Okta dan Melisa sudah berada di rumah mereka sendiri, lebih tepatnya di rumah kedua orang tua Okta. Sebelum menikah memang Okta mengatakan dia ingin keduanya tinggal di rumahnya karena tidak ada yang mengurus kedua orang tuanya.
Okta dua bersaudara. Satu Adik laki-lakinya masih menempuh pendidikan di luar Negri yang pastinya tidak berada di rumah. Kalau pulang pun hanya sesaat saja. Melisa menyanggupi karena di rumahnya sudah ada Rani yang akan mengurus kedua orang tua mereka. Namun, kejadian hari ini benar-benar membiat dirinya merasa syok. Keduanya tengah berbaring di atas ranjang, menatap ke atas dengan pikiran yang bercabang. "Kenapa kamu diam saja sejak tadi, Mas?" tanya Melisa pada suaminya. Dia tahu kalau Okta belum tidur sejak tadi. Terdengar helaan napas dalam dari Okta. Pria itu melipat tangan di atas perutnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Melisa. Ini ... Ini terlalu mengejutkan bagiku," ujarnya kemudian. Melisa malah merasa aneh dengan suaminya ini yang sejak tadi terus memberi jawaban itu. Dia pun mengubah posisinya menjadi menghadap ke arah Okta. "Sejak tadi kamu mengatakan itu, Mas." "Ya karena aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kamu tanya mendapat aku, dan aku memang tidak bisa berkomentar." Okta menekan kata-katanya. "Sekarang aku tanya sama kamu. Menurut kamu, apa yang dikatakan atau dilakukan Rani tadi benar?" tanyanya kemudian. Okta terdiam beberapa saat. "Kalau kamu tanya seperti itu, kita tahu kalau kita tidak bisa melihat sesuatunya hanya dari satu sisi, kan?" Bukannya memberi jawaban malah memberi pertanyaan kembali. "Aku tanya ke kamu dari sisi kamu yang seorang pria beristri, Mas. Jangan muter-muter dan jawab saja." Kali ini Melisa kembali bertanya dan menjurus pada satu hal. Okta tak langsung menjawab, dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Hingga beberapa saat kemudian dia pun menjawab, "Salah." Pertanyaannya kenapa harus memakai jeda untuk menjawab? "Semoga kamu berpegang teguh dengan jawaban itu." Setelah mengatakan itu, Melisa pun memejamkan mata dan mulai untuk tidur. Okta menatap istrinya yang sudah memejamkan mata. Dia seperti memikirkan sesuatu dan setelahnya membalikkan badan untuk memeblakangi Melisa. Tidak tahu saja setelah dia melakukan itu, Melisa kembali membuka mata menatap punggung suaminya. "Apakah ini ujian rumah tanggaku?" Tentu saja itu pertanyaan yang terucap di dalam hati Melisa. *** Pagi ini, Okta dan Melisa tengah menikmati sarapan mereka di ruang makan bersama kedua mertuanya ketika tiba-tiba ponsel milik Melisa berbunyi. Dia melihat nama sang mama yang memanggil. Segera menggeser tombol hijau, dia menempelkan ponsel di telinga. "Ya, Pa." "Melisa." Suara mamanya terdengar memburu. Kening Melisa pun mengerut. "Ada apa, Ma? Kok suara Mama seperti sedang panik begitu?" tanyanya kemudian. "Adik kamu, Mel. Adik kamu." Suara tabgis mulai terdengar. "Ada apa dengan Rani?" "Rani masuk rumah sakit," ujar seseorang di seberang sana. "Apa?" Malisa langsung bangkit dari tempat duduknya. *** Bersama Okta, Melisa langsung menyusul keluarganya ke rumah sakit. Mereka mencari keberadaan kedua orang tua Melisa. "Ma," panggil Melisa ketika melihat keberadaan mamanya. "Melisa." Keduanya berpelukan. "Apa yang terjadi, Ma? Kenapa tiba-tiba Rani bisa masuk rumah sakit?" tanya Melisa dengan khawatir. Riyanti menggeleng. "Mama tidak tahu. Tadi Mama ke kamar Riyanti karena sampai siang dia tidak bangun. Waktu mama ke kamarnya, mama melihat dia tidak sadarkan diri dengan lengannya yang penuh akan darah. Sepertinya ... sepertinya dia mencoba bunuh diri," ujar Riyanti dengan mengakhiri ceritanya dengan tangisan. Terlihat Bagus yang baru datang dari ngurus administrasi. Okta yang melihat pun langsung bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?" Bagus terlihat mengembuskan napas kasar. "Sepertinya Rani mencoba bunuh diri," ujarnya kemudian. Baik Okta dan Melisa terkejut dengan hal itu. Tak lama, seorang dokter keluar dari ruangan. Dia menemui keluarga pasien dengan membuka masker untuk memberitahukan kondisi. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Riyanti kemudian. Perempuan itu tidak sabar untuk mengetahui kabar baik anaknya. "Syukurlah kalian cepat membacanya kemari. Kalau terlambat sedikit saja. Mungkin kita akan kehilangan dia," ujar sang dokter yang semakin membuat mereka syok. "Lukanya terlalu dalam. Tapi kami sudah merawatnya. Pasien akan kami pindahkan ke ruang rawat," ujar sang dokter kembali. *** Semua sedih akan kondisi dari Rani. Perempuan itu terlihat tidak berdaya dan hanya terbaring di atas brankar dengan mata terpejam. Bibirnya terlihat pucat. "Kamu kenapa sampai melakukan ini, Nak. Ada apa sama kamu?" tanya Riyanti dengan sedih. Dia menangis di samping brankar putrinya. Meski dia tahu Rani tidak akan merespon apa yang dia katakan, tetap saja Riyanti terus mengajaknya bicara. "Sudah, Ma. Jangan menangis terus. Ingat kesehatan kamu. Toh Rani juga sudah tidak apa-apa, kan?" Bagus menasihati istrinya. "Gimana mama tidak menangis, Pa? Rani Belum bangun juga sejak tadi pagi." "Nanti dia juga pasti bangun." Bagus kembali berujar. Okta dan Melisa hanya menatap keduanya dengan menghela napas dalam. Belum juga berhenti perdebatan mereka, suara serangan membuat mereka menoleh ke arah Rani. Terlihat perempuan itu yang mulai sadar dan membuka mata. "Rani? Rani kamu tidak apa-apa?" Tanya Riyanti yang merasa tidak sabar dengan kondisi putrinya. "Ma---Mama," panggil Rani dengan suara berbisik. Riyanti pun mengangguk. "Iya, Nak. Iya. Ini Mama." "Sabar, Ma. Jangan diajak Bicara banyak dulu Raninya. Dia baru saja sadar," ujar Melisa pada mamanya. Sayangnya, Riyanti tidak menghiraukan itu. Dia tetap mengajak anaknya berbicara dengan alasan khawatir. "Kenapa kamu sampai melakukan ini? Kenapa kamu sampah menyayat pergelangan kamu itu? Kamu tahu, kan itu bahaya? Mama sampah takut tadi," ujar Riyanti dengan perasaan campur adik. Takut dan juga khawatir. "Ma---maaf, Ma." Riyanti berujar lirih "Maaf-maaf saja kamu ini. Kamu Tidak tahu berapa takutnya mama tadi." Riyanti memarahi putrinya. "Ma. Sudah. Kasihan Rani kalau Mama banyak bicara," ujar Bagus. "Biarin, Pa. Mama ini sedang marah sama Rani. Dia sudah melakukan hal bodoh yang membahagiakan nyawanya tadi." Di sela air mata yang terus berjatihan, dia melotot menatap tajam Rani. Rani tersenyum tipis. "Maaf, Ma. Maaf kalau Rani membuat Mama takut. Rani hanya merasa hidup Rani tidak ada artinya lagi," ujar Rani kemudian. "Kamu bicara apa? Jangan sembarangan kamu itu." Riyanti kembali menegur Rani. "Rani hanya merasa Rani sudah tidak memiliki semangat hidup lagi. Setelah apa yang Rani inginkan tidak tercaoai, rasanya Rani tidak bersemangat lagi." Rani berujar dengan bola mata berkaca. "Kamu bicara apa?" Riyanti kembali menangis. Rani menatap Melisa. "Maaf atas permintaan aku semalam, Kak. Maaf atas perasaan aku yang salah untuk Kak Okta. Untuk itu, biarkan aku mati saja karena aku tidak sanggup hidup kalau hanya mencintai Kak Okta tanpa bisa memilikinya," ujarnya yang sudah menjatuhkan air matanya. "Apa?" bisik Melisa. "Jadi, kamu berniat mengakhiri hidup kamu karena hal semalam?" tanya Okta pada Rani. Rani hanya mengangguk dalam tangis. Tiba-tiba--- "Baiklah. Kita akan menikah," ujar Okta kemudian yang mampu membuat semua orang melotot di ruangan itu."Apa maksud kamu, mas?" tanya Melisa yang sudah berhasil menguasai diri dari rasa terkejut. Dia menatap suaminya dengan bola mata melotot."Jangan sembarangan kalau bicara, Mas. Ini bukan hal sepele. Sadar kamu." Dia melanjutkan."Nak Okta. Kamu tenangkan diri dulu, kanga bertindak gegabah. Ini bukan keputusan yang asal ambil dan akan berlalu begitu saja. Ini akan mempengaruhi masa depan banyak orang," Bagus ikut berujar menasihati suami dari anak pertamanya itu.Okta menghela napas dalam. Dia menatap mertua dan juga istrinya. "Pa, Mel. Aku sadar. Aku sadar benar dengan apa yang aku katakan." Dia memberi tahu."Mel. Coba kamu lihat adik kamu. Dia dalam keadaan lemah. Bukankah menyelamatkan nyawa itu termasuk hal kebaikan?" tanya Okta.Melisa semakin menatap tidak percaya suaminya. Pandangan macam apa itu? "Apa-apaan itu, Mas? Kita bisa menyelamatkan nyawanya tanpa harus kamu menikahinya. Lagi pun dia sudah selamat, kan? Dokter juga mengatakan kalau dia sudah dalam keadaan baik meski l
"Kalian sudah baikan?" tanya Windi. Ibunya Okta. Ini adalah hari setelah Melisa dan Okta berdebat mengenai rencana pria itu yang akan menikahi Rani. "Mereka bertengkar?" tanya pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Okta. "Ya kemarin." Windi mengangguk. Okta tersenyum. "Maklumin saja, Pa, Ma. Namanya juga rumah tangga. Pasti ada perdebatan kecil sedikit. Ya nggak, Sayang?" tanya Okta pada Melisa. "Tapi kita sudah baikan kok." Okta melanjutkan. Sekedar informasinya saja, kedua orang tua Okta belum mengetahui rencana anak mereka yang ingin menikahi adik dari menantunya itu. Jujur saja Melisa merasa ragu untuk mengatakan pada keduanya karena kebanyakan, orang tua laki-laki pasti akan mendukung apa yang anak mereka lakukan. "Benar itu, Melisa?" tanya Khalif, papanya Okta. Melisa memaksakan senyum lalu mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Kami sudah baikan kok." Khalif mengangguk beberapa kali. "Syukurlah. Kalau Okta berbuat Saka sama kamu lagi, jangan ragu untuk mengatakannya pad
Melisa menangis sembari membawa mobilnya pergi dari rumah sakit. Dia tahu ini berbahaya, tetapi bertahan di sana pun tidak mungkin. Dia menghapus air mata di pipi secara kasar."Kalian jahat! Kalian pengkhianat!" teriak Melisa dengan keras sembari memukul kemudi. Dia tidak peduli kalau tangannya akan merasa kesakitan. Menutupi bibir dengan punggung tangan, dia menangis dengan tersedu-sedu.Melisa menggeleng pelan. "Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?" tanyanya di sela tangis. Masih merasa terkejut dan kecewa karena melihat mamanya yang menutupi kebusukan adik dan juga suaminya.Tiba-tiba Melisa mengingat satu orang. "Papa," bisiknya. Perempuan itu menangis semakin kencang. Dalam hati dia menduga kalau mamanya tahu mengenai hal ini, pasti papanya juga mengetahui hal ini.Kedua tangan Melisa mencengkeram kemudi, dia semakin menangis kencang. "Kenapaa? Kenapa kalian jahat sekali?" tanyanya dengan berteriak.Perempuan yang tengah terluka hatinya itu melajukan mobil menuju kantor, tempa
"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak."Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan
Okta sempat terkejut sesaat mendengar apa yang dikatakan Melisa. Namun, beberapa saat kemudian dia menunduk dan tak lama bahunya bergetar, terdengar suara tawa dari bibir pria itu. Melisa yang sudah dalam keadaan kembali menangis langsung menatap bingung sang suami yang kini malah tertawa. Dalam hati Melisa bertanya apakah suaminya ini sudah gila? Sedangkan Okta sendiri kini menatap Melisa kembali, masih dengan tawanya. "Oh. Ternyata kamu sudah tahu?" tanyanya kemudian. "Baguslah kalau kamu sudah tahu," lanjut Okta. Sedangkan Melisa malah merasa syok dengan sikap suaminya. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah pria itu akan apa yang telah dia lakukan di belakangnya. "Sinting kamu," maki Melisa. "Memang sudah keputusan yang tepat kalau kita berpisah," lanjutnya yang mana Melisa langsung kembali memasukkan sisa pakaiannya. Kali ini Okta tidak lagi menghalangi niat Melisa untuk pergi. Terserah istrinya itu meminta apa saat ini. Toh semuanya sudah jelas kalau dia akan me
Kemarahan Winda memuncak mendengar perkataan Okta. "Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengan orang lain ketika kamu sudah beristri, Okta?" tanyanya dengan suara meninggi.Okta memegang pipinya yang terasa panas. Meski dia seorang lelaki, tak menutupi kenyataan bahwa dirinya juga merasa kesakitan dengan tamparan barusan.Dia menatap mamanya yang baru saja memberinya tamparan, ada rasa tidak percaya akan hal itu. "Ma. Aku dan Rani saling mencintai." Dia menjelaskan."Persetan dengan cinta yang kau agungkan sejak tadi. Jika kau masih memiliki istri, kenyataannya hanya nafsu yang kau dahulukan bersama perempuan tidak tahu diri itu." Winda berteriak dengan menunjuk ke arah luar rumah seolah yang dibicarakan ada di sana.Okta tidak setuju kala mendengar Rani yang disebuat sebagai perempuan tidak tahu diri oleh mamanya. "Ma. Jangan bicara seperti itu. Dia calon menantu mama juga," ujar Okta."Mama tidak sudi menjadik
"Papa benar-benar kecewa sama kamu, Okta! Bisa-bisanya. Bisa-bisanya kamu dan Rani ...." Bahkan Khalif saja tidak mampu mengatakan betapa bejatnya anaknya ini."Belajar dari siapa kamu ini, Okta? Papa tidak pernah mengajari kamu seperti ini!" bentaknya keras. Dia sampai menunjuk wajah putranya. Asal tahu saja kalau dia ingin memukul wajah Okta saat ini.Sedangkan Okta hanya bisa diam saja. Dia pikir, orang tuanya akan merasa bahagia dan langsung menerima Rani kalau dia mengatakan kehamilan perempuan itu. Tapi nyatanya malah membuat semua menjadi semakin runyam."Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan. Hancur," ujar Khalif dengan berjalan mondar-mandir di depan anaknya. Tidak henti dia mengurut keningnya."Kam---" Kalimat yang akan dikatakan Khalif urung kala terdengar suara erangan dari arah ranjang. Khalif menoleh dan melihat istrinya yang mulai sadar dari pingsannya. Dia pun segera
Melisa terkejut dengan kedatangan papanya kembali malam ini. "Papa? Kok Papa balik lagi?" tanya Melisa."Ada yang ketinggalan?" Melisa kembali bertanya, tetapi Tidak ada jawaban.Dia menatap papanya dengan kerutan di kening kala melihat pria itu yang memasuki apartemennya dengan diam.Melisa menutup pintu kala tak ada jawaban dari sang papa. Dia ikut duduk di samping Bagus. "Pa. Ada apa?" tanya Melisa dengan menggenggam tangan papanya.Bagus menatap Melisa dengan sedih. "Tadi Okta dan orang tuanya datang ke rumah. Khalif dan Winda mencari keberadaan kamu. Mereka ingin menemui kamu.""Papa kasih tahu mereka Melisa di mana?" tanya Melisa cepat.Bagus menggeleng dan itu membuat Melisa mengembuskan napas penuh kelegaan. "Syukurlah." Dia mengusap dadanya pelan.Dia memerhatikan wajah sang papa dan melihat ada kegelisahan di sana. "Tapi kenapa Papa sepertinya sedih begitu? Papa merasa bersala
Melissa menatap sedih ke arah kamar Rina. Dia melihat adik tirinya itu tengah memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Padahal, baru beberapa hari lalu dia mengeluarkannya dari koper dan menatanya di lemari.Melissa pun memasuki kamar Rina. Perempuan itu duduk di tepi ranjang dan menatap adik tirinya dengan sedih.Rina yang melihat itu pun tersenyum tipis. "Ada apa, Kak? Kenapa wajah Kakak seperti itu ekspresinya?" tanyanya kemudian."Kamu benar mau pergi juga?" tanya Melissa dengan sedih.Rani masih menunjukkan senyum tipis. Dia mengangguk beberapa kali. "Iya, Kak. Aku tidak mungkin membiarkan Mama tinggal sendirian di luar sana." Dia menjelaskan.Apa yang dikatakan oleh Rani ada benarnya. Setelah memutuskan keluar dari rumah setelah persetujuan berpisah, Riyanti akan mencari tempat tinggal lain. Jadi, mana mungkin Rani membiarkan Riyanti tinggal sendirian."Kalian nanti tinggal di mana?" tanya Melissa. "Atau tinggal di apartemen kakak saja?" Dia mencoba menawarkan. Dia meraih tangan
"Kamu melamar aku?" tanya Melisa pada Kafka dengan kerutan di kening.Kafka masih menatap Melissa dengan santai. "Tidak ada seserahan yang aku bawa. Jadi, ini bukan lamaran. Hanya ajakan nikah saja. Itu pun kalau kamu mau." Pria itu menjawab begitu santai seolah kalau dia ditolak pun, dia tidak merasa masalah.Melisa kini malah merasa bingung. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu harus menjawab atau menanggapi perkataan Kafka yang tadi bagaimana.Kafka yang menyadari sikap Melissa pun mulai paham. "Tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja angin lalu. Toh kamu juga baru menjadi janda. Jangan terlalu keras memikirkannya."Melisa tersenyum sungkan pada Kafka. Dia bersyukur kalau pria ini mengerti apa yang dia pikirkan. "Tapi kamu tidak akan memutus kerja sama antara perusahaan kita, kan?" tanyanya kemudian.Kafka tersenyum miring. "Ini dunia kerja, Melisa. Bukan dunia permainan yang mana jika salah satu pemain merasa patah hati, maka dia akan berhenti bermain."Di
Okta memasuki kediaman orang tuanya dengan wajah ditekuk. Semua penyesalan akan apa yang telah dia lakukan tiada guna, membuat dia kehilangan semuanya.Khalif dan sang istri yang melihat kedatangan Okta pun mengerutkan keningnya. "Dia kenapa, Ma?" tanya Khalif pada Windi.Windi yang sedang asyik memakan keripik menggeleng dan mengedikkan bahunya. "Tidak tahu, Pa."Okta berjalan mendekati kedua orang tuanya. Dia menatap pasangan suami istri itu yang menunjukkan ekspresi bingung. Okta pun langsung duduk di kursi single yang ada di dekat kedua orang tuanya. "Pa, Ma," panggilnya kemudian.Khalif dan Windi saling tatap beberapa saat lalu kembali menatap ke arah Okta. ''Apa?" tanya Khalif."Aku mau cerai." Satu kalimat singkat dari Okta yang mampu mengejutkan Khalif dan Windi."Apa?" tanya Windi."Kau gila?" maki Khalif. "Baru menikah kau sudah ingin bercerai lagi? Kau benar-benar sudah tidak waras?" Dia menggeleng pelan sembari berdecak. Tak habis pikir dengan kelakuan anaknya yang satu i
"Kau gila!" tanya Melissa tak habis pikir. "Kau sinting? Kau tidak waras atau bagaimana?" Dia kembali bertanya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Okta.Begitu mudahnya meminta hak dalam perusahaannya setelah apa yang pria itu lakukan padanya. Yang benar saja. Melissa tertawa. Dia menjentikkan jarinya di depan wajah Okta beberapa kali. "Hei bangun. Bangun. Ini sudah pagi. Waktunya sudah bangun. Jangan terus bermimpi," ujar Melissa memberitahu."Bagaimana mungkin kamu meminta sesuatu yang pastinya tidak mungkin aku berikan? Bahkan jika kamu masih menjadi suamiku pun, aku juga tidak akan melakukan itu, Mas. Apalagi setelah apa yang kamu lakukan padaku," ujar perempuan itu dengan menunjuk dadanya menggunakan kedua tangan.Apa yang dikatakan Melisa membuat Rani sempat merasa tidak enak. Karena bagaimanapun dia juga turut andil dalam hancurnya rumah tangga mereka.Melissa yang mengerti menatap Rani, dia mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud, Ran. Maaf."Rani
Melissa membawakan minuman untuk papanya yang kini sedang duduk di kursi taman samping rumah mereka. Melissa melihat ada sesuatu yang berbeda dengan sang papa sejak pulang dari rumah sakit menjenguk Rani."Papa kenapa?" tanya Melissa kemudian. Dia duduk di samping papanya lalu memberikan minuman hangat itu untuk Bagus.Bagus menerima miuman dari putrinya itu. "Terima kasih,'' ujarnya kemudian.Melissa mengangguk. Dia tersenyum sembari memerhatikan sang papa yang meneguk minumannya. "Papa kenapa? Papa ada masalah?" tanyanya kemudian.Bagus menggeleng dengan senyuman tipis. "Tidak. Papa tidak ada masalah," ujarnya kemudian.Melissa sedikit mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah sang papa. Dia memiringkan kepalanya sedikit. "Pa. Jangan bohong sama Melisa. Melissa tahu ada sesuatu yang sedang papa pikirkan. Ayo katakan dan jangan ditutupi lagi dari Melissa. Melissa tidak mau apa yang menjadi beban pikiran Papa kali ini akan membuat kesehataan Papa menurun nanti,'' ujarnya merayu
Okta keluar dari klinik setelah mendapat perawaran. Tubuhnya terasa remuk akibat pukulan dan tendangan beberapa preman tadi. Salah sendiri.Sepanjang perjalanan, para pedagang pasar menatap ke arahnya sembari berbisik. Tentu mereka tahu apa yang terjadi padanya. Apa yang tidak diketahui penghuni pasar jika itu tentang Toto?"Masnya nggak papa?" tanya salah satu pedagang pasar yang merasa kasihan melihat Okta"Saya masih hidup. Jadi saya nggak papa." Sayangnya Toto malah memberikan respon yang tidak terlalu baik pada pedagang itu.Pedagang itu pun melotot. "Ye. Nih orang. Jadi ngerti kenapa Toto sampe mukulin dia," ujarnya kemudian."Hu ... nyesel tanya tadi." Dia melanjutkan.Sedangkan Okta sendiri tidak menanggapi ha itu. Ptia itu tetap pergi meninggalkan pasar menuju mobilnya. Di sela rasa sakit yang dia rasakan, Okta menyandarkan punggung pada sandaran kursi lalu memejamkan matanya sesaat."Akh! Sial! Bukannya puas malah bonyok." Dia memukul kemudi yang ada di hadapannya. Namun, be
Duduk di dalam apartemennnya dengan keadaan gelap gulita tanpa membuka tirai yang akan membantu cahaya matahari untuk mentinari ke dalam, Okta duduk di sofa ditemani sebotol minuman.Pandangan pria itu lurus dan tampak kosong. Sesekali tangannya bergerak mendekatkan ujung botol ke arah bibir lalu meneguk isinya. Bola matanya yang memerah menandakan kalau pria itu baru saja meluapkan emosi. Menangis, berteriak, sedih tertawa dan marah bersatu menjadi satu.Okta sedang kesal saat ini. Pria itu merasa menjadi sosok yang bodoh karena telah ditipu habis-habisan oleh Rani. Perempuan yang baru dia nikahi beberapa minggu terakhir ini telah menjebaknya ke dalam sebuah masalah yang sudah membuat hidupnya hancur berantakan."Sialan!" teriak Okta dengan melempar botol yang ada di tangannya. Isinya memang sudah tidak ada. Itu mengapa dia berani melemparnya hingga bentuk botol itu sudah tidak beraturan. Terpecah berai di lantai membentuk serpihan-serpihan."Dia telah membohongiku," ujarnya geram de
Rani sudah mulai sadar setelah hampir setengah hari terelaap akibat pengaruh dari obat tidur.. Hari sudaah sangat larut ketika dia membuka mata.. takk ada laagi teriakan atau kemaaraahan karena ketika dia bangun, tida ada seorng pun yang ada di dekatnya.Entah di mana suaaminya itu. Namun, itu lebih baik ketimbang dia harus melihaat wajah okta. Orang yang telah menyebaabkan diaa kehilangaan calon anaknya. Hanya berdia diri, Rani duduk dengan menatap lurus ke arah luar jendela di mana dia bisamelihat orang-orang lalu lalang di koridorr rumah akit bagian lauar yang berbatasan langsung dengaan tamaan rumaah sakit.Bahkan suara pintu terbuka pun tak membuat FRani mengaalihkan pandangannya sedikit pun. Riyanti, yang baru saja keluar membeli makaanaan baru kembali. Dia terkejut mendapati putrinya sudah sadar dan kini sudah duduk di brankarnya.''Rani,'' panggilnya panik. Riyanti memperceat langkah mendekaati brankar putrinya, bahkan dia melempar begitu ssaja bungkusan makanaan yang diaa ba
"Kamu pembunuh!" teriak Rani penuh dengan kemarahan. Dia menatap tajam Okta yang berjarak tidak jauh darinya. Sorot matanya menunjukkan kebencian dan juga kesedihan yang telah menjadi satu dalam dirinya."Kamu sudah membunuh anakku!" teriak Rani sekali lagi. Kali ini dengan menunjuk ke arah Okta. Tangisnya pecah, air mata yang sejak tadi menumpuk di pelupuk mata kini telah jatuh membasahi pipi. Suara tangis Rani mulai terdengar, Rani mulai sesenggukan.Kebenaran mengenaai calon anaknya yang tidak bisa diselamatkan membuatnya patah dan berantakan. "Anakku, Ma," ujarnya pilu.Riyanti yang terkejut dengan reaksi putrinya masih menatap bingung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Rani. Namun, mau bertanya pun rasanya ini bukan waktu yang tepat.Perempuan itu segera mendekati putrinya lalu memeluk Rani di mana Rani juga langsung membalas pelukannya. Terdengar tangis yang semakin keras dan menyayat dari Rani. "Sayang." Dia membelai kepala putrinya.Riyanti yang sempat berhenti menangis