"Kalian sudah baikan?" tanya Windi. Ibunya Okta. Ini adalah hari setelah Melisa dan Okta berdebat mengenai rencana pria itu yang akan menikahi Rani.
"Mereka bertengkar?" tanya pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Okta. "Ya kemarin." Windi mengangguk. Okta tersenyum. "Maklumin saja, Pa, Ma. Namanya juga rumah tangga. Pasti ada perdebatan kecil sedikit. Ya nggak, Sayang?" tanya Okta pada Melisa. "Tapi kita sudah baikan kok." Okta melanjutkan. Sekedar informasinya saja, kedua orang tua Okta belum mengetahui rencana anak mereka yang ingin menikahi adik dari menantunya itu. Jujur saja Melisa merasa ragu untuk mengatakan pada keduanya karena kebanyakan, orang tua laki-laki pasti akan mendukung apa yang anak mereka lakukan. "Benar itu, Melisa?" tanya Khalif, papanya Okta. Melisa memaksakan senyum lalu mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Kami sudah baikan kok." Khalif mengangguk beberapa kali. "Syukurlah. Kalau Okta berbuat Saka sama kamu lagi, jangan ragu untuk mengatakannya pada papa. Saat itu juga, papa akan memecat dia sebagai anak," ujar pria itu dengan kekehan. "Wah. Cinta papa sepertinya sudah beralih dari Okta ke Melisa nih." Okta memasang wajah yang dibuat sedih laku menggeleng kepala pelan. "Bukannya beralih. Hanya saja, papa tidak suka kalau kamu menyakiti istri kamu. Sebagai seorang pria, seharusnya kita itu menjadi pelindung mereka. Bukan malah menjadi sumber kesedihan mereka. Apalagi kalau ini yang kamu sakiti istri kamu." Khalif menggeleng pelan. "Papa bakalan benar-benar kecewa sama kamu," ujarnya kemudian. Melisa tertegun. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah benar jika suaminya berbuat salah atau menyakitkan dirinya, papa mertuanya akan mendukung dirinya? Melisa mengepalkan kedua tangan dengan hati yang merasa bimbang. "Iya-iya, Pa. Ya sudah kalau begitu Okta berangkat kerja dulu." Dia pun bangkit dari tempat duduknya. Hal yang sama dilakukan oleh Melisa. Perempuan itu juga bangkit dari tempat duduknya untuk mengantar sang suami. Dia tentu tidak ingin kedua mertuanya merasa curiga kalau sebenarnya mereka masih bertengkar. Lagi pun, itu sudah kewajiban Melisa sebagai seorang istri untuk mengantar suaminya. Ketika keduanya sampai di depan rumah, seperti biasa Melisa akan mencium punggung tangan Okta. Tatapan keduanya bertemu. "Jika aku mengatakan rencana kamu untuk menikahi Rani pada Papa dan Mama bagaimana?" tanya Melisa tiba-tiba. Dia menunggu reaksi suaminya. Jika marah, maka dia akan menggunakan ancaman itu agar Okta membatalkan rencananya. Namun, harapan Melisa sirna. Okta yang mendengar pertanyaan itu malah menunjukkan senyum miringnya. "Kamu pikir, karena Papa mengatakan hal tadi, dia akan benar-benar berada di pihakmu?" Okta malah terkekeh. "Bagaimanapun aku adalah anaknya. Mereka pasti akan mendukungku." Okta berujar kemudian. Dia mengangkat tangan lalu mengacak rambut sang istri. "Jadikan istri yang baik, ya. Bagaimanapun kamu tetap istri pertamaku yang pastinya akan memegang peran penting dalam rumah tangga kita meski aku menikah lagi. Tenang saja." Setelah mengatakan hal itu, Okta pun pergi dengan mobilnya. Melisa hanya menatap datar kepergian suaminya. Dia segera menghapus air mata yang akan jatuh. Tanpa kata, dia pun kembali memasuki rumah. "Non. Makanan yang Non minta sudah siap," ujar Bi Wati asisten rumah tangga di kediaman ini. Dia meletakkan paperbag di meja makan. Melisa mengangguk. "Terima kasih, Bi." "Sama-sama, Non." Perempuan tua itu pun kembali ke dapur. "Kamu mau menjenguk adik kamu?" tanya Windi pada sang menantu. Melisa mengangguk. "Iya, Ma. Sebelum ke kantor rencananya Melisa mau menjenguk Rani dulu sama bawain makanan siapa tahu Mama belum makan." "Mama juga belum menjenguk Rani. Nanti deh siangan mama mau ke sana." Windi berujar kemudian. "Pakai sopir, Ma." Khalif memperingati istrinya. "Iya, Pa." Melisa tersenyum. "Kalau mama repot nggak usah ke sana juga nggak papa kok, Ma." Windi mengibaskan tangan di udara. "Mama enggak repot kok." "Ya sudah. Kalau begitu Melisa berangkat dulu." Tidak lupa dia menyalami tangan kedua mertuanya lalu berangkat. Menjalankan mobil, kendaraan besi itu mulai menyusui jalanan aspal di pagi hari. Ketika akan sampai rumah sakit tempat adiknya dirawat, tanpa sengaja Melisa melihat sebuah mobil yang dia kenali. "Itu bukannya mobil Mas Okta? Ngapain dia ada di sini? Ini, kan bukan jalan menuju kantornya?" tanya Melisa bingung. "Apa jangan-jangan ...." Melisa menduga sesuatu. Dia pun memilih untuk mengikuti mobil suaminya. Benar saja, mobil Okta berbelok di rumah sakit tempat Rani dirawat. "Apa dia akan bertemu Rani?" Perasaan Melisa mulai tak enak. Dia memang tidak mengatakan pada suaminya kalau akan datang ke rumah sakit. Melisa menempatkan mobilnya sedikit jauh dari mobil Okta agar dia tidak ketahuan. Dia melihat suaminya masuk ke rumah sakit dengan membawa sesuatu. Melisa buru-buru keluar dari mobil tak lupa membawa paper bag berisi makanan untuk sang mama. Dia terus melangkah mengikuti sang suami dan semakin yakin kalau Okta akan ke kamar Rani. Tepat ketika sampai di depan kamar rawat Rani, Melisa terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Rani. Kebetulan memang pintu Tidak tertutup sempurna. "Ah sayangku akhirnya kamu datang juga. Kamu bawain yang aku minta?" "Iya dong. Masa kamu ngidam aku nggak bawain? Bisa-bisa anak kita ileran nanti." Itu suara Okta. Sontak saja kalimat barusan mampu membuat tubuh Melisa membeku seketiam. Dia membuka mata dan mukut lebar-lebar saking syoknya. "Anak kita?" bisiknya lirih. Dia menutupi Mulut dengan tangan lalu menggeleng pelan. "Apa maksudnya?" tanyanya lagi. "Apa. Apa mereka berselingkuh di belakang aku?" "Ah kamu baik sekali." Dari luar Melisa bisa melihat Rani yang memeluk suaminya dengan mesra. Seperti itu adalah hal biasa. Dari sana dia pun yakin kalau keduanya telah mengkhianati dirinya. Lalu, apa yang kemarin? Hanya drama? "Baik? Aku masih marah, ya sama kamu karena kamu melakukan hal bodoh seperti kemarin. Bagaimana bisa kamu punya pikiran untuk menyayat pergelangan kamu? Kalau ada apa-apa bagaimana?" Rani terlihat mengembungkan pipinya. "Ya habisnya kamu. Ditanya Kapan nikahi aku enggak jawab-jawab. Ya aku kesel. Keburu anak kita besar nanti. Makanya aku melakukan hal itu. Dan hasilnya, kita akan segera menikah bukan?" Kali ini dia memperlihatkan senyum lebarnya. "Ya tapi jangan seperti itu juga, Sayang. Aku itu khawatir sama kamu." Hati Melisa berdenyit melihat itu. "Jadi, selama ini mereka memiliki hubungan?" tanyanya lagi. Kali ini dia tak mampu lagi menahan air mata yang sejak tadi memaksa untuk keluar. "Tenang. Lagi pun aku sudah mempertimbangkan waktunya kok. Darah yang kemarin ada itu juga bukan darah aku. Kamu tenang saja, aku menambahkannya agar lebih terlihat dramatis saja kalau banyak." Rani tersenyum menunjukkan giginya. "Dramatis-dramatis. Mama yang jantungan." Sosok Riyanti keluar dari titik buta. Melisa semakin melotot tak percaya dengan apa yang dia lihat. Paperbag yang dia bawah terjatuh. "Jadi, selama ini mama juga tahu mereka ada hubungan?" Melisa menggeleng pelan. Tanpa kata dia langsung pergi meninggalkan rumah sakitMelisa menangis sembari membawa mobilnya pergi dari rumah sakit. Dia tahu ini berbahaya, tetapi bertahan di sana pun tidak mungkin. Dia menghapus air mata di pipi secara kasar."Kalian jahat! Kalian pengkhianat!" teriak Melisa dengan keras sembari memukul kemudi. Dia tidak peduli kalau tangannya akan merasa kesakitan. Menutupi bibir dengan punggung tangan, dia menangis dengan tersedu-sedu.Melisa menggeleng pelan. "Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?" tanyanya di sela tangis. Masih merasa terkejut dan kecewa karena melihat mamanya yang menutupi kebusukan adik dan juga suaminya.Tiba-tiba Melisa mengingat satu orang. "Papa," bisiknya. Perempuan itu menangis semakin kencang. Dalam hati dia menduga kalau mamanya tahu mengenai hal ini, pasti papanya juga mengetahui hal ini.Kedua tangan Melisa mencengkeram kemudi, dia semakin menangis kencang. "Kenapaa? Kenapa kalian jahat sekali?" tanyanya dengan berteriak.Perempuan yang tengah terluka hatinya itu melajukan mobil menuju kantor, tempa
"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak."Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan
Okta sempat terkejut sesaat mendengar apa yang dikatakan Melisa. Namun, beberapa saat kemudian dia menunduk dan tak lama bahunya bergetar, terdengar suara tawa dari bibir pria itu. Melisa yang sudah dalam keadaan kembali menangis langsung menatap bingung sang suami yang kini malah tertawa. Dalam hati Melisa bertanya apakah suaminya ini sudah gila? Sedangkan Okta sendiri kini menatap Melisa kembali, masih dengan tawanya. "Oh. Ternyata kamu sudah tahu?" tanyanya kemudian. "Baguslah kalau kamu sudah tahu," lanjut Okta. Sedangkan Melisa malah merasa syok dengan sikap suaminya. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah pria itu akan apa yang telah dia lakukan di belakangnya. "Sinting kamu," maki Melisa. "Memang sudah keputusan yang tepat kalau kita berpisah," lanjutnya yang mana Melisa langsung kembali memasukkan sisa pakaiannya. Kali ini Okta tidak lagi menghalangi niat Melisa untuk pergi. Terserah istrinya itu meminta apa saat ini. Toh semuanya sudah jelas kalau dia akan me
Kemarahan Winda memuncak mendengar perkataan Okta. "Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengan orang lain ketika kamu sudah beristri, Okta?" tanyanya dengan suara meninggi.Okta memegang pipinya yang terasa panas. Meski dia seorang lelaki, tak menutupi kenyataan bahwa dirinya juga merasa kesakitan dengan tamparan barusan.Dia menatap mamanya yang baru saja memberinya tamparan, ada rasa tidak percaya akan hal itu. "Ma. Aku dan Rani saling mencintai." Dia menjelaskan."Persetan dengan cinta yang kau agungkan sejak tadi. Jika kau masih memiliki istri, kenyataannya hanya nafsu yang kau dahulukan bersama perempuan tidak tahu diri itu." Winda berteriak dengan menunjuk ke arah luar rumah seolah yang dibicarakan ada di sana.Okta tidak setuju kala mendengar Rani yang disebuat sebagai perempuan tidak tahu diri oleh mamanya. "Ma. Jangan bicara seperti itu. Dia calon menantu mama juga," ujar Okta."Mama tidak sudi menjadik
"Papa benar-benar kecewa sama kamu, Okta! Bisa-bisanya. Bisa-bisanya kamu dan Rani ...." Bahkan Khalif saja tidak mampu mengatakan betapa bejatnya anaknya ini."Belajar dari siapa kamu ini, Okta? Papa tidak pernah mengajari kamu seperti ini!" bentaknya keras. Dia sampai menunjuk wajah putranya. Asal tahu saja kalau dia ingin memukul wajah Okta saat ini.Sedangkan Okta hanya bisa diam saja. Dia pikir, orang tuanya akan merasa bahagia dan langsung menerima Rani kalau dia mengatakan kehamilan perempuan itu. Tapi nyatanya malah membuat semua menjadi semakin runyam."Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan. Hancur," ujar Khalif dengan berjalan mondar-mandir di depan anaknya. Tidak henti dia mengurut keningnya."Kam---" Kalimat yang akan dikatakan Khalif urung kala terdengar suara erangan dari arah ranjang. Khalif menoleh dan melihat istrinya yang mulai sadar dari pingsannya. Dia pun segera
Melisa terkejut dengan kedatangan papanya kembali malam ini. "Papa? Kok Papa balik lagi?" tanya Melisa."Ada yang ketinggalan?" Melisa kembali bertanya, tetapi Tidak ada jawaban.Dia menatap papanya dengan kerutan di kening kala melihat pria itu yang memasuki apartemennya dengan diam.Melisa menutup pintu kala tak ada jawaban dari sang papa. Dia ikut duduk di samping Bagus. "Pa. Ada apa?" tanya Melisa dengan menggenggam tangan papanya.Bagus menatap Melisa dengan sedih. "Tadi Okta dan orang tuanya datang ke rumah. Khalif dan Winda mencari keberadaan kamu. Mereka ingin menemui kamu.""Papa kasih tahu mereka Melisa di mana?" tanya Melisa cepat.Bagus menggeleng dan itu membuat Melisa mengembuskan napas penuh kelegaan. "Syukurlah." Dia mengusap dadanya pelan.Dia memerhatikan wajah sang papa dan melihat ada kegelisahan di sana. "Tapi kenapa Papa sepertinya sedih begitu? Papa merasa bersala
"Sekarang Rani harus mencari papa kandung Rani di mana, Ma?" tanya Rani pada sang mama. Keinginan menikahi Okta harus tertunda kembali karena tidak ada wali nikah untuk dirinya."Mana mama tahu, Ran. Mama sudah lama tidak bertemu dengan bapak kandung kamu itu." Bu Riyanti sendiri juga merasa bingung dengan hal ini. Jujur saja, dia tidak pernah berpikir sejauh ini ketika dia berpisah dulu. Apalagi ketika dirinya sudah menemukan Bagus, suami keduanya yang jauh lebih kaya dari suami pertamanya. Dia tak pernah lagi kepikiran tentang mantan suaminya."Mana papa kamu tidak pulang sejak tadi malam lagi. Entah di mana di berada sekarang," gerutu Riyanti. Sejak kepergian suaminya semalam, pria itu memang belum kembali pulang.Rani mengembuskan napas kasar. "Ih Mama. Ngapain juga nyari Papa. Toh Papa juga nggak bisa jadi wali nikah aku," ujar Rani dengan memberenggut kesal."Nikah, nikah, nikah saja yang kamu pikirkan itu." Riyanti meneg
Seperti rencananya kemarin, Rani benar-benar mencari keberadaan bapaknya agar dia bisa segera menikah dengan Okta. Perempuan itu mendatangi alamat yang diberikan oleh sang mama. Niat hati ingin mengajak mamanya juga, tetapi Riyanti menolak hal itu.Alasannya, selain karena Riyanti tidak ingin bertemu dengan mantan suaminya lagi, dia juga masih ingin mencari keberadaan Bagus yang sudah beberapa hari ini tidak pulang.Mau bagaimanapun tawaran menggiurkan Rani kalau sudah menjadi istri Okta, tetap saja dia ingin bersama Bagus. Sudah ada cinta di hatinya untuk suaminya itu.Rani baru saja turun dari mobilnya yang susah mendapatkan parkir. Bola matanya melotot dan mulut menganga lebar melihat tempat yang ada di hadapannya."His. Ini beneran aku ke tempat seperti ini sendirian?" tanya Rani dengan ekspresi yang menunjukkan rasa jijik. Bagaimana tidak? Dia harus mendatangi pasar kumuh yang tidak pernah dia datangi sama sekali dalam hid
Melissa menatap sedih ke arah kamar Rina. Dia melihat adik tirinya itu tengah memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Padahal, baru beberapa hari lalu dia mengeluarkannya dari koper dan menatanya di lemari.Melissa pun memasuki kamar Rina. Perempuan itu duduk di tepi ranjang dan menatap adik tirinya dengan sedih.Rina yang melihat itu pun tersenyum tipis. "Ada apa, Kak? Kenapa wajah Kakak seperti itu ekspresinya?" tanyanya kemudian."Kamu benar mau pergi juga?" tanya Melissa dengan sedih.Rani masih menunjukkan senyum tipis. Dia mengangguk beberapa kali. "Iya, Kak. Aku tidak mungkin membiarkan Mama tinggal sendirian di luar sana." Dia menjelaskan.Apa yang dikatakan oleh Rani ada benarnya. Setelah memutuskan keluar dari rumah setelah persetujuan berpisah, Riyanti akan mencari tempat tinggal lain. Jadi, mana mungkin Rani membiarkan Riyanti tinggal sendirian."Kalian nanti tinggal di mana?" tanya Melissa. "Atau tinggal di apartemen kakak saja?" Dia mencoba menawarkan. Dia meraih tangan
"Kamu melamar aku?" tanya Melisa pada Kafka dengan kerutan di kening.Kafka masih menatap Melissa dengan santai. "Tidak ada seserahan yang aku bawa. Jadi, ini bukan lamaran. Hanya ajakan nikah saja. Itu pun kalau kamu mau." Pria itu menjawab begitu santai seolah kalau dia ditolak pun, dia tidak merasa masalah.Melisa kini malah merasa bingung. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu harus menjawab atau menanggapi perkataan Kafka yang tadi bagaimana.Kafka yang menyadari sikap Melissa pun mulai paham. "Tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja angin lalu. Toh kamu juga baru menjadi janda. Jangan terlalu keras memikirkannya."Melisa tersenyum sungkan pada Kafka. Dia bersyukur kalau pria ini mengerti apa yang dia pikirkan. "Tapi kamu tidak akan memutus kerja sama antara perusahaan kita, kan?" tanyanya kemudian.Kafka tersenyum miring. "Ini dunia kerja, Melisa. Bukan dunia permainan yang mana jika salah satu pemain merasa patah hati, maka dia akan berhenti bermain."Di
Okta memasuki kediaman orang tuanya dengan wajah ditekuk. Semua penyesalan akan apa yang telah dia lakukan tiada guna, membuat dia kehilangan semuanya.Khalif dan sang istri yang melihat kedatangan Okta pun mengerutkan keningnya. "Dia kenapa, Ma?" tanya Khalif pada Windi.Windi yang sedang asyik memakan keripik menggeleng dan mengedikkan bahunya. "Tidak tahu, Pa."Okta berjalan mendekati kedua orang tuanya. Dia menatap pasangan suami istri itu yang menunjukkan ekspresi bingung. Okta pun langsung duduk di kursi single yang ada di dekat kedua orang tuanya. "Pa, Ma," panggilnya kemudian.Khalif dan Windi saling tatap beberapa saat lalu kembali menatap ke arah Okta. ''Apa?" tanya Khalif."Aku mau cerai." Satu kalimat singkat dari Okta yang mampu mengejutkan Khalif dan Windi."Apa?" tanya Windi."Kau gila?" maki Khalif. "Baru menikah kau sudah ingin bercerai lagi? Kau benar-benar sudah tidak waras?" Dia menggeleng pelan sembari berdecak. Tak habis pikir dengan kelakuan anaknya yang satu i
"Kau gila!" tanya Melissa tak habis pikir. "Kau sinting? Kau tidak waras atau bagaimana?" Dia kembali bertanya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Okta.Begitu mudahnya meminta hak dalam perusahaannya setelah apa yang pria itu lakukan padanya. Yang benar saja. Melissa tertawa. Dia menjentikkan jarinya di depan wajah Okta beberapa kali. "Hei bangun. Bangun. Ini sudah pagi. Waktunya sudah bangun. Jangan terus bermimpi," ujar Melissa memberitahu."Bagaimana mungkin kamu meminta sesuatu yang pastinya tidak mungkin aku berikan? Bahkan jika kamu masih menjadi suamiku pun, aku juga tidak akan melakukan itu, Mas. Apalagi setelah apa yang kamu lakukan padaku," ujar perempuan itu dengan menunjuk dadanya menggunakan kedua tangan.Apa yang dikatakan Melisa membuat Rani sempat merasa tidak enak. Karena bagaimanapun dia juga turut andil dalam hancurnya rumah tangga mereka.Melissa yang mengerti menatap Rani, dia mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud, Ran. Maaf."Rani
Melissa membawakan minuman untuk papanya yang kini sedang duduk di kursi taman samping rumah mereka. Melissa melihat ada sesuatu yang berbeda dengan sang papa sejak pulang dari rumah sakit menjenguk Rani."Papa kenapa?" tanya Melissa kemudian. Dia duduk di samping papanya lalu memberikan minuman hangat itu untuk Bagus.Bagus menerima miuman dari putrinya itu. "Terima kasih,'' ujarnya kemudian.Melissa mengangguk. Dia tersenyum sembari memerhatikan sang papa yang meneguk minumannya. "Papa kenapa? Papa ada masalah?" tanyanya kemudian.Bagus menggeleng dengan senyuman tipis. "Tidak. Papa tidak ada masalah," ujarnya kemudian.Melissa sedikit mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah sang papa. Dia memiringkan kepalanya sedikit. "Pa. Jangan bohong sama Melisa. Melissa tahu ada sesuatu yang sedang papa pikirkan. Ayo katakan dan jangan ditutupi lagi dari Melissa. Melissa tidak mau apa yang menjadi beban pikiran Papa kali ini akan membuat kesehataan Papa menurun nanti,'' ujarnya merayu
Okta keluar dari klinik setelah mendapat perawaran. Tubuhnya terasa remuk akibat pukulan dan tendangan beberapa preman tadi. Salah sendiri.Sepanjang perjalanan, para pedagang pasar menatap ke arahnya sembari berbisik. Tentu mereka tahu apa yang terjadi padanya. Apa yang tidak diketahui penghuni pasar jika itu tentang Toto?"Masnya nggak papa?" tanya salah satu pedagang pasar yang merasa kasihan melihat Okta"Saya masih hidup. Jadi saya nggak papa." Sayangnya Toto malah memberikan respon yang tidak terlalu baik pada pedagang itu.Pedagang itu pun melotot. "Ye. Nih orang. Jadi ngerti kenapa Toto sampe mukulin dia," ujarnya kemudian."Hu ... nyesel tanya tadi." Dia melanjutkan.Sedangkan Okta sendiri tidak menanggapi ha itu. Ptia itu tetap pergi meninggalkan pasar menuju mobilnya. Di sela rasa sakit yang dia rasakan, Okta menyandarkan punggung pada sandaran kursi lalu memejamkan matanya sesaat."Akh! Sial! Bukannya puas malah bonyok." Dia memukul kemudi yang ada di hadapannya. Namun, be
Duduk di dalam apartemennnya dengan keadaan gelap gulita tanpa membuka tirai yang akan membantu cahaya matahari untuk mentinari ke dalam, Okta duduk di sofa ditemani sebotol minuman.Pandangan pria itu lurus dan tampak kosong. Sesekali tangannya bergerak mendekatkan ujung botol ke arah bibir lalu meneguk isinya. Bola matanya yang memerah menandakan kalau pria itu baru saja meluapkan emosi. Menangis, berteriak, sedih tertawa dan marah bersatu menjadi satu.Okta sedang kesal saat ini. Pria itu merasa menjadi sosok yang bodoh karena telah ditipu habis-habisan oleh Rani. Perempuan yang baru dia nikahi beberapa minggu terakhir ini telah menjebaknya ke dalam sebuah masalah yang sudah membuat hidupnya hancur berantakan."Sialan!" teriak Okta dengan melempar botol yang ada di tangannya. Isinya memang sudah tidak ada. Itu mengapa dia berani melemparnya hingga bentuk botol itu sudah tidak beraturan. Terpecah berai di lantai membentuk serpihan-serpihan."Dia telah membohongiku," ujarnya geram de
Rani sudah mulai sadar setelah hampir setengah hari terelaap akibat pengaruh dari obat tidur.. Hari sudaah sangat larut ketika dia membuka mata.. takk ada laagi teriakan atau kemaaraahan karena ketika dia bangun, tida ada seorng pun yang ada di dekatnya.Entah di mana suaaminya itu. Namun, itu lebih baik ketimbang dia harus melihaat wajah okta. Orang yang telah menyebaabkan diaa kehilangaan calon anaknya. Hanya berdia diri, Rani duduk dengan menatap lurus ke arah luar jendela di mana dia bisamelihat orang-orang lalu lalang di koridorr rumah akit bagian lauar yang berbatasan langsung dengaan tamaan rumaah sakit.Bahkan suara pintu terbuka pun tak membuat FRani mengaalihkan pandangannya sedikit pun. Riyanti, yang baru saja keluar membeli makaanaan baru kembali. Dia terkejut mendapati putrinya sudah sadar dan kini sudah duduk di brankarnya.''Rani,'' panggilnya panik. Riyanti memperceat langkah mendekaati brankar putrinya, bahkan dia melempar begitu ssaja bungkusan makanaan yang diaa ba
"Kamu pembunuh!" teriak Rani penuh dengan kemarahan. Dia menatap tajam Okta yang berjarak tidak jauh darinya. Sorot matanya menunjukkan kebencian dan juga kesedihan yang telah menjadi satu dalam dirinya."Kamu sudah membunuh anakku!" teriak Rani sekali lagi. Kali ini dengan menunjuk ke arah Okta. Tangisnya pecah, air mata yang sejak tadi menumpuk di pelupuk mata kini telah jatuh membasahi pipi. Suara tangis Rani mulai terdengar, Rani mulai sesenggukan.Kebenaran mengenaai calon anaknya yang tidak bisa diselamatkan membuatnya patah dan berantakan. "Anakku, Ma," ujarnya pilu.Riyanti yang terkejut dengan reaksi putrinya masih menatap bingung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Rani. Namun, mau bertanya pun rasanya ini bukan waktu yang tepat.Perempuan itu segera mendekati putrinya lalu memeluk Rani di mana Rani juga langsung membalas pelukannya. Terdengar tangis yang semakin keras dan menyayat dari Rani. "Sayang." Dia membelai kepala putrinya.Riyanti yang sempat berhenti menangis