Okta sempat terkejut sesaat mendengar apa yang dikatakan Melisa. Namun, beberapa saat kemudian dia menunduk dan tak lama bahunya bergetar, terdengar suara tawa dari bibir pria itu.
Melisa yang sudah dalam keadaan kembali menangis langsung menatap bingung sang suami yang kini malah tertawa. Dalam hati Melisa bertanya apakah suaminya ini sudah gila? Sedangkan Okta sendiri kini menatap Melisa kembali, masih dengan tawanya. "Oh. Ternyata kamu sudah tahu?" tanyanya kemudian. "Baguslah kalau kamu sudah tahu," lanjut Okta. Sedangkan Melisa malah merasa syok dengan sikap suaminya. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah pria itu akan apa yang telah dia lakukan di belakangnya. "Sinting kamu," maki Melisa. "Memang sudah keputusan yang tepat kalau kita berpisah," lanjutnya yang mana Melisa langsung kembali memasukkan sisa pakaiannya. Kali ini Okta tidak lagi menghalangi niat Melisa untuk pergi. Terserah istrinya itu meminta apa saat ini. Toh semuanya sudah jelas kalau dia akan menikah dengan Rani. Bonusnya dia akan segera memiliki seorang anak karena calon istrinya itu sedang hamil. Okta duduk di pinggir ranjang. "Aku tidak akan menghentikan kamu, Mel. Aku dan Rani sudah baik dengan meminta izin sama kamu dan tetap menjadikan kamu yang pertama, Rani hanya mau menjadi yang kedua. Tapi, kamu malah memilih untuk berpisah. Ya sudah." Dia mengedikkan bahu. "Jangan terlalu diambil hati segala ucapan papa aku. Sudah aku katakan bukan kalau itu hanya sekedar basa-basi. Kalau aku katakan dengan jujur juga mereka pasti akan terima. Apalagi kalau Mama sampai tahu Rani sedang hamil. Dia pasti akan semakin merasa bahagia dan merekka langsung merestui hubungan kami," ujar Okta dengan tersenyum lebar. Pria itu tengah duduk santai dengan kedua tangan yang menyangga tubuhnya. Kepalanya mendongak dengan bibir yang tersenyum lebar membayangkan keluarganya akan bahagia. Suami istri dan juga seorang anak. Sosok yang selama ini belum dia dan Melisa miliki. Melisa sempat menghentikan gerakan tangannya. Apa yang dikatakan oleh Okta ada benarnya juga. Dia memang sudah tak berharga lagi di sini bukan? Keputusannya untuk pergi dan bercerai memanglah sangat benar. Melisa menarik resleting kopernya lalu meraih gagang koper dan menyeretnya keluar dari kamar. Dia mulai menuruni tangga dengan perlahan. Sesekali menarik napas untuk menguatkan dirinya. Tentu saja kedatangan Melisa membuat Windi dan Khalif menatapnya. Belum lagi ketika mereka melihat sebuah koper besar yang dibawa oleh menantu mereka. Keduanya sempat saling pandang sesaat dengan bingung sebelum akhirnya bangkit dari sofa dan mendekati Melisa. "Sayang. Kamu mau ke mana bawa koper sebesar ini malam-malam?" tanya Windi kemudian. Sekuat tenaga Melisa memasang senyum di bibirnya. Dia menatap kedua mertuanya yang selama ini selalu bersikap baik terhadap dirinya. "Pa, Ma. Terima kasih ya karena kalian selama ini sangat baik terhadap Melisa selama Melisa menjadi menantu di rumah ini." Dia menarik napas kembali. "Tapi maaf, Ma, Pa. Melisa mengundurkan diri untuk menjadi menantu di rumah ini." Dia memaksakan senyum meski air matanya kembali jatuh. Tentu saja apa yang dikatakan Melisa membuat Windi dan Khalif terkejut. keduanya saling tatap dengan keadaan bingung. "Apa yang kamu katakan, Sayang? Apa maksud kamu?" tanya Winda yang masih tak juga paham. "Iya, Nak. Kamu bicara apa?" Khalif ikut bertanya. Huh. Kenapa rasanya seperti sangat susah? Melisa mengembuskan napas kasar. "Pa, Ma. Melisa akan bercerai dari Mas Okta. Untuk itu, malam ini juga Melisa akan pulang dan akan segera mengurus perceraian kami secepatnya," ujar Melisa kemudian. Windi syok dibuatnya. Dia sampai melotot dan tangannya refleks menutupi mulutnya yang terbuka lebar. Melisa kembali memaksakan senyumnya. "Permisi, Pa, Ma." Dia berniat untuk pergi. Sayangnya, Windi langsung menahannya. Dia menggeleng dengan memegangi lengan Melisa. "Tidak-tidak, Nak. Apa yang kamu katakan? Kenapa tiba-tiba kamu ingin meminta cerai dari Okta?" tanyanya bingung. Khalif pun mengangguk. "Iya, Nak. Kamu ada masalah dengan Okta? Kita bicarakan dengan baik-baik, ya, Nak. Jangan mudah untuk meminta cerai. Itu tidak baik." Apa yang dikatakan Khalif memang tepat, tetapi dalam masalah yang tidak tepat. Bagi sebagian orang. Khalif mendongak menatap lantai dua di mana putranya tadi pergi ke sana. "Okta! Turun kamu. Ini istri kamu mau pergi kamu ke mana? Turun Okta!" teriaknya kemudian. Okta yang sedang asyik tiduran di ranjang langsung berdecak mendengar panggilan itu. Dia pun langsung keluar dari kamar dan turun ke lantai satu.Dia bisa melihat kalau kedua orang tuanya saat ini sedang mencoba untuk menahan kepergian Melisa. "Tidak, Nak. Kamu tidak boleh pergi sebelum menjelaskan sesuatu pada kami," ujar Windi yang terus menahan lengan Melisa. "Biarkan saja dia pergi, Ma," ujar Okta dengan langkah santainya. Kini dia sudah sampai di samping sang mama. "Biarkan saja Melisa pergi, Ma. Itu pilihannya sendiri," ujarnya sekali lagi. Baik Windi dan Khalif langsung melotot pada Okta. "Apa maksud kamu, Okta? Kamu membiarkan Melisa pergi? Kamu menyanggupi perceraian di antara kalian? Apa sebenarnya masalah kalian ini sehingga kalian ingin berpisah?" Rasa khawatir Khalif sebelumnya kini berubah menjadi rasa marah karena merasa keputusan anak dan menantunya sudah keterlaluan. Tanpa bicara pula. Melisa yang mendengar itu hanya mengalihkan pandagan. Air matanya tak kunjung berhenti. Sedangkan Okta tampak mengembuskan napas kasar. "Pa. Dia sendiri yang meminta cerai. Okta hanya mau menuruti saja. Padahal, Rani sudah mengatakan kalau dia ingin menjadi istri keduaku, bukan satu-satunya. Rani hanya ingin menjadi madu kakaknya." Kerutan terlihat jelas di kening Khalif dan juga Winda. "Rani? Istri kedua? Maksudnya apa ini?" tanya Khalif dengan suara yang semakin keras. Okta menghela napas panjang kembali. Dia pun mulai menjelaskan pada kedua orang tuanya. "Pa. Rani meminta izin kalau dia ingin menjadi istri keduaku. Dia tidak ingin merebut aku dari kakaknya, kok. Tapi, Melisa tidak mau dan memilih untuk bercerai denganku," ujanya kemudian. "Apa!" teriak Windi dan Khalif secara bersamaan. Terkejut? Pasti. Syok? Sudah jelas. "Lelucon macam apa ini?" tanya Khalif tak habis pikir. Masalah sebesar ini mereka sembunyikan darinya. Tatapan Khalif jatuh pada putranya. "Dan kamu setuju kalau Rani mau menjadi istri kedua kamu?" Okta tanpa ragu mengangguk. "Iya." "Gila kamu!" maki Khalif. "Atas dasar apa kamu mengiyakan keinginan adik iparmu yang gila itu?" Ya. Bagi Khalif Rani adalah sosok gila karena mempunyai keinginan untuk menjadi istri kedua dari suami kakaknya sendiri. "Pa. Rani tidak gila. Dia hanya ingin hidup bersama dengan Okta. Dan Okta menerimanya karena kami saling mencintai," jawab Okta singkat dan jujur. "Kalian saling menyukai? Apa maksud kalian!" bentak Khalif karena tak habis pikir dengan apa yang baru saja dia dengar. "Mas Okta dan Rani sudah menjalin hubungan di belakang Melisa, Pa," ujar Melisa memperjelas kemudian. Khalif dan Windi menatap tajam Okta. "Kamu berselingkuh?" tanya Windi dengan amarah yang sudah tidak bisa lagi ditahan menerima kebenaran itu. Okta mengedikkan bahunya. "Ya mau bagaimana lagi, Ma. Kami saling mencintai dan perasaan itu tidak bisa kita kendalikan bukan?" tanyanya dengan santai seolah apa yang dia lakukan adalah hal benar. "Dasar gila!" teriak Windi. Tepat setelahnya dia melayangkan sebuah tamparan ke arah pipi sang anak. Kemarahan jelas terlihat dari sorot matanya. Napas Windi terlihat memberat sebagai tanda seberapa marahnya perempuan itu. "Kamu laki-laki Baj*ngan!'' teriaknya sangat keras dengan menunjuk ke arah Okta.Kemarahan Winda memuncak mendengar perkataan Okta. "Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengan orang lain ketika kamu sudah beristri, Okta?" tanyanya dengan suara meninggi.Okta memegang pipinya yang terasa panas. Meski dia seorang lelaki, tak menutupi kenyataan bahwa dirinya juga merasa kesakitan dengan tamparan barusan.Dia menatap mamanya yang baru saja memberinya tamparan, ada rasa tidak percaya akan hal itu. "Ma. Aku dan Rani saling mencintai." Dia menjelaskan."Persetan dengan cinta yang kau agungkan sejak tadi. Jika kau masih memiliki istri, kenyataannya hanya nafsu yang kau dahulukan bersama perempuan tidak tahu diri itu." Winda berteriak dengan menunjuk ke arah luar rumah seolah yang dibicarakan ada di sana.Okta tidak setuju kala mendengar Rani yang disebuat sebagai perempuan tidak tahu diri oleh mamanya. "Ma. Jangan bicara seperti itu. Dia calon menantu mama juga," ujar Okta."Mama tidak sudi menjadik
"Papa benar-benar kecewa sama kamu, Okta! Bisa-bisanya. Bisa-bisanya kamu dan Rani ...." Bahkan Khalif saja tidak mampu mengatakan betapa bejatnya anaknya ini."Belajar dari siapa kamu ini, Okta? Papa tidak pernah mengajari kamu seperti ini!" bentaknya keras. Dia sampai menunjuk wajah putranya. Asal tahu saja kalau dia ingin memukul wajah Okta saat ini.Sedangkan Okta hanya bisa diam saja. Dia pikir, orang tuanya akan merasa bahagia dan langsung menerima Rani kalau dia mengatakan kehamilan perempuan itu. Tapi nyatanya malah membuat semua menjadi semakin runyam."Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan. Hancur," ujar Khalif dengan berjalan mondar-mandir di depan anaknya. Tidak henti dia mengurut keningnya."Kam---" Kalimat yang akan dikatakan Khalif urung kala terdengar suara erangan dari arah ranjang. Khalif menoleh dan melihat istrinya yang mulai sadar dari pingsannya. Dia pun segera
Melisa terkejut dengan kedatangan papanya kembali malam ini. "Papa? Kok Papa balik lagi?" tanya Melisa."Ada yang ketinggalan?" Melisa kembali bertanya, tetapi Tidak ada jawaban.Dia menatap papanya dengan kerutan di kening kala melihat pria itu yang memasuki apartemennya dengan diam.Melisa menutup pintu kala tak ada jawaban dari sang papa. Dia ikut duduk di samping Bagus. "Pa. Ada apa?" tanya Melisa dengan menggenggam tangan papanya.Bagus menatap Melisa dengan sedih. "Tadi Okta dan orang tuanya datang ke rumah. Khalif dan Winda mencari keberadaan kamu. Mereka ingin menemui kamu.""Papa kasih tahu mereka Melisa di mana?" tanya Melisa cepat.Bagus menggeleng dan itu membuat Melisa mengembuskan napas penuh kelegaan. "Syukurlah." Dia mengusap dadanya pelan.Dia memerhatikan wajah sang papa dan melihat ada kegelisahan di sana. "Tapi kenapa Papa sepertinya sedih begitu? Papa merasa bersala
"Sekarang Rani harus mencari papa kandung Rani di mana, Ma?" tanya Rani pada sang mama. Keinginan menikahi Okta harus tertunda kembali karena tidak ada wali nikah untuk dirinya."Mana mama tahu, Ran. Mama sudah lama tidak bertemu dengan bapak kandung kamu itu." Bu Riyanti sendiri juga merasa bingung dengan hal ini. Jujur saja, dia tidak pernah berpikir sejauh ini ketika dia berpisah dulu. Apalagi ketika dirinya sudah menemukan Bagus, suami keduanya yang jauh lebih kaya dari suami pertamanya. Dia tak pernah lagi kepikiran tentang mantan suaminya."Mana papa kamu tidak pulang sejak tadi malam lagi. Entah di mana di berada sekarang," gerutu Riyanti. Sejak kepergian suaminya semalam, pria itu memang belum kembali pulang.Rani mengembuskan napas kasar. "Ih Mama. Ngapain juga nyari Papa. Toh Papa juga nggak bisa jadi wali nikah aku," ujar Rani dengan memberenggut kesal."Nikah, nikah, nikah saja yang kamu pikirkan itu." Riyanti meneg
Seperti rencananya kemarin, Rani benar-benar mencari keberadaan bapaknya agar dia bisa segera menikah dengan Okta. Perempuan itu mendatangi alamat yang diberikan oleh sang mama. Niat hati ingin mengajak mamanya juga, tetapi Riyanti menolak hal itu.Alasannya, selain karena Riyanti tidak ingin bertemu dengan mantan suaminya lagi, dia juga masih ingin mencari keberadaan Bagus yang sudah beberapa hari ini tidak pulang.Mau bagaimanapun tawaran menggiurkan Rani kalau sudah menjadi istri Okta, tetap saja dia ingin bersama Bagus. Sudah ada cinta di hatinya untuk suaminya itu.Rani baru saja turun dari mobilnya yang susah mendapatkan parkir. Bola matanya melotot dan mulut menganga lebar melihat tempat yang ada di hadapannya."His. Ini beneran aku ke tempat seperti ini sendirian?" tanya Rani dengan ekspresi yang menunjukkan rasa jijik. Bagaimana tidak? Dia harus mendatangi pasar kumuh yang tidak pernah dia datangi sama sekali dalam hid
Riyanti marah pada putri sambungnya ini. Secara tidak langsung, Melisa baru saja menyebut kalau Rani adalah tempat sampah yang menampung pria yang sudah dibuang dan tidak diharapkan oleh Melisa.Riyanti berdiri menatap tajam Melisa dengan napas memburu. "Tega kamu mengatakan itu tentang adik kamu?""Tega Mama menyembunyikan perselingkuhan Rani dengan calon mantan suamiku," balas Melisa dengan nada rendah penuh penekanan. Dia membalas tatapan perempuan yang sudah membesarkan dirinya itu dengan tajam.Melisa tidak masalah kalau Riyanti adalah bukan mama kandungnya, asal perempuan itu juga menyayanginya, Melisa pun akan berbuat sama. Namun, mengetahui apa yang telah Riyanti lakukan di belakangnya, sungguh kecewa dia."Itu artinya Mama mendukung apa yang dilakukan oleh Rani," lanjut Melisa.Riyanti menunduk, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuh seperti menahan sebuah gejolak yang sulit dia artikan. "Mama tidak---" Kalimat yang akan dia
Rani berdiri di hadapan Toto, papa kandungnya yang dia cari beberapa hari ini. Keduanya sudah menyingkir dari beberapa preman yang berada di bawah naungan Toto.Pria tua itu menyalakan korek lalu menyulut rokok yang ada di tangannya. Dia menghisap sebentar lalu mengembuskan asap putih ke udara. Dia menatap Rani dengan tatapan memicing. "Ada apa nyari gue?" tanya Toto kemudian."Saya anak Anda. Salah kalau saya nyari Anda?" tanya Rani kemudian.Toto malah menunjukkan senyum sinisnya. Dia kembali menghisap rokok dan mengembuskan asapnya. "Setelah bertahun-tahun Yanti membawa lo dan nggak biarin gue ketemu lo, sekarang lo nyari gue? Mak lo itu tahu apa nggak? Jangan-jangan nggak tahu lagi. Kalau nggak mending lo pulang sono. Daripada nanti kena marah," ujar Toto dengan santai. Dia seperti mentertawakan keadaan saat ini."Mama tahu kok kalau saya mencari Anda. Malahan saya tahu pasar ini juga dari Mama," ujar Rani. Perempuan itu melipat tangan di depa
Tentu saja Rani merasa tidak terima dengan apa yang telah Melisa lakukan padanya beberapa saat lalu. Dia benar-benar tidak suka kalau Melisa ada di atasnya.Perempuan itu langsung menuju ke ruangan sang papa untuk mengadukan apa yang telah Melisa lakukan pada sang mama. Namun, sesampainya di ruangan Bagus, Rani tidak menemukan keberadaan Riyanti di sana."Apa kamu tidak punya sopan santun sehingga main masuk saja ke ruangan seseorang?" tanya Bagus karena merasa terkejut ada seseorang main membuka pintu ruangannya. Ketika dia melihat, ternyata putri angkatnya Rani.Dia pun segera mengubah ekspresinya. "Oh. Saya lupa kalau kamu memang suka masuk tanpa permisi ke tempat orang lain," ujarnya kemudian."Papa ngomong apa sih?" tanya Rani yang tetap memasuki ruangan Bagus. "Biasanya Rani juga main masuk aja kan, Pa. Nggak perlu izin segala. Lagian Rani anak papa juga. Ngapain perlu ketuk segala," lanjut Rani.Bagus masih tertawa sinis.
Melissa menatap sedih ke arah kamar Rina. Dia melihat adik tirinya itu tengah memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Padahal, baru beberapa hari lalu dia mengeluarkannya dari koper dan menatanya di lemari.Melissa pun memasuki kamar Rina. Perempuan itu duduk di tepi ranjang dan menatap adik tirinya dengan sedih.Rina yang melihat itu pun tersenyum tipis. "Ada apa, Kak? Kenapa wajah Kakak seperti itu ekspresinya?" tanyanya kemudian."Kamu benar mau pergi juga?" tanya Melissa dengan sedih.Rani masih menunjukkan senyum tipis. Dia mengangguk beberapa kali. "Iya, Kak. Aku tidak mungkin membiarkan Mama tinggal sendirian di luar sana." Dia menjelaskan.Apa yang dikatakan oleh Rani ada benarnya. Setelah memutuskan keluar dari rumah setelah persetujuan berpisah, Riyanti akan mencari tempat tinggal lain. Jadi, mana mungkin Rani membiarkan Riyanti tinggal sendirian."Kalian nanti tinggal di mana?" tanya Melissa. "Atau tinggal di apartemen kakak saja?" Dia mencoba menawarkan. Dia meraih tangan
"Kamu melamar aku?" tanya Melisa pada Kafka dengan kerutan di kening.Kafka masih menatap Melissa dengan santai. "Tidak ada seserahan yang aku bawa. Jadi, ini bukan lamaran. Hanya ajakan nikah saja. Itu pun kalau kamu mau." Pria itu menjawab begitu santai seolah kalau dia ditolak pun, dia tidak merasa masalah.Melisa kini malah merasa bingung. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu harus menjawab atau menanggapi perkataan Kafka yang tadi bagaimana.Kafka yang menyadari sikap Melissa pun mulai paham. "Tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja angin lalu. Toh kamu juga baru menjadi janda. Jangan terlalu keras memikirkannya."Melisa tersenyum sungkan pada Kafka. Dia bersyukur kalau pria ini mengerti apa yang dia pikirkan. "Tapi kamu tidak akan memutus kerja sama antara perusahaan kita, kan?" tanyanya kemudian.Kafka tersenyum miring. "Ini dunia kerja, Melisa. Bukan dunia permainan yang mana jika salah satu pemain merasa patah hati, maka dia akan berhenti bermain."Di
Okta memasuki kediaman orang tuanya dengan wajah ditekuk. Semua penyesalan akan apa yang telah dia lakukan tiada guna, membuat dia kehilangan semuanya.Khalif dan sang istri yang melihat kedatangan Okta pun mengerutkan keningnya. "Dia kenapa, Ma?" tanya Khalif pada Windi.Windi yang sedang asyik memakan keripik menggeleng dan mengedikkan bahunya. "Tidak tahu, Pa."Okta berjalan mendekati kedua orang tuanya. Dia menatap pasangan suami istri itu yang menunjukkan ekspresi bingung. Okta pun langsung duduk di kursi single yang ada di dekat kedua orang tuanya. "Pa, Ma," panggilnya kemudian.Khalif dan Windi saling tatap beberapa saat lalu kembali menatap ke arah Okta. ''Apa?" tanya Khalif."Aku mau cerai." Satu kalimat singkat dari Okta yang mampu mengejutkan Khalif dan Windi."Apa?" tanya Windi."Kau gila?" maki Khalif. "Baru menikah kau sudah ingin bercerai lagi? Kau benar-benar sudah tidak waras?" Dia menggeleng pelan sembari berdecak. Tak habis pikir dengan kelakuan anaknya yang satu i
"Kau gila!" tanya Melissa tak habis pikir. "Kau sinting? Kau tidak waras atau bagaimana?" Dia kembali bertanya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Okta.Begitu mudahnya meminta hak dalam perusahaannya setelah apa yang pria itu lakukan padanya. Yang benar saja. Melissa tertawa. Dia menjentikkan jarinya di depan wajah Okta beberapa kali. "Hei bangun. Bangun. Ini sudah pagi. Waktunya sudah bangun. Jangan terus bermimpi," ujar Melissa memberitahu."Bagaimana mungkin kamu meminta sesuatu yang pastinya tidak mungkin aku berikan? Bahkan jika kamu masih menjadi suamiku pun, aku juga tidak akan melakukan itu, Mas. Apalagi setelah apa yang kamu lakukan padaku," ujar perempuan itu dengan menunjuk dadanya menggunakan kedua tangan.Apa yang dikatakan Melisa membuat Rani sempat merasa tidak enak. Karena bagaimanapun dia juga turut andil dalam hancurnya rumah tangga mereka.Melissa yang mengerti menatap Rani, dia mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud, Ran. Maaf."Rani
Melissa membawakan minuman untuk papanya yang kini sedang duduk di kursi taman samping rumah mereka. Melissa melihat ada sesuatu yang berbeda dengan sang papa sejak pulang dari rumah sakit menjenguk Rani."Papa kenapa?" tanya Melissa kemudian. Dia duduk di samping papanya lalu memberikan minuman hangat itu untuk Bagus.Bagus menerima miuman dari putrinya itu. "Terima kasih,'' ujarnya kemudian.Melissa mengangguk. Dia tersenyum sembari memerhatikan sang papa yang meneguk minumannya. "Papa kenapa? Papa ada masalah?" tanyanya kemudian.Bagus menggeleng dengan senyuman tipis. "Tidak. Papa tidak ada masalah," ujarnya kemudian.Melissa sedikit mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah sang papa. Dia memiringkan kepalanya sedikit. "Pa. Jangan bohong sama Melisa. Melissa tahu ada sesuatu yang sedang papa pikirkan. Ayo katakan dan jangan ditutupi lagi dari Melissa. Melissa tidak mau apa yang menjadi beban pikiran Papa kali ini akan membuat kesehataan Papa menurun nanti,'' ujarnya merayu
Okta keluar dari klinik setelah mendapat perawaran. Tubuhnya terasa remuk akibat pukulan dan tendangan beberapa preman tadi. Salah sendiri.Sepanjang perjalanan, para pedagang pasar menatap ke arahnya sembari berbisik. Tentu mereka tahu apa yang terjadi padanya. Apa yang tidak diketahui penghuni pasar jika itu tentang Toto?"Masnya nggak papa?" tanya salah satu pedagang pasar yang merasa kasihan melihat Okta"Saya masih hidup. Jadi saya nggak papa." Sayangnya Toto malah memberikan respon yang tidak terlalu baik pada pedagang itu.Pedagang itu pun melotot. "Ye. Nih orang. Jadi ngerti kenapa Toto sampe mukulin dia," ujarnya kemudian."Hu ... nyesel tanya tadi." Dia melanjutkan.Sedangkan Okta sendiri tidak menanggapi ha itu. Ptia itu tetap pergi meninggalkan pasar menuju mobilnya. Di sela rasa sakit yang dia rasakan, Okta menyandarkan punggung pada sandaran kursi lalu memejamkan matanya sesaat."Akh! Sial! Bukannya puas malah bonyok." Dia memukul kemudi yang ada di hadapannya. Namun, be
Duduk di dalam apartemennnya dengan keadaan gelap gulita tanpa membuka tirai yang akan membantu cahaya matahari untuk mentinari ke dalam, Okta duduk di sofa ditemani sebotol minuman.Pandangan pria itu lurus dan tampak kosong. Sesekali tangannya bergerak mendekatkan ujung botol ke arah bibir lalu meneguk isinya. Bola matanya yang memerah menandakan kalau pria itu baru saja meluapkan emosi. Menangis, berteriak, sedih tertawa dan marah bersatu menjadi satu.Okta sedang kesal saat ini. Pria itu merasa menjadi sosok yang bodoh karena telah ditipu habis-habisan oleh Rani. Perempuan yang baru dia nikahi beberapa minggu terakhir ini telah menjebaknya ke dalam sebuah masalah yang sudah membuat hidupnya hancur berantakan."Sialan!" teriak Okta dengan melempar botol yang ada di tangannya. Isinya memang sudah tidak ada. Itu mengapa dia berani melemparnya hingga bentuk botol itu sudah tidak beraturan. Terpecah berai di lantai membentuk serpihan-serpihan."Dia telah membohongiku," ujarnya geram de
Rani sudah mulai sadar setelah hampir setengah hari terelaap akibat pengaruh dari obat tidur.. Hari sudaah sangat larut ketika dia membuka mata.. takk ada laagi teriakan atau kemaaraahan karena ketika dia bangun, tida ada seorng pun yang ada di dekatnya.Entah di mana suaaminya itu. Namun, itu lebih baik ketimbang dia harus melihaat wajah okta. Orang yang telah menyebaabkan diaa kehilangaan calon anaknya. Hanya berdia diri, Rani duduk dengan menatap lurus ke arah luar jendela di mana dia bisamelihat orang-orang lalu lalang di koridorr rumah akit bagian lauar yang berbatasan langsung dengaan tamaan rumaah sakit.Bahkan suara pintu terbuka pun tak membuat FRani mengaalihkan pandangannya sedikit pun. Riyanti, yang baru saja keluar membeli makaanaan baru kembali. Dia terkejut mendapati putrinya sudah sadar dan kini sudah duduk di brankarnya.''Rani,'' panggilnya panik. Riyanti memperceat langkah mendekaati brankar putrinya, bahkan dia melempar begitu ssaja bungkusan makanaan yang diaa ba
"Kamu pembunuh!" teriak Rani penuh dengan kemarahan. Dia menatap tajam Okta yang berjarak tidak jauh darinya. Sorot matanya menunjukkan kebencian dan juga kesedihan yang telah menjadi satu dalam dirinya."Kamu sudah membunuh anakku!" teriak Rani sekali lagi. Kali ini dengan menunjuk ke arah Okta. Tangisnya pecah, air mata yang sejak tadi menumpuk di pelupuk mata kini telah jatuh membasahi pipi. Suara tangis Rani mulai terdengar, Rani mulai sesenggukan.Kebenaran mengenaai calon anaknya yang tidak bisa diselamatkan membuatnya patah dan berantakan. "Anakku, Ma," ujarnya pilu.Riyanti yang terkejut dengan reaksi putrinya masih menatap bingung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Rani. Namun, mau bertanya pun rasanya ini bukan waktu yang tepat.Perempuan itu segera mendekati putrinya lalu memeluk Rani di mana Rani juga langsung membalas pelukannya. Terdengar tangis yang semakin keras dan menyayat dari Rani. "Sayang." Dia membelai kepala putrinya.Riyanti yang sempat berhenti menangis