Seperti rencananya kemarin, Rani benar-benar mencari keberadaan bapaknya agar dia bisa segera menikah dengan Okta. Perempuan itu mendatangi alamat yang diberikan oleh sang mama. Niat hati ingin mengajak mamanya juga, tetapi Riyanti menolak hal itu.
Alasannya, selain karena Riyanti tidak ingin bertemu dengan mantan suaminya lagi, dia juga masih ingin mencari keberadaan Bagus yang sudah beberapa hari ini tidak pulang.Mau bagaimanapun tawaran menggiurkan Rani kalau sudah menjadi istri Okta, tetap saja dia ingin bersama Bagus. Sudah ada cinta di hatinya untuk suaminya itu.Rani baru saja turun dari mobilnya yang susah mendapatkan parkir. Bola matanya melotot dan mulut menganga lebar melihat tempat yang ada di hadapannya."His. Ini beneran aku ke tempat seperti ini sendirian?" tanya Rani dengan ekspresi yang menunjukkan rasa jijik. Bagaimana tidak? Dia harus mendatangi pasar kumuh yang tidak pernah dia datangi sama sekali dalam hidRiyanti marah pada putri sambungnya ini. Secara tidak langsung, Melisa baru saja menyebut kalau Rani adalah tempat sampah yang menampung pria yang sudah dibuang dan tidak diharapkan oleh Melisa.Riyanti berdiri menatap tajam Melisa dengan napas memburu. "Tega kamu mengatakan itu tentang adik kamu?""Tega Mama menyembunyikan perselingkuhan Rani dengan calon mantan suamiku," balas Melisa dengan nada rendah penuh penekanan. Dia membalas tatapan perempuan yang sudah membesarkan dirinya itu dengan tajam.Melisa tidak masalah kalau Riyanti adalah bukan mama kandungnya, asal perempuan itu juga menyayanginya, Melisa pun akan berbuat sama. Namun, mengetahui apa yang telah Riyanti lakukan di belakangnya, sungguh kecewa dia."Itu artinya Mama mendukung apa yang dilakukan oleh Rani," lanjut Melisa.Riyanti menunduk, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuh seperti menahan sebuah gejolak yang sulit dia artikan. "Mama tidak---" Kalimat yang akan dia
Rani berdiri di hadapan Toto, papa kandungnya yang dia cari beberapa hari ini. Keduanya sudah menyingkir dari beberapa preman yang berada di bawah naungan Toto.Pria tua itu menyalakan korek lalu menyulut rokok yang ada di tangannya. Dia menghisap sebentar lalu mengembuskan asap putih ke udara. Dia menatap Rani dengan tatapan memicing. "Ada apa nyari gue?" tanya Toto kemudian."Saya anak Anda. Salah kalau saya nyari Anda?" tanya Rani kemudian.Toto malah menunjukkan senyum sinisnya. Dia kembali menghisap rokok dan mengembuskan asapnya. "Setelah bertahun-tahun Yanti membawa lo dan nggak biarin gue ketemu lo, sekarang lo nyari gue? Mak lo itu tahu apa nggak? Jangan-jangan nggak tahu lagi. Kalau nggak mending lo pulang sono. Daripada nanti kena marah," ujar Toto dengan santai. Dia seperti mentertawakan keadaan saat ini."Mama tahu kok kalau saya mencari Anda. Malahan saya tahu pasar ini juga dari Mama," ujar Rani. Perempuan itu melipat tangan di depa
Tentu saja Rani merasa tidak terima dengan apa yang telah Melisa lakukan padanya beberapa saat lalu. Dia benar-benar tidak suka kalau Melisa ada di atasnya.Perempuan itu langsung menuju ke ruangan sang papa untuk mengadukan apa yang telah Melisa lakukan pada sang mama. Namun, sesampainya di ruangan Bagus, Rani tidak menemukan keberadaan Riyanti di sana."Apa kamu tidak punya sopan santun sehingga main masuk saja ke ruangan seseorang?" tanya Bagus karena merasa terkejut ada seseorang main membuka pintu ruangannya. Ketika dia melihat, ternyata putri angkatnya Rani.Dia pun segera mengubah ekspresinya. "Oh. Saya lupa kalau kamu memang suka masuk tanpa permisi ke tempat orang lain," ujarnya kemudian."Papa ngomong apa sih?" tanya Rani yang tetap memasuki ruangan Bagus. "Biasanya Rani juga main masuk aja kan, Pa. Nggak perlu izin segala. Lagian Rani anak papa juga. Ngapain perlu ketuk segala," lanjut Rani.Bagus masih tertawa sinis.
Dengan menguras tabungannya, Rani membawa sejumlah uang untuk menemui Toto. Itu pun masih kurang dengan yang diminta oleh ayah kandungnya itu."Kok cuma segini?" tanya Toto ketika melihat isi uang yang ada di amplop pemberian Rani.Rani mendengus. Dia sudah menduga kalau Toto akan memprotes hal itu. "Itu untuk uang mukanya. Kalau sudah selesai, akan saya berikan sisanya." Rani berujar. Ya, setelah menikah dia akan melunasinya menggunakan uang Okta."Lagian perhitungan sekali sama anak sendiri," gerutunya.Toto tampak mengangguk beberapa kali. "Oke."Rani melotot. "Jadi, Anda mau menjadi wali nikah saya?" tanyanya dengan antusias.Toto mengangguk. "Sesuai yang kau inginkan."Rani bertepuk tangan. "Bagus. Wali nikah beres. Akan saya beri instruksi nanti. Sekarang saya harus pergi dulu." Rani berujar. Dia pun segera meninggalkan pasar di mana Toto beroperasi menuju kantor Okta.Melewati jalan khusus, dia pun sampai
"Nyonya. Ada kiriman paket untuk Tuan Okta," ujar Bu Wati pada Windi yang sedang membaca majalah di ruang tengah. Perempuan tua itu mengulurkan sebuah map cokelat pada majikannya."Saya permisi, Nyoya," ujar Bu wati memilih undur diri kala surat yang ada di tangannya sudah berpindah tangan pada Windi. Perasaannya tidak enak kala melihat tulisan pada amplop cokelat tadi yang bertuliskan pengadilan agama. Apalagi mengingat kejadian akhir-akhir ini di rumah ini.Windi sendiri mengangguk. Perempuan yang sedang menunggu kepulangan suaminya itu menerima cokelat dari asisten rumah tangganya. "Terima kasih, Bi." Kening Windi mengerut kala melihat tuisan besar yang ada di bagian depan amplop."Pengadilan agama?" tanyanya kemudian. Dia pun segera membuka amplop itu meski dia tahu kalau benda itu bukan untuk dirinya. Namun, mengingat benda ini ditujukan pada Okta tentu perasaannya saat ini tidak karuan. Satu nama yang terlintas di benak Windi saat ini yaitu Melisa.Kertas putih dia dapat. Windi
Berada dalam satu meja makan dengan orang yang sedang tidak kita sukai membuat kita merasa kesal. Begitu pula yang dirasakan oleh Bagus yang saat ini sedang menikmati sarapan bersama keluarganya."Papa selesai," ujar Bagus akhirnya. Meski sarapannya terlihat masih ada, pria itu tetap menyudahi sarapannya.Riyanti yang melihat itu merasa sedih."Cepat habiskan makanan kamu, Mel. Kita masih ada urusan penting setelah ini," ujar Bagus yang langsung pergi begitu saja.Melisa mengangguk meski papanya tidak akan melihat. Dia memerhatikan piring papanya yang masih ada makananya. Mungkin nanti dia akan menasihati papanya untuk menghabiskan makanannya lain kali.Melisa masih tampak santai dengan sarapan yang sedang dia nikmati. Seperti tidak terganggu dengan kehadiran Rani yang sudah mengkhianatinya.Malah Rani yang terlihat kebakaran jenggot melihat kakaknya yang seperti biasa-biasa saja. Tidak seperti orang yang mengalami depresi setela
Okta mendatangi kantor pengadilan di hari sidang pertamanya bersama Melisa. Dia datang untuk menghormati calon mantan istrinya itu. Memakai kaca mata hitam, pria itu pun turun dari mobil.Ketika baru saja turun, mobil lain datang parkir tepat di samping mobilnya. Dia mengenali mobil itu. Mobil Melisa. Okta sengaja berhenti untuk menunggu istrinya itu turun. Senyum Okta terbit kala melihat keberadaan Melisa. Pria itu melepaskan kaca matanya lalu menyapa sang istri. "Halo istriku, Sayang. Eh salah. Halo calon mantan istri tepatnya." Dia membenahi panggilannya.Melisa sendiri hanya menatap Okta tanpa ekspresi. "Ngapain kamu di sini?" tanya Melisa kemudian.Okta menggeleng pelan. "Loh, loh, loh. Gimana sih? Ini, kan hari persidangan kita. Ya aku harus datang dong. Katanya kamu ingin bercerai dari aku." Melisa mengembuskan napas kasar. "Seharusnya kamu tidak perlu datang, Mas agar proses perceraian ini cepat selesai dan kita bisa segera berp
Rani meletakkan paperbag yang dia bawa pada meja di hadapannya. Di seberangnya, duduk seorang pria yang tak lain adalah Toto.Toto sendiri menatap Rani dan paperbag itu secara pergantian. kerutan terlihat di kening Toto karena pria itu merasa bingung dengan apa yang dilakukan putrinya ini. Datang-datang memberinya sesuatu. Padahal beberapa kali Rani datang sebelumnya selalu dengan tangan kosong."Apa ini?" tanya Toto kemudian.Rani mendorong paper bag itu untuk mendekati Toto. "Ini adalah perlengkapan yang harus Anda kenakan saat menjadi wali nikah saya nanti. Mulai dari pakaian dan juga sepatu," ujar Rani kemudian"Wali nikah?" tanya Toto dengan satu alis menukik naik.Rani mendelik. "Jangan bilang kalau Anda pura-pura lupa. Anda harus menjadi wali nikah saya nanti." Tatapannya terlihat mengancam.Toto pun mengangguk dengan kekehan cukup keras. "Tenang-tenang. Aku tidak lupa. Aku hanya penasaran saja. Memangnya kau sudah akan menikah?" Toto bertanya.Detik kemudian Rani pun mengangka
"Kamu ini ngapain sih di sini? Udah di rumah saja istirahat," ujar Pak Bowo ketika melihat kedatangan Tuan Bagus."Hei. Kau ini. Dijenguk kawan bukannya seneng aku malah mau diusir. Aku, kan hanya ingin membantumu. Menemani kamu karena aku tahu Argo harus mengawasi usaha kalian," ujar Tuan bagus dengan lagak yang dia buat sombong."Iya tidak, Ta?" tanya Tuan Bagus menatap calon menantunya itu."Sebenarnya nggak papa ditinggal juga kok, Om. Kan tinggal hubungin pegawai saja." Argo berujar sopan."Tuh, kan." Pak Bowo tertawa.Tuan Bagus mencebikkan bibir. Dia mengibaskan tangan ke udara. "Ya anggap saja aku kesepian di rumah dan sedang mencari teman ngobrol. Gampang, kan." Dia menarik kursi yang ada di samping brankar lalu duduk di sana."Gimana perkembangan kasusnya?" tanyanya kemudian.Argo menggeleng. "Kami belum mendapatkan kabar dari polisi. Mungkin mereka masih menginterogasi para penghuni kontrakan." Dia menjelaskan.Ruan Bagus tampak berpikir. Dia pun mengangguk kemudian. "Hah.
"Mama kenapa sih, Ma?" tanya Khalif ketika melihat istrinya yang terus melamun. Dia duduk di samping Windi lalu merangkul pundak istrinya itu dengan senyuman tipis.Windi menarik napasnya dalam sampai bahunya naik perlahan lalu mengembuskan dengan berbarengan pundaknya yang urun. "Ya mikirin apa lagi, Pa kalau bukan lamaran mama yang ditolak sama Tuan Bagus karena dia sudah menjodohkan Melissa dengan orang lain," jawabnya malas.Khalif mengangguk dan paham kekecewaan sang istri. Dia mengelus pundak Windi dengan lembut. "Sudahlah, Ma. Mungkin Melissa dan Kafka itu memang tidak berjodoh. Janganlah dipaksa terus menerus.""Mama ini tidak memaksa, Pa. Mama ini hanya sedang berusaha." Windi berujar dengan penuh penekanan."Berusaha untuk mencarikan jodoh terbaik untuk anak kita. Dan Melissa menurut mama itu yang paling pas dan cocok," lanjut Windi."Ya kalau bukan jodohnya mau gimana, Ma? Mau diapain juga tidak akan bisa bersama kalau Tuhan tidak berkehendak. Dan, jika Tuhan memang mentakd
Mendapat tawaran dari Melissa untuk tinggal di rumahnya, tentu saja Lisa langsung mengiyakan hal itu. Daripada tidur di rumah sendirian, atau tidur di rumah sakit lagi dan itu tidak membuatmu nyaman, lebih baik tidur di rumah calon mamanya kan?"Sekarang, Lisa cuci muka, cuci kaki dan gosok gigi, ya." Melissa berujar ketika mereka sudah bersiap untuk tidur.Lisa pun mengangguk dan kduanya menuju kamar mandi untuk melakukan ritual itu. Setelah beberapa saat selesai, mereka pun siap untuk mengistirahatkan diri.Melissa membenahi selimut Lisa. "Jangan lupa berdoa sebelum tidur," ujarnya dengan senyuman.Lisa mengangguk dan melakukan apa yang diminta Melissa. Setelahnyamerekapun mulai merebahkan diri. "Terima kasih, Tante Lisa." Gadis itu berujar.Melissa mengangguk. "Sama-sama." Dia pikir setelah itu Lisaakan langsung tidur. Akan tetapi gadis kecil itu masih membuka matanya."Kamu kenapa? Kok masih belum tidur?" tanyanya kemudian.Lisa menatap Melissa dengan takut-takut. "Lisa mau tanya,
Suara klakson langsung berbunyi keras setelah mobil milik Melissa berhenti. Beberapa mobil di belakangnya berhenti dengan jarak yang sangat dekat.Melissa dan Tuan Bagus sama-sama menoleh. "Mel. Kamu ini." Tuan Bagus memperingati."Maaf-maaf." Melissa segera menjalankan kembali mobilnya."Kamu ini ada-ada saja, Mel." Tuan Bagus menggeleng pelan."Lagian Papa bikin aku terkejut aja." Melissa mengerucutkan bibirnya. Dia tetap memfokuskan pandangan lurus ke depan."Maksud ucapan Papa tadi apa?" tanyanya kemudian."Ya Tante Windi tadi?" tanya Tuan Bagus dan dia melihat putrinya yang mengangguk."Ya seperti yang kamu dengar tadi. Tante Windi tadi datang ke rumah dan dia mengatakan niatnya kalau dia ingin kamu menjadi menantunya lagi," ujar Tuan Bagus."Katanya, kamu ingin dinikahkan dengan Kafka," lanjutnya kemudian.Melissa yang mendengar hal itu menggeleng pelan. "Astaga. Asli. Mel nggak pernah bayangin hal ini, Pa.""Sama." Tuan Bagus berujar."Lalu Papa bilang apa sama Tante Windi?" ta
"Ayo, Jarot. Mandi yang bersih ya, Jar. Biar seger," uja Tuan Bagus. Pria itu tengah menyemprot air pada burung peliharaannya. Pagi ini adalah waktu yang pas untuk mandi."Abis mandi nanti, kamu latihan lagi berkicau. Biar suara kamu tetap merdu dan semakin merdu," lanjut Tuan Bagus. Dia menatap senang empat ekor burung yang dia miliki."Ini, Tuan camilannya," ujar asisten rumah tangga Tuan Bagus.Tuan Bagus menoleh. "Terima kasih, Bi." Dia mengangguk. Duduk di gazebo dia mulai menikmati lapis legit yang baru saja dia dapatkan semampu menatap burung-burung miliknya yang sedang dijemur."Buka usaha jual beli burung sepertinya asyik," ujarnya kemudian.Beberapa saat kemudian, asisten rumah tangganya kembali mendekat. Dia berdiri di depan Tuan Bagus sembari menunduk untuk memberitahukan sesuatu."Tuan, maaf. Ada nyonya Windi datang dan ingin bertemu." Dia berujar.Tuak Bagus langsung mengerutkan kening mendengar perkataan asisten rumah tangganya. "Windi? Mau apa dia?" tanyanya kemudian.
Malam telah larut ketika Argo mengantar Melissa pulang. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan melintas dengan lampu yang menyorot redup. Mobil Argo berhenti tepat di depan rumah besar milik Tuan Bagus. Melissa menghela napas lega, lalu menoleh ke arah Argo. "Makasih ya, Go, udah nganterin aku pulang. Maaf jadi ngerepotin."Argo tersenyum tipis, "Harusnya aku yang berterima kasih sama kamu. Kamu sudah repot hari ini karena aku. Bantu di panti---""Itu, kan memang kegiatan yang rencananya dirutinin sama kita," ujar Melissa memotong kalimat Argo. Keduanya terkekeh bersama.Argo mengangguk. "Ya. Tapi nggak hanya itu aja. Misal tadi kamu ikut ke sekolahan dan membantu Lisa. Secara tidak langsung kamu membersihkan namanya," ujar Argo.Melissa mendengus. "Aku hanya tidak suka bullying."Argo mengangguk. "Ya. Untuk itu aku berterima kasih.""Ya udah sama-sama.""Yuk aku antar sampai depan rumah. Aku mau sekalian pamit sama Om Bagus. Boleh, kan?" tanya Argo.Melissa mengangguk. "Ya haruslah.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan, Pak Bowo duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong ke langit-langit. Ia masih mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada kendaraan lain yang menabraknya? Atau apakah sopirnya kehilangan kendali? Pikirannya dipenuhi pertanyaan.Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk ke ruangannya. "Pak Bowo, kondisi Anda cukup stabil. Hanya ada luka ringan di dahi dan sedikit benturan di kepala. Tapi kami sarankan Anda tetap beristirahat.""Bagaimana dengan sopir saya, Pak Dokter?" tanya Pak Bowo cemas.Dokter itu menarik napas sebelum menjawab, "Pak Herman mengalami cedera di bagian kepala, tapi saat ini kondisinya stabil. Kami masih melakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan tidak ada pendarahan internal."Pak Bowo menghela napas lega, meskipun masih ada kekhawatiran di hatinya. Ia menatap keluar jendela rumah sakit, melihat lalu lintas yang kembali normal. Seakan kejadian beberapa jam lalu hanyalah mimpi buruk yang hampir merenggut ny
Okta menggeram dalam hati. Amarahnya semakin membara sejak ia dipecat. Baginya, ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, melainkan penghinaan yang tak bisa ia terima begitu saja. Dan semuanya bermula dari satu nama: Argo. Jika bukan karena pria itu, hidupnya tidak akan berantakan. Dan kini, hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—membalas dendam.Dendam itu semakin berkobar ketika mengingat perjodohan Melissa dan Argo. Okta tak bisa menerimanya. Rasa cinta yang ia miliki berubah menjadi obsesi berbahaya. Ia merasa dunia telah merampas haknya dan kini saatnya ia mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.Hari itu, Okta mulai bergerak. Ia menelusuri rumah Argo dengan penuh kehati-hatian. Awalnya, ia hanya ingin mengawasi, mencari celah untuk melancarkan aksinya. Namun, di luar dugaan, ia justru melihat seseorang yang mungkin lebih mudah dijadikan target awal—Pak Bowo.Pak Bowo, pria berusia lima puluhan tahun itu, adalah papanya Argo, informasi ya
Argo terdiam mendengar pertanyaan dari Melissa. Pria itu menunduk menatap lantai lalu tersenyum miring. "Untuk saat ini, aku tidak memiliki hal untuk membela diri. Kamu boleh menganggapnya apa, terserah. Karena itu juga hak kamu. Aku tidak bisa melarang."Argo menatap Melissa. "Sudah aku katakan sejak tadi. Aku memang ingin kamu tahu ini agar semuanya tidak terlambat. Bagaimana tanggapan kamu setelahnya, aku akan menerima semua yang kamu putuskan."Melissa mendongak, dia menarik napas dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya setelah menemukan hal-hal yang benar-benar membuat dirinya merasa terkejut.Melissa kembali menatap Argo lalu bertanya, "Jadi, pertemuan antara papaku dan papa kamu adalah sebuah kesengajaan untuk menjalankan kembali rencana kalian yang sebelumnya?" Melisa bertanya dengan menaikkan salah satu alisnya.Argo yang mendengar itu terkekeh, tak lama dia malah tertawa. "Aku memang mengatakan bahwa terserah kamu akan menganggapnya apa tentang semua ini. Tapi satu hal y