Mencintai adalah seni hati. Setiap insan pasti pernah menjumpai, ketika tidur tak karuan, rindu yang terus meluap, dan perasaan bersatu menjadi sebuah ambisi kuat untuk memiliki. Namun tidak, mencintai tak harus memiliki, karena cinta datang dengan sendirinya dan mungkin saja ia akan pulang dengan sendiri.
Mencintaimu adalah logika yang mampu dikalahkan hati…
Mencintaimu adalah candu yang kadang membuatku tak sadar diri…
Percayalah aku akan berusaha agar cinta ini tak ternodai, sebelum waktu yang akan bersimpati.
Waktu terasa berhenti saat mata ini tak sengaja menatap wajah teduhnya membuat kedua manik mata kami saling beradu. Tapi tak lama, mungkin 3 menit, karena akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kulakukan salah. Tak sepantasnya mata ini memandangnya terlalu dalam, bahkan kekhusyukan itu bisa membuatku terluka. Ia bukan milikku.
"Maaf …" Aku berkata kepadanya dengan wajah yang tertunduk, mencoba menguasai perasaanku, agar ia bisa terkendali dengan selayaknya.
"Aku yang seharusnya minta maaf, karena memayungimu tanpa izin."
"Terima kasih Mas Dimas."
"Sama-sama, ini bawa saja payungnya jika kamu mau pulang, jangan sampai kehujanan, kalau kamu sakit siapa nanti yang akan jaga ibu."
Ucapannya membuat jantungku bergetar hebat, ada rasa aneh yang muncul di dalam hati ini, apakah ini benih cinta yang tumbuh dari rasa kekaguman, atau hanya karena jiwaku yang kesepian.
Perhatian yang diberikan Dimas meski terlihat sepele tapi begitu terasa di hati. Aku bahkan merasa seperti melayang di angkasa berputar di gemerlap sinar bintang, dan menari dengan perasaan riang gembira. Bak anak yang bermain di bawah rintik hujan tanpa harus dimarahi orang tua.
Aku membawa payung yang diberikan Dimas, kemudian mengambil sepeda yang kuletakkan di samping toko, sebelah tanganku memegang payung dan satunya menuntun sepeda. Perlahan air dari langit mulai berkurang, sampai akhirnya benar-benar berhenti, saat itulah hujan reda.
Di tengah perjalanan aku berpapasan dengan perempuan yang kulihat kemarin di rumah Dimas, ia dibonceng seorang perempuan yang usianya lebih muda dari pada aku, ku taksir mungkin usianya sekitar 17 tahun.
Perempuan bercadar yang kutahu bernama Aisyah itu, tersenyum ke arahku meski tak terlihat bibirnya, tapi dari anggukan kepala dan kerutan matanya menjadi alasanku untuk tersenyum balik. Perempuan itu benar-benar membuatku merasa minder jika berada di dekatnya.
Tinggal beberapa kayuhan lagi aku tiba di rumah. Ku tatap rumah kecil tempat aku dibesarkan dulu. Meski terlihat sudah tua dan sebagian kayunya lapuk tapi berjuta kenangan terpatri di dalamnya.
Aku mengetuk pintu, dan memanggil Lula. Sebelum pintu terbuka, sekilas tampak dari jauh Tante Maya berlari ke arahku dengan tergesa-gesa. Aku tak memperhatikannya lagi karena pikiranku sekarang di penuhi keinginan bertemu ibu, mengecek keadaanya, setidaknya hal itu yang bisa kulakukan, agar perasaan bersalah tak bisa berbuat banyak untuknya bisa sedikit terobati. Aku yakin ketulusan cinta yang diberikanku untuk ibu akan terasa meski ibu dalam kondisi gangguan jiwa.
Pintu dibuka, pemandangan yang tak diterima oleh mataku saat kutatap Lula dengan penampilannya, rambut berwarna merah, lipstik yang merekah, serta baju yang sedikit terbuka dibagian dadanya.
"Penampilan apa ini?"
"Aku mau bikin konten, jadi Kakak gak usah protes."
"Malu Lula, kamu memakai baju seperti kurang kain, ayo ganti."
"Eh Kakak bawel deh."
"Kalau gak mau ganti, aku gak akan ngasih kamu uang lagi, ganti baju yang tertutup, bikin konten yang bagus."
"Ngancam aku nih!"
"Aku gak mau kamu jadi bahan pembicaraan orang Lula."
"Iya… iya, nanti ku ganti, puas!"
"Ibu mana?" Aku bertanya kepada Lula, karena suara ibu tak terdengar.
"Di kamar."
Aku menuju kamar ibu, ternyata ibu masih tertidur. Melihatnya sedamai itu membuat hatiku lega. Aku mendekatinya, memegang kepala dan membelai sebagian rambutnya yang sudah ditumbuhi uban.
"Dinda… Dinda!" Suara teriakan memanggil namaku terdengar dari luar. Suaranya seperti Tante Maya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamar ibu, aku memalingkan wajah menatap pintu, benar saja ternyata Tante Maya sudah berada di depan pintu kamar dengan wajah begitu panik dan penuh kekhawatiran serta nafas yang ngos-ngosan.
"Tolong Tante Dinda."
Aku menghampiri Tante Maya yang saat ini masih berdiri di depan pintu kamar ibu dengan tangan berpegangan di salah satu sudutnya."Tenang dulu Tante, coba tarik nafas dari hidung dan keluarkan perlahan dari mulut," ucapku sembari mengusap pundaknya."Intan Din.""Kenapa dengan Intan Tante?""Tubuhnya demam, dan ia kesakitan perut, Tante bingung harus ngapain, sedangkan Mas Firman belum pulang dari kerjaannya, handphone nya juga gak bisa di hubungi," tutur Tante Maya dengan wajah begitu khawatir dan takut.Aku langsung memeluknya, lalu menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya."Sudah Tante kasih obat penurun demam?""Sudah Din, t
Kupandangi rumah Dimas dari jauh, ada sebuah mobil terparkir di depan pagar rumahnya, tapi itu bukan mobil yang sering kulihat di garasi rumahnya."Mobil siapa itu?". Kubuang rasa sungkan untuk sementara, mengetuk pintu rumah Dimas, mengucapkan salam, lalu menunggu beberapa detik sampai akhirnya pintu dibukakan."Dinda…ayo masuk." Ternyata Ibunya Dimas yang membukakan pintu itu, dengan ramah beliau mempersilahkan aku masuk.Setelah masuk ke dalam rumah Dimas, aku melihat seorang lelaki paruh baya menggunakan sorban di kepala, dan jenggot yang panjang menghias di dagunya, duduk di sofa tamu. Ia sedang berbicara dengan ayahnya Dimas. Lelaki paruh baya yang penampilannya seperti ustadz itu memiliki wajah yang teduh, pakaiannya rapi dan dari nada bicaranya sangat santun.
Jika setiap daun yang jatuh sudah menjadi ketentuan dariNya.Maka kebersamaan kita hari ini adalah takdir.Tapi mungkinkah besok, atau lusa takdir masih berpihak kepadaku dan padamu.Bahkan sepercik rasa yg kau punya, aku pun tak tahu.Biar kesunyian dalam bait doa yang berbicaraAku akan menunggu, sampai waktu sendiri yang menjawabnya.Bersabarlah, karena kita tak dapat membaca semesta hanya lewat mata.Setelah menerima makanan dari Dimas, pikiranku melayang jauh, menembus setiap inci relung hati, membiarkan jiwaku menik
Pikiranku semakin tidak menentu, kemana kaki ini harus kulangkahkan untuk mencari ibu dan Lula. Pertanyaanku terjawab ketika sebuah notifikasi pesan dari Lula masuk ke aplikasi hijauku.'Aku membawa ibu ke Pak Dodi.' jawaban singkat yang ku terima atas pertanyaanku, meski tak menjawab pertanyaan lainnya tentang setetes darah yang tercecer di lantai.Aku segera menuju rumah Pak Dodi, dia adalah perawat umum yang bertugas di kampungku, meski usianya yang tergolong muda, namun pengalamannya di dunia keperawatan tidak bisa diremehkan, karena ia adalah perawat andalan dan satu-satunya di kampungku ini.Lumayan jauh jarak antara rumahku dengan rumah Pak Dodi, sekitar 25 menit jika ditempuh dengan bersepeda."Alhamdulillah akhirny
'Kak, cepat pulang, aku lapar !' Bunyi pesan yang dikirim adikku lewat aplikasi hijau.'Sebentar lagi ya, ini masih antri, kamu bisa masak sendiri kan' jawabku balik.Aku yang masih dalam posisi berdiri melihat ke arah meja depan, dimana salah satu karyawan masih sibuk mencatat barang konsumen yang harus dikirimkan lewat jasa ekspedisi ini.Di luar cuaca panas, matahari terasa menampakkan dirinya dengan gagah, namun tak membuatku takut jika kulit ini terbakar atau hitam dibuatnya. Panas dan hujan sudah menjadi temanku dalam menjemput Rezeki yang telah Allah berikan. Aku menghitung antrian dari depan, tinggal 5 orang lagi baru giliranku, sebenarnya bisa saja paket ini kutinggalkan dan meminta pihak ekspedisi untuk mengirim
Lula memandangku dengan mata menyipit, rupanya pertanyaanku membuatnya sedikit jengkel."Ibu tadi merengek minta makan, kukasih nasi sama garam saja, kusuruh langsung makan, eh malah dilempar" jawabnya seolah tak bersalah sama sekali."Kenapa tidak kamu bersihkan? Kan kamu sudah tau kalau ngasih Ibu makan jangan pakai piring kaca!""Ngapain membersihkan, Ibu yang salah, Kakak aja sana yang bersihkan, satu lagi masakan lauk untuk aku makan !" perintahnya bak seorang raja."Astaghfirullah, ini Ibu kamu juga Lula, kan Kakak sudah masak tempe sama telur, kenapa tidak dimakan? Ibu kenapa kamu kasih nasi sama garam aja, kasian Ibu," sahutku, sambil mengelus dada atas perlakukan adikku."Siapa juga yang mau jadi anak orang gila, dan
Lula adalah adik perempuanku, usianya lebih muda 5 tahun dari usiaku. Selagi kecil ia sering sekali dimanja oleh ayah, semua keinginannya pasti dituruti.Kebiasaannya yang sering malas-malasan dan berkata kasar terjadi ketika ayah sakit-sakitan dan meninggal dunia. Kami semua terpukul atas kepergian ayah, apalagi ibu, ia menangis seharian. Rupanya setelah ayah pergi Lula masih tak terima, ia selalu menyalahkan ibu kenapa tidak membawa ayah ke rumah sakit, padahal ayah sendiri yang tidak mau dibawa saat itu, mungkin karena kondisi keuangan kami yang sangat kekurangan.Kebiasaan hangout dengan teman-temannya waktu SMA menjadikan Lula mempunyai gengsi yang cukup tinggi, ia lebih mementingkan perawatan wajah dan pakaiannya dibandingkan dengan kondisi ibu.Sebulan setelah kepergian ayah, ibu masih dalam keadaan normal da
"Harta yang paling berharga adalah keluargaIstana yang paling indah adalah keluargaPuisi yang paling bermakna adalah keluargaMutiara tiada tara adalah keluargaSelamat pagi EmakSelamat pagi AbahMentari hari ini berseri indahTerima kasih EmakTerima kasih AbahUntuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti "Lirik l
Pikiranku semakin tidak menentu, kemana kaki ini harus kulangkahkan untuk mencari ibu dan Lula. Pertanyaanku terjawab ketika sebuah notifikasi pesan dari Lula masuk ke aplikasi hijauku.'Aku membawa ibu ke Pak Dodi.' jawaban singkat yang ku terima atas pertanyaanku, meski tak menjawab pertanyaan lainnya tentang setetes darah yang tercecer di lantai.Aku segera menuju rumah Pak Dodi, dia adalah perawat umum yang bertugas di kampungku, meski usianya yang tergolong muda, namun pengalamannya di dunia keperawatan tidak bisa diremehkan, karena ia adalah perawat andalan dan satu-satunya di kampungku ini.Lumayan jauh jarak antara rumahku dengan rumah Pak Dodi, sekitar 25 menit jika ditempuh dengan bersepeda."Alhamdulillah akhirny
Jika setiap daun yang jatuh sudah menjadi ketentuan dariNya.Maka kebersamaan kita hari ini adalah takdir.Tapi mungkinkah besok, atau lusa takdir masih berpihak kepadaku dan padamu.Bahkan sepercik rasa yg kau punya, aku pun tak tahu.Biar kesunyian dalam bait doa yang berbicaraAku akan menunggu, sampai waktu sendiri yang menjawabnya.Bersabarlah, karena kita tak dapat membaca semesta hanya lewat mata.Setelah menerima makanan dari Dimas, pikiranku melayang jauh, menembus setiap inci relung hati, membiarkan jiwaku menik
Kupandangi rumah Dimas dari jauh, ada sebuah mobil terparkir di depan pagar rumahnya, tapi itu bukan mobil yang sering kulihat di garasi rumahnya."Mobil siapa itu?". Kubuang rasa sungkan untuk sementara, mengetuk pintu rumah Dimas, mengucapkan salam, lalu menunggu beberapa detik sampai akhirnya pintu dibukakan."Dinda…ayo masuk." Ternyata Ibunya Dimas yang membukakan pintu itu, dengan ramah beliau mempersilahkan aku masuk.Setelah masuk ke dalam rumah Dimas, aku melihat seorang lelaki paruh baya menggunakan sorban di kepala, dan jenggot yang panjang menghias di dagunya, duduk di sofa tamu. Ia sedang berbicara dengan ayahnya Dimas. Lelaki paruh baya yang penampilannya seperti ustadz itu memiliki wajah yang teduh, pakaiannya rapi dan dari nada bicaranya sangat santun.
Aku menghampiri Tante Maya yang saat ini masih berdiri di depan pintu kamar ibu dengan tangan berpegangan di salah satu sudutnya."Tenang dulu Tante, coba tarik nafas dari hidung dan keluarkan perlahan dari mulut," ucapku sembari mengusap pundaknya."Intan Din.""Kenapa dengan Intan Tante?""Tubuhnya demam, dan ia kesakitan perut, Tante bingung harus ngapain, sedangkan Mas Firman belum pulang dari kerjaannya, handphone nya juga gak bisa di hubungi," tutur Tante Maya dengan wajah begitu khawatir dan takut.Aku langsung memeluknya, lalu menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya."Sudah Tante kasih obat penurun demam?""Sudah Din, t
Mencintai adalah seni hati. Setiap insan pasti pernah menjumpai, ketika tidur tak karuan, rindu yang terus meluap, dan perasaan bersatu menjadi sebuah ambisi kuat untuk memiliki. Namun tidak, mencintai tak harus memiliki, karena cinta datang dengan sendirinya dan mungkin saja ia akan pulang dengan sendiri.Mencintaimu adalah logika yang mampu dikalahkan hati…Mencintaimu adalah candu yang kadang membuatku tak sadar diri…Percayalah aku akan berusaha agar cinta ini tak ternodai, sebelum waktu yang akan bersimpati.Waktu terasa berhenti saat mata ini tak sengaja menatap wajah teduhnya membuat kedua manik mata kami saling beradu. Tapi tak lama, mungkin 3 menit, karena akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kulakukan s
Rasa penasaran yang besar membuatku mencari video viral Lula, aku membuka aplikasi yang bergambar kamera itu, mengklik link yang diberikan oleh Annisa lewat aplikasi hijau.Kali ini mataku melotot sempurna, video yang berdurasi 7 menit itu berseliweran di beberapa story' penghuni dunia maya. Tak sabar melihat video viral itu, aku langsung mengkliknya. Video itu berisi Lula dengan pakaian seksinya sedang berjoget di trotoar jalan, kemudian seorang wanita menghampirinya dan mencaci makinya dengan sebutan wanita jalang, hingga mereka akhirnya berkelahi, yang kemudian dilerai oleh seorang laki-laki. Video itu hanya sampai di situ dengan caption "Pelakor vs Istri sah".Tunggu dulu, aku menstop video di bagian wajah laki-laki yang datang di bagian akhir video, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Tapi di mana?Aku men
Aku memandangi wajah perempuan yang bercadar itu, meski wajahnya tertutup tapi aku melihat aura kecantikan terpancar dari Sinar matanya. Alis yang tebal, bulu mata lentik seolah menggambarkan secantik apa perempuan yang sekarang sudah berada di hadapan kami ini."Aisyah, mari duduk." Ibunya Dimas menghampiri Aisyah sambil merangkul pundaknya, mereka terlihat akrab."Iya Umi, tadi Aisyah datang dari pondok, ini ada hadiah buat Umi." ia memberikan bungkusan plastik berwarna hitam. Entah apa isinya, aku pun tak tahu.Perempuan yang dipanggil Aisyah itu duduk bersebrangan denganku, ia tersenyum meski tak terlihat dari bibirnya namun dari matanya yang berkerut menandakan senyum tulus dari wajahnya.Sesekali aku memperhatikannya, mencuri pandang, ia tampak begitu anggun dari b
Mataku masih tajam memperhatikan obat yang sudah tidak ada isinya itu. Karena penasaran, aku membuka handphoneku, lalu searching ke internet mencari tahu jenis obat apa ini, dan digunakan untuk siapa?.Tangan ini mulai mengetik di tombol pencarian, setelah menunggu beberapa detik akhirnya informasi tentang obat triazolam ini muncul, mataku melotot sempurna di depan layar handphone."Obat tidur … "Kecurigaan ku mulai timbul, apa mungkin ibu tertidur seperti tadi karena diberikan obat tidur oleh Lula. Kubuang pikiran negatif yang menyerang kepalaku, bisa saja Lula sendiri yang mengkonsumsinya, tadi Lula juga tertidur nyenyak.Pikiranku mengembang entah ke mana, hidup ini terasa begitu berat, mungkin jika aku ingin mengumpulkan air mata, sudah penuh tong kosong yang sering dipakai sebagai penampung air d
"Harta yang paling berharga adalah keluargaIstana yang paling indah adalah keluargaPuisi yang paling bermakna adalah keluargaMutiara tiada tara adalah keluargaSelamat pagi EmakSelamat pagi AbahMentari hari ini berseri indahTerima kasih EmakTerima kasih AbahUntuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti "Lirik l