"Kalian sudah baikan?" tanya Winda. Ibunya Okta. Ini adalah hari setelah Melisa dan Okta berdebat mengenai rencana pria itu yang akan menikahi Rani.
"Mereka bertengkar?" tanya pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Okta. "Ya kemarin." Winda mengangguk. Okta tersenyum. "Maklumin saja, Pa, Ma. Namanya juga rumah tangga. Pasti ada perdebatan kecil sedikit. Ya nggak, Sayang?" tanya Okta pada Melisa. "Tapi kita sudah baikan kok." Okta melanjutkan. Sekedar informasinya saja, kedua orang tua Okta belum mengetahui rencana anak mereka yang ingin menikahi adik dari menantunya itu. Jujur saja Melisa merasa ragu untuk mengatakan pada keduanya karena kebanyakan, orang tua laki-laki pasti akan mendukung apa yang anak mereka lakukan. "Benar itu, Melisa?" tanya Khalif, papanya Okta. Melisa memaksakan senyum lalu mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Kami sudah baikan kok." Khalif mengangguk beberapa kali. "Syukurlah. Kalau Okta berbuat Saka sama kamu lagi, jangan ragu untuk mengatakannya pada papa. Saat itu juga, papa akan memecat dia sebagai anak," ujar pria itu dengan kekehan. "Wah. Cinta papa sepertinya sudah beralih dari Okta ke Melisa nih." Okta memasang wajah yang dibuat sedih laku menggeleng kepala pelan. "Bukannya beralih. Hanya saja, papa tidak suka kalau kamu menyakiti istri kamu. Sebagai seorang pria, seharusnya kita itu menjadi pelindung mereka. Bukan malah menjadi sumber kesedihan mereka. Apalagi kalau ini yang kamu sakiti istri kamu." Khalif menggeleng pelan. "Papa bakalan benar-benar kecewa sama kamu," ujarnya kemudian. Melisa tertegun. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah benar jika suaminya berbuat salah atau menyakitkan dirinya, papa mertuanya akan mendukung dirinya? Melisa mengepalkan kedua tangan dengan hati yang merasa bimbang. "Iya-iya, Pa. Ya sudah kalau begitu Okta berangkat kerja dulu." Dia pun bangkit dari tempat duduknya. Hal yang sama dilakukan oleh Melisa. Perempuan itu juga bangkit dari tempat duduknya untuk mengantar sang suami. Dia tentu tidak ingin kedua mertuanya merasa curiga kalau sebenarnya mereka masih bertengkar. Lagi pun, itu sudah kewajiban Melisa sebagai seorang istri untuk mengantar suaminya. Ketika keduanya sampai di depan rumah, seperti biasa Melisa akan mencium punggung tangan Okta. Tatapan keduanya bertemu. "Jika aku mengatakan rencana kamu untuk menikahi Rani pada Papa dan Mama bagaimana?" tanya Melisa tiba-tiba. Dia menunggu reaksi suaminya. Jika marah, maka dia akan menggunakan ancaman itu agar Okta membatalkan rencananya. Namun, harapan Melisa sirna. Okta yang mendengar pertanyaan itu malah menunjukkan senyum miringnya. "Kamu pikir, karena Papa mengatakan hal tadi, dia akan benar-benar berada di pihakmu?" Okta malah terkekeh. "Bagaimanapun aku adalah anaknya. Mereka pasti akan mendukungku." Okta berujar kemudian. Dia mengangkat tangan lalu mengacak rambut sang istri. "Jadikan istri yang baik, ya. Bagaimanapun kamu tetap istri pertamaku yang pastinya akan memegang peran penting dalam rumah tangga kita meski aku menikah lagi. Tenang saja." Setelah mengatakan hal itu, Okta pun pergi dengan mobilnya. Melisa hanya menatap datar kepergian suaminya. Dia segera menghapus air mata yang akan jatuh. Tanpa kata, dia pun kembali memasuki rumah. "Non. Makanan yang Non minta sudah siap," ujar Bi Wati asisten rumah tangga di kediaman ini. Dia meletakkan paperbag di meja makan. Melisa mengangguk. "Terima kasih, Bi." "Sama-sama, Non." Perempuan tua itu pun kembali ke dapur. "Kamu mau menjenguk adik kamu?" tanya Winda pada sang menantu. Melisa mengangguk. "Iya, Ma. Sebelum ke kantor rencananya Melisa mau menjenguk Rani dulu sama bawain makanan siapa tahu Mama belum makan." "Mama juga belum menjenguk Rani. Nanti deh siangan mama mau ke sana." Winda berujar kemudian. "Pakai sopir, Ma." Khalif memperingati istrinya. "Iya, Pa." Melisa tersenyum. "Kalau mama repot nggak usah ke sana juga nggak papa kok, Ma." Winda mengibaskan tangan di udara. "Mama enggak repot kok." "Ya sudah. Kalau begitu Melisa berangkat dulu." Tidak lupa dia menyalami tangan kedua mertuanya lalu berangkat. Menjalankan mobil, kendaraan besi itu mulai menyusui jalanan aspal di pagi hari. Ketika akan sampai rumah sakit tempat adiknya dirawat, tanpa sengaja Melisa melihat sebuah mobil yang dia kenali. "Itu bukannya mobil Mas Okta? Ngapain dia ada di sini? Ini, kan bukan jalan menuju kantornya?" tanya Melisa bingung. "Apa jangan-jangan ...." Melisa menduga sesuatu. Dia pun memilih untuk mengikuti mobil suaminya. Benar saja, mobil Okta berbelok di rumah sakit tempat Rani dirawat. "Apa dia akan bertemu Rani?" Perasaan Melisa mulai tak enak. Dia memang tidak mengatakan pada suaminya kalau akan datang ke rumah sakit. Melisa menempatkan mobilnya sedikit jauh dari mobil Okta agar dia tidak ketahuan. Dia melihat suaminya masuk ke rumah sakit dengan membawa sesuatu. Melisa buru-buru keluar dari mobil tak lupa membawa paper bag berisi makanan untuk sang mama. Dia terus melangkah mengikuti sang suami dan semakin yakin kalau Okta akan ke kamar Rani. Tepat ketika sampai di depan kamar rawat Rani, Melisa terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Rani. Kebetulan memang pintu Tidak tertutup sempurna. "Ah sayangku akhirnya kamu datang juga. Kamu bawain yang aku minta?" "Iya dong. Masa kamu ngidam aku nggak bawain? Bisa-bisa anak kita ileran nanti." Itu suara Okta. Sontak saja kalimat barusan mampu membuat tubuh Melisa membeku seketiam. Dia membuka mata dan mukut lebar-lebar saking syoknya. "Anak kita?" bisiknya lirih. Dia menutupi Mulut dengan tangan lalu menggeleng pelan. "Apa maksudnya?" tanyanya lagi. "Apa. Apa mereka berselingkuh di belakang aku?" "Ah kamu baik sekali." Dari luar Melisa bisa melihat Rani yang memeluk suaminya dengan mesra. Seperti itu adalah hal biasa. Dari sana dia pun yakin kalau keduanya telah mengkhianati dirinya. Lalu, apa yang kemarin? Hanya drama? "Baik? Aku masih marah, ya sama kamu karena kamu melakukan hal bodoh seperti kemarin. Bagaimana bisa kamu punya pikiran untuk menyayat pergelangan kamu? Kalau ada apa-apa bagaimana?" Rani terlihat mengembungkan pipinya. "Ya habisnya kamu. Ditanya Kapan nikahi aku enggak jawab-jawab. Ya aku kesel. Keburu anak kita besar nanti. Makanya aku melakukan hal itu. Dan hasilnya, kita akan segera menikah bukan?" Kali ini dia memperlihatkan senyum lebarnya. "Ya tapi jangan seperti itu juga, Sayang. Aku itu khawatir sama kamu." Hati Melisa berdenyit melihat itu. "Jadi, selama ini mereka memiliki hubungan?" tanyanya lagi. Kali ini dia tak mampu lagi menahan air mata yang sejak tadi memaksa untuk keluar. "Tenang. Lagi pun aku sudah mempertimbangkan waktunya kok. Darah yang kemarin ada itu juga bukan darah aku. Kamu tenang saja, aku menambahkannya agar lebih terlihat dramatis saja kalau banyak." Rani tersenyum menunjukkan giginya. "Dramatis-dramatis. Mama yang jantungan." Sosok Riyanti keluar dari titik buta. Melisa semakin melotot tak percaya dengan apa yang dia lihat. Paperbag yang dia bawah terjatuh. "Jadi, selama ini mama juga tahu mereka ada hubungan?" Melisa menggeleng pelan. Tanpa kata dia langsung pergi meninggalkan rumah sakitMelisa menangis sembari membawa mobilnya pergi dari rumah sakit. Dia tahu ini berbahaya, tetapi bertahan di sana pun tidak mungkin. Dia menghapus air mata di pipi secara kasar."Kalian jahat! Kalian pengkhianat!" teriak Melisa dengan keras sembari memukul kemudi. Dia tidak peduli kalau tangannya akan merasa kesakitan. Menutupi bibir dengan punggung tangan, dia menangis dengan tersedu-sedu.Melisa menggeleng pelan. "Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?" tanyanya di sela tangis. Masih merasa terkejut dan kecewa karena melihat mamanya yang menutupi kebusukan adik dan juga suaminya.Tiba-tiba Melisa mengingat satu orang. "Papa," bisiknya. Perempuan itu menangis semakin kencang. Dalam hati dia menduga kalau mamanya tahu mengenai hal ini, pasti papanya juga mengetahui hal ini.Kedua tangan Melisa mencengkeram kemudi, dia semakin menangis kencang. "Kenapaa? Kenapa kalian jahat sekali?" tanyanya dengan berteriak.Perempuan yang tengah terluka hatinya itu melajukan mobil menuju kantor, tempa
"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak."Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan
Permintaan Gila Adikku***"Ada apa tiba-tiba Rani minta kami datang, Pa, Ma?" tanya Melisa ketika dia baru saja memasuki kediaman kedua orang tuanya. Padahal, beberapa hari lalu dia baru saja mengunjungi tempat ini sebagai kegiatan rutin dia dan sang suami mengunjungi rumah orang tuanya. Kini, dia dan Okta harus datang kembali ke rumah ini. Keduanya menyalami tangan orang tua Melisa.Melisa menatap pasangan paruh baya yang ada di hadapannya secara bergantian untuk mendapat jawaban. Namun, keduanya sama-sama menggeleng."Mama tidak tahu." Riyanti. Perempuan paruh baya itu menjawab."Papa juga."Melisa pun akhirnya memilih duduk. "Sekarang dia di mana?" tanyanya kemudian."Tuh masih di kamar," ujar Riyanti sembari menunjuk kamar Rani menggunakan dagu.Tak lama, Rani pun keluar dari kamarnya. "Eh. Kak Okta. Kak Melisa sudah datang."Perempuan yang baru saja lulus dari kuliahnya beberapa minggu lalu itu mendekati semua anggota keluarga lalu ikut bergabung dengan mereka, duduk di kursi s
Okta dan Melisa sudah berada di rumah mereka sendiri, lebih tepatnya di rumah kedua orang tua Okta. Sebelum menikah memang Okta mengatakan dia ingin keduanya tinggal di rumahnya karena tidak ada yang mengurus kedua orang tuanya. Okta dua bersaudara. Satu Adik laki-lakinya masih menempuh pendidikan di luar Negri yang pastinya tidak berada di rumah. Kalau pulang pun hanya sesaat saja. Melisa menyanggupi karena di rumahnya sudah ada Rani yang akan mengurus kedua orang tua mereka.Namun, kejadian hari ini benar-benar membiat dirinya merasa syok. Keduanya tengah berbaring di atas ranjang, menatap ke atas dengan pikiran yang bercabang."Kenapa kamu diam saja sejak tadi, Mas?" tanya Melisa pada suaminya. Dia tahu kalau Okta belum tidur sejak tadi.Terdengar helaan napas dalam dari Okta. Pria itu melipat tangan di atas perutnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Melisa. Ini ... Ini terlalu mengejutkan bagiku," ujarnya kemudian.Melisa malah merasa aneh dengan suaminya ini yang sejak tadi te
"Apa maksud kamu, mas?" tanya Melisa yang sudah berhasil menguasai diri dari rasa terkejut. Dia menatap suaminya dengan bola mata melotot."Jangan sembarangan kalau bicara, Mas. Ini bukan hal sepele. Sadar kamu." Dia melanjutkan."Nak Okta. Kamu tenangkan diri dulu, kanga bertindak gegabah. Ini bukan keputusan yang asal ambil dan akan berlalu begitu saja. Ini akan mempengaruhi masa depan banyak orang," Bagus ikut berujar menasihati suami dari anak pertamanya itu.Okta menghela napas dalam. Dia menatap mertua dan juga istrinya. "Pa, Mel. Aku sadar. Aku sadar benar dengan apa yang aku katakan." Dia memberi tahu."Mel. Coba kamu lihat adik kamu. Dia dalam keadaan lemah. Bukankah menyelamatkan nyawa itu termasuk hal kebaikan?" tanya Okta.Melisa semakin menatap tidak percaya suaminya. Pandangan macam apa itu? "Apa-apaan itu, Mas? Kita bisa menyelamatkan nyawanya tanpa harus kamu menikahinya. Lagi pun dia sudah selamat, kan? Dokter juga mengatakan kalau dia sudah dalam keadaan baik meski l