Dengan menguras tabungannya, Rani membawa sejumlah uang untuk menemui Toto. Itu pun masih kurang dengan yang diminta oleh ayah kandungnya itu.
"Kok cuma segini?" tanya Toto ketika melihat isi uang yang ada di amplop pemberian Rani.Rani mendengus. Dia sudah menduga kalau Toto akan memprotes hal itu. "Itu untuk uang mukanya. Kalau sudah selesai, akan saya berikan sisanya." Rani berujar. Ya, setelah menikah dia akan melunasinya menggunakan uang Okta."Lagian perhitungan sekali sama anak sendiri," gerutunya.Toto tampak mengangguk beberapa kali. "Oke."Rani melotot. "Jadi, Anda mau menjadi wali nikah saya?" tanyanya dengan antusias.Toto mengangguk. "Sesuai yang kau inginkan."Rani bertepuk tangan. "Bagus. Wali nikah beres. Akan saya beri instruksi nanti. Sekarang saya harus pergi dulu." Rani berujar. Dia pun segera meninggalkan pasar di mana Toto beroperasi menuju kantor Okta.Melewati jalan khusus, dia pun sampai"Nyonya. Ada kiriman paket untuk Tuan Okta," ujar Bu Wati pada Windi yang sedang membaca majalah di ruang tengah. Perempuan tua itu mengulurkan sebuah map cokelat pada majikannya."Saya permisi, Nyoya," ujar Bu wati memilih undur diri kala surat yang ada di tangannya sudah berpindah tangan pada Windi. Perasaannya tidak enak kala melihat tulisan pada amplop cokelat tadi yang bertuliskan pengadilan agama. Apalagi mengingat kejadian akhir-akhir ini di rumah ini.Windi sendiri mengangguk. Perempuan yang sedang menunggu kepulangan suaminya itu menerima cokelat dari asisten rumah tangganya. "Terima kasih, Bi." Kening Windi mengerut kala melihat tuisan besar yang ada di bagian depan amplop."Pengadilan agama?" tanyanya kemudian. Dia pun segera membuka amplop itu meski dia tahu kalau benda itu bukan untuk dirinya. Namun, mengingat benda ini ditujukan pada Okta tentu perasaannya saat ini tidak karuan. Satu nama yang terlintas di benak Windi saat ini yaitu Melisa.Kertas putih dia dapat. Windi
Berada dalam satu meja makan dengan orang yang sedang tidak kita sukai membuat kita merasa kesal. Begitu pula yang dirasakan oleh Bagus yang saat ini sedang menikmati sarapan bersama keluarganya."Papa selesai," ujar Bagus akhirnya. Meski sarapannya terlihat masih ada, pria itu tetap menyudahi sarapannya.Riyanti yang melihat itu merasa sedih."Cepat habiskan makanan kamu, Mel. Kita masih ada urusan penting setelah ini," ujar Bagus yang langsung pergi begitu saja.Melisa mengangguk meski papanya tidak akan melihat. Dia memerhatikan piring papanya yang masih ada makananya. Mungkin nanti dia akan menasihati papanya untuk menghabiskan makanannya lain kali.Melisa masih tampak santai dengan sarapan yang sedang dia nikmati. Seperti tidak terganggu dengan kehadiran Rani yang sudah mengkhianatinya.Malah Rani yang terlihat kebakaran jenggot melihat kakaknya yang seperti biasa-biasa saja. Tidak seperti orang yang mengalami depresi setela
Okta mendatangi kantor pengadilan di hari sidang pertamanya bersama Melisa. Dia datang untuk menghormati calon mantan istrinya itu. Memakai kaca mata hitam, pria itu pun turun dari mobil.Ketika baru saja turun, mobil lain datang parkir tepat di samping mobilnya. Dia mengenali mobil itu. Mobil Melisa. Okta sengaja berhenti untuk menunggu istrinya itu turun. Senyum Okta terbit kala melihat keberadaan Melisa. Pria itu melepaskan kaca matanya lalu menyapa sang istri. "Halo istriku, Sayang. Eh salah. Halo calon mantan istri tepatnya." Dia membenahi panggilannya.Melisa sendiri hanya menatap Okta tanpa ekspresi. "Ngapain kamu di sini?" tanya Melisa kemudian.Okta menggeleng pelan. "Loh, loh, loh. Gimana sih? Ini, kan hari persidangan kita. Ya aku harus datang dong. Katanya kamu ingin bercerai dari aku." Melisa mengembuskan napas kasar. "Seharusnya kamu tidak perlu datang, Mas agar proses perceraian ini cepat selesai dan kita bisa segera berp
Rani meletakkan paperbag yang dia bawa pada meja di hadapannya. Di seberangnya, duduk seorang pria yang tak lain adalah Toto.Toto sendiri menatap Rani dan paperbag itu secara pergantian. kerutan terlihat di kening Toto karena pria itu merasa bingung dengan apa yang dilakukan putrinya ini. Datang-datang memberinya sesuatu. Padahal beberapa kali Rani datang sebelumnya selalu dengan tangan kosong."Apa ini?" tanya Toto kemudian.Rani mendorong paper bag itu untuk mendekati Toto. "Ini adalah perlengkapan yang harus Anda kenakan saat menjadi wali nikah saya nanti. Mulai dari pakaian dan juga sepatu," ujar Rani kemudian"Wali nikah?" tanya Toto dengan satu alis menukik naik.Rani mendelik. "Jangan bilang kalau Anda pura-pura lupa. Anda harus menjadi wali nikah saya nanti." Tatapannya terlihat mengancam.Toto pun mengangguk dengan kekehan cukup keras. "Tenang-tenang. Aku tidak lupa. Aku hanya penasaran saja. Memangnya kau sudah akan menikah?" Toto bertanya.Detik kemudian Rani pun mengangka
Widi dan Khalif tengah asyik menonton TV di ruang tengah ketika Okta datang membawa Rani. Pasangan suami istri itu menatap putranya dengan kerutan di kening. Mereka sama-sama bingung dengan kehadiran keduahya."Untuk apa kamu ke sini membawa dia?" tanya Windy dengan nada sinis dan juga tatapan tidak suka ke arah Rani.Okta tersenyum tipis. Dia menatap Rani sebentar dan mengangguk lalu keduanya duduk di hadapan kedua orang tua Okta. "Selamat malam, Om, Tante," sapa Rani dengan senyuman manis.Namun, bagi Windy itu terlihat memuakkan karena dia tahu perempuan ini tengah berpura-pura. "Baik. Selamat malam," jawab Khalif dengan nada datarnya. Dia menatap kedua orang itu secara bergantian. "Ada apa?" tanyanya kemudian."Maaf kalau kedatangan Okta mengganggu, Pa. Okta datang membawa Rani ke sini karena Okta mau mengatakan kalau Okta ingin menikahi Rani beberapa hari lagi," ujar pria itu dengan nada penuh ketegasan.Khalif dan Windy tidak terkejut karena mereka sudah menduga kalau putranya
Sejak pembicaraan pembagian perusahaan beberapa hari lalu oleh Bagus pada Melisa, di mana Riyanti yang tiba-tiba memasuki ruang kerja suaminya dan mengatakan kalau Rani pasti akan membantu Melisa, tetapi Bagus menolaknya, mereka belum pernah mengobrol kembali.Namun, karena suatu hal Riyanti malam ini mencoba untuk mendekati suaminya kembali guna memberitahukan sesuatu yang penting. Perempuan itu pun mengetuk pintu ruang kerja sang suami sebelum masuk. Dia tidak ingin suaminya kembali marah seperti beberapa hari lalu ketika dia tiba-tiba masuk begitu saja."Masuk." Suara dari dalam terdengar.Riyanti pun membuka pintu di hadapannya dan tersenyum melihat ke arah suami yang tampak sibuk berkutat dengan sesuatu. Riyanti mendekati sang suami. "Papa lagi apa?""Mengurus beberapa hal," ujarnya itu dengan datar tanpa mengalihkan pandangan ke arah Riyanti.Riyanti ini sudah berdiri di samping Bagus. Dia melihat berkas di tangan suaminya dan tahu
Semua yang ada di sana semakin tertawa keras melihat Rani yang tantrum di tempatnya. Seolah pemandangan ini adalah pemandangan yang lucu dan tidak ada rasa kasihan untuk perempuan itu. "Kalian semua brengsek!" teriak Rani dengan sangat keras menunjuk orang-orang di sana, yang sedang mentertawakan dirinya. Dia menatap Okta lalu menangis. "Acara kita hancur," ujarnya kemudian. Riyanti yang melihat keadaan itu langsung mendekati putrinya. "Ya Tuhan, Nak. Kenapa ini? Heh, kalian! Apa yang kalian lakukan pada putriku!" teriaknya marah. Namun, bukannya berhenti orang-orang itu malah berteriak sangat keras. Okta pun merasa bingung juga panik. Dia menepuk pundak Rani sembari menahan bau tidak sedap yang keluar dari tubuh calon istrinya itu. "Sabar, Sayang. Kamu harus sabar," ujar pria itu mencoba menenangkan Rani. "Bagaimana bisa sabar kalau sepwrti ini?" Lagi-lagi dia mengentakkan kakinya sangat keras. Seorang pria berpeci hitam dengan sarung berlari ke tengah halaman masjid. Dia
"Apa maksud Mama?" tanya Okta kemudian dengan ekspresi terkejut. Dia tampak syok mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Windy.Windy menatap Okta dengan ekspresi datar. "Saya rasa kamu tidak memiliki hak lagi untuk memanggil saya Mama," ujar Windy kemudian."Ma. Jangan bercanda." Okta berujar dengan suara bergetar. Dia Tidak menyangka kalau mamanya akan bertindak sejauh ini."Saya tidak bercanda." Windi menggeleng pelan. "Apa yang saya katakan tadi itu benar," lanjutnya.Apa yang dikatakan Windy beberapa saat lalu tidak hanya membuat Okta dan Rani terkejut. Akan tetapi Riyanti yang berdiri di samping putrinya pun memiliki ekspresi yang sama.Dia terkekeh tipis. "Jeng. Sepertinya Jeng sedang ada masalah sampai-sampai mengatakan hal itu. Mungkin sebaiknya kita bicarakan di rumah saja," ujarnya kemudian. Dia menatap sekitar di mana beberapa orang masih menatap mereka dengan ekspresi yang seperti mensyukuri apa yang baru saja dikatakan oleh Windi.Windi mengangkat tangannya. "Tidak.
Melissa menatap sedih ke arah kamar Rina. Dia melihat adik tirinya itu tengah memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Padahal, baru beberapa hari lalu dia mengeluarkannya dari koper dan menatanya di lemari.Melissa pun memasuki kamar Rina. Perempuan itu duduk di tepi ranjang dan menatap adik tirinya dengan sedih.Rina yang melihat itu pun tersenyum tipis. "Ada apa, Kak? Kenapa wajah Kakak seperti itu ekspresinya?" tanyanya kemudian."Kamu benar mau pergi juga?" tanya Melissa dengan sedih.Rani masih menunjukkan senyum tipis. Dia mengangguk beberapa kali. "Iya, Kak. Aku tidak mungkin membiarkan Mama tinggal sendirian di luar sana." Dia menjelaskan.Apa yang dikatakan oleh Rani ada benarnya. Setelah memutuskan keluar dari rumah setelah persetujuan berpisah, Riyanti akan mencari tempat tinggal lain. Jadi, mana mungkin Rani membiarkan Riyanti tinggal sendirian."Kalian nanti tinggal di mana?" tanya Melissa. "Atau tinggal di apartemen kakak saja?" Dia mencoba menawarkan. Dia meraih tangan
"Kamu melamar aku?" tanya Melisa pada Kafka dengan kerutan di kening.Kafka masih menatap Melissa dengan santai. "Tidak ada seserahan yang aku bawa. Jadi, ini bukan lamaran. Hanya ajakan nikah saja. Itu pun kalau kamu mau." Pria itu menjawab begitu santai seolah kalau dia ditolak pun, dia tidak merasa masalah.Melisa kini malah merasa bingung. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu harus menjawab atau menanggapi perkataan Kafka yang tadi bagaimana.Kafka yang menyadari sikap Melissa pun mulai paham. "Tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja angin lalu. Toh kamu juga baru menjadi janda. Jangan terlalu keras memikirkannya."Melisa tersenyum sungkan pada Kafka. Dia bersyukur kalau pria ini mengerti apa yang dia pikirkan. "Tapi kamu tidak akan memutus kerja sama antara perusahaan kita, kan?" tanyanya kemudian.Kafka tersenyum miring. "Ini dunia kerja, Melisa. Bukan dunia permainan yang mana jika salah satu pemain merasa patah hati, maka dia akan berhenti bermain."Di
Okta memasuki kediaman orang tuanya dengan wajah ditekuk. Semua penyesalan akan apa yang telah dia lakukan tiada guna, membuat dia kehilangan semuanya.Khalif dan sang istri yang melihat kedatangan Okta pun mengerutkan keningnya. "Dia kenapa, Ma?" tanya Khalif pada Windi.Windi yang sedang asyik memakan keripik menggeleng dan mengedikkan bahunya. "Tidak tahu, Pa."Okta berjalan mendekati kedua orang tuanya. Dia menatap pasangan suami istri itu yang menunjukkan ekspresi bingung. Okta pun langsung duduk di kursi single yang ada di dekat kedua orang tuanya. "Pa, Ma," panggilnya kemudian.Khalif dan Windi saling tatap beberapa saat lalu kembali menatap ke arah Okta. ''Apa?" tanya Khalif."Aku mau cerai." Satu kalimat singkat dari Okta yang mampu mengejutkan Khalif dan Windi."Apa?" tanya Windi."Kau gila?" maki Khalif. "Baru menikah kau sudah ingin bercerai lagi? Kau benar-benar sudah tidak waras?" Dia menggeleng pelan sembari berdecak. Tak habis pikir dengan kelakuan anaknya yang satu i
"Kau gila!" tanya Melissa tak habis pikir. "Kau sinting? Kau tidak waras atau bagaimana?" Dia kembali bertanya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Okta.Begitu mudahnya meminta hak dalam perusahaannya setelah apa yang pria itu lakukan padanya. Yang benar saja. Melissa tertawa. Dia menjentikkan jarinya di depan wajah Okta beberapa kali. "Hei bangun. Bangun. Ini sudah pagi. Waktunya sudah bangun. Jangan terus bermimpi," ujar Melissa memberitahu."Bagaimana mungkin kamu meminta sesuatu yang pastinya tidak mungkin aku berikan? Bahkan jika kamu masih menjadi suamiku pun, aku juga tidak akan melakukan itu, Mas. Apalagi setelah apa yang kamu lakukan padaku," ujar perempuan itu dengan menunjuk dadanya menggunakan kedua tangan.Apa yang dikatakan Melisa membuat Rani sempat merasa tidak enak. Karena bagaimanapun dia juga turut andil dalam hancurnya rumah tangga mereka.Melissa yang mengerti menatap Rani, dia mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud, Ran. Maaf."Rani
Melissa membawakan minuman untuk papanya yang kini sedang duduk di kursi taman samping rumah mereka. Melissa melihat ada sesuatu yang berbeda dengan sang papa sejak pulang dari rumah sakit menjenguk Rani."Papa kenapa?" tanya Melissa kemudian. Dia duduk di samping papanya lalu memberikan minuman hangat itu untuk Bagus.Bagus menerima miuman dari putrinya itu. "Terima kasih,'' ujarnya kemudian.Melissa mengangguk. Dia tersenyum sembari memerhatikan sang papa yang meneguk minumannya. "Papa kenapa? Papa ada masalah?" tanyanya kemudian.Bagus menggeleng dengan senyuman tipis. "Tidak. Papa tidak ada masalah," ujarnya kemudian.Melissa sedikit mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah sang papa. Dia memiringkan kepalanya sedikit. "Pa. Jangan bohong sama Melisa. Melissa tahu ada sesuatu yang sedang papa pikirkan. Ayo katakan dan jangan ditutupi lagi dari Melissa. Melissa tidak mau apa yang menjadi beban pikiran Papa kali ini akan membuat kesehataan Papa menurun nanti,'' ujarnya merayu
Okta keluar dari klinik setelah mendapat perawaran. Tubuhnya terasa remuk akibat pukulan dan tendangan beberapa preman tadi. Salah sendiri.Sepanjang perjalanan, para pedagang pasar menatap ke arahnya sembari berbisik. Tentu mereka tahu apa yang terjadi padanya. Apa yang tidak diketahui penghuni pasar jika itu tentang Toto?"Masnya nggak papa?" tanya salah satu pedagang pasar yang merasa kasihan melihat Okta"Saya masih hidup. Jadi saya nggak papa." Sayangnya Toto malah memberikan respon yang tidak terlalu baik pada pedagang itu.Pedagang itu pun melotot. "Ye. Nih orang. Jadi ngerti kenapa Toto sampe mukulin dia," ujarnya kemudian."Hu ... nyesel tanya tadi." Dia melanjutkan.Sedangkan Okta sendiri tidak menanggapi ha itu. Ptia itu tetap pergi meninggalkan pasar menuju mobilnya. Di sela rasa sakit yang dia rasakan, Okta menyandarkan punggung pada sandaran kursi lalu memejamkan matanya sesaat."Akh! Sial! Bukannya puas malah bonyok." Dia memukul kemudi yang ada di hadapannya. Namun, be
Duduk di dalam apartemennnya dengan keadaan gelap gulita tanpa membuka tirai yang akan membantu cahaya matahari untuk mentinari ke dalam, Okta duduk di sofa ditemani sebotol minuman.Pandangan pria itu lurus dan tampak kosong. Sesekali tangannya bergerak mendekatkan ujung botol ke arah bibir lalu meneguk isinya. Bola matanya yang memerah menandakan kalau pria itu baru saja meluapkan emosi. Menangis, berteriak, sedih tertawa dan marah bersatu menjadi satu.Okta sedang kesal saat ini. Pria itu merasa menjadi sosok yang bodoh karena telah ditipu habis-habisan oleh Rani. Perempuan yang baru dia nikahi beberapa minggu terakhir ini telah menjebaknya ke dalam sebuah masalah yang sudah membuat hidupnya hancur berantakan."Sialan!" teriak Okta dengan melempar botol yang ada di tangannya. Isinya memang sudah tidak ada. Itu mengapa dia berani melemparnya hingga bentuk botol itu sudah tidak beraturan. Terpecah berai di lantai membentuk serpihan-serpihan."Dia telah membohongiku," ujarnya geram de
Rani sudah mulai sadar setelah hampir setengah hari terelaap akibat pengaruh dari obat tidur.. Hari sudaah sangat larut ketika dia membuka mata.. takk ada laagi teriakan atau kemaaraahan karena ketika dia bangun, tida ada seorng pun yang ada di dekatnya.Entah di mana suaaminya itu. Namun, itu lebih baik ketimbang dia harus melihaat wajah okta. Orang yang telah menyebaabkan diaa kehilangaan calon anaknya. Hanya berdia diri, Rani duduk dengan menatap lurus ke arah luar jendela di mana dia bisamelihat orang-orang lalu lalang di koridorr rumah akit bagian lauar yang berbatasan langsung dengaan tamaan rumaah sakit.Bahkan suara pintu terbuka pun tak membuat FRani mengaalihkan pandangannya sedikit pun. Riyanti, yang baru saja keluar membeli makaanaan baru kembali. Dia terkejut mendapati putrinya sudah sadar dan kini sudah duduk di brankarnya.''Rani,'' panggilnya panik. Riyanti memperceat langkah mendekaati brankar putrinya, bahkan dia melempar begitu ssaja bungkusan makanaan yang diaa ba
"Kamu pembunuh!" teriak Rani penuh dengan kemarahan. Dia menatap tajam Okta yang berjarak tidak jauh darinya. Sorot matanya menunjukkan kebencian dan juga kesedihan yang telah menjadi satu dalam dirinya."Kamu sudah membunuh anakku!" teriak Rani sekali lagi. Kali ini dengan menunjuk ke arah Okta. Tangisnya pecah, air mata yang sejak tadi menumpuk di pelupuk mata kini telah jatuh membasahi pipi. Suara tangis Rani mulai terdengar, Rani mulai sesenggukan.Kebenaran mengenaai calon anaknya yang tidak bisa diselamatkan membuatnya patah dan berantakan. "Anakku, Ma," ujarnya pilu.Riyanti yang terkejut dengan reaksi putrinya masih menatap bingung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Rani. Namun, mau bertanya pun rasanya ini bukan waktu yang tepat.Perempuan itu segera mendekati putrinya lalu memeluk Rani di mana Rani juga langsung membalas pelukannya. Terdengar tangis yang semakin keras dan menyayat dari Rani. "Sayang." Dia membelai kepala putrinya.Riyanti yang sempat berhenti menangis