"Apa maksud kamu, mas?" tanya Melisa yang sudah berhasil menguasai diri dari rasa terkejut. Dia menatap suaminya dengan bola mata melotot.
"Jangan sembarangan kalau bicara, Mas. Ini bukan hal sepele. Sadar kamu." Dia melanjutkan. "Nak Okta. Kamu tenangkan diri dulu, kanga bertindak gegabah. Ini bukan keputusan yang asal ambil dan akan berlalu begitu saja. Ini akan mempengaruhi masa depan banyak orang," Bagus ikut berujar menasihati suami dari anak pertamanya itu. Okta menghela napas dalam. Dia menatap mertua dan juga istrinya. "Pa, Mel. Aku sadar. Aku sadar benar dengan apa yang aku katakan." Dia memberi tahu. "Mel. Coba kamu lihat adik kamu. Dia dalam keadaan lemah. Bukankah menyelamatkan nyawa itu termasuk hal kebaikan?" tanya Okta. Melisa semakin menatap tidak percaya suaminya. Pandangan macam apa itu? "Apa-apaan itu, Mas? Kita bisa menyelamatkan nyawanya tanpa harus kamu menikahinya. Lagi pun dia sudah selamat, kan? Dokter juga mengatakan kalau dia sudah dalam keadaan baik meski lemas. Itu hanya efek dari kejadian tadi." Melisa tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. "Mel. Kita tidak bisa menjamin ke depannya, Mel. Kita tidak bisa menjamin apakah kita sempat menyelamatkan Rani kalau dia mungkin saja melakukan hal seperti tadi." Okta sepertinya tetap kekeh pada keputusannya. "Nak Okta. Coba pikirkan sekali lagi." Bagus kembali mengingatkan." "Saya sudah memikirkan ini dengan baik, Pa." Okta meyakinkan papa mertuanya. Melisa menggeleng. "Tidak, Mas. Tidak bisa. Kamu tidak bisa seenaknya saja mengambil keputusan ini. Aku istri kamu. Setidaknya kamu harus meminta persetujuan aku dulu." Dia tetap menolak. Memangnya siapa yang mau dimadu meski itu dengan adiknya sendiri? Okta mengusap wajahnya kasar. "Mel. Ini untuk adik kamu loh. Setidaknya, dengan keputusan ini kita bisa menyelamatkan hidupnya." Dia seperti memaksa Melisa untuk menerima keputusannya itu. "Kak Okta," panggil Rani dengan suara lirih. Dia mendapat perhatian dari suami kakaknya itu. Dia menggeleng dengan senyuman tipis. "Tidak usah, Kak. Tidak perlu. Kakak tidak perlu melakukan itu. Bagaimanapun istri Kakak harus diprioritaskan," ujarnya kemudian. Okta menggeleng. "Tidak, Ran. Kakak benar dengan apa yang kakak katakan tadi. Kamu jangan khawatir." Riyanti yang melihat interaksi keduanya pun merasa ikut terenyuh. Dia menatap suami dan anak pertamanya. "Pa, Mel. Biarkan saja Okta menikahi Rani. Toh Rani adiknya Melisa, kan. Mama yakin rumah tangga mereka juga akan baik-baik saja ke depannya. Mama yakin Okta bisa adil dan Rani juga Melisa pasti bisa saling menyayangi satu sama lain seperti biasanya." Baik Bagus dan Melisa terkjeut mendengar apa yang dikatakan oleh Riyanti. Mereka tidak percaya kalau perempuan itu akan menyetuhui ide gila Rani dan juga Okta. "Mama ngomong apa? Jangan gila!" teriak Bagus yang memarahi istrinya. Riyanti menatap iba suaminya. "Pa. Mama tidak gila. Mama hanya ingin anak-anak mama bisa bahagia," ujarnya kemudian. "Kebahagiaan mana yang Mama maksud?" tanya Melisa. "Kebahagiaan Rani dan itu kehancuran aku maksud Mama?" Melisa bertanya dengan menunjuk dirinya sendiri. Riyanti menggeleng dengan wajah sedih. "Tidak, Nak. Mama yakin kamu dan Rani akan sama-sama bahagia. Kalian sudah terbiasa berbagi bukan?" "Ya tapi bukan suami, Ma," ujar Melisa kemudian. Air matanya sudah banjir saat ini. "Mama dan Rani benar-benar sudah tidak waras." Bagus membentak istrinya. "Pa. Mama yakin Melisa akan terbiasa nanti." Ternyata Riyanti juga kekeh untuk mendukung keputusan Okta dan juga Rani. Melisa tetap menggeleng. "Tidak. Aku tidak mau!" Kali ini Melisa sedikit membentak. Setelahnya dia pun keluar dari ruangan itu. "Melisa." Okta memanggil. Dia menatap semua yang ada di sana. "Okta akan mengejar Melisa dulu. Okta janji, Okta akan buktikan ucapan Okta tadi," ujarnya penuh keyakinan. Bagus hanya mengalihkan pandangan ketika menantunya itu melewati dirinya. Melisa tetap berlari keluar dari rumah sakit dengan derai air mata. Pamdangannya mengabur meski beberapa kali dia menghapusnya. Hingga beberapa saat kemudian dia tanpa sengaja menabrak seseorang. "Maaf," ujar Melisa. Dia menunduk tanpa berani menoleh ke arah sosok yang dia tabrak. Melisa malu kalau ada yang melihatnya menangis. Padahal sudah sejak tadi sudah banyak orang yang melihat dia menangis. "Melisa!" Teriakan dari belakang membuat Melisa menoleh. Dia melihat suaminya yang mengejar dirinya. Dia pun lekas pergi begitu saja karena masih merasa marah pada pria itu. Sedangkan sosok yang baru saja ditabrak Melisa tadi mengerutkan kening. "Melisa?" Dia juga menatap pria yang mengejar perempuan tadi. Melisa menaiki taksi yang kebetulan berhenti di depan rumah sakit untuk mencari penumpang. "Jalan, Pak," ujarnya di sela tangis. Setelah menunjukkan alamat yang dituju, dia langsung keluar dan berlari memasuki rumah yang selama ini dia tinggali. Melisa melihat keberadaan mama mertuanya di ruang tengah. "Melisa? Kamu kenapa?" tanya Perempuan dengan rambut sebahu itu. Melisa yang tidak bisa berkata-kata hanya menggeleng lalu menaiki tangga untuk menuju ke rumahnya. Dia membanting tas yang dia bawa ke atas ranjang lalu duduk di sana dan menangis. "Mel," panggil seseorang yang dia kenali adalah suara mama mertuanya. Melisa masih menangis dengan bahu bergetar. Sakit di dadanya begitu sesak. "Sayang." Kali ini terdengar suara suaminya. "Ini kenapa? Kenapa Melisa menangis? Kalian ada masalah?" tanya mama mertuanya dengan memberondong. "Ada sedikit masalah, Ma." "Kamu ini. Sana selesaikan masalah kalian. Ada-ada saja sampai membuat istrinya nangis kejar gitu." "Iya, Ma." Tak lama, Melisa merasakan seseorang duduk di sampingnya. Dia yakin itu Okta. Melisa langsung menggeser duduknya. "Mel. Tolong jangan nangis lagi. Aku sakit kalau melihat kamu menangis seperti ini," ujar Okta sembari mengangkat tangan berniat membelai kepala istrinya. Namun, lagi-lagi Melisa menghindari sentuhan dari suaminya. "Kamu sadar nggak sih, Mas kalau aku begini juga karena kamu. Aku marah sama keputusan sebelah pihak kamu." Dia mengepalkan tangannya kuat. "Mel. Maaf. Aku hanya ingin menolong adik kamu. Itu saja." Okta berujar dengan suara lembut. "Menolong tidak dengan cara seperti itu." Dia membentak. "Kamu, kan tahu kalau dia seperti itu karena aku." Okta menatap sendu istrinya. Melisa menatap Okta dengan tajam. "Jadi kalau ada perempuan yang mengatakan dia ingin menikah dengan kamu, lalu mau bunuh diri, kamu akan menerimanya? Begitu?" "Bukan begitu ...." Okta sepertinya kehilangan kata-kata untuk menjelaskan. Dia mengembuskan napas kasar. "Jadi kaku tetap tidak seuju?" tanyanya kemudian. "Dari awal aku sudah katakan. Aku tidak setuju dan tidak akan pernah setuju dengan hal itu," ujar Melisa penuh dengan tekanan. Okta mengangguk beberapa kali. "Baiklah. Maaf, Mel. Dengan atau tidak ada restu kamu, aku akan tetap menikahi Rani. Lagi pun, seorang pria diperbolehkan menikah lebih dari satu kali, kan? Empat kali malah. Dan aku tidak memerlukan izinmu untuk hal itu." Melisa menatap suaminya dengan rasa kecewa dan tak percaya. "Kamu tegak, Mas?" Okta bangkit lalu mengedikkan bahunya. "Kamu yang memaksaku mengatakan hal itu." Setelahnya dia pun berbalik pergi. "Sudah. Aku mau ke kantor," ujarnya kemudian sembari menutup pintu kamar. "Kamu jahat!" teriak Melisa dengan melemparkan bantal ke arah pintu. Dia menangis dengan meraung di sana. Beruntung kamar itu kedap suara sehingga yang di luar tidak mendengar tangisan Melisa."Kalian sudah baikan?" tanya Winda. Ibunya Okta. Ini adalah hari setelah Melisa dan Okta berdebat mengenai rencana pria itu yang akan menikahi Rani."Mereka bertengkar?" tanya pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Okta."Ya kemarin." Winda mengangguk.Okta tersenyum. "Maklumin saja, Pa, Ma. Namanya juga rumah tangga. Pasti ada perdebatan kecil sedikit. Ya nggak, Sayang?" tanya Okta pada Melisa."Tapi kita sudah baikan kok." Okta melanjutkan.Sekedar informasinya saja, kedua orang tua Okta belum mengetahui rencana anak mereka yang ingin menikahi adik dari menantunya itu. Jujur saja Melisa merasa ragu untuk mengatakan pada keduanya karena kebanyakan, orang tua laki-laki pasti akan mendukung apa yang anak mereka lakukan."Benar itu, Melisa?" tanya Khalif, papanya Okta.Melisa memaksakan senyum lalu mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Kami sudah baikan kok."Khalif mengangguk beberapa kali. "Syukurlah. Kalau Okta berbuat Saka sama kamu lagi, jangan ragu untuk mengatakannya pada papa. Saat it
Melisa menangis sembari membawa mobilnya pergi dari rumah sakit. Dia tahu ini berbahaya, tetapi bertahan di sana pun tidak mungkin. Dia menghapus air mata di pipi secara kasar."Kalian jahat! Kalian pengkhianat!" teriak Melisa dengan keras sembari memukul kemudi. Dia tidak peduli kalau tangannya akan merasa kesakitan. Menutupi bibir dengan punggung tangan, dia menangis dengan tersedu-sedu.Melisa menggeleng pelan. "Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?" tanyanya di sela tangis. Masih merasa terkejut dan kecewa karena melihat mamanya yang menutupi kebusukan adik dan juga suaminya.Tiba-tiba Melisa mengingat satu orang. "Papa," bisiknya. Perempuan itu menangis semakin kencang. Dalam hati dia menduga kalau mamanya tahu mengenai hal ini, pasti papanya juga mengetahui hal ini.Kedua tangan Melisa mencengkeram kemudi, dia semakin menangis kencang. "Kenapaa? Kenapa kalian jahat sekali?" tanyanya dengan berteriak.Perempuan yang tengah terluka hatinya itu melajukan mobil menuju kantor, tempa
"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak."Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan
Permintaan Gila Adikku***"Ada apa tiba-tiba Rani minta kami datang, Pa, Ma?" tanya Melisa ketika dia baru saja memasuki kediaman kedua orang tuanya. Padahal, beberapa hari lalu dia baru saja mengunjungi tempat ini sebagai kegiatan rutin dia dan sang suami mengunjungi rumah orang tuanya. Kini, dia dan Okta harus datang kembali ke rumah ini. Keduanya menyalami tangan orang tua Melisa.Melisa menatap pasangan paruh baya yang ada di hadapannya secara bergantian untuk mendapat jawaban. Namun, keduanya sama-sama menggeleng."Mama tidak tahu." Riyanti. Perempuan paruh baya itu menjawab."Papa juga."Melisa pun akhirnya memilih duduk. "Sekarang dia di mana?" tanyanya kemudian."Tuh masih di kamar," ujar Riyanti sembari menunjuk kamar Rani menggunakan dagu.Tak lama, Rani pun keluar dari kamarnya. "Eh. Kak Okta. Kak Melisa sudah datang."Perempuan yang baru saja lulus dari kuliahnya beberapa minggu lalu itu mendekati semua anggota keluarga lalu ikut bergabung dengan mereka, duduk di kursi s
Okta dan Melisa sudah berada di rumah mereka sendiri, lebih tepatnya di rumah kedua orang tua Okta. Sebelum menikah memang Okta mengatakan dia ingin keduanya tinggal di rumahnya karena tidak ada yang mengurus kedua orang tuanya. Okta dua bersaudara. Satu Adik laki-lakinya masih menempuh pendidikan di luar Negri yang pastinya tidak berada di rumah. Kalau pulang pun hanya sesaat saja. Melisa menyanggupi karena di rumahnya sudah ada Rani yang akan mengurus kedua orang tua mereka.Namun, kejadian hari ini benar-benar membiat dirinya merasa syok. Keduanya tengah berbaring di atas ranjang, menatap ke atas dengan pikiran yang bercabang."Kenapa kamu diam saja sejak tadi, Mas?" tanya Melisa pada suaminya. Dia tahu kalau Okta belum tidur sejak tadi.Terdengar helaan napas dalam dari Okta. Pria itu melipat tangan di atas perutnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Melisa. Ini ... Ini terlalu mengejutkan bagiku," ujarnya kemudian.Melisa malah merasa aneh dengan suaminya ini yang sejak tadi te