Berdebar tidak menentu, rasanya jantung sudah loncat dari tempatnya. Zahra dan Gibran, keduanya terlihat canggung. Yang terjadi di lapangan tadi benar-benar di luar perkiraan keduanya. Dan ciuman itu, adalah ciuman pertama mereka setelah tiga bulan pernikahan. Sekaku dan sedingin itulah hubungan pernikhan mereka selama ini.Teruntuk Gibran sendiri, dia semakin merasakan perbedaan dalam hatinya. Padahal, tadi hanya kecupan, bukan ciuman panas yang biasa ia lakukan saat bersama Humaira. Namun, kenapa jantungnya berdetak tak karuan?Apakah dia mulai mencintai Zahra?!‘Tidak mungkin aku jatuh cinta pada pengasuh anakku sendiri,’ bantah Gibran di dalam hati. Kedua tanganya mengepal di garis celana yang ia gunakan. Dia benar-benar tengah menahan perasaan bergejolak di dalam hatinya“Mas, yang ta—”“Kamu jangan salah paham! Semua itu hanya hukuman karena saya kalah dari Devan.” Gibran tetap mendang luruh. “Saya tadi taruhan dengan Devan dan kecupan itu sebagai tantangannya!”Deg!Hati Zahra
Menjalin hubungan dengan baik dan berakhir dengan hal tak terduga membuat siapapun tidak siap menerimanya, begitu pula dengan Daffa. Mulutnya memang dengan mudah mengatakan ikhlas. Hanya saja, hati berbicara lain. Selalu ada ruang untuk dirinya merasa menyesal melepaskan Zahra.Daffa tak munafik apabila Zahra menemukan orang yang lebih baik dari dirinya, dia akan berusaha untuk ikhlas. Sayang, yang ia lihat beberapa hari lalu membuat dirinya menarik keputusan itu. Zahra tidak pantas mendapatkan lelaki seperti Gibran.Tidak, Daffa tidak merasa jauh lebih baik dari Gibran. Hanya saja Gibran tidak rela jika Zahra diperlakukan sedemikian rupa. Wanita itu terlalu baik. Dulu, Zahra lebih banyak mengalah demi Humaira. Dan kini, pwanita itu harus kembali membalas atas permintaan Humaira.“Kenapa, Ra? Kenapa kamu hanya diam saja!” teriak Daffa sambil memukul setir kemudinyamJujur saja, Daffa sakit hati melihat Gibran mencium Zahra. Namun, apa hendak dikata. Dia tidak memiliki hak untuk merasa
Pagi menjelang, matahari mulai menampakkan eksistensinya. Sinar terangnya menggambarkan semangat baru yang membara, begitu pula yang dirasakan oleh Daffa. Jujur, dia jauh lebih tenang setelah bercerita, berkeluh kesah kepada Sang Pencipta. Daffa rasa, itu pilihan terbaik daripada bercerita pada orang lain.Hari ini, Daffa memiliki jam kuliah pagi. Maka dari itu, dia sudah bangun sedari subuh. Kini, dia sudah selesai membersihkan diri dan mengenakan kaos hitam dengan kemeja kotak-kotak, dilengkapi celana hitam dan sepatu putih.Pesona ketampanan Daffa terlihat begitu jelas. Dia salah satu idola di kampus. Hanya saja, Zahra lah yang berhasil memenangkan hatinya, sebelum diharuskan berpisah. Huh, rasanya menyesakkan setiap kali mengingat nasib asmaranya.“Tenang, Daf. Lo nggak mungkin terus menerus berdiam diri di posisi ini,” ucap Daffa setelah menghela nafas panjang.Setelah mengatakan itu, Daffa melangkah menuruni tangga. Sesampainya di anak tangga terakhir, kepalanya menoleh ke berba
Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya, baru kemarin dia datang ke Bandung. Sekarang, dia sudah diharuskan untuk kembali ke ibu kota. Rasanya, sangat tidak rela meninggalkan tanah kelahiran tercinta.Sesuai dengan rencana mereka, Minggu pagi ini mereka akan kembali pulang. Sejak kemarin, Zahra sudah mulai mempersiapkan keperluan dirinya, terutama Nazira. Pakaian Gibran pun sudah selesai ia kemas. “Kita akan pulang, Sayang.” Zahra menatap sang anak yang sudah rapi dengan pakaiannya. Dia lalu menggendong Nazira, menuruni setiap anak tangga yang ada. Tujuannya adalah ruang keluarga tempat keluarga yang berkumpul.Saat sampai di sana, Zahra melihat Gibran dan Papa Bagaskara tengah berbincang. Untuk beberapa saat, langkah Zahra berhenti. Dia kembali merasakan sesak saat melihat Gibran. Pengakuan lelaki itu tentang taruhan yang terjadi membuat dirinya terluka.“Ra, kenapa kamu diam di sana?” tanya Papa Bagas setelah menyadari kehadiran anaknya.Zahra yang mendengarnya mengulas senyum sekila
Empat hari berlalu, suasana di sekitar Gibran dan Zahra masih saja dingin. Keduanya tidak saling bertegur sapa. Bahkan, Zahra beberapa kali melengos waktu melihat Gibran. Dia masih belum bisa melupakan kata-kata suaminya tentang ‘bahan taruhan’ masih membekas begitu dalam.“Bi, semua masakan sudah saya siapkan. Nanti, minta tolong panaskan waktu Mas Gibran mau sarapan.” Zahra menghela nafas panjang. Jam masih menunjukkan pukul setengah lima, tetapi dia sudah harus pergi.“Mamangnya Non Zahra mau ke mana?” tanya Bi Jum dengan kening mengkerut. Wanita paruh baya itu tidak bisa menahan rasa penasarannya.Zahra mengulas senyum manis. “Hari ini saya berangkat pagi karena mau pergi ke Cirebon. Nanti saya akan kirim pesan ke Mas Gibran langsung.”Bi Jum membuat gestur seperti hormat. “Siap, Non. Nanti saya siapkan makanannya.”“Terima kasih, Bi. Saya siap-siap, dulu. Titip Nazira untuk hari ini, ya.”“Iya, Non. Tidak perlu khawatirkan Non Zira. Masyaallah, dia gadis kecil yang peka dengan ke
Termenung, gelisah, itu yang dirasakan Gibran saat ini. Lelaki itu sama sekali tidak bisa konsentrasi, padahal dia tengah membaca kontrak kerjasama dengan Pak Leon. Sesekali matanya melirik ke arah ponsel. Tangannya menekan aplikasi pengirim pesan. Decakan kesal terdengar nyaring saat tak menjumpai aka yang ia inginkan. Sial, kemana sebenarnya dia. Mengapa tak mengirimkan pesan satu pun. “Lek lagi ngelihatin apa?” tanya Devan saat melihat Gibran terus menatap ke arah ponsel. Gibran yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung menekan tombol power. Lelaki itu kembali memfokuskan perhatian pada dokumen. Meskipun begitu, Gibran tetap tidak fokus dengan pekerjaannya. “Lo lagi mikirin Zahra?” tebak Devan dengan tatapan meledek. Lelaki dengan setelah kerja itu menatap sahabat sekaligus tangan kanannya dengan tajam. Dia sangat tidak menyukai kata-kata itu. Hanya saja, Gibran tahu pasti yang dikatakan Devan tidak sepenuhnya salah. Sebagian fokusnya memang sudah ambyar setelah mendenga
Perjalanan Jakarta-Cirebon ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Mereka mengira tidak akan terjebak macet saat berangkat pagi hari. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Mereka tetap saja terjebak macet hingga perjalanan molor satu jam setengah.“Astaga, punggung gue,” keluh Putri setelah mobil berhenti di halaman yang sangat luas. Daffa yang mendengarnya hanya bisa memutar mata. “Lebih capek gue! Kalian mah enak bisa molor, lah gue?”“Itu mah resiko lo. Masa cewek mau nyetir?” tanya Putri sambil menatap kedua sahabatnyaZahra mengangguk, lalu terkekeh. “Kali ini aku setuju sama Putri. Kamu ‘kan satu-satunya cowok di kelompok ini. Jadi, ya sedikit lebih banyak berkorban,” ucap Zahra membuat Daffa menghela nafas panjang.Setelah mengatakan itu, mereka turun dari mobil. Mereka langsung disambut oleh masyarakat. Sambutan hangat mereka dapatkan. Sungguh, rasanya sangat senang melihat keantusiasan masyarakat.“Selamat datang di desa kami, Nak,” ucap Pak Manto sebagai kepala
“Zahra.”Panggilan itu membuat Zahra menjauhkan ponsel, tanpa mematikannya. Sebelah wanita itu terangkat, seolah bertanya pada Daffa yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya.“Kenapa, Daf?’ tanya Zahra karena Daffa tak kunjung membuka suara.Daffa menggaruk kepalanya. Dia tadi mengira Zahra sudah tidur. “Nggak apa-apa, sih.”“Lah, terus kenapa kamu ke kamar aku? Katanya tadi mau istirahat?”Tanpa mereka tahu, Gibran sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Tangannya mengepal, rahangnya mengetat mendengar nama yang disebut oleh Zahra. Akhirnya, dia tahu siapa lelaki yang menjemput istrinya tadi.‘Ternyata kamu pergi dengan mantan pacarmu!’Gibran tidak suka dengan kenyataan itu. Seolah ada sesuatu yang memberontak dalam dirinya. Untuk kesekian kalinya pula, Gibran mengelak rasa tak nyaman itu. Dia terus berlindung pada kewajiban Zahra, seperti kontrak yang sudah mereka sepatu.Hanya saja, Gibran melupakan satu point penting dalam kontrak itu. Tidak boleh ikut campur urusan pribadi masin
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas