Gundukan tanah dengan patok bertuliskan nama, tanggal lahir dan kematian menjadi saksi terakhir. Kini, Humaira sudah menyatu dengan tanah, tempat di mana semuanya akan kembali, kelak.
Kesedihan kembali terlihat. Mama Nadia kembali histeris setelah Humaira dimasukkan ke liang lahat. Wanita paruh baya itu tak sanggup kehilangan anak pertamanya. Kesakitan sebagai seorang ibu yang ditinggalkan lebih dulu, jelas terlihat.
"Papa pulang dulu, Nak. Jangan terlalu lama di sini!" ujar Papa Bagas sambil menepuk bahu menantunya. Ia dan Zahra berusaha waras di tengah kesedihan yang melanda. Malang bagi Zahra, anaknya itu tak bisa melihat pemakaman saudara kembarnya karena menjaga Nazira.
"Di rumah, Nazira masih membutuhkan kamu."
"Iya, Pa. Gibran hanya perlu waktu sedikit lagi dengan Humaira."
Gibran tetap berdiri. Ia sadar satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Selama hidup, Gibran tak pernah memiliki bayangan akan berdiri di sini lebih cepat. Yang menyakitinya, Humairanya yang berbaring terlebih dahulu untuk selamanya.
"Huma," gumam Gibran sambil menyentuh batu nisan Humaira. Sakit, Gibran merasakan hatinya perih melihat nama Humaira terukir di batu nisan. "Kenapa kamu meninggalkan Mas, Sayang. Apa yang akan Mas lakukan selepas kamu pergi? Bagaimana dengan anak kita? Apa Mas bisa merawat dia sendiri?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut Gibran. Lelaki itu menumpahkan rasa frustasi karena kehilangan separuh jiwanya. Sesak kian menjalari relung jiwa. Kehilangan memang hal paling menyakitkan bagi semuanya. Bahkan, Ghibran sampai melupakan bahwa dirinya sudah memiliki Zahra untuk mendampingi dan merawat Nazira.
Humaira sudah memikirkan bagaimana ke depannya. Maka dari itu, Humaira tetap kekeh mempertahankan pendapat untuk menikahkan Zahra dan Gibran di detik-detik terakhir hidupnya.
"Mas pamit, Sayang. Nazira membutuhkan Mas saat ini."
Gibran memejamkan mata. Ia kembali memanjatkan doa untuk sang istri. Di tengah kesendirian ini, Gibran begitu khusyuk berdoa. Ia memohon yang terbaik untuk istri tercintanya.
"Mas pergi, Sayang. Mas akan kembali menjenguk kamu. Assalamualaikum."
***
Satu hari telah berlalu begitu cepat. Di hari ini, situasi rumah mulai bisa dikatakan kondusif. Mama Nadia dan Gibran mulai bisa diajak berbincang. Meski terkadang masih acap kali melamun, Mama Nadia jauh terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Sementara Gibran, lelaki itu berubah menjadi sangat pendiam dan arogan saat berbicara dengan Nadia. Hal itu tentu saja hanya diketahui oleh Zahra, tanpa orang lain tahu.
Selain itu, tanpa orang tahu Zahra acap kali menangis. Dia ditinggalkan saudara kembar yang berbagi rahim selama sembilan bulan. Rasa kehilangan itu terasa begitu dalam. Dia juga beberapa kali bertanya mengapa Tuhan mengambil sang kakak begitu cepat. Hanya saja, saat sadar ia mengucap istighfar. Semua yang terjadi sudah menjadi garis-Nya.
Zahra memaksakan diri untuk tersenyum di depan orang. Ia tak mungkin terus larut dalam kesedihan karena masih ada Nazira yang membutuhkan dirinya.
Berbeda dengan Mama Nadia dan Gibran, Zahra semakin sibuk untuk mempersiapkan menu jamuan untuk acara tahlil di hari kedua. Dia menjadi pemegang tanggung jawab atas acara ini karena fokus Gibran belum sepenuhnya kembali. Selain itu, Gibran tak akan tahu apa saja yang dibutuhkan untuk acara kirim doa.
Seperti saat ini, Zahra sudah berada di dapur saat pagi hari. Dia sendiri yang memastikan semuanya berjalan dengan baik. Jangan sampai ada hal yang kurang selama acara pengajian nanti malam.
"Mbak Zahra, semua bahan masakan sudah siap, Mbak. Ini mau diolah apa?" tanya Bi Jum, asisten rumah tangga yang setia membantu sejak kemarin.
Zahra terdiam. Dia ikut bingung harus menghidangkan menu apa untuk hari kedua ini. Ia tak ingin mengecewakan orang yang sudah datang mendoakan Humaira. Dia harus pandai-pandai mengatur menu agar orang yang datang tidak bosan.
Ya, Zahra tahu orang-orang tidak akan ada yang protes dengan menu yang dihidangkan. Hanya saja, Zahra ingin memberikan yang terbaik. Anggap saja sebagai ucapakan terima kasih atas lantunan doa-doa yang mengucur deras pada Almh. Humaira.
"Masak menu …."
Wanita itu akhirnya mengucapkan menu yang terlintas di kepalanya. Ia masih mengingat saat Humaira mengatakan menu ini adalah menu kesukaan Gibran, opor ayam dan tumis kentang ati ampela. Tidak sulit untuk membuat kedua menu itu.
"Siap Mbak Zahra. Bibi akan bantu masak," ucap Bi Jum dengan sangat semangat. Wanita paruh baya itu yang turut menenangkan Zahra saat menangis diam-diam.
"Zahra, Nazira nangis," ujar Tanten Tika yang datang dengan Nazira yang menangis.
Secepat kilat, Zahra mencuci tangannya. Setelah memastikan kedua tangannya bersih, ia langsung mengambil alih Nazira. Ajaibnya, bayi mungil itu langsung tenang dan terlihat nyaman dalam dekapan Zahra. Mungkin, bayi mungil itu mengenali Zahra sebagai ibunya.
"Dia sudah mengenalmu sebagai ibunya, Zahra," celetuk Tante Tika dengan suara sendu. Dia turut sedih karena menantu keponakannya telah berpulang setelah melawan penyakit kanker yang diderita.
Namun, pernyataan itu langsung ditentang oleh suara berat dari arah belakang. Orangyang tak lain Gibran, terdengar tidak suka dengan perkataan sang Tante.
"Dia bukan ibunya," bantah Ghibran dengan tegas. Ia langsung mengambil alih Nazira dari Zahra dan menatap wanita yang sudah menjadi istrinya dengan lekat.
"Gibran." Tante Tika terkejut dengan kehadiran Gibran. "Sejak kap—"
"Tante, Ibunya Nazira hanya Humaira!" Gibran mengatakan hal itu dengan sangat tegas. "Seharusnya Tante tidak berkata seperti itu."
Tante Tika mengangguk, dia setuju dengan perkataan Gibran. "Tante minta maaf kalau menyinggung kamu. Tapi yang Tante katakan juga benar." Tante Tika menghela nafa spanjang. "Ya … memang benar kalau Humaira adalah ibu kandung Nazira. Namun, sekarang Zahra sudah sah sebagai istri kamu. Itu artinya, dia juga ibu dari Naz—"
"Hanya Humaira ibu dari Nazira!" bantah Gibran dengan sangat tegas. "Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Humaira sebagai Ibu untuk Nazira."
Rasa kehilangan yang dirasakan Gibran sangat dimengerti oleh semua orang. Hanya saja, perkataan Gibran baru saja membuat Tante Tika terdiam memaku. Dia tak mengira kata-kata kasar itu keluar dari mulut Gibran. Itu sama artinya dengan sang keponakan tidak menghargai Zahra.
"Gibran kam—"
"Tante," —Zahra bukan bermaksud menyela. Dia hanya mencegah sesuatu yang tak diinginkan—, "saya sama Ma–mas Gibran permisi dulu. Kasihan Nazira, kelihatannya sudah mengantuk." Zahra mengulas senyum manis, beruaaha meredam gejolak emosi di antara Gibran dan juga Nazira.
Tante Tika yang melihat Nazira tidak nyaman langsung mengembuskan nafas. Ya, sepertinya memang Nazira membutuhkan tempat yang lebih nyaman lagi.
"Baiklah kalau begitu." Perhatian Tante Tika berpindah pada Zahra. "Kamu juga perlu istirahat, Ra. Kamu sudah bekerja sangat keras, memastikan semuanya terpnehui selama dua hari ini. Bahkan kamu juga terjun langsung untuk memasak. Tante salut dan berterima kasih. Namun, lebih baik kamu mengatakan momen ini untuk istirahat," jelas Tika tak mampu mendorong rasa empati Gibran.
Zahra yang mendapat perhatian langsung mengulas senyum menenangkan. "Zahra baik-baik saja, Bu. Zahra jauh lebih tak tega jika Ibu yang bekerja dan dapur atau mengontrol semuanya. Lagi pula, ada banyak yang membantu hingga pekerjaan cepat selesai."
"Iya, Tante."
Jika kebanyakan pengantin baru menikmati masa-masa berdua, berbeda dengan dirinya. Zahra justru tak bisa hanya sekadar mengobrol berdua dengan Gibran. Ia tak memiliki waktu untuk mengenal lebih jauh tentang kakak ipar, yang kini sudah menjadi suaminya.
"Aku tidurkan Nazira sebentar, Mas," ujar Zahra sambil mengambil alih Nazira yang sudah terlelap.
Suasana berkabung jelas masih terasa begitu kental. Di saat semua orang bisa menangis, Zahra harus menahan semua perasaan. Zahra harus bersikap bijaksana untuk mengambil alih tugas Mama Nadia. Beruntung, Zahra tak abai dengan Nazira. Gadis mungilnya itu selalu mendapatkan tempat tersendiri.
'Ya Allah, bukakan jalan untuk mengetuk hati Mas Gibran,' ujar Zahra dalam hati sambil menatap Nazira yang terlepas di atas tempat tidur. 'Mbak Huma, tolong bantu aku. Aku minta izin untuk mulai mendekati suami kamu, Mbak,' lanjut Zahra dengan mata terpejam. Amu bagaimana pun, Gibran adalah istri dari kakak kembarnya. Zahra baru merasa tenang saat sudah meminta izin.
Selain situasi yang belum memungkinkan, ada pr besar bagi Zahra. Gibran, lelaki itu terlihat membentangkan jarak yang jauh dengan dirinya. Diam-diam, Zahra bingung harus mulai dari mana untuk melakukan pendekatan dengan Gibran.
Ibaratnya, saat dia baru berniat untuk mendekatkan diri, Gibran susah mengambil lima langkah untuk mundur. Sangat sulit untuk mendekati kakak iparnya guna mengenal lebih jauh, meski Almh. Humaira menceritakan sedikit-sedikit tentang Gibran.
"Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu di depan keluarga, Mas, termasuk Tante Tika," ujar Zahra dengan pelan. Dia berusaha agar menyentil ego Gibran di saat emosinya masih labil. "Mau bagaimana pun, Tante Tika lebih tua dari kamu."
"Kamu mulai berani mengatur saya?" Gibran melontarkan pertanyaan itu dengan nada teramat sinis. "Oh … kamu sudah merasa menjadi nyonya di rumah ini?" tuding Gibran sambil lagi-lagi tersenyum miring.
Ya, seperti inilah Gibran sekarang. Lelaki itu terdengar sangat arogan dan menyebalkan. Apa pun yang dikatakan Zahra, seolah salah di mata Gibran.
"Maksud aku bukan begitu, Ma–s," ujar Zahra dengan tergagap. Ia tak mau Gibran salah tangkap maksud perkataannya. "Aku hanya tidak ingin Nazira terbangun saat mendengar suara-suara ker–"
"Saya ayah Nazira!!"
"Y–ya?" tany Zahra yang tak paham dengan jawaban Gibran.
"Saya ayah, Nazira. Saya tahu apa yang baik dan buruk untuk anak saya!" jawab Gibran dengan langkah. Kembali dia menyakiti hati Zahra. "Dan kamu," —Gibran menunjuk Zahra—, "kamu tidak berhak mengatur saya."
"Aku tidak bermaksud seperti it—"
"Kamu harus sadar posisi, Zahra. Ingat apa yang saya katakan. Kamu, tidak akan pernah bisa menggantikan Humaira sampai kapanpun!"
Zahra terpaku. Lagi-lagi kata kejam itu menusuk relung hatinya. Tidak perlu Gibran mengatakan hal itu berulang kali. Zahra masih tahu batasannya. Tidak ada niatan sedikitpun untuk menggantikan posisi Humaira. Hmm, dia hanya membantu melindungi nama baik keluarga.
"Mas, aku mau buat susu untuk Nazira dulu. Mungkin saja dia haus," ucap Zahra menghiraukan perkataan Gibran. Dia lebih baik memilih menyibukkan diri. Dia tak mau terpengaruh karena tak bisa mendengar jika terus mendengar kata-kata jahat itu.
Lantunan ayat suci terdengar begitu menenangkan jiwa. Tidak ada yang bisa menolak merdunya ayat suci. Setiap ayat memiliki arti yang berbeda, terdapat juga selingan doa-doa yang ditujukan untuk semua orang, terutama Humaira. Ya, hari ini acara tahlil tujuh harian Humaira. Tidak menyangka bahwa Humaira sudah tujuh hari pergi meninggalkan semua orang, meninggalkan bayi cantik. Hal yang paling menyedihkan adalah saat Nazira belum bisa melihat ibu kandungnya secara langsung. Namun, semua orang yakin jika Humaira tak pergi dari hati anak perempuannya. Wanita itu akan selalu terkenang di hati sang anak. “Mbak Zahra, masih ada yang kurang?” tanya Wati, salah satu tetangga yang membantu memasak untuk acara hari ini. “Kayaknya nggak ada Mbak Wat. Nanti kalau ada yang kurang, bisa bilang ke Bi Jum. Atau kalau nggak, bisa langsung bilang ke saya saja,” ujar Zahra sambil melihat kebutuhan yang akan digunakan hari ini. Seperti hari sebelumnya, Zahra menjadi tokoh penting dalam acara tujuh haria
Matahari mulai terbenam, menunjukkan cahaya jingga yang sangat cantik. Kesibukan semakin terlihat jelas saat waktu pelaksanaan kirim doa semakin dekat. Orang yang paling sibuk selama acara adalah Zahra. Wanita itu seolah tak memiliki lelah dan terus bergerak memastikan segalanya. "Mbak, nggak ada yang kurang, kan?" tanya Zahra pada Mbak Wati yang mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab dapur. Mbak Wati yang tengah memotong semangka menengadahkan kepala. "Nggak ada Mbak. Lauknya sudah, nasinya juga sudah." "Camilan? Buah?" Mbak Wanti menengadahkan kepala. "Sudah siap Mbak. Ini tinggal potong semangkanya saja." Zahra bisa bernafas lega pada akhirnya. Setelah sekali lagi memastikan semuanya, dia baru bisa bernafas lega. Zahra memilih untuk kembali ke kamar. Dia ingin memanggil Gibran dan memandikan Nazira, sebelum dirinya mandi. "Mas, bangun." Zahra sebanyak tak tega membangunkan tidur Gibran. Namun, dia harus melakukannya. Zahra takut tamu datang, tuan rumah justru tidak ada. "
Mata sembab, kepala pusing, itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Tadi malam, ia terlalu banyak menangis. Dengan berat hati, dia menandatangani surat perjanjian yang rasanya mengoyak harapannya. Dengan penuh kepercayaan diri, dia berani mengajukan satu poin di perjanjian, izin berusaha membuka hati Gibran. Dia akan berusaha mendapatkan hati suaminya itu. Berbagai cara akan ia lakukan. Akan tetapi, Zahra tidak akan melakukan dengan cara kotor. Huh, beruntung sekali anggota keluarga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing setelah acara tahlilan. Zahra tidak perlu mencari alasan mengapa matanya terlihat bengkak, seperti hari ini. "Kamu pasti bisa, Zahra." Zahra menyakinkan diri sekuat tenaga. "Pasti akan ada jalan." Setelah mengikat rambut, Zahra lantas beranjak. Ia melihat box bayi di sebelahnya. Ternyata Nazira masih tidur pulas di box bayinya. Melihat Nazira yang masih anteng, Zahra bergegas ke dapur. Ia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan membuat sarapan untuk sang suami. Me
Memasak, bangun pagi, memandikan Nazira menjadi rutinitas Zahra setiap harinya. Dulu, dia memang kerap bangun pagi. Namun, kini rasanya jauh lebih berbeda. Dia merasa dibalik itu semua ada tanggung jawab yang harus dirinya emban. Meskipun begitu, Zahra merasa tidak terbebani karena Zahra sangat menikmatinya. Kuliah? Sebenarnya dirinya mengalihkan jadwal kuliahnya dari yang semula offline menjadi daring selama dua minggu ini. Dia kerap mengirimkan tugas yang diberikan dosen di kala waktu senggang. Zahra ingin menikmati waktu bersama Nazira dulu. Jika keadaan sudah terlihat memungkinkan, Zahra akan kembali mengambil kelas offline. ‘Semoga Mas Gibran suka sama masakan aku. Dan aku berharap, kali ini Mas Gibran mau mencicipinya,’ ucap Zahra dalam hati sambil menutup matanya sekilas. ‘Semangat, Zahra. Lupakan yang terjadi kemarin!’ Zahra tidak ingin kejadian kemarin merusak suasana hatinya. Biarlah yang sudah terjadi, berlalu begitu saja. Dia hanya perlu fokus dengan yang ada di depan mat
"Kamu itu hanya pengasuh untuk Nazira. Jangan berharap bisa menggantikan posisi Humaira!" Kedua mata Zahra terpejam mendengar kata menyakitkan itu kembali terdengar. Tidak, kali ini kata yang keluar dari mulut Gibran lebih menyakitkan. Iya, Zahra mengingat dirinya tak bisa menggeser posisi Humaira. Dia tidak akan membantahnya. "Ingat posisi kamu, Zahra. Kamu hanya sekadar ibu pengasuh bagi Humaira. Jangan bertingkah diluar batas tugas dan perjanjian yang kita sepakati!!" ucap Gibran dengan sangat tegas. Ia kembali menekankan posisi Zahra di rumah ini beserta bagi Gibran dan Nazira. "Berhenti bersikap sesuka hati!" "Iya, Mas. Aku ingat itu," jawab Zahra sambil mengulas senyum ke arah Gibran. Setelah mengatakan itu, Gibran melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia meninggalkan segala kekacauan yang sudah ia buat. Gibran sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya menyakiti hati Zahra atau tidak. Ah, atau bisa saja sebenarnya Gibran menampik rasa bersalah setelah menyakiti Zahra denga
Perubahan yang terjadi di dalam hidup membuat Zahra hampir tidak bisa beradap tadi. Kesibukannya bertambah dua kali dan kini ada tanggung jawab yang ia emban. Rasanya, Zahra ingin menangis.Jika biasanya ada Humaira yang menjadi tempatnya bercerita, berkeluh kesah, kini semuanya berubah. Zahra diharuskan berpijak pada kedua kakinya sendiri, menyimpan segala resah, kekecewaan, dan sakit hati. Beruntung masih ada keluarga yang memberikan dukungan moril, meski tidak tahu apa yang sudah ia lewati.Setelah hampir satu bulan kuliah dari h, Zahra akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah offline. Semesteran sudah di depan matanya. Dia harus masuk karena mendengarkan penjelasan langsung membuat Zahra lebih nyaman dalam belajar."Pagi, Non," sapa Bi Jum saat melihat Zahra sudah berada di dapur, seperti kebiasaan sebelumnya.Zahra yang tengah menumis menolehkan kepala. Senyum hangatnya menyambut wanita paruh baya yang kini menjadi sosok orang tua untuknya di kediaman pribadi Gibran. "Pagi, Bi."
Mas, aku izin ke kampus ya. Aku berangkat, assalamualaikum.Itulah isi pesan yang Zahra kirimkan pada Gibran. Tangannya masih senantiasa memegang ponsel, dia berharap ada pesan balasan yang dikirimkan Gibran. Namun, sampai lima menit menunggu, pesannya hanya centang satu. Hal itu membuat Zahra mengulas senyum getir."Jangan patah semangat, Ra. Hari ini, fokus dulu sama kuliah."Setelah itu, Zahra benar-benar meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, Zahra menyenandungkan lagu Jawa yang tengah ia gemari, kisinan 2. Jujur saja, dia cukup tersentil dengan liriknya karena menggambarkan dirinya saat ini. Meski begitu, dia tidak akan patah semangat.Dua puluh menit perjalanan, akhirnya Zahra sampai di kampus. Sepanjang koridor, dia menerima ucapan belasungkawa dari teman-teman yang ia kenal, baik satu organisasi dengan dirinya atau teman kelas Humaira. Dia sangat senang karena Humaira memiliki teman-teman yang sangat baik."Zahra !!!" panggil perempuan yang diketahui bernama Adel.Dia salah
Terhitung sudah lima hari Zahra kembali menjalankan kuliah secara langsung. Selama hampir sepekan itulah, Zahra kembali merasakan perbedaan. Jika sebelumnya dia tidak harus datang ke kampus dan bisa sepenuhnya fokus ke Nazira, kini fokusnya sedikit terbagi. Meskipun begitu, ,ahra berhasil beradaptasi dengan cepat.“Mas, nanti aku ada kerja kelompok. Mungkin pulangnya agak sore,” jelas Zahra pada Gibran saat tengah mengantar Gibran ke depan.Langkah lelaki itu berhenti. Keningnya mengerut sambil menatap lekat Zahra. “Di mana?” tanya Gibran singkat. Bukankah memastikan keamanan Zahra menjadi tanggung jawabnya sebagai suami.“Di kafe dekat kampus. Cari yang tengah-tengah,” jelas Zahra. Tangannya terangkat untuk Salim ke Gibran.Tanpa banyak Drama, Gibran mengulurkan tangannya. Dia juga mulai terbiasa dengan aktivitas paginya. Zahra, selalu melakukannya tanpa diminta sekalipun.“Hm. Saya berangkat,” pamitnya sebelum masuk mobil.Saat Gibran tengah siap-siap, Zahra tak beranjak sedikitpun.
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas