Permintaan Gila Adikku
*** "Ada apa tiba-tiba Rani minta kami datang, Pa, Ma?" tanya Melisa ketika dia baru saja memasuki kediaman kedua orang tuanya. Padahal, beberapa hari lalu dia baru saja mengunjungi tempat ini sebagai kegiatan rutin dia dan sang suami mengunjungi rumah orang tuanya. Kini, dia dan Okta harus datang kembali ke rumah ini. Keduanya menyalami tangan orang tua Melisa. Melisa menatap pasangan paruh baya yang ada di hadapannya secara bergantian untuk mendapat jawaban. Namun, keduanya sama-sama menggeleng. "Mama tidak tahu." Riyanti. Perempuan paruh baya itu menjawab. "Papa juga." Melisa pun akhirnya memilih duduk. "Sekarang dia di mana?" tanyanya kemudian. "Tuh masih di kamar," ujar Riyanti sembari menunjuk kamar Rani menggunakan dagu. Tak lama, Rani pun keluar dari kamarnya. "Eh. Kak Okta. Kak Melisa sudah datang." Perempuan yang baru saja lulus dari kuliahnya beberapa minggu lalu itu mendekati semua anggota keluarga lalu ikut bergabung dengan mereka, duduk di kursi single tidak jauh dari keberadaan kakaknya. "Ada apa kamu minta kami datang?" tanya Melisa kemudian pada sang adik. Rani terlihat berpikir beberapa saat. "Ada yang ingin Rani omongin sama kalian," ujarnya kemudian sembari menatap ketiga orang yang ada di hadapannya satu persatu. "Apa?" "Em ... Rani mau ngomong sesuatu yang penting. Terutama sama Kak Melisa dan Kak Okta," ujar Rani dengan menunjuk kakak dan kakak iparnya. Kerutan terlihat di kening Melisa. Dia sempat saling pandang dengan sang suami. "Ada apa?" "Kak Melisa. Boleh nggak kalau aku jadi madu Kakak?" tanya Rani dengan kalimat yang jelas dan lugas. Lancar dia ucapkan dengan begitu mudah. Untuk sesaat terjadi keheningan di ruangan itu. Hingga beberapa saat kemudian terdengar tawa dari Melisa karena merasa adiknya itu sedang membuat lelucon. Namun, hanya Melisa yang melakukan itu. "Kamu ini, Ran. Malam-malam malah bikin lelucon. Sudah. Nggak lucu itu. Katakan. Ada apa kamu meminta kakak dan suami kakak ke sini," ujar Melisa di tengah tawanya. "Ini waktunya santai, Rani. Waktu sebentar lagi semua orang mau istirahat tidur. Kamu ini aneh-aneh saja kalau mau buat jokes." Pak Bagus menggeleng melihat kelakuan putri keduanya itu. Sedangkan kini tampak ekspresi kesal di wajah Rani. "Aku nggak bohong, Kak Mel, Kak Okta, Pa, Ma. Apa yang aku katakan tadi benar. Aku benar-benar ingin menjadi madunya Kak Melisa. Menjadi istri keduanya Kak Okta." Dia berujar dengan penuh penekanan. Hal itu membuat tawa Melisa berhenti seketika. Dia menatap lamat-lamat ke arah Rani pun dengan semua yang ada di sana. Rani kembali mengangguk penuh keyakinan terhadap kakaknya. "Iya, Kak. Benar. Aku ingin menjadi istri kedua Kak Okta." Dia mengulanginya lagi. "Jangan gila kamu!" teriak Melisa tiba-tiba. Perempuan itu bahkan kini sudah berdiri dengan menatap marah sang adik. "Rani. Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan tadi?" tanya Bagus yang juga mulai terpancing emosinya. "Sabar, Pa. Sabar." Riyanti mencoba menenangkan suaminya dengan mengelus pundak Bagus. Rani kembali mengangguk di hadapan papanya. "Benar, Pa. Apa yang dikatakan Rani tadi benar. Rani sadar dengan apa yang Rani katakan tadi." "Nggak waras kamu, Ran!" teriak Melisa lagi. "Melisa. Tenang dulu." Riyanti kini mencoba untuk menenangkan Melisa. "Mau tenang gimana, Bu? Apa yang Rani minta itu nggak wajar. Dia bukan meminta untuk dibelikan pakaian atau sepatu. Dia meminta suamiku," ujar Melisa dengan kekesalan. "Kak. Aku nggak minta Kakak bercerai dengan Kak Okta kok. Aku hanya minta Kakak izinin aku untuk menjadi istri keduanya Kak Okta. Udah. Aku nggak minta seutuhnya, kita bisa berbagi." Rina berujar dengan begitu santai seolah apa yang dia minta untuk dibagi adalah hal biasa yang lazim untuk kakak beradik saling berbagi. "Ran. Kamu itu---" Melisa seolah kehabisan kata-katanya dengan kejadian yang dia alami malam ini. Tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja adiknya meminta untuk menjadi madunya? Tatapan Melisa jatuh pada sang suami yang sejak tadi hanya diam saja. "Mas. Kamu ngomong dong jangan diam saja? Kamu setuju dengan apa yang dikatakan oleh Rani?" tanya Melisa yang merasa kesal sebab suaminya itu hanya diam saja. Okta pun mendongak menatap wajah marah istrinya. Dia mengedikkan bahu lalu membuka kedua tangan. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa, Sayang. Aku terlalu terkejut dengan semua ini." Melisa mengentakkan kakinya kesal. Dia pun meraih tangan sang suami. "Lebih baik kita pulang sekarang. Aku pusing dengan tingkah gila adikku." Baru saja dia menarik suaminya, tetapi Rani kembali menahan dengan kata-katanya. "Kak. Kakak belum menjawab pertanyaan aku loh. Aku menunggu jawaban ini, Kak." "Sudah cukup, Rani!" teriak Bagus yang sejak tadi sudah muak dengan perkataan anak keduanya yang ngawur itu. Dia menatap tajam Rani dengan napas berat dan dada naik turun. "Berhenti dan jangan mengeluarkan satu kata pun lagi." Dia berujar dengan menunjuk Rani. Ekspresinya jelas akan kemarahan. Detik selanjutnya dia mengibaskan tangan ke arah Melisa dan juga Okta. "Sudah. Lebih baik kalian pulang saja. Jangan hiraukan adik kalian yang sudah ngawur ini. Dia ngelantur. Dia sudah tidak waras." "Pa." Riyanti tampak tidak setuju dengan kata-kata suaminya mengenai anak keduanya itu. "Memangnya ada yang salah dengan pertanyaan Rani, Pa?" tanya Rani kemudian. "Rani sudah kamu diam dulu." Riyanti menginstruksi Rani. Bola mata Bagus semakin melotot lebar mendengar pertanyaan Rani. "Masih kamu tanyakan? Jelas itu salah." Dia berujar penuh penekanan. "Bagian mana yang salah?" Seolah menantang, Rani terus menjawab pertanyaan dari papanya. "Rani memintanya baik-baik, Pa sama Kak Melisa. Bukan merebutnya selayaknya pelakor di luaran sana yang menikah dengan suami orang di belakang istrinya. Rani juga hanya meminta menjadi istri kedua, bukan perempuan serahkan yang minta memjadi istri satu-satunya Kak Okta dengan memintanya menceraikan Kak Melisa lebih dulu agar kami bisa menikah. Kami akan berbagi kok. Kam---" Satu tamparan mendarat sempurna di wajah Rani dengan suara kulit bertemu kulit yang sangat nyaring. Hal itu membuat beberapa orang di sana melotot dan menganga. "Pak." Riyanti segera berdiri di samping Rani dengan tatapan khawatir. "Papa tidak menyekolahkan kamu tinggi-tinggi untuk menjadi perempuan yang menggoda suami orang! Perempuan yang mengganggunya rumah tangga orang apalagi istri kedua dan itu dari kakak kamu sendiri." Bagus berujar dengan kemarahan yang sangat memuncak. Rani merasakan ngilu di pipinya. Untuk pertama kalinya, dia mendapat tamparan dari sang papa. Detik kemudian dia menatap Bagus dengan berani. "Terserah apa kata Papa. Yang jelas, Rani mau menjadi istri keduanya Kak Okta. Titik." Setelah mengatakan hal itu, dia pun berlari menuju kamarnya.Okta dan Melisa sudah berada di rumah mereka sendiri, lebih tepatnya di rumah kedua orang tua Okta. Sebelum menikah memang Okta mengatakan dia ingin keduanya tinggal di rumahnya karena tidak ada yang mengurus kedua orang tuanya. Okta dua bersaudara. Satu Adik laki-lakinya masih menempuh pendidikan di luar Negri yang pastinya tidak berada di rumah. Kalau pulang pun hanya sesaat saja. Melisa menyanggupi karena di rumahnya sudah ada Rani yang akan mengurus kedua orang tua mereka.Namun, kejadian hari ini benar-benar membiat dirinya merasa syok. Keduanya tengah berbaring di atas ranjang, menatap ke atas dengan pikiran yang bercabang."Kenapa kamu diam saja sejak tadi, Mas?" tanya Melisa pada suaminya. Dia tahu kalau Okta belum tidur sejak tadi.Terdengar helaan napas dalam dari Okta. Pria itu melipat tangan di atas perutnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Melisa. Ini ... Ini terlalu mengejutkan bagiku," ujarnya kemudian.Melisa malah merasa aneh dengan suaminya ini yang sejak tadi te
"Apa maksud kamu, mas?" tanya Melisa yang sudah berhasil menguasai diri dari rasa terkejut. Dia menatap suaminya dengan bola mata melotot."Jangan sembarangan kalau bicara, Mas. Ini bukan hal sepele. Sadar kamu." Dia melanjutkan."Nak Okta. Kamu tenangkan diri dulu, kanga bertindak gegabah. Ini bukan keputusan yang asal ambil dan akan berlalu begitu saja. Ini akan mempengaruhi masa depan banyak orang," Bagus ikut berujar menasihati suami dari anak pertamanya itu.Okta menghela napas dalam. Dia menatap mertua dan juga istrinya. "Pa, Mel. Aku sadar. Aku sadar benar dengan apa yang aku katakan." Dia memberi tahu."Mel. Coba kamu lihat adik kamu. Dia dalam keadaan lemah. Bukankah menyelamatkan nyawa itu termasuk hal kebaikan?" tanya Okta.Melisa semakin menatap tidak percaya suaminya. Pandangan macam apa itu? "Apa-apaan itu, Mas? Kita bisa menyelamatkan nyawanya tanpa harus kamu menikahinya. Lagi pun dia sudah selamat, kan? Dokter juga mengatakan kalau dia sudah dalam keadaan baik meski l
"Kalian sudah baikan?" tanya Winda. Ibunya Okta. Ini adalah hari setelah Melisa dan Okta berdebat mengenai rencana pria itu yang akan menikahi Rani."Mereka bertengkar?" tanya pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Okta."Ya kemarin." Winda mengangguk.Okta tersenyum. "Maklumin saja, Pa, Ma. Namanya juga rumah tangga. Pasti ada perdebatan kecil sedikit. Ya nggak, Sayang?" tanya Okta pada Melisa."Tapi kita sudah baikan kok." Okta melanjutkan.Sekedar informasinya saja, kedua orang tua Okta belum mengetahui rencana anak mereka yang ingin menikahi adik dari menantunya itu. Jujur saja Melisa merasa ragu untuk mengatakan pada keduanya karena kebanyakan, orang tua laki-laki pasti akan mendukung apa yang anak mereka lakukan."Benar itu, Melisa?" tanya Khalif, papanya Okta.Melisa memaksakan senyum lalu mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Kami sudah baikan kok."Khalif mengangguk beberapa kali. "Syukurlah. Kalau Okta berbuat Saka sama kamu lagi, jangan ragu untuk mengatakannya pada papa. Saat it
Melisa menangis sembari membawa mobilnya pergi dari rumah sakit. Dia tahu ini berbahaya, tetapi bertahan di sana pun tidak mungkin. Dia menghapus air mata di pipi secara kasar."Kalian jahat! Kalian pengkhianat!" teriak Melisa dengan keras sembari memukul kemudi. Dia tidak peduli kalau tangannya akan merasa kesakitan. Menutupi bibir dengan punggung tangan, dia menangis dengan tersedu-sedu.Melisa menggeleng pelan. "Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?" tanyanya di sela tangis. Masih merasa terkejut dan kecewa karena melihat mamanya yang menutupi kebusukan adik dan juga suaminya.Tiba-tiba Melisa mengingat satu orang. "Papa," bisiknya. Perempuan itu menangis semakin kencang. Dalam hati dia menduga kalau mamanya tahu mengenai hal ini, pasti papanya juga mengetahui hal ini.Kedua tangan Melisa mencengkeram kemudi, dia semakin menangis kencang. "Kenapaa? Kenapa kalian jahat sekali?" tanyanya dengan berteriak.Perempuan yang tengah terluka hatinya itu melajukan mobil menuju kantor, tempa
"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak."Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan