"Tanggal kematian, 05 November 2023 pukul 16.00 WIB"
Ucapan itu membuat semua keluarga luruh sekitar. Tangis kesedihan pecah. Tidak ada yang menyangka jika Humaira akan pergi.
"Dokter bohong! Istri saya tidak mungkin pergi."
Gibran melangkah mendekat. Lelaki itu menatap sang istri yang memejamkan mata, lalu memegang bahu dan menggoyangkan pelan. Lelaki itu tak putus asa untuk memanggil sang istri, berharap panggilan itu mendapatkan respon. Sayang, harapan Gibran tidak terjadi. Istrinya benar-benar telah tiada.
"Humaira …."
"Zahra, bisa tolong ke dapur sebentar?"
Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Zahra pada lamunan. Ingatan menyakitkan di rumah sakit itu tidak bisa hilang dari memori otak Zahra.
Tidak ada yang tahu Takdir yang Tuhan gariskan ke depannya. Baik jodoh, maut, kebahagiaan, itu semua hanya takdir Tuhan. Mau marah? Tidak bisa. Kita tidak ada hak untuk marah. Kecewa memang wajar dirasakan saat menerima itu semua. Namun, kembali lagi pada bagaimana cara
kita menyikapi.
Kejadian tadi memang tidak diduga sama sekali oleh keluarga besar Zahra dan Gibran. Mereka, akhirnya kehilangan Humaira. Wanita itu mengembuskan nafas terakhir, sesaat setelah ijab kabul selesai. Wanita itu seolah memang menunggu pernikahan Gibran dan Zahra untuk pergi dengan tenang.
“Huma ...”
Suara serak nan sendu itu terdengar dari mulut Mama Nadia. Wanita paruh baya itu beberapa kali pingsan. Ia tak kuasa melihat tubuh anak pertamanya terbujur kaku. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat anak yang dikandung pergi terlebih dahulu.
Kesedihan tidak hanya dirasakan oleh orang tua Nadia. Ghibran, lelaki itu terlihat sama hancurnya. Kekasih hatinya pergi untuk selama-lamanya. Tatapannya begitu kosong menatap wajah ayu milik istrinya yang kini terlihat sangat pucat. Tidak ada lagi rona merah saat dirinya melemparkan pujian.
“Mas, ma– makan dulu, ya,” pinta Zahra dengan hati-hati.
Di saat semua dilanda kesedihan teramat dalam, Zahra berusaha untuk tegar. Ia bukannya tidak sedih. Hanya saja, rumah ini memerlukan paling tidak satu orang yang tetap waras dan tegar untuk mengurus semuanya.
“Saya tidak lapar!”
Jawaban itu membuat Zahra membeku. Sampai di sini saja, Zahra menyadari pernikahannya tidak semudah yang ia pikirkan. Ada banyak tantangan yang harus ia lewati, terutama menaklukkan hati seorang Gibran.
“Ya sudah. Paling tidak, Mas minum dulu supaya tidak dehidrasi,” pinta Zahra sambil memberikan satu gelas air putih, ia tak bisa memaksa Gibran untuk makan. Beruntung, kali ini Ghibran tidak menolak. Lelaki itu membasahi tenggorokan dengan lima teguk air putih.
Setelah selesai mengurus Gibran dan Mama Nadia, Zahra menghampiri Papa Alwa. Perempuan itu mendampingi sang Papa menyambut kerabat dan tetangga yang berdatangan untuk melayat. Suasana duka sangat tergambar jelas saat ini.
Oeeekkkk …..
Suara tangis bayi itu membuat Zahra yang tengah di dapur langsung menolehkan kepala. Ia sangat khawatir dan ingin tahu apa yang terjadi dengan Nazira. Hanya saja, situasi dapur tidak memungkinkan. Masih banyak keperluan yang belum Zahra pastikan untuk acara tahlil nanti malam.
“Kamu ke atas saja, Ra. Biar Bude yang mempersiapkan semuanya,” ujar Bude Narti pada Zahra. Wanita paruh baya itu adalah Kakak dari Mama Nadia yang sejak kemarin datang dari Malang.
“Nggak apa-apa, Bude?” tanya Zahra sambil menggigit bibir bawahnya. Ia sedikit sungkan dengan snag Bude jika harus melimpahkan semua urusan dapur.
Bude Narti tersenyum. Tangannya terulur untuk mengusap puncak tangan Zahra. Jujur, dia sangat kasihan dengan Zahra. Keponakannya ini sejak pagi tidak istirahat sama sekali. Bahkan, kantung mata dan wajah lelahnya terlihat sangat jelas.
“Ke ataslah, Zahra. Nazira lebih membutuhkan kamu," sahut seseorang yang tak lain adalah Mama Nadia.
"Mama."
Mama Nadia maju, memeluk anak keduanya. Ia yakin Zahra sama bersedihnya dengan dirinya dan yang lain. Namun, anak keduanya ini memilih menebalkan hati untuk semua orang, terutama Nazira yang sangat membutuhkan sosok ibu dalam diri Zahra.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Sayang.” Mama Nadia mengecup kening sang anak. “Mama bangga sama kamu, Sayang. Sabar ya, Mama juga berusaha menabahkan hati,” sambung Mama Nadia sambil memeluk anak perempuannya. Hanya ini yang bisa Mama Nadia lakukan untuk anaknya.
Mata Zahra rasanya panas dipenuhi air mata yang mulai menggenang. Ia hanya bisa menganggukkan kepala dalam pelukan Mama Nadia. Inilah yang ia perlukan sejak kemarin. Dia perlu pelukan, tapi dia sadar Mama Nadia tengah dilanda kesedihan yang jauh lebih besar.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Mama Nadia memberikan apresiasi atas semua yang Zahra lakukan. "Temui Nazira. Dia pasti merasakan kesedihan, meskipun masih kecil. Ikatan ibu dan anak itu nyata adanya," sambung Mama Nadia sambil mengusap pipi anaknya.
Zahra mengangguk. “Zahra ke atas dulu, Mah.”
Setelah memastikan keadaan dapat terkendali, Zahra berlari menaiki tangga. Namun, langkahnya berhenti di depan ambang pintu. Di depan sana, ada Gibran yang tengah berusaha menenangkan Nazira. Lelaki itu hanya diam, tapi tangannya bergerak menimang Nazira. Sungguh, pemandandangan yang membuat siapa saja merasakan sesak.
Zahra kira, Gibran akan membenci Nazira atau bahkan menyalahkan Nazira atas kepergian Humaira. Ternyata, ia salah. Gibran tak sepicik itu hingga melimpahkan semua yang terjadi pada bayi mungil yang tak berdosa.
"Mas."
Panggilan itu membuat Gibran menoleh. Gibran terpaku. Dia sadar wanita yang di depannya adalah orang yang berbeda. Namun, Gibran justru melihat Humaira dalam diri Zahra.
Sesaat kemudian, Gibran memalingkan wajah. Melihat Zahra membuat dirinya kembali mengingat Humaira. Wajah mereka benar-benar serupa hingga orang luar pasti sulit membedakan.
'Allah,' sebut Gibran dalam hati sambil memejamkan mata. Ia kembali berdoa untuk ditunjukkan jalan yang benar. ‘Dia bukan Humairaku, dia wanita yang berbeda,’ ucapnya masih dalam hati.
"Biar aku saja yang menenangkan Nazira," ucap Zahra saat Nazira masih menangis. Bayi kecil itu nampak gelisah, mungkin merasakan ibunya telah pergi.
"Saya bisa sendiri." Gibran kembali menimang pelan tubuh kecil Nazira.
“Mas, kasihan Nazira.” Zahra tak tenang ditempatnya saat Nazira tak berhenti menangis. “Mas, biar aku yang nenangin Nazira ya. Kasihan kalau dia terus-terusan nangis.” Zahra kembali membuka mulut. Kali ini, perkataannya jauh lebih lembut dari sebelumnya.
“Kamu meragukan saya?”
“Bukan begitu maksud aku.” Zahra terdiam, lalu berkata dengan hati-hati, "Mas lebih baik ke depan. Masih banyak tamu dan sebentar lagi, jenazah Almh. Mbak Humaira akan segera dikebumikan."
Sorot mata Gibran tiba-tiba menajam. "Kamu tidak perlu mengatur saya! Ini anak saya dan Humaira. Saya yang lebih berhak dari kamu! Jangan pernah memiliki pikiran menggantikan posisi Humaira di hidup saya dan Nazira!”
Bohong bila Zahra mengatakan ucapan Gibran tidak melukai hatinya. Wanita itu bahkan terdiam seketika. Tidak, ia tak bermaksud. Yang dikatakan Gibran sama sekali tidak benar sama sekali. Ia bermaksud baik, bukan bertujuan menggantikan siapa pun, terutama Humaira.
"Mas, bukan maksud Zahra seperti itu." Meski begitu, Zahra menekan hati supaya tetap berbicara pelan. Mau bagaimana pun, Gibran sudah menjadi suaminya. "Zahra sadar posisi, kok. Bukankah Mas lebih baik ke depan menemani Mbak Humaira?" Pada akhirnya, Zahra tetap melibatkan Humaira untuk membujuk Gibran.
"Lagi pula, masih banyak tamu yang lebih membutuhkan Mas, daripada Zahra," sambung Zahra. Wanita itu memaksakan senyum dibalik hatinya yang terluka. "Tenang, Zahra tidak akan melakukan semua yang Mas takutkan. Zahra ikhlas menerima semua ini."
Hening beberapa saat di antara mereka. Gibran tetap menimang Nazira yang mulai tenang. Sementara itu, Zahra masih berdiri di belakang Gibran, menyaksikan kepedulian dan kasih sayang lelaki itu pada sang anak. Ia tahu bahwa suaminya tengah rapuh saat ini.
Setelah memastikan Nazira kembali tertidur, Gibran beranjak dari ranjang. Lelaki itu meninggalkan satu kecupan di kening sang anak. Hatinya memang terluka, jiwanya memang hilang sebagian, tetapi ia sadar masih memiliki tanggung jawab pada Nazira—buah cintanya bersama Humaira.
"Tolong jaga dia!" pinta Gibran dengan mata menatap lekat sang anak.
Zahra langsung mengangguk. Tanpa diminta pun, ia akan menjaga Nazira dengan baik, seperti amanah Humaira dan kasih sayang tulusnya.
"Pasti, Mas."
Gibran akhirnya melangkah. Ia tak repot-repot menatap Zahra yang berdiri tepat di depannya. Namun, saat sampai di ambang pintu, Ia menghentikan langkah.
"Ingat Zahra. Kamu hanya istri pengganti. Sampai kapan pun, Humaira tetap akan menjadi permaisurinya. Satu lagi, jangan pernah memiliki niat menggantikan dan menyingkirkan sosok Humaira dalam kehidupan saya, terlebih Nazira!"
Peringatan keras itu membuat Zahra kembali terdiam. Tanpa sadar, sebutir air mata menetes, membasahi kedua pipinya. Mengapa sesakit ini Tuhan? Sanggupkah dia menjalankan wasiat dan amanah yang ditinggalkan Humaira.
"Allah," ucap Zahra dengan suara bergetar. ‘Aku ikhlas Ya Allah. Kuatkan hamba menjalankan amanah ini.’
Gundukan tanah dengan patok bertuliskan nama, tanggal lahir dan kematian menjadi saksi terakhir. Kini, Humaira sudah menyatu dengan tanah, tempat di mana semuanya akan kembali, kelak. Kesedihan kembali terlihat. Mama Nadia kembali histeris setelah Humaira dimasukkan ke liang lahat. Wanita paruh baya itu tak sanggup kehilangan anak pertamanya. Kesakitan sebagai seorang ibu yang ditinggalkan lebih dulu, jelas terlihat. "Papa pulang dulu, Nak. Jangan terlalu lama di sini!" ujar Papa Bagas sambil menepuk bahu menantunya. Ia dan Zahra berusaha waras di tengah kesedihan yang melanda. Malang bagi Zahra, anaknya itu tak bisa melihat pemakaman saudara kembarnya karena menjaga Nazira. "Di rumah, Nazira masih membutuhkan kamu." "Iya, Pa. Gibran hanya perlu waktu sedikit lagi dengan Humaira." Gibran tetap berdiri. Ia sadar satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Selama hidup, Gibran tak pernah memiliki bayangan akan berdiri di sini lebih cepat. Yang menyakitinya, Humairanya yang b
Lantunan ayat suci terdengar begitu menenangkan jiwa. Tidak ada yang bisa menolak merdunya ayat suci. Setiap ayat memiliki arti yang berbeda, terdapat juga selingan doa-doa yang ditujukan untuk semua orang, terutama Humaira. Ya, hari ini acara tahlil tujuh harian Humaira. Tidak menyangka bahwa Humaira sudah tujuh hari pergi meninggalkan semua orang, meninggalkan bayi cantik. Hal yang paling menyedihkan adalah saat Nazira belum bisa melihat ibu kandungnya secara langsung. Namun, semua orang yakin jika Humaira tak pergi dari hati anak perempuannya. Wanita itu akan selalu terkenang di hati sang anak. “Mbak Zahra, masih ada yang kurang?” tanya Wati, salah satu tetangga yang membantu memasak untuk acara hari ini. “Kayaknya nggak ada Mbak Wat. Nanti kalau ada yang kurang, bisa bilang ke Bi Jum. Atau kalau nggak, bisa langsung bilang ke saya saja,” ujar Zahra sambil melihat kebutuhan yang akan digunakan hari ini. Seperti hari sebelumnya, Zahra menjadi tokoh penting dalam acara tujuh haria
Matahari mulai terbenam, menunjukkan cahaya jingga yang sangat cantik. Kesibukan semakin terlihat jelas saat waktu pelaksanaan kirim doa semakin dekat. Orang yang paling sibuk selama acara adalah Zahra. Wanita itu seolah tak memiliki lelah dan terus bergerak memastikan segalanya. "Mbak, nggak ada yang kurang, kan?" tanya Zahra pada Mbak Wati yang mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab dapur. Mbak Wati yang tengah memotong semangka menengadahkan kepala. "Nggak ada Mbak. Lauknya sudah, nasinya juga sudah." "Camilan? Buah?" Mbak Wanti menengadahkan kepala. "Sudah siap Mbak. Ini tinggal potong semangkanya saja." Zahra bisa bernafas lega pada akhirnya. Setelah sekali lagi memastikan semuanya, dia baru bisa bernafas lega. Zahra memilih untuk kembali ke kamar. Dia ingin memanggil Gibran dan memandikan Nazira, sebelum dirinya mandi. "Mas, bangun." Zahra sebanyak tak tega membangunkan tidur Gibran. Namun, dia harus melakukannya. Zahra takut tamu datang, tuan rumah justru tidak ada. "
Mata sembab, kepala pusing, itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Tadi malam, ia terlalu banyak menangis. Dengan berat hati, dia menandatangani surat perjanjian yang rasanya mengoyak harapannya. Dengan penuh kepercayaan diri, dia berani mengajukan satu poin di perjanjian, izin berusaha membuka hati Gibran. Dia akan berusaha mendapatkan hati suaminya itu. Berbagai cara akan ia lakukan. Akan tetapi, Zahra tidak akan melakukan dengan cara kotor. Huh, beruntung sekali anggota keluarga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing setelah acara tahlilan. Zahra tidak perlu mencari alasan mengapa matanya terlihat bengkak, seperti hari ini. "Kamu pasti bisa, Zahra." Zahra menyakinkan diri sekuat tenaga. "Pasti akan ada jalan." Setelah mengikat rambut, Zahra lantas beranjak. Ia melihat box bayi di sebelahnya. Ternyata Nazira masih tidur pulas di box bayinya. Melihat Nazira yang masih anteng, Zahra bergegas ke dapur. Ia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan membuat sarapan untuk sang suami. Me
Memasak, bangun pagi, memandikan Nazira menjadi rutinitas Zahra setiap harinya. Dulu, dia memang kerap bangun pagi. Namun, kini rasanya jauh lebih berbeda. Dia merasa dibalik itu semua ada tanggung jawab yang harus dirinya emban. Meskipun begitu, Zahra merasa tidak terbebani karena Zahra sangat menikmatinya. Kuliah? Sebenarnya dirinya mengalihkan jadwal kuliahnya dari yang semula offline menjadi daring selama dua minggu ini. Dia kerap mengirimkan tugas yang diberikan dosen di kala waktu senggang. Zahra ingin menikmati waktu bersama Nazira dulu. Jika keadaan sudah terlihat memungkinkan, Zahra akan kembali mengambil kelas offline. ‘Semoga Mas Gibran suka sama masakan aku. Dan aku berharap, kali ini Mas Gibran mau mencicipinya,’ ucap Zahra dalam hati sambil menutup matanya sekilas. ‘Semangat, Zahra. Lupakan yang terjadi kemarin!’ Zahra tidak ingin kejadian kemarin merusak suasana hatinya. Biarlah yang sudah terjadi, berlalu begitu saja. Dia hanya perlu fokus dengan yang ada di depan mat
"Kamu itu hanya pengasuh untuk Nazira. Jangan berharap bisa menggantikan posisi Humaira!" Kedua mata Zahra terpejam mendengar kata menyakitkan itu kembali terdengar. Tidak, kali ini kata yang keluar dari mulut Gibran lebih menyakitkan. Iya, Zahra mengingat dirinya tak bisa menggeser posisi Humaira. Dia tidak akan membantahnya. "Ingat posisi kamu, Zahra. Kamu hanya sekadar ibu pengasuh bagi Humaira. Jangan bertingkah diluar batas tugas dan perjanjian yang kita sepakati!!" ucap Gibran dengan sangat tegas. Ia kembali menekankan posisi Zahra di rumah ini beserta bagi Gibran dan Nazira. "Berhenti bersikap sesuka hati!" "Iya, Mas. Aku ingat itu," jawab Zahra sambil mengulas senyum ke arah Gibran. Setelah mengatakan itu, Gibran melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia meninggalkan segala kekacauan yang sudah ia buat. Gibran sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya menyakiti hati Zahra atau tidak. Ah, atau bisa saja sebenarnya Gibran menampik rasa bersalah setelah menyakiti Zahra denga
Perubahan yang terjadi di dalam hidup membuat Zahra hampir tidak bisa beradap tadi. Kesibukannya bertambah dua kali dan kini ada tanggung jawab yang ia emban. Rasanya, Zahra ingin menangis.Jika biasanya ada Humaira yang menjadi tempatnya bercerita, berkeluh kesah, kini semuanya berubah. Zahra diharuskan berpijak pada kedua kakinya sendiri, menyimpan segala resah, kekecewaan, dan sakit hati. Beruntung masih ada keluarga yang memberikan dukungan moril, meski tidak tahu apa yang sudah ia lewati.Setelah hampir satu bulan kuliah dari h, Zahra akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah offline. Semesteran sudah di depan matanya. Dia harus masuk karena mendengarkan penjelasan langsung membuat Zahra lebih nyaman dalam belajar."Pagi, Non," sapa Bi Jum saat melihat Zahra sudah berada di dapur, seperti kebiasaan sebelumnya.Zahra yang tengah menumis menolehkan kepala. Senyum hangatnya menyambut wanita paruh baya yang kini menjadi sosok orang tua untuknya di kediaman pribadi Gibran. "Pagi, Bi."
Mas, aku izin ke kampus ya. Aku berangkat, assalamualaikum.Itulah isi pesan yang Zahra kirimkan pada Gibran. Tangannya masih senantiasa memegang ponsel, dia berharap ada pesan balasan yang dikirimkan Gibran. Namun, sampai lima menit menunggu, pesannya hanya centang satu. Hal itu membuat Zahra mengulas senyum getir."Jangan patah semangat, Ra. Hari ini, fokus dulu sama kuliah."Setelah itu, Zahra benar-benar meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, Zahra menyenandungkan lagu Jawa yang tengah ia gemari, kisinan 2. Jujur saja, dia cukup tersentil dengan liriknya karena menggambarkan dirinya saat ini. Meski begitu, dia tidak akan patah semangat.Dua puluh menit perjalanan, akhirnya Zahra sampai di kampus. Sepanjang koridor, dia menerima ucapan belasungkawa dari teman-teman yang ia kenal, baik satu organisasi dengan dirinya atau teman kelas Humaira. Dia sangat senang karena Humaira memiliki teman-teman yang sangat baik."Zahra !!!" panggil perempuan yang diketahui bernama Adel.Dia salah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas