Berada dalam posisi sulit terkadang membuat seseorang ingin menyerah. Terlebih jika beberapa cara yang dilakukan dan diupayakan tidak bisa memecahkannya. Begitu pula yang dirasakan Zahra saat ini. Rasanya, dia ingin sekali menyerah dengan pernikahannya ini. Namun, janjinya terhadap mendiang kakaknya membuat Zahra kembali bimbang. Selain itu, ada Nazira yang menjadi pertimbangan terberat baginya.“Doakan Buna ya, Sayang.” Zahra menatap Nazira dengan lekat. Tangannya mengusap dengan lembut —penuh kehati-hatian— pipi Nazira. “Semoga Buna diberikan kekuatan untuk berada di sisi ayah kamu.”Zahra menghela nafas panjang. Dia kembali sesak saat mengingat perkataan Gibran tadi siang. Suaminya itu kembali memukul mundur dirinya tanpa melakukan kontak fisik. Secara verbal saya, Gibran sudah sangat menyakiti hatinya.“Jika nanti benar-benar sudah tidak sanggup,” —Zahra menatap anaknya dengan lekat. Tanpa sadar air matanya kembali menetes—, “Buna minta maaf. Tapi Buna sangat menyayangi kamu sampa
Sinar mentari tersenyum begitu lebar, memancarkan rasa hangat yang meliputi dua anak manusia yang tidur saling memeluk. Entah sadar atau tidak dengan posisi ini, tetapi mereka terlihat begitu nyenyak sekaligus nyaman.Jika seperti ini, keduanya terlihat seperti pasangan suami istri —yang sebenarnya—. Tidak ada kata-kata menyakitkan yang terucap dan kecewa saat mendengarnya.Perlahan-lahan, kedua mata yang terpejam itu mulai mengerjap. Keningnya sempat mengerut saat merasakan gangguan dari sinar mentari. Bahkan, tangannya digerakkan untuk menutup kedua mata, mencoba menghalau agar cahaya sang mentari tak.mengenai langsung wajahnya.“Enghh,” lenguhnya sambil menguap.Sedetik kemudian, tubuhnya terasa kaku. Matanya membulat sempurna saat melihat dada bidang seseorang. Dia tidak ingin merasa di atas awan dulu. Ia ingin memastikan apakah ini mimpi atau bukan.“Ini benaran?” tanyanya sambil menutup mata.Perlahan-lahan, kepalanya mendongak. Ia kembali membeku saat melihat pemilik dada bidan
Perjalanan ke Jakarta dirasa begitu lama oleh Gibran. Beberapa kali dia kehilangan konsentrasi. Beruntung, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sampai akhirnya dia sampai di kantor tepat waktu.Sesampainya di kantor, dia langsung disambut oleh Devan. Tangannya meletakkan bekal yang dibawakan oleh Zahra. Dia langsung duduk di sofa single. Tatapan matanya terkunci pada kotak bekal yang baru saja ia letakkan. Lagi-lagi pikirannya berkecamuk.Matanya terpejam, tangannya saling menjalin. Ia kembali mengingat kejadian di rumah mertuanya. Tanpa Zahra sadari, Gibran mendengar apa pun yang dikatakan istrinya itu. Dia sudah terbangun tepat sebelum Zahra bangun. Awalnya dia ingin menjauhkan tubuhnya. Sayang, Zahra sudah terlanjur bangun.“Allah. Jangan bangunkan aku kalau semua ini hanya mimpi. Jikalah ini nyata, tolong berikan aku waktu sedikit lagi untuk menikmati kenyamanan ini.”Gibran terdiam mendengar perkataan istrinya. Entah mengapa dia seakan membeku, tidak bisa melakukan apa pun
Perjalanan pulang ke Bandung terasa lebih berwarna dengan keberadaan Devan. Lelaki itu memutuskan ikut ke kota Kembang dengan alasan ingin menyegarkan pikiran. Beruntung dia memiliki sahabat seperti Gibran yang suka rela ditumpangi.“Lo nggak ada niatan buat batalin kerja sama dengan Pak Leon?” tanya Devan tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.Gibran melihat sahabatnya sekilas, lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Kerja sama ini sangat menguntungkan.”“Ta—”“Nggak usah dipedulikan. Tujuan kita hanya kerja sama,” ucap Gibran kembali fokus pada jalan.‘Semoga Lo tetap konsisten dengan perkataan Lo, Gib. Gue mau yang terbaik untuk sahabat gue,’ ucap Devan sungguh-sungguh. Meski matanya menatap depan, pikiran Gibran tengah melanglang buana.“Oh ya, gimana perasaan Lo pada Zahra?” tanya Devan sambil menatap Gibran penuh godaan. “Udah cinta belum sama dia?”“Nggak gimana-mana.” Gibran masih fokus pada jalan. “Cinta gue cuma buat Humaira. Nggak yang lain.”“Gibran, Gibran. Heran gue sama Lo.”
Geram tak bisa lagi tertahankan dalam hati Gibran. Tatapan lelaki itu berubah tajam, seolah menjadi predator yang tengah mengintai dua mangsanya. Baru saja dia tinggalkan tidak lebih dari satu hari, keduanya sudah kembali bersama.Tsk, tidak bisa dibayangkan kalau seandainya Gibran meninggalkan Zahra selama satu bulan. Entah apa yang mereka lakukan tanpa sepengetahuan dirinya. Bisa saja mereka mela—Tidak, tidak mungkin keduanya melakukan hal sampai sejauh itu. Dia yakin Zahra adalah wanita terhormat. Namun, kenapa dia membiarkan lelaki itu mengusap puncak kepalanya beberapa kali. Sialan memang mereka.“Nggak Lo bukan cemburu!” Gibran menggelengkan kepala. Dia mengelak segela perasaan tidak nyaman hingga muncul prasangka-prasangka tidak buruk tentang istri dan mantan pacarnya.“Sial! Tidak seharusnya mereka melakukan itu!” ucap Gibran dengan tangan mencengkeram setir kemudi.Gibran terus menatap ke arah keduanya. Entah mengapa dia tidak segera mendekat dan menegur mereka. Bisa saja di
Atmosfer makan malam kali ini terasa begitu berbeda. Tidak ada celetukan-celetukan kecil yang biasanya keluar dari mulut Zahra. Wanita itu bungkam, meski masih melayani suaminya dengan sangat telaten. Seolah kata-kata menyakitkan dari Gibran tidak memberikan dampak apa pun pada hatinya. Hanya saja, sikap diam itu membuat Gibran bertanya-tanya. Ada apa dengan istrinya? Tidak biasanya wanita itu sangat pendiam. Iris matanya sesekali mencuri pandang dari sudut mata. Wanita itu memang terlihat sangat berubah. “Kita bicara di ruang keluarga!” Ucapan tegas dari Papa Bagas tidak bisa dihindarkan. Bahkan, beliau sudah beranjak ke ruang keluarga setelah mengisi perutnya dengan masakan istri tercinta. Dia ingin membahas tadi sore. Dia ingin meminta penjelasan dari sudut pandang Gibran setelah terjadi itu. “Jadi, apa yang membuat kamu adu jotos dengan Daffa?” tanya Papa Bagas langsung pada intinya. Gibran menghela nafas panjang. “Maaf, Pa. Gibran mengaku salah.” “Bukan itu yang papa tanyaka
Kebahagiaan memang bisa datang kapanpun dan dimanapun, setelah badai sekalipun. Itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Wanita itu terus menerus tersenyum saat memandikan putri kecilnya. Bahkan, Zahra sesekali mencium putrinya, gemas sendiri saat mengingat kejadian tadi malam.“Ya ampun, Nak. Papa kamu kenapa manis sekali kemarin malam?” tanya Zahra sambil menatap anaknya yang menggerakkan tangan.“Buna rasanya mau meleleh.”Pipi Zahra kembali memerah. Dia teringat perkataan Gibran. Astaga, jantungnya sudah berdetak tidak menentu. “... melainkan bibir saya langsung!”“... bibir saya langsung.”“... langsung.”“Ya Allah,” ucapnya sambil memejamkan mata. Tangannya yang ada di dada bisa merasakan detak jantung yang tidak beraturan.“Baru begini saja aku sudah sangat bahagia. Jika engkau izinkan, saya mohon agar jalan hamba mendapatkan hati suami dipermudah.”Zahra berharap dalam hati dengan sangat. Dia menganggap kejadian kemarin menunjukkan perubahan Gibran. Setidaknya, lelaki itu sudah m
Permainan basket antara Gibran dan Devan terjadi begitu ketat. Beberapa kali Gibran mencetak poin dan membuat Devan berdecak kesal. Pun dengan Devan saat mencetak poin, Gibranlah yang berdecak kesal.Sebenarnya, Devan tidak dirugikan apa pun jika kalah. Dia hanya akan kehilangan beberapa rupiahnya. Namun beda halnya dengan Gibran. Lelaki itu diharuskan mencium istrinya tepat di bibir. Devan melakukan ini semata-mata ingin mendekatkan Gibran dan Zahra. Dia tidak tega melihat Zahra berjuang sendirian dalam pernikahan ini. Devan ingin Gibran mulai membuka hati dan memperlakukan Zahra dengan semestinya.“Lo akan kalah, Gib,” ledek Devan sambil menggiring bola dan akhirnya berhasil mencetak poin.“Yess,” sorak Devan sambil mengepalkan kedua tangannya. Dia menatap penuh ejekan ke arah Gibran.Sementara itu, Gibran berdecak sebal. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Peluh sudah membanjiri wajah dan seluruh badannya. Sial! Devan mampu mengejar poin dan mendekati dirinya. Bisa-bisanya
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas