Mobil yang membawa Rani dan juga Okta berhenti di depan kediaman orang tua Okta. Pasangan yang baru saja resmi menjadi suami istri itu memutuskan untuk mendatangi kediamaan orang tua Okta guna membicarakan perihal tadi. Bayangan indah Rani di mana Okta akan membawanya pulang ke rumah dengan acara digendong buyar begitu saja.Bagaimana tidak? Kini keduanya dalam keadaan tidak karu-karuan. Bau busuk yang menyengat juga pakaian yang sudah sangat kotor. "Kita turun. Kita temui Papa," ujar Okta kemudian."Iya ayo. Rasanya aku sudah tidak tahan dengan bau ini. Aku ingin cepat-cepat mandi." Keduanya pun turun besama masih dengan Okta yang memegangi tangan Rani dengan sangat erat.Tanp mengetuk pintu lebih dulu, keduanya pun memasuki rumah itu. Okta melihat keberadaan papanya yang sedang bermain catur dengan sang sopir, tetapi tidak dengan keberadaan sang mama. Entah ke mana perempuan itu setelah memberikan kabar mengejutkan tadi."Pa," panggil Okta yang sudah berdiri di samping papanya.Tent
Okta memasuki perusahaan papanya seperti biasa. Pria itu langsung menuju ke ruangannya di mana dia yang menjabat menjadi seorang direktur. Meski bukan direktur utama, jabatan Okta tentuhya bukan jabatan yang main-main. Dia berniat menggunakan jabatan ini untuk mengembalikan haknya sebagai ahli waris dari keluarganya.Okta langsung memasuki ruangan. Namun, dia dibuat mengerutkan kening kala melihat ruangan yang biasa dia tempati telah bersih. Tidak ada barang-barang apa pun di atas meja padahal biasanya di sana ada barang-barang milik Okta.Pandangan Okta jatuh pada keberadaan seorang pria yang berseragam office boy. Pria itu tengah menyapu ruangan ini dan kini tengah menatap ke arah dirinya. "Ke mana barang-barang saya?" tanya Okta kemudian.Pria itu mengangguk sekilas pertanda sopan. "Sudah dibersihkan, Pak." Dia menjawab."Dibersihkan? Apa maksudnya?" tanya Okta marah. Sejak menikah dua hari lalu, Okta memang tidak masuk kerja karena dia harus menghabiskan waktu bersama dengan sang
Melisa berdiri menjulang di depan Rani, dengan melipat tangan di depan dada, perempuan itu menatap adik tirinya dengan tatapan remeh."Ada apa Rani? Kenapa kamu datang-datang langsung ingin menamparku? Tingkahmu begitu bar-bar. Seperti orang yang tidak berpendidikan. Pantas saja kamu belum lulus juga sampai sekarang. Kamu sih. Bukannya belajar malah sibuk menggoda suami orang." Dia tersenyum sinis.Sedangkan Rani yang masih duduk di bawah menatap kakaknya dengan kemarahan yang semakin memuncak. "Akh!" Dia berteriak kesal seperti orang kesurupan.Detik kemudian dia pun bangkit dengan buru-buru. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh dengan gigi bergemerutuk. "Kau ...." Tangan Rani terangkat menunjuk ke arah wajah Melissa.Melissa yang melihat itu mengerutkan kening. Dia segera menyingkirkan jari Rani lalu berujar, "Aku tidak suka ditunjuk seperti ini." Dia memasang ekspresi datar."Akh!' Rani berteriak kembali."Persetan," ujar Rani yang mengibaskan tangan di udara."Kau ... kau, ka
Riyanti menemui suaminya. Dia duduk di samping Bagus yang sedang mengontrol sesuatu melalui laptop. Memang, sejak mengatakan kalau pria itu akan menyerahkan segala urusan perusahaan pada Melisa, Bagus lebih sering di rumah dan mengontrol perusahaan dari sana."Pa. Bagaimana keadaan Rani sekarang, ya?" tanya perempuan itu yang merasa khawatir dengan keadaan putrinya mengingat terakhir kali kalau Okta telah dicoret dari ahli waris keluarganya.Bukankah itu berarti Okta sudah tidak lagi memiliki apa-apa?"Kenapa tanya padaku? Bukankah dia sudah ikut suaminya? Kenapa tidak kau tanyakan pada suaminya saja?" tanya Bagus dengan kesan yang cuek. Seperti tidak peduli lagi dengan Rani sama sekali. Bahkan pria itu menjawab pertanyaan Riyanti tanpa menoleh sedikit pun pada perempuan itu.Riyanti menatap sedih suaminya yang kian hari semakin memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap Rani. "Pa. Papa, kan tahu sendiri kejadian kemarin. Windi datang dan mengatakan kalau Okta dicoret dari ahli waris
Melissa langsun berlari mendekati tubuh ayahnya yang tergeletak dengah darah di keningnya. Dia menatap Rani dengan tajam. "Apa yang kau lakukn!" teriaknya marah pada Rani.Perempuan itu menatap kembali papanya. "Pa. Pa bangun, Pa. Bangun."Riyanti pun ikut berlari mendekati suaminya, berjongkok di seberang Melissa. "Pa. Papa sadar, Pa. Pa." Dia pun khawatir melihat keadaan suaminya saat ini. Darah yang terus keluar dari keningnya membuat dia merasa takut.Rani pun juga bergegas mendekati papanya. "Pa." Namun, baru saja dia mendekati Bagus, Melissa sudah lebih dulu mendorong tubuh adiknya itu hingga Rani jatuh terduduk di lantai."Jauhi papaku!" teriak Melissa dengan sangat keras. Dia menatap tajam Rani dan sorotnya penuh akan kebencian.Riyanti tak menduga Melisa akan melakukan itu. "Mel. Hati-hati. Adik kamu sedang hamil," ujar Riyanti memperingati Melissa.Kini tatapan kebencian Melissa tidak hanya pada Rani tetapi pada Riyanti juga. "Aku tidak peduli!" teriaknya marah. Bisa-bianya
"Apa yang kamu lakukan?" teriak Okta dengan sangat keras. Pria itu langsung mendekati istrinya yang terjatuh di bawa, memegangi kedua pundak Rina dan menatapnya khawatir."Kamu tidak apa-apa?" tanyanya kemudian."Sakit, Mas," ujar Rani dengan suara yang memelas, wajahnya pun menunjukkan ekspresi penuh kesedihan.Riyanti yang mendengar kegaduhan di depan kamar rawat suaminya langsung keluar. Gerakan Riyanti yang tiba-tiba menyerobot keberadaan Melissa membuat dia menabrak Melissa cukup keras sehingga posisi Melisa bergeser dari depan pintu.Detik kemudian dia melotot kala melihat putrinya duduk di bawah. "Ya Tuhan. Ada apa ini?" tanyanya yang ikut membantu Rani."Aku didorong kak Melissa, Ma," ujar Rani dengan menatap kakak tirinya itu. Melisa yang tahu kalau Rani sedang berpura-pura pun berdecak dan memutar bola matanya malas.Riyanti langsung menatap Melisa dengan tajam. "Melissa. Bukannya mama sudah mengatakan kalau kamu harus berhati-hati sama adik kamu. Dia sedang hamil," ujar per
"Kami pulang dulu, ya,' ujar Windi pada Melissa."Semoga Pak Bagus segera sembuh." Kali ini Khalif berujar pada Melissa.Melissa mengangguk. "Terima kasih atas kunjungannya. Maaf Papa masih belum sadar.""tidak apa. Yang terpenting dia segera sehat dan bisa kembali beraktifitas," ujar Khalif kemudian. Windi mengangguk dengan senyuman.Setelah keduanya lebih dulu keluar dari ruangan Bagus, kali ini Kafka yang berhadapan dengan Melisa. "Aku keluar dulu," ujar pria itu dengan ekspresi datarnya.Melisa hanya mengangguk. Jujur saja dia merasa canggung untuk berbicara dengan calon mantan adik iparnya itu. Dari dulu mereka jarang berinteraksi. Bukan hanya karena Kafka yang bicaranya irit, tetapi karena pria itu yang lebih memilih untuk ke luar negeri.Terakhir kali yang Melisa tahu pria itu sedang mengemban ilmu di sana, tetapi hari ini dia dibuat terkejut dengan keberadaan Kakak di sini. Apalagi dengan penampilannya yang memakai jas begitu rapi."Kau memikirkan apa?" tanya Kafka kemudian ya
"Selamat. Akhirnya kamu telah resmi bercerai dari Okta," ujar Kafka pada Melissa. Pria itu mengulurkan tangan ke arah mantan istri kakaknya.Melissa meraih tangan itu. "Terima kasih karena kamu sudah membantu prosesnya." Dia berujar kemudian.Okta yang melihat keberadaan mantan istrinya dan sang adik pun mendekat. "Aku tidak menyangka kalau kamu membutuhkan bantuan adikku untuk hal semacam ini," ujar Okta dengan melirik Kafka sinis.Melissa hanya menanggapinya dengan senyum tipis. "Yang terpenting aku bisa terlepas dari kamu. Itu saja," ujarnya kemudian.Okta tersenyum miring. "Semoga kamu tidak akan menyesal dengan keputusan kamu bercerai denganku."Melissa ingin sekali tertawa mendengar perkataan dari mantan suaminya ini. Namun, dia menahannya dan berakhir dia yang tersenyum tipis. "Tidak akan." Dia pun menjawab mantap.Okta tidak suka dengan jawaban itu. Apalagi melihat ketenangan Melissa saat ini. Memasukkan kedua tangan pada saku celana, dia pun berujar, "Aku sarankan kalau kamu
Setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya ruangan Melissa pun kembali bersih. Tidak ada lagi bunga, balon atau ucapan-ucapan penyemangat apalah itu yang mengganggu bagi Melissa."Ada-ada saja. Bikin pusing saja." Perempuan itu menggeleng pelan sembari berjalan menuju kursinya.Duduk di kursi kebesarannya, Melissa tampak berpikir beberapa saat. "Tidak bisa seperti ini. Dia benar-benar mengganggu. Aku sudah tidak nyaman," ujarnya dengan kesal.Melissa meraih gagang telepon dan menghubungi seseorang. "Pak. Tolong ke ruangan saya," ujar Melissa. Setelah mendapat persetujuan dari seseorang di seberang sana, Melissaol pun menutup kembali teleponnya lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia mengembuskan napas kasar.Tak lama, suara ketukan terdengar. "Masuk," ujarnya kemudian.Pintu terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang tak lain adalah kepala HRD perusahaan ini. Pak Miko, yang bisa dikatakan salah satu orang terperc
Lisa menatap foto mendiang Papa dan mamaya dengan senyuman merekah. Entahlah. Sejak tadi, dia senang melakukan hal itu. Dia membayangkan seandainya mereka ada di sini. Biasanya, seorang anak yang membayangkan hal itu mereka akan sedih. Namun, tidak dengan Lisa.Pak Bowo yang melihat itu mengerutkan kening. Dia pun ikut duduk di samping cucunya. "Kamu lagi apa?" tanyanya kemudian.Lisa menoleh lalu tersenyum. "Eh Kakek." Dia menggeleng. "Lisa hanya lagi lihatin foto Papa sama Mama," ujarnya jujur."Kamu kangen, ya?" tebak Pak Bowo dan melihat cucunya itu yang mengangguk.Lisa kembali menatap foto kedua orang tuanya. "Mama cantik ya, Kek? Papa juga tampan." Dia terkekeh geli."Em ... awas nanti kedengeran papa Argo, dia cemburu loh." Pak Bowo berujar.Tidak tahu saja kalau di sana ada Argo yang sedang mengawasi mereka dengan menyandarkan pundak pada dinding dan tangan yang dilihat di depan dada.Lisa tertawa keci
Malam itu, mereka mengadakan acara barbeque di halaman depan villa. Cuaca sedang baik, langit cerah bertabur bintang, menciptakan suasana yang sempurna untuk makan malam di luar ruangan."Untung saja langitnya cerah. Tidak hujan." Pak Bowo menatap langit dengan perasaan senang.Tuan Bagus mengangguk. "Iya. Kita bisa mengadakan acara ini di halaman.""Tenang, Kek. Lisa sudah minta sama Tuhan agar malam ini tidak hujan. Makanya dikasih terang," ujar Lisa dengan lucu yang mana langsung mengundang tawa semuanya."Bnarkah?" tanya Pak Bowo."Iya dong." Lisa langsung tertawa ketika kakeknya menggelitiki. Dia meminta ampun.Mereka tidak hanya membakar daging, tetapi juga sosis dan beberapa makanan lainnya. Semangat dan kebahagiaan menyelimuti mereka, membuat suasana semakin meriah. Tawa dan canda terdengar di antara suara api yang menyala dan aroma masakan yang menggugah selera.Lisa tampak bersemangat, membantu membalik daging
Argo, Melissa, dan Lisa pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang akan mereka gunakan untuk acara makan di villa nanti. Argo melihat belanjaan sudah banyak. Dia pun mencabik alih dari tangan Melissa."Ada yang mau dibeli lagi?" tanyanya kemudia.Melissa mengangguk. "Iya. Daging dan ikan." Dia menjawan."Ya sudah. Ayo kita cari penjualnya," ujar Argo. Dia berjalan dengan kantung belanjaan di tangan kanan dan kiri. Sedangkan Melissa menggadeng tangan Lisa."Kamu perlu bantuan tidak?" tanya Melissa pada Argo yang merasa tidak rega karenalriaitu membawa semua belanjaan mereka.Argo menggeleng. "Aman." Mereka pun membeli ikan, daging ayam dan terakhir daging sapi. Ketika mereka tiba di kios penjual daging, Lisa dengan penuh semangat meminta kepada papanya. "Pa. Beli dagingnya yang banyak, ya. Lisa ingin barbeque di depan villa nanti malam," ujar gadis itu kemudian.Argo pun menuruti permintaan putri kecilnya. "Apa yang
Okta membuka pintu apartemennya dengan kasar, suara gebrakan nyaring ketika dia kembali membantingnya untuk menutup. "Akh! Sialan!" teriakannya keras. Dia melepaskan jaketnya dengan kasar lalu membuangnya sembarangan.Napasnya memburu, otot-otot dalam lehernya masih terlihat jelas akibat kemarahan yang dia rasakan saat ini. Atas insiden yanalg baru saja dia alami di rumah mantan mertuanya dulu."Kurang ajar. Berani-beraninya mereka memperlakukan aku seperti itu," ujarnya marah. Dia mengusap hidungnya yang tiba-tiba merasa gatal."Aku datang dengan niat baik, mereka malah mengusirku seperti sampah. Enak saja." Dia membanting tubuhnya pada sofa sembari menatap lurus ke depan dengan tajam."Mereka memang orang yang sombong. Seenaknya mengusir aku dari sana." Dia terus menggerutu tiada henti. Padahal, hal itu terjadi juga bukan karena tidak ada alasan, tetapi karena mereka sudah merasa muak dengan Okta.Dia yang bersalah, tetapi dia yang mera
Melissa juga tampak terkejut dengan keberadaan Okta di sini, meski di dalam hatinya, dia sudah bisa menebak alasan kedatangan Okta. Lelaki itu masih belum menyerah setelah semua yang terjadi. Hanya saja dia tidak menyangka kalau Okta berani untuk datang kemari.Sedangkan Okta yang mendapat pertanyaan bernada marah itu malah menunjukkan senyumnya. Dia mengulurkan tangan pada Tuan Bagus. "Pa."Sayangnya, Tuan Bagus sudah enggan pada mantan menantinya itu. Dia pun menepis tangan Okta dengan kasar. Okta sempat terkejut, tetapi di memaklumi itu. Iyalah. Dia yang salah. "Saya datang untuk bertemu dengan Melissa, Pa," jawab Okta dengan suara mantap, meski dalam hatinya dia merasakan tekanan besar dari tatapan tajam Tuan Bagus."Tidak ada yang perlu kau bicarakan dengannya lagi! Pergi dari sini sebelum aku menyuruh satpam mengusirmu!" bentak Tuan Bagus tanpa basa-basi dengan menunjuk ke arah luar rumah.Arga yang menyadari keadaan tidak kondusif
Matahari siang itu mulai meredup ketika Arga tiba di sekolah untuk menjemput Lisa. Sepertinya langit akan menjatuhkan air asin dalam jumlah yang banyak. Dia pun menunggu di depan gerbang seperti biasanya.Selalu menjadi pusat perhatian wali murid lainnya karena rata-rata adalah para ibu rumah tangga, hanya dia pria dewasa di sini. Itu sudah menjadi hal biasa bagi Argo.Kadang beberapa dari mereka berani menawari Arga untuk menjadi menantu mereka.Tak lama, Argo melihat Lisa berlari menghampirinya dengan tas ransel kecil yang hampir lebih besar dari tubuh mungilnya. Wajahnya berseri-seri penuh antusiasme seperti biasa, membuat Arga tersenyum lebar."Halo, Papa!" sapa Lisa riang, memeluk lengan Arga begitu mereka berjalan menuju mobil."Hai juga, Sayang." Dia mengusap kepala Lisa dengan senyuman."Kita pulang sekarang?" tanyanya kemudian. Dia melebarkan senyum ketika melihat Lisa mngangguk.Arga langsung menggadeng tangan
Senja mulai turun perlahan ketika Pak Bowo tiba di kediaman Tuan Bagus. Rumah besar bergaya kolonial itu dikelilingi taman yang terawat rapi, dengan pohon-pohon rindang yang menambah kesan tenang. Pak Bowo disambut oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang kerja Tuan Bagus, tempat pertemuan penting itu akan berlangsung.Tuan Bagus duduk di balik meja kayu mahoni besar, dikelilingi tumpukan dokumen yang tertata rapi. Wajahnya menunjukkan kewibawaan, namun kali ini ada sorot antusias yang berbeda di matanya saat melihat kedatangan sahabat lamanya."Bowo, akhirnya kau datang juga. Duduklah," ucap Tuan Bagus sambil menunjuk kursi di seberang meja.Pak Bowo tersenyum hangat dan duduk. "Bagus. Ada apa? Tumben sekali kau memintaku datang seperti ini. Biasanya kau hanya mengajak mampir ketika kita selesai memancing."Tuan Bagus tertawa pelan. "Kau benar. Aku ingin membahas sesuatu yang lebih pribadi. Tentang anak-anak kita, Arga dan Melissa."
Melissa duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah meja. Pikirannya masih melayang pada percakapannya dengan sang ayah tadi pagi. Kata-kata beliau masih terngiang di telinganya, membuat hatinya resah. Ia menatap foto mendiang mamanya yang terletak di sudut meja, jemarinya menyentuh bingkai foto itu dengan lembut."Ma, aku harus bagaimana?" bisiknya pelan. "Papa bilang aku harus mulai memikirkan masa depanku ... Tapi aku belum siap. Aku tidak tahu apakah ini benar atau hanya perasaan sesaat."Melissa menarik napas dalam, seolah berharap udara yang dihirupnya bisa membawa serta kegundahan hatinya."Seandainya Mama masih ada, pasti Mama bisa memberiku saran terbaik," lanjutnya dengan suara lirih.Sebenarnya, dia ingin mendatangi Riyanti dan meminta saran mengenai hal ini. Hanya saja, dia juga masih merasa ragu untuk melakukan ini."Hai. Papa bikin aku banyak pikiran aja deh." Dia menumpu dagu pada lipatan tangan.Melissa begitu