Aku memandangi wajah perempuan yang bercadar itu, meski wajahnya tertutup tapi aku melihat aura kecantikan terpancar dari Sinar matanya. Alis yang tebal, bulu mata lentik seolah menggambarkan secantik apa perempuan yang sekarang sudah berada di hadapan kami ini.
"Aisyah, mari duduk." Ibunya Dimas menghampiri Aisyah sambil merangkul pundaknya, mereka terlihat akrab.
"Iya Umi, tadi Aisyah datang dari pondok, ini ada hadiah buat Umi." ia memberikan bungkusan plastik berwarna hitam. Entah apa isinya, aku pun tak tahu.
Perempuan yang dipanggil Aisyah itu duduk bersebrangan denganku, ia tersenyum meski tak terlihat dari bibirnya namun dari matanya yang berkerut menandakan senyum tulus dari wajahnya.
Sesekali aku memperhatikannya, mencuri pandang, ia tampak begitu anggun dari berbagai sisi. Entah karena aku menyukai cara berpakaiannya atau memang karena inner beauty yang terpancar dari dalam dirinya.
Keadaan mulai membaik, ibu terlihat sudah tenang, beberapa undangan pun mulai berdatangan, aku khawatir ibu membuat ulah lagi di sini,yang bisa berdampak buruk untuk acara Ibunya Dimas, apalagi saat banyak orang berkumpul, kadang membuat ibu merasa terganggu dan seakan terancam. Padahal faktanya tidak. Hanya pikiran ibu saja yang sedang dalam keadaan tidak baik.
Aku berpamitan dengan Ibunya Dimas untuk pulang ke rumah.
"Umi, Dinda sama Ibu pulang dulu ke rumah, terima kasih banyak atas bantuan Umi, semoga pernikahan Umi dan Abinya Dimas selalu bahagia hingga surga"
"Amin, terima kasih juga Dinda sudah bersedia membuatkan kue untuk acara Umi, ini dibawa makanannya untuk di rumah." Ibunya Dimas menjabat tanganku dan memberikan tiga kotak makanan yang isinya sangat menggiurkan lidah untuk menyantap dan menikmatinya.
"Biar aku bantu bawakan nasi kotak ini ke rumahmu Din" Dimas menawarkan diri.
"Gak papa mas, aku bisa ko."
"Jangan begitu, kamu jaga Ibu, biar aku yg bawakan nasinya."
"Baiklah, terima kasih banyak."
Kami bertiga berjalan menuju rumah kecilku yang jaraknya tidak terlalu jauh. Ibu yang dari tadi kugandeng tertawa sepanjang jalan.
Sesampainya di rumah, aku membuka pintu yang ternyata tidak dikunci Lula, namun aku tak menemukan Lula di dalamnya. "Kemana Lula pergi."
Akhir-akhir ini Lula sangat aneh, ia sering sekali berpakaian seksi dengan dandanan yang menor, katanya ia ingin bikin konten untuk akun sosmednya, siapa tau jadi artis katanya, meski level selebgram.
Aku mengantar ibu masuk kedalam kamar, sedangkan Dimas menunggu di luar. Dimas begitu baik kepadaku, ia sering sekali menolongku meski tak dapat kupungkiri kebaikannya menjadi pupuk yang menyuburkan benih kagum menjadi cinta di dalam diriku. Ah, aku terlalu berharap, hati-hati jatuh Dinda, aku mencoba menyadarkan diriku sendiri dengan realitas yang ada.
"Terima kasih Mas." Aku menghampiri Dimas yang duduk di teras rumah dengan nasi kotak yang dibawakannya.
"Sama-sama Din."
"Oh ya, kalau boleh saran, kenapa Ibumu gak dibawa kerumah sakit jiwa atau ke psikiater aja ".
"Sebenarnya aku sudah lama menginginkan itu, agar Ibu bisa diobati di sana, dan aku berharap banget Ibu bisa segera sembuh, tapi … "
"Tapi apa Din?"
"Tapi aku gak punya biaya untuk bawa Ibu kesana, sedangkan pekerjaan saja aku tidak menentu."
Mataku tampak berembun, aku gak boleh nangis di hadapan Dimas, harus ditahan.
"Bagaimana kalau kamu kerja di toko Abi aja, kebetulan Abi lagi mencari satu karyawan lagi untuk jaga tokonya." Dimas memberikan saran sekaligus pekerjaan.
Tes tes ... beberapa air jatuh dari kelopak mataku, mendengar tawaran dari Dimas membuatku terharu.
Dimas mengocek kantong yang berada di samping bajunya, lalu ia mengambil saputangan yang berwarna biru dari saku bajunya.
"Ini, hapus air matamu."
Dimas memberikan sapu tangannya, aku mengambilnya dan melab di bagian wajah yang sudah basah akibat air yang jatuh dari kedua mata ini. Sapu tangannya sangat harum, dan lembut.
"Ambil aja saputangan itu, anggap hadiah dari aku, jangan nangis lagi ya, aku paling gak tahan lihat perempuan menangis." ucap Dimas dengan bahasanya yang lembut.
"Te… terima kasih."
"Tetap tersenyum Din, bahagia selalu buat kamu. Aku pulang dulu ya Din, takut Umi mencari, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam,"
Aku berdiri mematung, terpana dengan apa yang telah terjadi, baru kali ini hatiku terasa sejuk seakan bunga layu yang baru tersiram air. Sapu tangan yang diberikan Dimas kupegang erat, sesekali kuusapkan ke wajah merasakan sensasi lembut pada tiap kainnya. Mataku masih memperhatikan arah jalan Dimas pulang, sampai punggungnya tak terlihat lagi. Aku tak tahu kenapa hati ini memilihmu, bahkan saat logika berkata jangan, hati ini terus mengiba bahwa aku harus berjuang, pantang mengibarkan bendera putih sebelum janur kuning melambai di antara aku dan kamu. Meski mungkin saja takdir berkata kita berjodoh atau tidak, aku tetap bahagia pernah mencintaimu meski dalam diamku.
Dari jauh tampak Lula sedang dibonceng seorang lelaki menggunakan motor, ia berpakaian terbuka, rok pendek dan baju kaos tak berlengan, wajah yang penuh polesan make up, berhenti tepat di depan rumah, lelaki itu langsung pergi setelah melambaikan tangan kepada Lula.
"Siapa itu? Kamu dari mana aja?" Cercaku langsung dengan berbagai pertanyaan.
"Mau tau aja, bukan urusan Kaka !" Jawabnya ketus sambil berlalu masuk kerumah tanpa salam dan permisi.
"Lula tunggu!"
"Apa lagi !"
"Kamu dengan siapa tadi, Jawab pertanyaan Kaka !"
"Gak penting, terserah Lula dong mau jawab atau enggak, Lula capek mau istirahat." Ia masuk ke kamar dan langsung membanting pintu.
Aku mengetuk pintunya beberapa kali, namun tak di hiraukan nya. Lama-lama aku yang bisa stress kayak gini akibat ulahnya.
Rasanya kesal sekali, ingin ku lampiaskan semua emosi ini, tapi tak bisa, aku hanya mampu memendamnya. Ingin sekali rasanya berteriak, mengamuk, mengeluarkan semuanya yang membuat dada ini sesak, tapi sekali lagi kondisi tidak mengizinkannya, sehingga hanya air mata yang bisa mengungkapnya.
Suara Lula tertawa terbahak terdengar jelas dari dalam kamarnya. Aku mendekatkan telingaku sampai menempel di dinding pintu kamar Lula, terdengar Lula yang sepertinya sedang berbicara dengan seseorang, mungkin lewat telepon. Aku tak paham apa yang mereka bicarakan, yang bisa kutangkap hanya ucapan dari Lula. Ia mengatakan "Selebgram, YouTube dan video viral".
Aku terkejut ketika handphone yang ku pegang dari tadi bergetar dan mengeluarkan bunyi.
"Ya Jamalu...ya Jamalu…" ternyata saat ku lihat panggilan dari nomor yang tertera di layarnya tertulis nama Annisa.
'Assalamualaikum sa, ada apa?' tanyaku kepada sahabatku itu.
'Wa'alaikumussalam Din, kamu udah buka sosmed?' tanyanya langsung membuatku bingung, tumben dia menanyakan hal itu.
'Belum, emang kenapa?'
'Beneran kamu gak tau Din.'
'Iya beneran sa, memang ada apa sih?' Telepon dari Annisa membuatku penasaran. Berita apa yang ada di sosmed.
'Lula viral Din'
'Viral, maksudnya?' Aku bertanya lagi, seolah tak percaya apa yang dikabarkan oleh Annisa.
'Coba deh kamu buka sosmedmu, dia masuk Tribun.'
Rasa penasaran yang besar membuatku mencari video viral Lula, aku membuka aplikasi yang bergambar kamera itu, mengklik link yang diberikan oleh Annisa lewat aplikasi hijau.Kali ini mataku melotot sempurna, video yang berdurasi 7 menit itu berseliweran di beberapa story' penghuni dunia maya. Tak sabar melihat video viral itu, aku langsung mengkliknya. Video itu berisi Lula dengan pakaian seksinya sedang berjoget di trotoar jalan, kemudian seorang wanita menghampirinya dan mencaci makinya dengan sebutan wanita jalang, hingga mereka akhirnya berkelahi, yang kemudian dilerai oleh seorang laki-laki. Video itu hanya sampai di situ dengan caption "Pelakor vs Istri sah".Tunggu dulu, aku menstop video di bagian wajah laki-laki yang datang di bagian akhir video, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Tapi di mana?Aku men
Mencintai adalah seni hati. Setiap insan pasti pernah menjumpai, ketika tidur tak karuan, rindu yang terus meluap, dan perasaan bersatu menjadi sebuah ambisi kuat untuk memiliki. Namun tidak, mencintai tak harus memiliki, karena cinta datang dengan sendirinya dan mungkin saja ia akan pulang dengan sendiri.Mencintaimu adalah logika yang mampu dikalahkan hati…Mencintaimu adalah candu yang kadang membuatku tak sadar diri…Percayalah aku akan berusaha agar cinta ini tak ternodai, sebelum waktu yang akan bersimpati.Waktu terasa berhenti saat mata ini tak sengaja menatap wajah teduhnya membuat kedua manik mata kami saling beradu. Tapi tak lama, mungkin 3 menit, karena akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kulakukan s
Aku menghampiri Tante Maya yang saat ini masih berdiri di depan pintu kamar ibu dengan tangan berpegangan di salah satu sudutnya."Tenang dulu Tante, coba tarik nafas dari hidung dan keluarkan perlahan dari mulut," ucapku sembari mengusap pundaknya."Intan Din.""Kenapa dengan Intan Tante?""Tubuhnya demam, dan ia kesakitan perut, Tante bingung harus ngapain, sedangkan Mas Firman belum pulang dari kerjaannya, handphone nya juga gak bisa di hubungi," tutur Tante Maya dengan wajah begitu khawatir dan takut.Aku langsung memeluknya, lalu menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya."Sudah Tante kasih obat penurun demam?""Sudah Din, t
Kupandangi rumah Dimas dari jauh, ada sebuah mobil terparkir di depan pagar rumahnya, tapi itu bukan mobil yang sering kulihat di garasi rumahnya."Mobil siapa itu?". Kubuang rasa sungkan untuk sementara, mengetuk pintu rumah Dimas, mengucapkan salam, lalu menunggu beberapa detik sampai akhirnya pintu dibukakan."Dinda…ayo masuk." Ternyata Ibunya Dimas yang membukakan pintu itu, dengan ramah beliau mempersilahkan aku masuk.Setelah masuk ke dalam rumah Dimas, aku melihat seorang lelaki paruh baya menggunakan sorban di kepala, dan jenggot yang panjang menghias di dagunya, duduk di sofa tamu. Ia sedang berbicara dengan ayahnya Dimas. Lelaki paruh baya yang penampilannya seperti ustadz itu memiliki wajah yang teduh, pakaiannya rapi dan dari nada bicaranya sangat santun.
Jika setiap daun yang jatuh sudah menjadi ketentuan dariNya.Maka kebersamaan kita hari ini adalah takdir.Tapi mungkinkah besok, atau lusa takdir masih berpihak kepadaku dan padamu.Bahkan sepercik rasa yg kau punya, aku pun tak tahu.Biar kesunyian dalam bait doa yang berbicaraAku akan menunggu, sampai waktu sendiri yang menjawabnya.Bersabarlah, karena kita tak dapat membaca semesta hanya lewat mata.Setelah menerima makanan dari Dimas, pikiranku melayang jauh, menembus setiap inci relung hati, membiarkan jiwaku menik
Pikiranku semakin tidak menentu, kemana kaki ini harus kulangkahkan untuk mencari ibu dan Lula. Pertanyaanku terjawab ketika sebuah notifikasi pesan dari Lula masuk ke aplikasi hijauku.'Aku membawa ibu ke Pak Dodi.' jawaban singkat yang ku terima atas pertanyaanku, meski tak menjawab pertanyaan lainnya tentang setetes darah yang tercecer di lantai.Aku segera menuju rumah Pak Dodi, dia adalah perawat umum yang bertugas di kampungku, meski usianya yang tergolong muda, namun pengalamannya di dunia keperawatan tidak bisa diremehkan, karena ia adalah perawat andalan dan satu-satunya di kampungku ini.Lumayan jauh jarak antara rumahku dengan rumah Pak Dodi, sekitar 25 menit jika ditempuh dengan bersepeda."Alhamdulillah akhirny
'Kak, cepat pulang, aku lapar !' Bunyi pesan yang dikirim adikku lewat aplikasi hijau.'Sebentar lagi ya, ini masih antri, kamu bisa masak sendiri kan' jawabku balik.Aku yang masih dalam posisi berdiri melihat ke arah meja depan, dimana salah satu karyawan masih sibuk mencatat barang konsumen yang harus dikirimkan lewat jasa ekspedisi ini.Di luar cuaca panas, matahari terasa menampakkan dirinya dengan gagah, namun tak membuatku takut jika kulit ini terbakar atau hitam dibuatnya. Panas dan hujan sudah menjadi temanku dalam menjemput Rezeki yang telah Allah berikan. Aku menghitung antrian dari depan, tinggal 5 orang lagi baru giliranku, sebenarnya bisa saja paket ini kutinggalkan dan meminta pihak ekspedisi untuk mengirim
Lula memandangku dengan mata menyipit, rupanya pertanyaanku membuatnya sedikit jengkel."Ibu tadi merengek minta makan, kukasih nasi sama garam saja, kusuruh langsung makan, eh malah dilempar" jawabnya seolah tak bersalah sama sekali."Kenapa tidak kamu bersihkan? Kan kamu sudah tau kalau ngasih Ibu makan jangan pakai piring kaca!""Ngapain membersihkan, Ibu yang salah, Kakak aja sana yang bersihkan, satu lagi masakan lauk untuk aku makan !" perintahnya bak seorang raja."Astaghfirullah, ini Ibu kamu juga Lula, kan Kakak sudah masak tempe sama telur, kenapa tidak dimakan? Ibu kenapa kamu kasih nasi sama garam aja, kasian Ibu," sahutku, sambil mengelus dada atas perlakukan adikku."Siapa juga yang mau jadi anak orang gila, dan
Pikiranku semakin tidak menentu, kemana kaki ini harus kulangkahkan untuk mencari ibu dan Lula. Pertanyaanku terjawab ketika sebuah notifikasi pesan dari Lula masuk ke aplikasi hijauku.'Aku membawa ibu ke Pak Dodi.' jawaban singkat yang ku terima atas pertanyaanku, meski tak menjawab pertanyaan lainnya tentang setetes darah yang tercecer di lantai.Aku segera menuju rumah Pak Dodi, dia adalah perawat umum yang bertugas di kampungku, meski usianya yang tergolong muda, namun pengalamannya di dunia keperawatan tidak bisa diremehkan, karena ia adalah perawat andalan dan satu-satunya di kampungku ini.Lumayan jauh jarak antara rumahku dengan rumah Pak Dodi, sekitar 25 menit jika ditempuh dengan bersepeda."Alhamdulillah akhirny
Jika setiap daun yang jatuh sudah menjadi ketentuan dariNya.Maka kebersamaan kita hari ini adalah takdir.Tapi mungkinkah besok, atau lusa takdir masih berpihak kepadaku dan padamu.Bahkan sepercik rasa yg kau punya, aku pun tak tahu.Biar kesunyian dalam bait doa yang berbicaraAku akan menunggu, sampai waktu sendiri yang menjawabnya.Bersabarlah, karena kita tak dapat membaca semesta hanya lewat mata.Setelah menerima makanan dari Dimas, pikiranku melayang jauh, menembus setiap inci relung hati, membiarkan jiwaku menik
Kupandangi rumah Dimas dari jauh, ada sebuah mobil terparkir di depan pagar rumahnya, tapi itu bukan mobil yang sering kulihat di garasi rumahnya."Mobil siapa itu?". Kubuang rasa sungkan untuk sementara, mengetuk pintu rumah Dimas, mengucapkan salam, lalu menunggu beberapa detik sampai akhirnya pintu dibukakan."Dinda…ayo masuk." Ternyata Ibunya Dimas yang membukakan pintu itu, dengan ramah beliau mempersilahkan aku masuk.Setelah masuk ke dalam rumah Dimas, aku melihat seorang lelaki paruh baya menggunakan sorban di kepala, dan jenggot yang panjang menghias di dagunya, duduk di sofa tamu. Ia sedang berbicara dengan ayahnya Dimas. Lelaki paruh baya yang penampilannya seperti ustadz itu memiliki wajah yang teduh, pakaiannya rapi dan dari nada bicaranya sangat santun.
Aku menghampiri Tante Maya yang saat ini masih berdiri di depan pintu kamar ibu dengan tangan berpegangan di salah satu sudutnya."Tenang dulu Tante, coba tarik nafas dari hidung dan keluarkan perlahan dari mulut," ucapku sembari mengusap pundaknya."Intan Din.""Kenapa dengan Intan Tante?""Tubuhnya demam, dan ia kesakitan perut, Tante bingung harus ngapain, sedangkan Mas Firman belum pulang dari kerjaannya, handphone nya juga gak bisa di hubungi," tutur Tante Maya dengan wajah begitu khawatir dan takut.Aku langsung memeluknya, lalu menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya."Sudah Tante kasih obat penurun demam?""Sudah Din, t
Mencintai adalah seni hati. Setiap insan pasti pernah menjumpai, ketika tidur tak karuan, rindu yang terus meluap, dan perasaan bersatu menjadi sebuah ambisi kuat untuk memiliki. Namun tidak, mencintai tak harus memiliki, karena cinta datang dengan sendirinya dan mungkin saja ia akan pulang dengan sendiri.Mencintaimu adalah logika yang mampu dikalahkan hati…Mencintaimu adalah candu yang kadang membuatku tak sadar diri…Percayalah aku akan berusaha agar cinta ini tak ternodai, sebelum waktu yang akan bersimpati.Waktu terasa berhenti saat mata ini tak sengaja menatap wajah teduhnya membuat kedua manik mata kami saling beradu. Tapi tak lama, mungkin 3 menit, karena akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kulakukan s
Rasa penasaran yang besar membuatku mencari video viral Lula, aku membuka aplikasi yang bergambar kamera itu, mengklik link yang diberikan oleh Annisa lewat aplikasi hijau.Kali ini mataku melotot sempurna, video yang berdurasi 7 menit itu berseliweran di beberapa story' penghuni dunia maya. Tak sabar melihat video viral itu, aku langsung mengkliknya. Video itu berisi Lula dengan pakaian seksinya sedang berjoget di trotoar jalan, kemudian seorang wanita menghampirinya dan mencaci makinya dengan sebutan wanita jalang, hingga mereka akhirnya berkelahi, yang kemudian dilerai oleh seorang laki-laki. Video itu hanya sampai di situ dengan caption "Pelakor vs Istri sah".Tunggu dulu, aku menstop video di bagian wajah laki-laki yang datang di bagian akhir video, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Tapi di mana?Aku men
Aku memandangi wajah perempuan yang bercadar itu, meski wajahnya tertutup tapi aku melihat aura kecantikan terpancar dari Sinar matanya. Alis yang tebal, bulu mata lentik seolah menggambarkan secantik apa perempuan yang sekarang sudah berada di hadapan kami ini."Aisyah, mari duduk." Ibunya Dimas menghampiri Aisyah sambil merangkul pundaknya, mereka terlihat akrab."Iya Umi, tadi Aisyah datang dari pondok, ini ada hadiah buat Umi." ia memberikan bungkusan plastik berwarna hitam. Entah apa isinya, aku pun tak tahu.Perempuan yang dipanggil Aisyah itu duduk bersebrangan denganku, ia tersenyum meski tak terlihat dari bibirnya namun dari matanya yang berkerut menandakan senyum tulus dari wajahnya.Sesekali aku memperhatikannya, mencuri pandang, ia tampak begitu anggun dari b
Mataku masih tajam memperhatikan obat yang sudah tidak ada isinya itu. Karena penasaran, aku membuka handphoneku, lalu searching ke internet mencari tahu jenis obat apa ini, dan digunakan untuk siapa?.Tangan ini mulai mengetik di tombol pencarian, setelah menunggu beberapa detik akhirnya informasi tentang obat triazolam ini muncul, mataku melotot sempurna di depan layar handphone."Obat tidur … "Kecurigaan ku mulai timbul, apa mungkin ibu tertidur seperti tadi karena diberikan obat tidur oleh Lula. Kubuang pikiran negatif yang menyerang kepalaku, bisa saja Lula sendiri yang mengkonsumsinya, tadi Lula juga tertidur nyenyak.Pikiranku mengembang entah ke mana, hidup ini terasa begitu berat, mungkin jika aku ingin mengumpulkan air mata, sudah penuh tong kosong yang sering dipakai sebagai penampung air d
"Harta yang paling berharga adalah keluargaIstana yang paling indah adalah keluargaPuisi yang paling bermakna adalah keluargaMutiara tiada tara adalah keluargaSelamat pagi EmakSelamat pagi AbahMentari hari ini berseri indahTerima kasih EmakTerima kasih AbahUntuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti "Lirik l