Sakit hati dan perasaan bersalah kini bergelung jadi satu dalam relung hati Zahra. Tangisnya tak bisa ditahan kan lagi saat sampai di kamar Nazira. Dia terus mendekap bayi mungil yang masih terlihat sangat tidak nyaman dengan perubahan suhu di dalam tubuh. “Ssssttt, ini Buna, Nak,” ucap Zahra sambil menimang Nazira yang ada dalam dekapannya. Sesekali tangannya bergerak menghapus air mata yang menetes sedikit-sedikit. Tadi, Zahra hampir terkena serangan jantung saat melihat Mama Tania berdiri di ambang pintu. Dadanya berdebar hebat, terlebih perempuan itu datang bertepatan dirinya dan Gibran bertengkar hebat, disertai tangis hebat dari Nazira. Zahra tidak tahu apa yang tengah mertuanya pikirkan saat ini. Tadi, dia langsung disuruh Mama Tania masuk kamar dan membawa Nazira untuk menenangkan diri. Sesampainya di kamar, tangisnya justru pecah. “Buna ke kamar mandi dulu, ya,” pamit Zahra sambil meletakkan Nazira ke box kembali. Buruk, wajahnya saat ini terlihat sangat buruk. Lihatnya k
“Minggu depan rencananya mau ada seminar. Lo nggak ikut?” Celetukan itu berhasil menarik atensi Zahra. Wanita itu tengah mengerutkan kening, matanya sesekali menatap ponsel. Ia tengah dilanda gelisah karena tadi pagi badan Nazira kembali demam. Hanya saja, dia tidak bisa menemani Zira. Hari ini ada dua mata kuliah yang melaksanakan penilaian. Jika bukan matakuliah pilihan dan bersifat wajib, Zahra tidak akan terlalu pusing. Namun, ini justru sebaliknya. Zahra terpaksa meninggalkan harus meninggalkan anaknya. “Siapa pematerinya?” tanya Zahra, dia tertarik karena berkesempatan menambah jumlah sertifikatnya. Adel yang mendengar pertanyaan Zahra langsung mendekat. “Suami lo,” jawab Adel sambil berbisik. Zahra langsung terdiam mendengar jawaban Adel. Sungguh, dia cukup terkejut dengan perkataan Adel. Gibran memang sering menjadi pembicara di seminar, baik nasional maupun internasional. Hanya saja, ia tak mengira jika kampurnya berhasil mendapatkan seorang Gibran sebagai pembicara. “
Suasana tegang terlihat begitu jelas di ruang pemeriksaan ini. Tidak ada yang mengira jika Gibran datang, termasuk Zahra. Sejak tadi, Zahra bukannya tidak menghubungi Gibran, melainkan lelaki itu tidak yang tidak bisa dihubungi. Sekarang, tiba-tiba lelaki itu sudah ada di ambang pintu dengan tatapan datar terkesan dingin. Seakan dengan slow motion Gibran melangkah sambil melonggarkan simpul dasi. Tatapan lelaki itu senantiasa datar, terlebih saat menatap Daffa dan Zahra dalam posisi berdekatan. Telinganya masih begitu sehat hingga bisa mendengar jelas yang lelaki itu ucapkan. ‘Cih, menghalalkan’ cibir Gibran dengan genderang perang di dalam otak dan hatinya. Tidak berbeda dengan Zahra dan Daffa, Fitri juga ikut terkejut, terlebih saat melihat tatapan Kakak sepupunya. Dia memang sudah terbiasa dengan sikap dingin Gibran, hanya saja sekarang dia merasakan hal yang berbeda. Aura Gibran lebih mencekam dari biasanya. “Kak,” sapa Dokter Fitri dengan senyum canggungnya. “Kok ke sini?” Gi
Rindu, hari ini Zahra merasakan rindu akan kedua orang tuanya. Sudah cukup lama dia tak bertemu dengan Mama Nadia maupun Ayah Bagas. Mereka hanya berhubungan melalui panggilan video. Kesibukannya membuatnya tidak memiliki banyak waktu. Beruntung kedua orang tuanya memahami peranan baru. Tadi, dia baru saja melakukan panggilan video bersama Bunda Nadia. Banyak yang mereka bicarakan, termasuk resep menu makanan yang biasa Bunda Nadia buat saat di rumah. Selain itu, Zahra juga banyak bertanya tentang cara merawat bayi yang baik dan benar. Setelah selesai, Zahra bergegas menuju bawah. Senyumnya langsung mengembang saat melihat Nazira berada di tempat tidur goyangnya sambil bermain dengan Bi Jum. “Masyaallah, anak Buna lagi main?” tanya Zahra, membuat Bi Jum yang asyik bermain menolehkan kepala. Bi Jum mengulas senyum melihat nona mudanya. “Hallo Buna, Nazira pinter loh hari ini,” ujarnya sambil menirukan suara anak kecil. “Zira hari ini nggak nangis waktu Buna belajar,” lanjutnya membu
“Loh Mas, kamu sudah pulang?”Seruan itu membuat Mama Tania dan Gibran tersentak. Lelaki itu menegakkan tubuhnya, menatap Zahra dan Mama Tania bergantian. Dengan memperlihatkan ekspresi datarnya, Gibran tengah menyembunyikan sedikit rasa panik. Dia takut baik Zahra atau Mama Tania menuduhnya yang tidak-tidak, misalnya memperhatikan istri secara diam-diam.“Hm,” jawab Gibran sangat singkat.“Kok Mama nggak dengar suara mobil kamu?” Mama Tania mengerutkan kening. “Kamu sudah lama?”Gibran sedikit gelagapan mendapatkan tembakan pertanyaan itu. Meski begitu, Gibran tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Sungguh, Gibran tidak ingin semua orang salah paham.“Belum.”Gibran menjawab sambil lalu, memilih mengambil minum. Setelah itu, Gibran melenggang pergi begitu saja. Dengan balutan kerja lengkap, Gibran mulai menapaki setiap anak tangga. Jujur saja hari ini dirinya sangat lelah. Ada klien yang sengaja mempersulit hingga belum ada kata setuju di antara dua perusahaan.“Kamu nggak menyiapka
“Selamat pagi cucuma Oma.”Mama Tania yang baru saja membuka mata langsung disambut suara menggemaskan dari Nazira. Bayi mungil itu ternyata sudah membuka mata sambil menggerak-gerakkan tangannya, seolah ingin meminta Mama Tania membangunkan dirinya.“Masyaallah, cucu Oma pintar sekali,” pujinya saat melihat bayi mungil itu bangun lebih dulu daripada dirinya.Wanita paruh baya itu memilih mengajak Nazira berbicara. Setiap kata yang keluar dari mulut Tania, selalu Nazira balas dengan suara khas bayi yang menggemaskan. Respon itu membuat Tania tersenyum bahagia dan bangga. Zahra berhasil menerapkan kebiasaan baik untuk Nazira.“Kita mandi dulu ya, Sayang. Habis itu temani Oma masak di dapur. Okey?”Tania menggendong Nazira. Dibawanya bayi mungil itu di tempat bak mandi kecil. Tangannya yang sudah terlatih sejak lama, membuatnya tidak kagok, meski pengalaman itu terjadi dua puluh tujuh tahun lalu.Sesekali, Tania mengajak Nazira berbicara. Dia ingin membiasakan Nazira mendengarkan banyak
“Pagi sayangnya Buna, Pagi Mah, Pagi Bi Jum,” sapa Zahra dengan ceria sesaat menuruni tangga.Dia wanita paruh baya yang ia sapa justru saling tatap. Seulas senyum geli terlihat di wajah keduanya. Bahkan, Bi Jum dan Mama Tania sampai melipat kedua bibirnya ke atas untuk menahan tawa. Sayangnya, tingkah keduanya disadari oleh Zahra.“Kalian kenapa?” tanya Zahra. Ia menatap Bi Jum dan Mama Tania bergantian. Kepalanya sampai miring untuk melihat dengan cermat.Untuk sesaat, Zahra merasa ada yang salah dengan penampilannya hingga membuat Bi Jum dan Mama Tania menahan tawa. Kepalanya sontak menunduk, memastikan lagi apa ada yang salah dengan penampilannya. Dia juga mengambil ponsel dan membuka fitur kamera. Zahra sampai membuka fitur kamera dan memilih kamera depan untuk mengaca.Hanya saja, dia tidak mendapatkan apa pun. Zahra merasa penampilannya tidak aneh. Riasan wajah yang ia gunakan juga tidak berlebihan. Lalu, mengapa dua wanita di depannya ini menahan tawa. Dan, tunggu … sekarang ke
Gedung tinggi di kawasan pusat berdiri dengan kokoh. Aktivitas para karyawan terlihat begitu jelas. Cakra Mas Development, merupakan perusahaan yang bekerja di berbagai bidang, terutama hotel dan apartemen. Siapa yang tak kenal dengan pemimpinnya, Gibran. Nama lelaki itu sudah terdengar di kancah nasional.Kini, lelaki itu tengah duduk di ruangan kerjanya. Ruangan dengan desain mewah dan elegan itu terlihat sangat tertata. Ruangan itu didominasi oleh warna monokrom, warna yang menjadi kesukaan mendiang istrinya.Gibran masih setia memejamkan mata. Kedua tangannya menyatu dengan kepala menengadah. Ada hal yang mengganggu mengganggu dirinya saat ini “Enyahlah!” perintah Gibran setelah mengembuskan nafas panjang.Tawa itu, Gibran tidak suka melihat tawa itu. Bukan, lebih tepatnya Gibran tidak suka siapa yang menjadi pemicu tawa itu, Daffa dan Zahra. Ya, dua nama itu yang sejak tadi mengganggu pikirannya.Dia masih ingat saat keduanya tertawa lepas, setelah Zahra keluar dari mobilnya. Mun
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas