Home / Romansa / Adikku Ingin Jadi Artis / Bab 3: Sekedar Mengagumi

Share

Bab 3: Sekedar Mengagumi

Author: Izza Maryam
last update Last Updated: 2021-09-06 13:53:58

Lula adalah adik perempuanku, usianya lebih muda 5 tahun dari usiaku. Selagi kecil ia sering sekali dimanja oleh ayah, semua keinginannya pasti dituruti.

Kebiasaannya yang sering malas-malasan dan berkata kasar terjadi ketika ayah sakit-sakitan dan meninggal dunia. Kami semua terpukul atas kepergian ayah, apalagi ibu, ia menangis seharian. Rupanya setelah ayah pergi Lula masih tak terima, ia selalu menyalahkan ibu kenapa tidak membawa ayah ke rumah sakit, padahal ayah sendiri yang tidak mau dibawa saat itu, mungkin karena kondisi keuangan kami yang sangat kekurangan.

Kebiasaan hangout dengan teman-temannya waktu SMA menjadikan Lula mempunyai gengsi yang cukup tinggi, ia lebih mementingkan perawatan wajah dan pakaiannya dibandingkan dengan kondisi ibu.

Sebulan setelah kepergian ayah, ibu masih dalam keadaan normal dan baik-baik saja. Hingga suatu hari ibu mendapatkan kabar bahwa sebelum ayah meninggal dunia, ia telah menjual sebelah ginjalnya untuk biaya sekolah Lula dan aku saat itu. Kejadian itu rupanya berdampak pada kondisi mental ibu yang mulai memburuk, awalnya ia hanya uring-uringan di rumah, namun kadang ibu berhalusinasi bahwa ayah datang, dan ia berbicara dengannya. Sampai suatu waktu ibu berteriak dan menangis histeris tanpa sebab apapun, dan sejak saat itu, ketika diajak berbicara dua arah sering tidak menyambung.

Melihat kondisi ibu yang seperti itu, mau tak mau aku harus survive dengan kehidupanku. Sebagai seorang kakak aku berjuang juga sebagai tulang punggung untuk menjemput rezeki di luar. Meski belum mendapatkan pekerjaan tetap, aku kadang membantu Tante Maya mencuci pakaian di rumahnya karena ia membuka jasa laundry di rumahnya. 

Tante Maya adalah sepupu ayah, orang tua ayah yang berarti nenekku merupakan adik dari orang tua Tante Maya, sehingga kami masih tergolong keluarga dekat. Tante Maya mempunya suami yang bekerja sebagai sales roti. Mereka mempunyai satu orang anak perempuan yang berusia sekitar 10 tahun, namanya Intan. Ia anak yang baik, ceria, dan cantik. Mungkin keparasan wajah ibunya menurun kepadanya.

Upah dari mencuci pakaian di laundry Tante Maya setiap harinya tidak menentu, jika cucian banyak aku bisa dikasih upah 50 ribu, namun jika cucian sedikit aku kadang hanya dikasih 30 ribu. Cukup untuk makan sehari kami bertiga di rumah, walau dengan menu sederhana.

Karena ingin mendapatkan penghasilan tambahan aku mencoba jualan online, dengan handphone seadanya. Memorynya yang tak banyak, kamera yang tak jernih serta casing yang mulai kusam menjadi satu-satunya handphone yang kumiliki. Awalnya aku mencoba jadi marketer jualan sahabatku, hingga akhirnya aku mencoba menjadi reseller dengan modal 500 ribu, hasil dari tabunganku selama 5 bulan.

"Lula, hari ini aku mau ke bank mengambil uang transferan konsumen kemarin, sekalian mau bikin ATM, tolong jaga Ibu ya, di atas meja ada telur dadar dan mie goreng, kalau Ibu lapar bisa kamu berikan itu," pintaku pagi ini kepada Lula yang baru saja bangun tidur. Ia menguap lebar sambil menggerutu.

"Iya … iya, bawel banget sih."

"Lula, kalau nguap ditutup, nanti ditertawa kan syetan," sahutku.

"Berisik ah … sana pergi ke bank, nanti Lula minta 50 ribu untuk beli skincare, baru Lula jaga Ibu." 

"Iya, nanti habis aku dari bank." 

Aku melirik jam yang terpajang di dinding rumah, jarum pendeknya ke arah angka delapan, aku bergegas pamit ke ibu, kucium tangan dan dahinya yang tampak keriput. Sambil membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Ibu baik-baik ya di rumah, Dinda pergi dulu, nanti Dinda bawakan roti kesukaan Ibu."

Ia bertepuk tangan kegirangan. Lalu sibuk memainkan jari sambil berucap.

"Ayah datang … ayah datang."

Ibu sering sekali akhir-akhir ini berbicara sendiri, seolah sedang bersama ayah. Aku sangat sedih melihat kondisinya seperti ini, namun tak banyak yang bisa kulakukan untuk ibu sekarang. Begitu besar harapanku semoga ibu bisa disembuhkan, dan kembali menjalankan aktivitasnya seperti dahulu, layaknya orang normal pada umumnya.

Setelah berpamitan dengan ibu aku melangkahkan kaki keluar rumah, mengambil sepeda yang sudah menunggu tuannya. Sambil sesekali menengok ke arah jendela kamar Lula yang masih tertutup.

"Andai saja kamu tau rasanya Lula, betapa beratnya perjuangan Ayah dan Ibu dalam menjemput rezeki untuk keluarganya, pastilah hatimu meleleh karena kasih sayang mereka," batinku.

Di tengah perjalanan aku berhenti karena mendengar seseorang memanggil dari arah belakang, aku menoleh dan memalingkan wajah mencari siapa pemilik suara itu.

"Dinda … Dinda!" 

Mata ini terus mencari sumber suara itu, ternyata berasal dari rumah Dimas, aku menghampiri dan menatap ke pintu rumah Dimas, dimana Ibunya Dimas yang berada di sana, berdiri sambil memegang sapu.

"Dinda ayo sini, " panggilnya sambil melambaikan tangan ke arahku.

"Iya Umi, ada apa Umi," jawabku sembari memegang sepeda satu-satunya. 

Sepeda ini adalah hadiah yang diberikan ibu saat aku berhasil mendapatkan peringkat pertama di sekolahku. Kutaksir sekitar 10 tahun yang lalu.

"Umi mau minta tolong, besok ada acara syukuran pernikahan kami yang sudah 25 tahun, jadi Umi mau minta bikinin kue, katanya kamu pandai bikin kue enak"

"Masya Allah Umi, kue brownies coklat atau pandan Umi ?" tanyaku memberikan pilihan.

Di daerah tempatku tinggal bernama desa Harumsari jaraknya lumayan jauh dari kota. Memerlukan transportasi darat sekitar 60 menit, kemudian naik kapal fery untuk menyeberang, karena harus melewati sungai besar untuk sampai ke kota. Namun ada jalan alternatif jika tak ingin melewati sungai namun harus berputar arah lebih jauh sehingga waktu yang diperlukan juga lebih lama sekitar dua jam. Di  desa ini sebagian orang memang mengenalku sebagai pembuat kue brownies yang enak, sehingga kadang jika mendekati lebaran Haji atau Idul Fitri pesanan kue berdatangan. Kadang aku sampai tak tidur karena harus menyelesaikan orderan yang ada.

"Dua-duanya saja Din, nanti besok kamu antar ke rumah ya, ini saya kasih 100 ribu buat DP nya dulu ya, nanti sisanya, biar kamu bisa beli bahannya."

"Iya Umi, insya Allah, besok pagi Dinda antar kuenya, terima kasih banyak Untuk," ucapku dengan senyum mengembang di wajah. Sehingga lesung pipit yang ada di pipi ini terlihat jelas.

"Dinda pamit dulu Umi, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam Dinda, hati-hati," balas Ibunya Dimas.

Kulanjutkan menaiki sepeda dan mengayuh nya, tak sengaja mataku tertuju pada jendela samping rumah Dimas, tampak kulihat samar ia menatap ke arahku dari sudut jendela.

"Ya Allah, melihatnya saja aku sudah deg-degan, semoga Allah memberikan jodoh terbaik buatmu Dimas, perempuan yang bisa menjadi bidadari bumi dan langitmu." 

Setidaknya aku belajar mengagumi seseorang bukan berarti harus memilikinya, melihatnya bahagia saja sudah lebih dari cukup. Aku tak berani memimpikan untuk menjadi istrinya, karena impian itu sangat tinggi, aku takut terjatuh dan tak bisa bangkit. Biarlah hanya aku dan Rabbku saja yang tau tentang hati ini. Aku yakin Allah akan memberikan takdir terbaik dalam kehidupanku.

Related chapters

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 4: Harta Yang Paling Berharga

    "Harta yang paling berharga adalah keluargaIstana yang paling indah adalah keluargaPuisi yang paling bermakna adalah keluargaMutiara tiada tara adalah keluargaSelamat pagi EmakSelamat pagi AbahMentari hari ini berseri indahTerima kasih EmakTerima kasih AbahUntuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti "Lirik l

    Last Updated : 2021-09-06
  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 5: Mengantar Kue

    Mataku masih tajam memperhatikan obat yang sudah tidak ada isinya itu. Karena penasaran, aku membuka handphoneku, lalu searching ke internet mencari tahu jenis obat apa ini, dan digunakan untuk siapa?.Tangan ini mulai mengetik di tombol pencarian, setelah menunggu beberapa detik akhirnya informasi tentang obat triazolam ini muncul, mataku melotot sempurna di depan layar handphone."Obat tidur … "Kecurigaan ku mulai timbul, apa mungkin ibu tertidur seperti tadi karena diberikan obat tidur oleh Lula. Kubuang pikiran negatif yang menyerang kepalaku, bisa saja Lula sendiri yang mengkonsumsinya, tadi Lula juga tertidur nyenyak.Pikiranku mengembang entah ke mana, hidup ini terasa begitu berat, mungkin jika aku ingin mengumpulkan air mata, sudah penuh tong kosong yang sering dipakai sebagai penampung air d

    Last Updated : 2021-09-06
  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 6: Sapu Tangan dari Dimas

    Aku memandangi wajah perempuan yang bercadar itu, meski wajahnya tertutup tapi aku melihat aura kecantikan terpancar dari Sinar matanya. Alis yang tebal, bulu mata lentik seolah menggambarkan secantik apa perempuan yang sekarang sudah berada di hadapan kami ini."Aisyah, mari duduk." Ibunya Dimas menghampiri Aisyah sambil merangkul pundaknya, mereka terlihat akrab."Iya Umi, tadi Aisyah datang dari pondok, ini ada hadiah buat Umi." ia memberikan bungkusan plastik berwarna hitam. Entah apa isinya, aku pun tak tahu.Perempuan yang dipanggil Aisyah itu duduk bersebrangan denganku, ia tersenyum meski tak terlihat dari bibirnya namun dari matanya yang berkerut menandakan senyum tulus dari wajahnya.Sesekali aku memperhatikannya, mencuri pandang, ia tampak begitu anggun dari b

    Last Updated : 2021-09-13
  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 7:Hujan

    Rasa penasaran yang besar membuatku mencari video viral Lula, aku membuka aplikasi yang bergambar kamera itu, mengklik link yang diberikan oleh Annisa lewat aplikasi hijau.Kali ini mataku melotot sempurna, video yang berdurasi 7 menit itu berseliweran di beberapa story' penghuni dunia maya. Tak sabar melihat video viral itu, aku langsung mengkliknya. Video itu berisi Lula dengan pakaian seksinya sedang berjoget di trotoar jalan, kemudian seorang wanita menghampirinya dan mencaci makinya dengan sebutan wanita jalang, hingga mereka akhirnya berkelahi, yang kemudian dilerai oleh seorang laki-laki. Video itu hanya sampai di situ dengan caption "Pelakor vs Istri sah".Tunggu dulu, aku menstop video di bagian wajah laki-laki yang datang di bagian akhir video, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Tapi di mana?Aku men

    Last Updated : 2021-09-14
  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 8: Payung untuk Dinda

    Mencintai adalah seni hati. Setiap insan pasti pernah menjumpai, ketika tidur tak karuan, rindu yang terus meluap, dan perasaan bersatu menjadi sebuah ambisi kuat untuk memiliki. Namun tidak, mencintai tak harus memiliki, karena cinta datang dengan sendirinya dan mungkin saja ia akan pulang dengan sendiri.Mencintaimu adalah logika yang mampu dikalahkan hati…Mencintaimu adalah candu yang kadang membuatku tak sadar diri…Percayalah aku akan berusaha agar cinta ini tak ternodai, sebelum waktu yang akan bersimpati.Waktu terasa berhenti saat mata ini tak sengaja menatap wajah teduhnya membuat kedua manik mata kami saling beradu. Tapi tak lama, mungkin 3 menit, karena akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kulakukan s

    Last Updated : 2021-09-22
  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 9: Kenapa dengan Intan?

    Aku menghampiri Tante Maya yang saat ini masih berdiri di depan pintu kamar ibu dengan tangan berpegangan di salah satu sudutnya."Tenang dulu Tante, coba tarik nafas dari hidung dan keluarkan perlahan dari mulut," ucapku sembari mengusap pundaknya."Intan Din.""Kenapa dengan Intan Tante?""Tubuhnya demam, dan ia kesakitan perut, Tante bingung harus ngapain, sedangkan Mas Firman belum pulang dari kerjaannya, handphone nya juga gak bisa di hubungi," tutur Tante Maya dengan wajah begitu khawatir dan takut.Aku langsung memeluknya, lalu menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya."Sudah Tante kasih obat penurun demam?""Sudah Din, t

    Last Updated : 2021-09-24
  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 10: Nasi Bungkus di Rumah Sakit

    Kupandangi rumah Dimas dari jauh, ada sebuah mobil terparkir di depan pagar rumahnya, tapi itu bukan mobil yang sering kulihat di garasi rumahnya."Mobil siapa itu?". Kubuang rasa sungkan untuk sementara, mengetuk pintu rumah Dimas, mengucapkan salam, lalu menunggu beberapa detik sampai akhirnya pintu dibukakan."Dinda…ayo masuk." Ternyata Ibunya Dimas yang membukakan pintu itu, dengan ramah beliau mempersilahkan aku masuk.Setelah masuk ke dalam rumah Dimas, aku melihat seorang lelaki paruh baya menggunakan sorban di kepala, dan jenggot yang panjang menghias di dagunya, duduk di sofa tamu. Ia sedang berbicara dengan ayahnya Dimas. Lelaki paruh baya yang penampilannya seperti ustadz itu memiliki wajah yang teduh, pakaiannya rapi dan dari nada bicaranya sangat santun.

    Last Updated : 2021-09-24
  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 11: Darah di Lantai

    Jika setiap daun yang jatuh sudah menjadi ketentuan dariNya.Maka kebersamaan kita hari ini adalah takdir.Tapi mungkinkah besok, atau lusa takdir masih berpihak kepadaku dan padamu.Bahkan sepercik rasa yg kau punya, aku pun tak tahu.Biar kesunyian dalam bait doa yang berbicaraAku akan menunggu, sampai waktu sendiri yang menjawabnya.Bersabarlah, karena kita tak dapat membaca semesta hanya lewat mata.Setelah menerima makanan dari Dimas, pikiranku melayang jauh, menembus setiap inci relung hati, membiarkan jiwaku menik

    Last Updated : 2021-10-29

Latest chapter

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 12: Luka di Tangan Ibu

    Pikiranku semakin tidak menentu, kemana kaki ini harus kulangkahkan untuk mencari ibu dan Lula. Pertanyaanku terjawab ketika sebuah notifikasi pesan dari Lula masuk ke aplikasi hijauku.'Aku membawa ibu ke Pak Dodi.' jawaban singkat yang ku terima atas pertanyaanku, meski tak menjawab pertanyaan lainnya tentang setetes darah yang tercecer di lantai.Aku segera menuju rumah Pak Dodi, dia adalah perawat umum yang bertugas di kampungku, meski usianya yang tergolong muda, namun pengalamannya di dunia keperawatan tidak bisa diremehkan, karena ia adalah perawat andalan dan satu-satunya di kampungku ini.Lumayan jauh jarak antara rumahku dengan rumah Pak Dodi, sekitar 25 menit jika ditempuh dengan bersepeda."Alhamdulillah akhirny

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 11: Darah di Lantai

    Jika setiap daun yang jatuh sudah menjadi ketentuan dariNya.Maka kebersamaan kita hari ini adalah takdir.Tapi mungkinkah besok, atau lusa takdir masih berpihak kepadaku dan padamu.Bahkan sepercik rasa yg kau punya, aku pun tak tahu.Biar kesunyian dalam bait doa yang berbicaraAku akan menunggu, sampai waktu sendiri yang menjawabnya.Bersabarlah, karena kita tak dapat membaca semesta hanya lewat mata.Setelah menerima makanan dari Dimas, pikiranku melayang jauh, menembus setiap inci relung hati, membiarkan jiwaku menik

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 10: Nasi Bungkus di Rumah Sakit

    Kupandangi rumah Dimas dari jauh, ada sebuah mobil terparkir di depan pagar rumahnya, tapi itu bukan mobil yang sering kulihat di garasi rumahnya."Mobil siapa itu?". Kubuang rasa sungkan untuk sementara, mengetuk pintu rumah Dimas, mengucapkan salam, lalu menunggu beberapa detik sampai akhirnya pintu dibukakan."Dinda…ayo masuk." Ternyata Ibunya Dimas yang membukakan pintu itu, dengan ramah beliau mempersilahkan aku masuk.Setelah masuk ke dalam rumah Dimas, aku melihat seorang lelaki paruh baya menggunakan sorban di kepala, dan jenggot yang panjang menghias di dagunya, duduk di sofa tamu. Ia sedang berbicara dengan ayahnya Dimas. Lelaki paruh baya yang penampilannya seperti ustadz itu memiliki wajah yang teduh, pakaiannya rapi dan dari nada bicaranya sangat santun.

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 9: Kenapa dengan Intan?

    Aku menghampiri Tante Maya yang saat ini masih berdiri di depan pintu kamar ibu dengan tangan berpegangan di salah satu sudutnya."Tenang dulu Tante, coba tarik nafas dari hidung dan keluarkan perlahan dari mulut," ucapku sembari mengusap pundaknya."Intan Din.""Kenapa dengan Intan Tante?""Tubuhnya demam, dan ia kesakitan perut, Tante bingung harus ngapain, sedangkan Mas Firman belum pulang dari kerjaannya, handphone nya juga gak bisa di hubungi," tutur Tante Maya dengan wajah begitu khawatir dan takut.Aku langsung memeluknya, lalu menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya."Sudah Tante kasih obat penurun demam?""Sudah Din, t

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 8: Payung untuk Dinda

    Mencintai adalah seni hati. Setiap insan pasti pernah menjumpai, ketika tidur tak karuan, rindu yang terus meluap, dan perasaan bersatu menjadi sebuah ambisi kuat untuk memiliki. Namun tidak, mencintai tak harus memiliki, karena cinta datang dengan sendirinya dan mungkin saja ia akan pulang dengan sendiri.Mencintaimu adalah logika yang mampu dikalahkan hati…Mencintaimu adalah candu yang kadang membuatku tak sadar diri…Percayalah aku akan berusaha agar cinta ini tak ternodai, sebelum waktu yang akan bersimpati.Waktu terasa berhenti saat mata ini tak sengaja menatap wajah teduhnya membuat kedua manik mata kami saling beradu. Tapi tak lama, mungkin 3 menit, karena akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kulakukan s

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 7:Hujan

    Rasa penasaran yang besar membuatku mencari video viral Lula, aku membuka aplikasi yang bergambar kamera itu, mengklik link yang diberikan oleh Annisa lewat aplikasi hijau.Kali ini mataku melotot sempurna, video yang berdurasi 7 menit itu berseliweran di beberapa story' penghuni dunia maya. Tak sabar melihat video viral itu, aku langsung mengkliknya. Video itu berisi Lula dengan pakaian seksinya sedang berjoget di trotoar jalan, kemudian seorang wanita menghampirinya dan mencaci makinya dengan sebutan wanita jalang, hingga mereka akhirnya berkelahi, yang kemudian dilerai oleh seorang laki-laki. Video itu hanya sampai di situ dengan caption "Pelakor vs Istri sah".Tunggu dulu, aku menstop video di bagian wajah laki-laki yang datang di bagian akhir video, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Tapi di mana?Aku men

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 6: Sapu Tangan dari Dimas

    Aku memandangi wajah perempuan yang bercadar itu, meski wajahnya tertutup tapi aku melihat aura kecantikan terpancar dari Sinar matanya. Alis yang tebal, bulu mata lentik seolah menggambarkan secantik apa perempuan yang sekarang sudah berada di hadapan kami ini."Aisyah, mari duduk." Ibunya Dimas menghampiri Aisyah sambil merangkul pundaknya, mereka terlihat akrab."Iya Umi, tadi Aisyah datang dari pondok, ini ada hadiah buat Umi." ia memberikan bungkusan plastik berwarna hitam. Entah apa isinya, aku pun tak tahu.Perempuan yang dipanggil Aisyah itu duduk bersebrangan denganku, ia tersenyum meski tak terlihat dari bibirnya namun dari matanya yang berkerut menandakan senyum tulus dari wajahnya.Sesekali aku memperhatikannya, mencuri pandang, ia tampak begitu anggun dari b

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 5: Mengantar Kue

    Mataku masih tajam memperhatikan obat yang sudah tidak ada isinya itu. Karena penasaran, aku membuka handphoneku, lalu searching ke internet mencari tahu jenis obat apa ini, dan digunakan untuk siapa?.Tangan ini mulai mengetik di tombol pencarian, setelah menunggu beberapa detik akhirnya informasi tentang obat triazolam ini muncul, mataku melotot sempurna di depan layar handphone."Obat tidur … "Kecurigaan ku mulai timbul, apa mungkin ibu tertidur seperti tadi karena diberikan obat tidur oleh Lula. Kubuang pikiran negatif yang menyerang kepalaku, bisa saja Lula sendiri yang mengkonsumsinya, tadi Lula juga tertidur nyenyak.Pikiranku mengembang entah ke mana, hidup ini terasa begitu berat, mungkin jika aku ingin mengumpulkan air mata, sudah penuh tong kosong yang sering dipakai sebagai penampung air d

  • Adikku Ingin Jadi Artis   Bab 4: Harta Yang Paling Berharga

    "Harta yang paling berharga adalah keluargaIstana yang paling indah adalah keluargaPuisi yang paling bermakna adalah keluargaMutiara tiada tara adalah keluargaSelamat pagi EmakSelamat pagi AbahMentari hari ini berseri indahTerima kasih EmakTerima kasih AbahUntuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti "Lirik l

DMCA.com Protection Status