinginan menikahi Okta harus tertunda kembali karena tidak ada wali nikah untuk dirinya."Mana mama tahu, Ran. Mama sudah lama tidak bertemu dengan bapak kandung kamu itu." Bu Riyanti sendiri juga merasa bingung dengan hal ini. Jujur saja, dia tidak pernah berpikir sejauh ini ketika dia berpisah dulu. Apalagi ketika dirinya sudah menemukan Bagus, suami keduanya yang jauh lebih kaya dari suami pertamanya. Dia tak pernah lagi kepikiran tentang mantan suaminya."Mana papa kamu tidak pulang sejak tadi malam lagi. Entah di mana di berada sekarang," gerutu Riyanti. Sejak kepergian suaminya semalam, pria itu memang belum kembali pulang.Rani mengembuskan napas kasar. "Ih Mama. Ngapain juga nyari Papa. Toh Papa juga nggak bisa jadi wali nikah aku," ujar Rani dengan memberenggut kesal."Nikah, nikah, nikah saja yang kamu pikirkan itu." Riyanti meneg

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-08
  • Adikku Ingin Jadi Maduku   12. Sampah Bagi Melisa

    Seperti rencananya kemarin, Rani benar-benar mencari keberadaan bapaknya agar dia bisa segera menikah dengan Okta. Perempuan itu mendatangi alamat yang diberikan oleh sang mama. Niat hati ingin mengajak mamanya juga, tetapi Riyanti menolak hal itu.Alasannya, selain karena Riyanti tidak ingin bertemu dengan mantan suaminya lagi, dia juga masih ingin mencari keberadaan Bagus yang sudah beberapa hari ini tidak pulang.Mau bagaimanapun tawaran menggiurkan Rani kalau sudah menjadi istri Okta, tetap saja dia ingin bersama Bagus. Sudah ada cinta di hatinya untuk suaminya itu.Rani baru saja turun dari mobilnya yang susah mendapatkan parkir. Bola matanya melotot dan mulut menganga lebar melihat tempat yang ada di hadapannya."His. Ini beneran aku ke tempat seperti ini sendirian?" tanya Rani dengan ekspresi yang menunjukkan rasa jijik. Bagaimana tidak? Dia harus mendatangi pasar kumuh yang tidak pernah dia datangi sama sekali dalam hid

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-08
  • Adikku Ingin Jadi Maduku   13. Bujukan Yang Gagal

    Riyanti marah pada putri sambungnya ini. Secara tidak langsung, Melisa baru saja menyebut kalau Rani adalah tempat sampah yang menampung pria yang sudah dibuang dan tidak diharapkan oleh Melisa.Riyanti berdiri menatap tajam Melisa dengan napas memburu. "Tega kamu mengatakan itu tentang adik kamu?""Tega Mama menyembunyikan perselingkuhan Rani dengan calon mantan suamiku," balas Melisa dengan nada rendah penuh penekanan. Dia membalas tatapan perempuan yang sudah membesarkan dirinya itu dengan tajam.Melisa tidak masalah kalau Riyanti adalah bukan mama kandungnya, asal perempuan itu juga menyayanginya, Melisa pun akan berbuat sama. Namun, mengetahui apa yang telah Riyanti lakukan di belakangnya, sungguh kecewa dia."Itu artinya Mama mendukung apa yang dilakukan oleh Rani," lanjut Melisa.Riyanti menunduk, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuh seperti menahan sebuah gejolak yang sulit dia artikan. "Mama tidak---" Kalimat yang akan dia

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-09
  • Adikku Ingin Jadi Maduku   14. Mempermalukan Diri Sendiri

    Rani berdiri di hadapan Toto, papa kandungnya yang dia cari beberapa hari ini. Keduanya sudah menyingkir dari beberapa preman yang berada di bawah naungan Toto.Pria tua itu menyalakan korek lalu menyulut rokok yang ada di tangannya. Dia menghisap sebentar lalu mengembuskan asap putih ke udara. Dia menatap Rani dengan tatapan memicing. "Ada apa nyari gue?" tanya Toto kemudian."Saya anak Anda. Salah kalau saya nyari Anda?" tanya Rani kemudian.Toto malah menunjukkan senyum sinisnya. Dia kembali menghisap rokok dan mengembuskan asapnya. "Setelah bertahun-tahun Yanti membawa lo dan nggak biarin gue ketemu lo, sekarang lo nyari gue? Mak lo itu tahu apa nggak? Jangan-jangan nggak tahu lagi. Kalau nggak mending lo pulang sono. Daripada nanti kena marah," ujar Toto dengan santai. Dia seperti mentertawakan keadaan saat ini."Mama tahu kok kalau saya mencari Anda. Malahan saya tahu pasar ini juga dari Mama," ujar Rani. Perempuan itu melipat tangan di depa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-09

Bab terbaru

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   89.

    "Kamu ini ngapain sih di sini? Udah di rumah saja istirahat," ujar Pak Bowo ketika melihat kedatangan Tuan Bagus."Hei. Kau ini. Dijenguk kawan bukannya seneng aku malah mau diusir. Aku, kan hanya ingin membantumu. Menemani kamu karena aku tahu Argo harus mengawasi usaha kalian," ujar Tuan bagus dengan lagak yang dia buat sombong."Iya tidak, Ta?" tanya Tuan Bagus menatap calon menantunya itu."Sebenarnya nggak papa ditinggal juga kok, Om. Kan tinggal hubungin pegawai saja." Argo berujar sopan."Tuh, kan." Pak Bowo tertawa.Tuan Bagus mencebikkan bibir. Dia mengibaskan tangan ke udara. "Ya anggap saja aku kesepian di rumah dan sedang mencari teman ngobrol. Gampang, kan." Dia menarik kursi yang ada di samping brankar lalu duduk di sana."Gimana perkembangan kasusnya?" tanyanya kemudian.Argo menggeleng. "Kami belum mendapatkan kabar dari polisi. Mungkin mereka masih menginterogasi para penghuni kontrakan." Dia menjelaskan.Ruan Bagus tampak berpikir. Dia pun mengangguk kemudian. "Hah.

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   88

    "Mama kenapa sih, Ma?" tanya Khalif ketika melihat istrinya yang terus melamun. Dia duduk di samping Windi lalu merangkul pundak istrinya itu dengan senyuman tipis.Windi menarik napasnya dalam sampai bahunya naik perlahan lalu mengembuskan dengan berbarengan pundaknya yang urun. "Ya mikirin apa lagi, Pa kalau bukan lamaran mama yang ditolak sama Tuan Bagus karena dia sudah menjodohkan Melissa dengan orang lain," jawabnya malas.Khalif mengangguk dan paham kekecewaan sang istri. Dia mengelus pundak Windi dengan lembut. "Sudahlah, Ma. Mungkin Melissa dan Kafka itu memang tidak berjodoh. Janganlah dipaksa terus menerus.""Mama ini tidak memaksa, Pa. Mama ini hanya sedang berusaha." Windi berujar dengan penuh penekanan."Berusaha untuk mencarikan jodoh terbaik untuk anak kita. Dan Melissa menurut mama itu yang paling pas dan cocok," lanjut Windi."Ya kalau bukan jodohnya mau gimana, Ma? Mau diapain juga tidak akan bisa bersama kalau Tuhan tidak berkehendak. Dan, jika Tuhan memang mentakd

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   87.

    Mendapat tawaran dari Melissa untuk tinggal di rumahnya, tentu saja Lisa langsung mengiyakan hal itu. Daripada tidur di rumah sendirian, atau tidur di rumah sakit lagi dan itu tidak membuatmu nyaman, lebih baik tidur di rumah calon mamanya kan?"Sekarang, Lisa cuci muka, cuci kaki dan gosok gigi, ya." Melissa berujar ketika mereka sudah bersiap untuk tidur.Lisa pun mengangguk dan kduanya menuju kamar mandi untuk melakukan ritual itu. Setelah beberapa saat selesai, mereka pun siap untuk mengistirahatkan diri.Melissa membenahi selimut Lisa. "Jangan lupa berdoa sebelum tidur," ujarnya dengan senyuman.Lisa mengangguk dan melakukan apa yang diminta Melissa. Setelahnyamerekapun mulai merebahkan diri. "Terima kasih, Tante Lisa." Gadis itu berujar.Melissa mengangguk. "Sama-sama." Dia pikir setelah itu Lisaakan langsung tidur. Akan tetapi gadis kecil itu masih membuka matanya."Kamu kenapa? Kok masih belum tidur?" tanyanya kemudian.Lisa menatap Melissa dengan takut-takut. "Lisa mau tanya,

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   86.

    Suara klakson langsung berbunyi keras setelah mobil milik Melissa berhenti. Beberapa mobil di belakangnya berhenti dengan jarak yang sangat dekat.Melissa dan Tuan Bagus sama-sama menoleh. "Mel. Kamu ini." Tuan Bagus memperingati."Maaf-maaf." Melissa segera menjalankan kembali mobilnya."Kamu ini ada-ada saja, Mel." Tuan Bagus menggeleng pelan."Lagian Papa bikin aku terkejut aja." Melissa mengerucutkan bibirnya. Dia tetap memfokuskan pandangan lurus ke depan."Maksud ucapan Papa tadi apa?" tanyanya kemudian."Ya Tante Windi tadi?" tanya Tuan Bagus dan dia melihat putrinya yang mengangguk."Ya seperti yang kamu dengar tadi. Tante Windi tadi datang ke rumah dan dia mengatakan niatnya kalau dia ingin kamu menjadi menantunya lagi," ujar Tuan Bagus."Katanya, kamu ingin dinikahkan dengan Kafka," lanjutnya kemudian.Melissa yang mendengar hal itu menggeleng pelan. "Astaga. Asli. Mel nggak pernah bayangin hal ini, Pa.""Sama." Tuan Bagus berujar."Lalu Papa bilang apa sama Tante Windi?" ta

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   85. Kedatangan Mantan Besan

    "Ayo, Jarot. Mandi yang bersih ya, Jar. Biar seger," uja Tuan Bagus. Pria itu tengah menyemprot air pada burung peliharaannya. Pagi ini adalah waktu yang pas untuk mandi."Abis mandi nanti, kamu latihan lagi berkicau. Biar suara kamu tetap merdu dan semakin merdu," lanjut Tuan Bagus. Dia menatap senang empat ekor burung yang dia miliki."Ini, Tuan camilannya," ujar asisten rumah tangga Tuan Bagus.Tuan Bagus menoleh. "Terima kasih, Bi." Dia mengangguk. Duduk di gazebo dia mulai menikmati lapis legit yang baru saja dia dapatkan semampu menatap burung-burung miliknya yang sedang dijemur."Buka usaha jual beli burung sepertinya asyik," ujarnya kemudian.Beberapa saat kemudian, asisten rumah tangganya kembali mendekat. Dia berdiri di depan Tuan Bagus sembari menunduk untuk memberitahukan sesuatu."Tuan, maaf. Ada nyonya Windi datang dan ingin bertemu." Dia berujar.Tuak Bagus langsung mengerutkan kening mendengar perkataan asisten rumah tangganya. "Windi? Mau apa dia?" tanyanya kemudian.

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   84.

    Malam telah larut ketika Argo mengantar Melissa pulang. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan melintas dengan lampu yang menyorot redup. Mobil Argo berhenti tepat di depan rumah besar milik Tuan Bagus. Melissa menghela napas lega, lalu menoleh ke arah Argo. "Makasih ya, Go, udah nganterin aku pulang. Maaf jadi ngerepotin."Argo tersenyum tipis, "Harusnya aku yang berterima kasih sama kamu. Kamu sudah repot hari ini karena aku. Bantu di panti---""Itu, kan memang kegiatan yang rencananya dirutinin sama kita," ujar Melissa memotong kalimat Argo. Keduanya terkekeh bersama.Argo mengangguk. "Ya. Tapi nggak hanya itu aja. Misal tadi kamu ikut ke sekolahan dan membantu Lisa. Secara tidak langsung kamu membersihkan namanya," ujar Argo.Melissa mendengus. "Aku hanya tidak suka bullying."Argo mengangguk. "Ya. Untuk itu aku berterima kasih.""Ya udah sama-sama.""Yuk aku antar sampai depan rumah. Aku mau sekalian pamit sama Om Bagus. Boleh, kan?" tanya Argo.Melissa mengangguk. "Ya haruslah.

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   83. Mencari Pelaku

    Sambil menunggu hasil pemeriksaan, Pak Bowo duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong ke langit-langit. Ia masih mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada kendaraan lain yang menabraknya? Atau apakah sopirnya kehilangan kendali? Pikirannya dipenuhi pertanyaan.Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk ke ruangannya. "Pak Bowo, kondisi Anda cukup stabil. Hanya ada luka ringan di dahi dan sedikit benturan di kepala. Tapi kami sarankan Anda tetap beristirahat.""Bagaimana dengan sopir saya, Pak Dokter?" tanya Pak Bowo cemas.Dokter itu menarik napas sebelum menjawab, "Pak Herman mengalami cedera di bagian kepala, tapi saat ini kondisinya stabil. Kami masih melakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan tidak ada pendarahan internal."Pak Bowo menghela napas lega, meskipun masih ada kekhawatiran di hatinya. Ia menatap keluar jendela rumah sakit, melihat lalu lintas yang kembali normal. Seakan kejadian beberapa jam lalu hanyalah mimpi buruk yang hampir merenggut ny

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   82. Kabar Buruk

    Okta menggeram dalam hati. Amarahnya semakin membara sejak ia dipecat. Baginya, ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, melainkan penghinaan yang tak bisa ia terima begitu saja. Dan semuanya bermula dari satu nama: Argo. Jika bukan karena pria itu, hidupnya tidak akan berantakan. Dan kini, hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—membalas dendam.Dendam itu semakin berkobar ketika mengingat perjodohan Melissa dan Argo. Okta tak bisa menerimanya. Rasa cinta yang ia miliki berubah menjadi obsesi berbahaya. Ia merasa dunia telah merampas haknya dan kini saatnya ia mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.Hari itu, Okta mulai bergerak. Ia menelusuri rumah Argo dengan penuh kehati-hatian. Awalnya, ia hanya ingin mengawasi, mencari celah untuk melancarkan aksinya. Namun, di luar dugaan, ia justru melihat seseorang yang mungkin lebih mudah dijadikan target awal—Pak Bowo.Pak Bowo, pria berusia lima puluhan tahun itu, adalah papanya Argo, informasi ya

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   81. Pesan Terakhir Dari Istri Mantan Kekasih

    Argo terdiam mendengar pertanyaan dari Melissa. Pria itu menunduk menatap lantai lalu tersenyum miring. "Untuk saat ini, aku tidak memiliki hal untuk membela diri. Kamu boleh menganggapnya apa, terserah. Karena itu juga hak kamu. Aku tidak bisa melarang."Argo menatap Melissa. "Sudah aku katakan sejak tadi. Aku memang ingin kamu tahu ini agar semuanya tidak terlambat. Bagaimana tanggapan kamu setelahnya, aku akan menerima semua yang kamu putuskan."Melissa mendongak, dia menarik napas dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya setelah menemukan hal-hal yang benar-benar membuat dirinya merasa terkejut.Melissa kembali menatap Argo lalu bertanya, "Jadi, pertemuan antara papaku dan papa kamu adalah sebuah kesengajaan untuk menjalankan kembali rencana kalian yang sebelumnya?" Melisa bertanya dengan menaikkan salah satu alisnya.Argo yang mendengar itu terkekeh, tak lama dia malah tertawa. "Aku memang mengatakan bahwa terserah kamu akan menganggapnya apa tentang semua ini. Tapi satu hal y

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status