Teriknya matahari tak menyurutkan niat baik Zahra. Kini, wanita itu sudah berada di halaman perusahaan milik suaminya. Senyum cerahnya semakin mengembang saat melihat kotak makan siang di tangannya dan supir taksi yang mengantarnya.“Minta tolong bawakan ke dalam ya, Mas,” pinta Zahra pada driver taksi online yang ia pesan.“Siap Mbak.”Zahra jalan terlebih dahulu, menunjukkan jalan yang akan dilalui. Saat sampai di front office, dia melihat beberapa karyawan menyapa. Ini bukan kali pertama dirinya datang ke kantor Gibran.Sebelumnya, dia sudah pernah ke sini untuk mengantar Humaira mengantarkan makanan. Kini tugas mengantarkan makanan siang untuk Gibran, ia ambil alih. Semoga saja Humaira tidak marah tugasnya ia ambil alih sekarang.“Ib—”Zahra langsung meletakkan jari telunjuk di depan mulut saat Bunga —resepsionis— ingin memanggil dan menghampiri dirinya. Dari banyaknya karyawan yang bekerja di sini, hanya Bunga dan Devan yang mengetahui Zahra sudah menjadi istri Gibran. Bunga meru
Rembulan bersinar terang hari ini. Bintang-bintang setia menemaninya, membuat Zahra yang ada di balkon kamar Nazira tersenyum senang. Dia tengah menikmati keindahan malam dengan Nazira dalam gendongannya, tentu saja dia memberikan selimut tebal untuk anaknya.Sepertinya, bayi itu masih belum mengantuk karena baru saja bangun dari tidurnya. Zahra yang memang tidak memiliki pekerjaan setelah makan malam sangat senang. Kalau bukan Nazira yang menemani dan menghiburnya, siapa lagi? Tidak mungkin kalau Gibran.Mengingat sampai detik ini belum berhasil mendapatkan hati Gibran, membuat Zahra tersenyum miris. Usia pernikahan mereka sudah memasuki dua bulan, tetapi seperti tidak ada perkembangan berarti. Yang membedakan hanya Gibran tidak irit bicara lagi, seperti sebelumnya.“Buna harus melakukan apa lagi, Nak?” tanya Zahra sambil menatap mata bulat milik Nazira. “Buna merasa sudah melakukan semua cara agar bisa mendapatkan hati ayah kamu. Namun, sampai saat ini belum ada hilal sama sekali.”
Rembulan bersinar terang hari ini. Bintang-bintang setia menemaninya, membuat Zahra yang ada di balkon kamar Nazira tersenyum senang. Dia tengah menikmati keindahan malam dengan Nazira dalam gendongannya, tentu saja dia memberikan selimut tebal untuk anaknya.Sepertinya, bayi itu masih belum mengantuk karena baru saja bangun dari tidurnya. Zahra yang memang tidak memiliki pekerjaan setelah makan malam sangat senang. Kalau bukan Nazira yang menemani dan menghiburnya, siapa lagi? Tidak mungkin kalau Gibran.Mengingat sampai detik ini belum berhasil mendapatkan hati Gibran, membuat Zahra tersenyum miris. Usia pernikahan mereka sudah memasuki dua bulan, tetapi seperti tidak ada perkembangan berarti. Yang membedakan hanya Gibran tidak irit bicara lagi, seperti sebelumnya.“Buna harus melakukan apa lagi, Nak?” tanya Zahra sambil menatap mata bulat milik Nazira. “Buna merasa sudah melakukan semua cara agar bisa mendapatkan hati ayah kamu. Namun, sampai saat ini belum ada hilal sama sekali.”Z
Suasana hening sangat terasa di dalam mobil. Kalimat terakhir tadi cukup membuat keduanya merasa canggung, mungkin. Setelah dipikir, Zahra merasa dirinya terlalu percaya diri saat melihat reaksi yang Gibran tunjukkan.Ya, mungkin lelaki itu tengah melakukan kewajiban untuk mengingatkan dirinya agar tidak terlalu dekat dengan lelaki lain. Hal wajar bagi suami istri. Namun, terasa sedikit janggal saat mengingat situasi pernikahan mereka yang bisa dikatakan tidak harmonis, atau lebih tepatnya pura-pura harmonis.Oke, kita kembali pada perjalanan ke rumah orang tua Zahra. Jujur saja wanita itu sudah tak kuat menahan kantuk. Hanya saja, di tidak bisa membiarkan Gibran membuka matanya sendirian. Dia ingin menemani sang suami. Rasa kantuk membuatnya beberapa kali bergerak tak terkontrol.“Tidur!”Mata Zahra langsung terbuka meski tak sepenuhnya. “Apa, Mas?” Zahra mengusap dan menutup mulutnya dengan tangan kanan.“Kalau ngantuk tidur!” perintah Gibran dengan lebih jelas. Dia tetap fokus ke ja
Di tempat yang berbeda, langkahnya menaiki anak tangga mulai melambat. Jantungnya berdetak kencang, perasaannya kembali tidak menentu. Saat memejamkan mata, Gibran seolah merasakan kehadiran Humaira. Bahkan, dia mematung saat berada di depan pintu kamarnya dengan Humaira dulu.Kilasan kenangan bersama Humaira kembali melintas. Senyum itu, senyum yang selalu menyambutnya setiap pulang kerja, rasa lelahnya hilang seketika. Kini, senyum itu sudah tidak bisa ia lihat. Meski ada wanita dengan wajah serupa, tetapi mereka berbeda. Zahra tidak akan pernah bisa menjadi Humaira atau menggantinya.“Assalamualaikum,” ucap Gibran sambil membuka pelan pintu kamarnya dengan Humaira. Gibran merasakan dadanya begitu sesak saat pintu terbuka lebar. Matanya turut terpejam, ia tengah menghirup wangi parfum Humaira yang menyentak indera penciumannya. Sungguh, dia sangat merindukan perempuan itu. Tidak ada yang berubah atau berbeda dari kamar ini.“Humaira,” gumamnya memanggil nama sang istri dengan mata
Berada dalam posisi sulit terkadang membuat seseorang ingin menyerah. Terlebih jika beberapa cara yang dilakukan dan diupayakan tidak bisa memecahkannya. Begitu pula yang dirasakan Zahra saat ini. Rasanya, dia ingin sekali menyerah dengan pernikahannya ini. Namun, janjinya terhadap mendiang kakaknya membuat Zahra kembali bimbang. Selain itu, ada Nazira yang menjadi pertimbangan terberat baginya.“Doakan Buna ya, Sayang.” Zahra menatap Nazira dengan lekat. Tangannya mengusap dengan lembut —penuh kehati-hatian— pipi Nazira. “Semoga Buna diberikan kekuatan untuk berada di sisi ayah kamu.”Zahra menghela nafas panjang. Dia kembali sesak saat mengingat perkataan Gibran tadi siang. Suaminya itu kembali memukul mundur dirinya tanpa melakukan kontak fisik. Secara verbal saya, Gibran sudah sangat menyakiti hatinya.“Jika nanti benar-benar sudah tidak sanggup,” —Zahra menatap anaknya dengan lekat. Tanpa sadar air matanya kembali menetes—, “Buna minta maaf. Tapi Buna sangat menyayangi kamu sampa
Sinar mentari tersenyum begitu lebar, memancarkan rasa hangat yang meliputi dua anak manusia yang tidur saling memeluk. Entah sadar atau tidak dengan posisi ini, tetapi mereka terlihat begitu nyenyak sekaligus nyaman.Jika seperti ini, keduanya terlihat seperti pasangan suami istri —yang sebenarnya—. Tidak ada kata-kata menyakitkan yang terucap dan kecewa saat mendengarnya.Perlahan-lahan, kedua mata yang terpejam itu mulai mengerjap. Keningnya sempat mengerut saat merasakan gangguan dari sinar mentari. Bahkan, tangannya digerakkan untuk menutup kedua mata, mencoba menghalau agar cahaya sang mentari tak.mengenai langsung wajahnya.“Enghh,” lenguhnya sambil menguap.Sedetik kemudian, tubuhnya terasa kaku. Matanya membulat sempurna saat melihat dada bidang seseorang. Dia tidak ingin merasa di atas awan dulu. Ia ingin memastikan apakah ini mimpi atau bukan.“Ini benaran?” tanyanya sambil menutup mata.Perlahan-lahan, kepalanya mendongak. Ia kembali membeku saat melihat pemilik dada bidan
Perjalanan ke Jakarta dirasa begitu lama oleh Gibran. Beberapa kali dia kehilangan konsentrasi. Beruntung, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sampai akhirnya dia sampai di kantor tepat waktu.Sesampainya di kantor, dia langsung disambut oleh Devan. Tangannya meletakkan bekal yang dibawakan oleh Zahra. Dia langsung duduk di sofa single. Tatapan matanya terkunci pada kotak bekal yang baru saja ia letakkan. Lagi-lagi pikirannya berkecamuk.Matanya terpejam, tangannya saling menjalin. Ia kembali mengingat kejadian di rumah mertuanya. Tanpa Zahra sadari, Gibran mendengar apa pun yang dikatakan istrinya itu. Dia sudah terbangun tepat sebelum Zahra bangun. Awalnya dia ingin menjauhkan tubuhnya. Sayang, Zahra sudah terlanjur bangun.“Allah. Jangan bangunkan aku kalau semua ini hanya mimpi. Jikalah ini nyata, tolong berikan aku waktu sedikit lagi untuk menikmati kenyamanan ini.”Gibran terdiam mendengar perkataan istrinya. Entah mengapa dia seakan membeku, tidak bisa melakukan apa pun
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas