Okta memasuki perusahaan papanya seperti biasa. Pria itu langsung menuju ke ruangannya di mana dia yang menjabat menjadi seorang direktur. Meski bukan direktur utama, jabatan Okta tentuhya bukan jabatan yang main-main. Dia berniat menggunakan jabatan ini untuk mengembalikan haknya sebagai ahli waris dari keluarganya.Okta langsung memasuki ruangan. Namun, dia dibuat mengerutkan kening kala melihat ruangan yang biasa dia tempati telah bersih. Tidak ada barang-barang apa pun di atas meja padahal biasanya di sana ada barang-barang milik Okta.Pandangan Okta jatuh pada keberadaan seorang pria yang berseragam office boy. Pria itu tengah menyapu ruangan ini dan kini tengah menatap ke arah dirinya. "Ke mana barang-barang saya?" tanya Okta kemudian.Pria itu mengangguk sekilas pertanda sopan. "Sudah dibersihkan, Pak." Dia menjawab."Dibersihkan? Apa maksudnya?" tanya Okta marah. Sejak menikah dua hari lalu, Okta memang tidak masuk kerja karena dia harus menghabiskan waktu bersama dengan sang
Melisa berdiri menjulang di depan Rani, dengan melipat tangan di depan dada, perempuan itu menatap adik tirinya dengan tatapan remeh."Ada apa Rani? Kenapa kamu datang-datang langsung ingin menamparku? Tingkahmu begitu bar-bar. Seperti orang yang tidak berpendidikan. Pantas saja kamu belum lulus juga sampai sekarang. Kamu sih. Bukannya belajar malah sibuk menggoda suami orang." Dia tersenyum sinis.Sedangkan Rani yang masih duduk di bawah menatap kakaknya dengan kemarahan yang semakin memuncak. "Akh!" Dia berteriak kesal seperti orang kesurupan.Detik kemudian dia pun bangkit dengan buru-buru. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh dengan gigi bergemerutuk. "Kau ...." Tangan Rani terangkat menunjuk ke arah wajah Melissa.Melissa yang melihat itu mengerutkan kening. Dia segera menyingkirkan jari Rani lalu berujar, "Aku tidak suka ditunjuk seperti ini." Dia memasang ekspresi datar."Akh!' Rani berteriak kembali."Persetan," ujar Rani yang mengibaskan tangan di udara."Kau ... kau, ka
Riyanti menemui suaminya. Dia duduk di samping Bagus yang sedang mengontrol sesuatu melalui laptop. Memang, sejak mengatakan kalau pria itu akan menyerahkan segala urusan perusahaan pada Melisa, Bagus lebih sering di rumah dan mengontrol perusahaan dari sana."Pa. Bagaimana keadaan Rani sekarang, ya?" tanya perempuan itu yang merasa khawatir dengan keadaan putrinya mengingat terakhir kali kalau Okta telah dicoret dari ahli waris keluarganya.Bukankah itu berarti Okta sudah tidak lagi memiliki apa-apa?"Kenapa tanya padaku? Bukankah dia sudah ikut suaminya? Kenapa tidak kau tanyakan pada suaminya saja?" tanya Bagus dengan kesan yang cuek. Seperti tidak peduli lagi dengan Rani sama sekali. Bahkan pria itu menjawab pertanyaan Riyanti tanpa menoleh sedikit pun pada perempuan itu.Riyanti menatap sedih suaminya yang kian hari semakin memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap Rani. "Pa. Papa, kan tahu sendiri kejadian kemarin. Windi datang dan mengatakan kalau Okta dicoret dari ahli waris
Melissa langsun berlari mendekati tubuh ayahnya yang tergeletak dengah darah di keningnya. Dia menatap Rani dengan tajam. "Apa yang kau lakukn!" teriaknya marah pada Rani.Perempuan itu menatap kembali papanya. "Pa. Pa bangun, Pa. Bangun."Riyanti pun ikut berlari mendekati suaminya, berjongkok di seberang Melissa. "Pa. Papa sadar, Pa. Pa." Dia pun khawatir melihat keadaan suaminya saat ini. Darah yang terus keluar dari keningnya membuat dia merasa takut.Rani pun juga bergegas mendekati papanya. "Pa." Namun, baru saja dia mendekati Bagus, Melissa sudah lebih dulu mendorong tubuh adiknya itu hingga Rani jatuh terduduk di lantai."Jauhi papaku!" teriak Melissa dengan sangat keras. Dia menatap tajam Rani dan sorotnya penuh akan kebencian.Riyanti tak menduga Melisa akan melakukan itu. "Mel. Hati-hati. Adik kamu sedang hamil," ujar Riyanti memperingati Melissa.Kini tatapan kebencian Melissa tidak hanya pada Rani tetapi pada Riyanti juga. "Aku tidak peduli!" teriaknya marah. Bisa-bianya
"Apa yang kamu lakukan?" teriak Okta dengan sangat keras. Pria itu langsung mendekati istrinya yang terjatuh di bawa, memegangi kedua pundak Rina dan menatapnya khawatir."Kamu tidak apa-apa?" tanyanya kemudian."Sakit, Mas," ujar Rani dengan suara yang memelas, wajahnya pun menunjukkan ekspresi penuh kesedihan.Riyanti yang mendengar kegaduhan di depan kamar rawat suaminya langsung keluar. Gerakan Riyanti yang tiba-tiba menyerobot keberadaan Melissa membuat dia menabrak Melissa cukup keras sehingga posisi Melisa bergeser dari depan pintu.Detik kemudian dia melotot kala melihat putrinya duduk di bawah. "Ya Tuhan. Ada apa ini?" tanyanya yang ikut membantu Rani."Aku didorong kak Melissa, Ma," ujar Rani dengan menatap kakak tirinya itu. Melisa yang tahu kalau Rani sedang berpura-pura pun berdecak dan memutar bola matanya malas.Riyanti langsung menatap Melisa dengan tajam. "Melissa. Bukannya mama sudah mengatakan kalau kamu harus berhati-hati sama adik kamu. Dia sedang hamil," ujar per
"Kami pulang dulu, ya,' ujar Windi pada Melissa."Semoga Pak Bagus segera sembuh." Kali ini Khalif berujar pada Melissa.Melissa mengangguk. "Terima kasih atas kunjungannya. Maaf Papa masih belum sadar.""tidak apa. Yang terpenting dia segera sehat dan bisa kembali beraktifitas," ujar Khalif kemudian. Windi mengangguk dengan senyuman.Setelah keduanya lebih dulu keluar dari ruangan Bagus, kali ini Kafka yang berhadapan dengan Melisa. "Aku keluar dulu," ujar pria itu dengan ekspresi datarnya.Melisa hanya mengangguk. Jujur saja dia merasa canggung untuk berbicara dengan calon mantan adik iparnya itu. Dari dulu mereka jarang berinteraksi. Bukan hanya karena Kafka yang bicaranya irit, tetapi karena pria itu yang lebih memilih untuk ke luar negeri.Terakhir kali yang Melisa tahu pria itu sedang mengemban ilmu di sana, tetapi hari ini dia dibuat terkejut dengan keberadaan Kakak di sini. Apalagi dengan penampilannya yang memakai jas begitu rapi."Kau memikirkan apa?" tanya Kafka kemudian ya
"Selamat. Akhirnya kamu telah resmi bercerai dari Okta," ujar Kafka pada Melissa. Pria itu mengulurkan tangan ke arah mantan istri kakaknya.Melissa meraih tangan itu. "Terima kasih karena kamu sudah membantu prosesnya." Dia berujar kemudian.Okta yang melihat keberadaan mantan istrinya dan sang adik pun mendekat. "Aku tidak menyangka kalau kamu membutuhkan bantuan adikku untuk hal semacam ini," ujar Okta dengan melirik Kafka sinis.Melissa hanya menanggapinya dengan senyum tipis. "Yang terpenting aku bisa terlepas dari kamu. Itu saja," ujarnya kemudian.Okta tersenyum miring. "Semoga kamu tidak akan menyesal dengan keputusan kamu bercerai denganku."Melissa ingin sekali tertawa mendengar perkataan dari mantan suaminya ini. Namun, dia menahannya dan berakhir dia yang tersenyum tipis. "Tidak akan." Dia pun menjawab mantap.Okta tidak suka dengan jawaban itu. Apalagi melihat ketenangan Melissa saat ini. Memasukkan kedua tangan pada saku celana, dia pun berujar, "Aku sarankan kalau kamu
"Baiklah. Kesepakatan kita sudah dibuat. Kita akan melakukan pekerjaan ini secara profesional. Selamat bekerja sama," ujar Bagus yang mengulurkan tangan ke arah Kafka. Kedua pria berbeda usia itu saling berjabat tangan.Setelahnya kini giliran Melisa yang melakukan jabat tangan dengan Kafka. Dia melempar senyum."Selama bekerja sama," ujar Kafka dengan ekspresi dinginnya."Ya. Selamat datang di kerja sama ini," balas Melisa.Setelah melakukan pembicaraan itu, Melissa pun keluar lebih dulu karena dia melihat papanya masih ingin berbicara dengan Kafka. Namun, tidak jauh keberadaan dirinya dari ruangan sang papa seseorang memanggilnya.Melissa menoleh dan melihat Kafka di sana. Dia pun memutuskan untuk menunggu pria itu lalu berjalan bersama. "Bagaimana kabarmu? tanya Kafka tanpa menatap ke arah perempuan itu.Kerutan terlihat jelas di kening Melissa. Dia merasa ada sesuatu di balik pertanyaan dari Kafka. Padahal kalau kita dengar itu adalah Kalimat yang wajar. "Baik." Dia mengangguk pel
"Mama kenapa sih, Ma?" tanya Khalif ketika melihat istrinya yang terus melamun. Dia duduk di samping Windi lalu merangkul pundak istrinya itu dengan senyuman tipis.Windi menarik napasnya dalam sampai bahunya naik perlahan lalu mengembuskan dengan berbarengan pundaknya yang urun. "Ya mikirin apa lagi, Pa kalau bukan lamaran mama yang ditolak sama Tuan Bagus karena dia sudah menjodohkan Melissa dengan orang lain," jawabnya malas.Khalif mengangguk dan paham kekecewaan sang istri. Dia mengelus pundak Windi dengan lembut. "Sudahlah, Ma. Mungkin Melissa dan Kafka itu memang tidak berjodoh. Janganlah dipaksa terus menerus.""Mama ini tidak memaksa, Pa. Mama ini hanya sedang berusaha." Windi berujar dengan penuh penekanan."Berusaha untuk mencarikan jodoh terbaik untuk anak kita. Dan Melissa menurut mama itu yang paling pas dan cocok," lanjut Windi."Ya kalau bukan jodohnya mau gimana, Ma? Mau diapain juga tidak akan bisa bersama kalau Tuhan tidak berkehendak. Dan, jika Tuhan memang mentakd
Mendapat tawaran dari Melissa untuk tinggal di rumahnya, tentu saja Lisa langsung mengiyakan hal itu. Daripada tidur di rumah sendirian, atau tidur di rumah sakit lagi dan itu tidak membuatmu nyaman, lebih baik tidur di rumah calon mamanya kan?"Sekarang, Lisa cuci muka, cuci kaki dan gosok gigi, ya." Melissa berujar ketika mereka sudah bersiap untuk tidur.Lisa pun mengangguk dan kduanya menuju kamar mandi untuk melakukan ritual itu. Setelah beberapa saat selesai, mereka pun siap untuk mengistirahatkan diri.Melissa membenahi selimut Lisa. "Jangan lupa berdoa sebelum tidur," ujarnya dengan senyuman.Lisa mengangguk dan melakukan apa yang diminta Melissa. Setelahnyamerekapun mulai merebahkan diri. "Terima kasih, Tante Lisa." Gadis itu berujar.Melissa mengangguk. "Sama-sama." Dia pikir setelah itu Lisaakan langsung tidur. Akan tetapi gadis kecil itu masih membuka matanya."Kamu kenapa? Kok masih belum tidur?" tanyanya kemudian.Lisa menatap Melissa dengan takut-takut. "Lisa mau tanya,
Suara klakson langsung berbunyi keras setelah mobil milik Melissa berhenti. Beberapa mobil di belakangnya berhenti dengan jarak yang sangat dekat.Melissa dan Tuan Bagus sama-sama menoleh. "Mel. Kamu ini." Tuan Bagus memperingati."Maaf-maaf." Melissa segera menjalankan kembali mobilnya."Kamu ini ada-ada saja, Mel." Tuan Bagus menggeleng pelan."Lagian Papa bikin aku terkejut aja." Melissa mengerucutkan bibirnya. Dia tetap memfokuskan pandangan lurus ke depan."Maksud ucapan Papa tadi apa?" tanyanya kemudian."Ya Tante Windi tadi?" tanya Tuan Bagus dan dia melihat putrinya yang mengangguk."Ya seperti yang kamu dengar tadi. Tante Windi tadi datang ke rumah dan dia mengatakan niatnya kalau dia ingin kamu menjadi menantunya lagi," ujar Tuan Bagus."Katanya, kamu ingin dinikahkan dengan Kafka," lanjutnya kemudian.Melissa yang mendengar hal itu menggeleng pelan. "Astaga. Asli. Mel nggak pernah bayangin hal ini, Pa.""Sama." Tuan Bagus berujar."Lalu Papa bilang apa sama Tante Windi?" ta
"Ayo, Jarot. Mandi yang bersih ya, Jar. Biar seger," uja Tuan Bagus. Pria itu tengah menyemprot air pada burung peliharaannya. Pagi ini adalah waktu yang pas untuk mandi."Abis mandi nanti, kamu latihan lagi berkicau. Biar suara kamu tetap merdu dan semakin merdu," lanjut Tuan Bagus. Dia menatap senang empat ekor burung yang dia miliki."Ini, Tuan camilannya," ujar asisten rumah tangga Tuan Bagus.Tuan Bagus menoleh. "Terima kasih, Bi." Dia mengangguk. Duduk di gazebo dia mulai menikmati lapis legit yang baru saja dia dapatkan semampu menatap burung-burung miliknya yang sedang dijemur."Buka usaha jual beli burung sepertinya asyik," ujarnya kemudian.Beberapa saat kemudian, asisten rumah tangganya kembali mendekat. Dia berdiri di depan Tuan Bagus sembari menunduk untuk memberitahukan sesuatu."Tuan, maaf. Ada nyonya Windi datang dan ingin bertemu." Dia berujar.Tuak Bagus langsung mengerutkan kening mendengar perkataan asisten rumah tangganya. "Windi? Mau apa dia?" tanyanya kemudian.
Malam telah larut ketika Argo mengantar Melissa pulang. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan melintas dengan lampu yang menyorot redup. Mobil Argo berhenti tepat di depan rumah besar milik Tuan Bagus. Melissa menghela napas lega, lalu menoleh ke arah Argo. "Makasih ya, Go, udah nganterin aku pulang. Maaf jadi ngerepotin."Argo tersenyum tipis, "Harusnya aku yang berterima kasih sama kamu. Kamu sudah repot hari ini karena aku. Bantu di panti---""Itu, kan memang kegiatan yang rencananya dirutinin sama kita," ujar Melissa memotong kalimat Argo. Keduanya terkekeh bersama.Argo mengangguk. "Ya. Tapi nggak hanya itu aja. Misal tadi kamu ikut ke sekolahan dan membantu Lisa. Secara tidak langsung kamu membersihkan namanya," ujar Argo.Melissa mendengus. "Aku hanya tidak suka bullying."Argo mengangguk. "Ya. Untuk itu aku berterima kasih.""Ya udah sama-sama.""Yuk aku antar sampai depan rumah. Aku mau sekalian pamit sama Om Bagus. Boleh, kan?" tanya Argo.Melissa mengangguk. "Ya haruslah.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan, Pak Bowo duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong ke langit-langit. Ia masih mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada kendaraan lain yang menabraknya? Atau apakah sopirnya kehilangan kendali? Pikirannya dipenuhi pertanyaan.Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk ke ruangannya. "Pak Bowo, kondisi Anda cukup stabil. Hanya ada luka ringan di dahi dan sedikit benturan di kepala. Tapi kami sarankan Anda tetap beristirahat.""Bagaimana dengan sopir saya, Pak Dokter?" tanya Pak Bowo cemas.Dokter itu menarik napas sebelum menjawab, "Pak Herman mengalami cedera di bagian kepala, tapi saat ini kondisinya stabil. Kami masih melakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan tidak ada pendarahan internal."Pak Bowo menghela napas lega, meskipun masih ada kekhawatiran di hatinya. Ia menatap keluar jendela rumah sakit, melihat lalu lintas yang kembali normal. Seakan kejadian beberapa jam lalu hanyalah mimpi buruk yang hampir merenggut ny
Okta menggeram dalam hati. Amarahnya semakin membara sejak ia dipecat. Baginya, ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, melainkan penghinaan yang tak bisa ia terima begitu saja. Dan semuanya bermula dari satu nama: Argo. Jika bukan karena pria itu, hidupnya tidak akan berantakan. Dan kini, hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—membalas dendam.Dendam itu semakin berkobar ketika mengingat perjodohan Melissa dan Argo. Okta tak bisa menerimanya. Rasa cinta yang ia miliki berubah menjadi obsesi berbahaya. Ia merasa dunia telah merampas haknya dan kini saatnya ia mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.Hari itu, Okta mulai bergerak. Ia menelusuri rumah Argo dengan penuh kehati-hatian. Awalnya, ia hanya ingin mengawasi, mencari celah untuk melancarkan aksinya. Namun, di luar dugaan, ia justru melihat seseorang yang mungkin lebih mudah dijadikan target awal—Pak Bowo.Pak Bowo, pria berusia lima puluhan tahun itu, adalah papanya Argo, informasi ya
Argo terdiam mendengar pertanyaan dari Melissa. Pria itu menunduk menatap lantai lalu tersenyum miring. "Untuk saat ini, aku tidak memiliki hal untuk membela diri. Kamu boleh menganggapnya apa, terserah. Karena itu juga hak kamu. Aku tidak bisa melarang."Argo menatap Melissa. "Sudah aku katakan sejak tadi. Aku memang ingin kamu tahu ini agar semuanya tidak terlambat. Bagaimana tanggapan kamu setelahnya, aku akan menerima semua yang kamu putuskan."Melissa mendongak, dia menarik napas dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya setelah menemukan hal-hal yang benar-benar membuat dirinya merasa terkejut.Melissa kembali menatap Argo lalu bertanya, "Jadi, pertemuan antara papaku dan papa kamu adalah sebuah kesengajaan untuk menjalankan kembali rencana kalian yang sebelumnya?" Melisa bertanya dengan menaikkan salah satu alisnya.Argo yang mendengar itu terkekeh, tak lama dia malah tertawa. "Aku memang mengatakan bahwa terserah kamu akan menganggapnya apa tentang semua ini. Tapi satu hal y
Melissa terduduk termenung di sebuah kursi, memikirkan kenyataan yang baru saja dia ketahui. Argo dan Arga ternyata adalah saudara. Hal itu terasa begitu mengejutkan baginya. Bagaimana mungkin dia tidak pernah tahu? Bahkan saat mereka masih sekolah dulu, tidak ada satu pun yang menyebutkan fakta ini. Jika memang ada yang tahu, tentu dia juga akan mengetahuinya.Argo datang menghampiri dengan segelas minuman di tangannya. Dia menyerahkannya pada Melissa dengan harapan bisa membuat perempuan itu sedikit lebih tenang."Minumlah, Mel. Jangan terlalu dipikirkan," kata Argo pelan, namun suara itu tetap terdengar tegas.Melissa menerima gelas itu tanpa benar-benar berniat untuk meminumnya. Matanya masih menatap kosong ke depan, pikirannya berputar di antara fakta-fakta yang baru saja ia dengar."Kenapa Arga tidak pernah memberitahuku?" tanyanya lirih. "Aku bahkan yakin di sekolah dulu tidak ada yang tahu kalau kalian saudara."Dia menatap Argo. "Kamu juga duku tidak bilang.""Karena memang t