Termenung, gelisah, itu yang dirasakan Gibran saat ini. Lelaki itu sama sekali tidak bisa konsentrasi, padahal dia tengah membaca kontrak kerjasama dengan Pak Leon. Sesekali matanya melirik ke arah ponsel. Tangannya menekan aplikasi pengirim pesan. Decakan kesal terdengar nyaring saat tak menjumpai aka yang ia inginkan. Sial, kemana sebenarnya dia. Mengapa tak mengirimkan pesan satu pun. “Lek lagi ngelihatin apa?” tanya Devan saat melihat Gibran terus menatap ke arah ponsel. Gibran yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung menekan tombol power. Lelaki itu kembali memfokuskan perhatian pada dokumen. Meskipun begitu, Gibran tetap tidak fokus dengan pekerjaannya. “Lo lagi mikirin Zahra?” tebak Devan dengan tatapan meledek. Lelaki dengan setelah kerja itu menatap sahabat sekaligus tangan kanannya dengan tajam. Dia sangat tidak menyukai kata-kata itu. Hanya saja, Gibran tahu pasti yang dikatakan Devan tidak sepenuhnya salah. Sebagian fokusnya memang sudah ambyar setelah mendenga
Perjalanan Jakarta-Cirebon ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Mereka mengira tidak akan terjebak macet saat berangkat pagi hari. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Mereka tetap saja terjebak macet hingga perjalanan molor satu jam setengah.“Astaga, punggung gue,” keluh Putri setelah mobil berhenti di halaman yang sangat luas. Daffa yang mendengarnya hanya bisa memutar mata. “Lebih capek gue! Kalian mah enak bisa molor, lah gue?”“Itu mah resiko lo. Masa cewek mau nyetir?” tanya Putri sambil menatap kedua sahabatnyaZahra mengangguk, lalu terkekeh. “Kali ini aku setuju sama Putri. Kamu ‘kan satu-satunya cowok di kelompok ini. Jadi, ya sedikit lebih banyak berkorban,” ucap Zahra membuat Daffa menghela nafas panjang.Setelah mengatakan itu, mereka turun dari mobil. Mereka langsung disambut oleh masyarakat. Sambutan hangat mereka dapatkan. Sungguh, rasanya sangat senang melihat keantusiasan masyarakat.“Selamat datang di desa kami, Nak,” ucap Pak Manto sebagai kepala
“Zahra.”Panggilan itu membuat Zahra menjauhkan ponsel, tanpa mematikannya. Sebelah wanita itu terangkat, seolah bertanya pada Daffa yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya.“Kenapa, Daf?’ tanya Zahra karena Daffa tak kunjung membuka suara.Daffa menggaruk kepalanya. Dia tadi mengira Zahra sudah tidur. “Nggak apa-apa, sih.”“Lah, terus kenapa kamu ke kamar aku? Katanya tadi mau istirahat?”Tanpa mereka tahu, Gibran sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Tangannya mengepal, rahangnya mengetat mendengar nama yang disebut oleh Zahra. Akhirnya, dia tahu siapa lelaki yang menjemput istrinya tadi.‘Ternyata kamu pergi dengan mantan pacarmu!’Gibran tidak suka dengan kenyataan itu. Seolah ada sesuatu yang memberontak dalam dirinya. Untuk kesekian kalinya pula, Gibran mengelak rasa tak nyaman itu. Dia terus berlindung pada kewajiban Zahra, seperti kontrak yang sudah mereka sepatu.Hanya saja, Gibran melupakan satu point penting dalam kontrak itu. Tidak boleh ikut campur urusan pribadi masin
Tidak ada yang bisa mengalihkan fokus Gibran pada pekerjaan, sebelumnya. Namun, semenjak menikah dengan Zahra, ada saja yang membuatnya tidak fokus.Kemarin, dia tidak bisa sepenuhnya fokus karena mengingat Zahra dijemput oleh lelaki. Saat tahu siapa lelaki itu, dia kembali tidak tenang. Kembali Zahra membuatnya tidak tenang saat meminta izin untuk menginap.Sebenarnya, menginap merupakan hal wajar saat melakukan penelitian. Dia juga pernah melakukan penelitian dan itu memerlukan waktu yang tak sebentar. Hanya saja, yang membuat tidak tenang adalah dalam kelompok itu ada lelaki bernama Daffa. Dimana lelaki itu adalah mantan pacar dari istrinya.“Sialan,” umpat Gibran untuk kesekian kalinya di pagi ini. Sejak tadi, Gibran tidak bisa benar-benar tenang. Dia memikirkan apa yang terjadi semalam, selama Zahra menginap. Istrinya itu tidur dengan siapa? Apakah Zahra berdekatan dengan Daffa, atau … Gibran sampai tidak berani melanjutkan tebakannya.“Lo kenapa?” Devan menatap atasannya dengan
“Siapa, sih? Silau banget lampunya,” gerutu Zahra sambil terus menutup wajahnya dengan lengan kanan.Daffa yang mendengarnya langsung menarik Zahra agar membelakangi mobil itu. Jujur saja dia juga kesal dengan tingkah pengendara itu. Kenapa harus menyorot lampu ke arah mereka. Dia juga penasaran, siapa pengemudi mobil itu.“Siapa sih?” Zahra menyipitkan mata guna melihat pengendara mobil yang menurutnya sangat iseng.Untuk sesaat, Zahra merasa seperti mengenal mobil itu. Dia pernah melihatnya. Hanya saja, dia lupa kapan dan dimana. Rasa penasaran yang menggebu, membuat Zahra tak puas. Dia melirik body mobil sampai tatapannya berhenti di plat mobilnya.“B 91B7 R—”Belum selesai membacanya, mata Zahra membulat sempurna. Akhirnya dia bisa mengingat siapa pemilik plat nomor itu. Zahra langsung bergegas berdiri dan menghampiri seseorang yang masih bertahan di dalam mobil itu.“Mas,” sapanya dengan senyum ceria. Dia tidak menyangka Gibran akan benar-benar datang menemuinya.Lagi-lagi Gibran
Tidak pernah ada dalam bayangan Gibran akan menyusul Zahra sampai ke Cirebon. Memang wanita itu yang meminta tolong. Hanya saja, Zahra tidak memaksa dirinya untuk datang. Wanita itu juga bilang bisa pergi ke toko terdekat untuk membelinya. Seolah ada sesuatu yang menggerakkan hatinya Selain itu, Gibran memiliki perasaan tidak tenang yang disimpan sejak kemarin. Memikirkan Zahra selalu berdekatan dengan Daffa membuatnya terusik. Gibran memang masih tidak mau mengakui bahwa Zahra sudah berhasil mengambil perhatiannya. Hal itu bertolak belakang dengan sikapnya akhir-akhir ini.“Mas,” panggil Zahra saat melihat suaminya berdiri di ambang pintu.Hari ini, Zahra dan Gibran menempati kamar yang sebelumnya ditempati Daffa. Lelaki itu menawarkan diri untuk pindah ke kamar yang sebelumnya dipergunakan sebagai tempat sholat berjamaah. Jujur saja, Zahra merasa sungkan dengan lelaki itu karena terkesan mengusir.“Kamu … nggak apa-apa ‘kan tidur di kamar ini?” tanya Zahra perlahan. Dia takut Gibra
Waktu berlalu begitu cepat. Langit yang semula gelap, kini sudah terang. Sinar mentari mulai tersenyum, menyapa setiap orang yang mulai berkegiatan. Tidak berbeda dengan Daffa, Adel, dan Putri yang sudah berlari kecil di sekitar taman dekat desa.“Huh huh huh, lama nggak lari, sekalinya lari udah kayak kehilangan nafas,” ujar Putri dengan nafas terengah.“Lo aja yang malas kalau gue ajak olah raga,” celetuk Adel dengan kening penuh butiran keringat.Daffa yang melihat keduanya hanya bisa menggelengkan kepala. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, dia memberikan air mineral. Ia tadi sempat berhenti di warung kecil untuk membeli minum.“Akhirnya, ada yang peka juga sama gue,” ujar Putri langsung meminum air yang diberikan Daffa.“Hati-hati!” tegur Daffa saat melihat Putri sedikit tergesa-gesa. “Nggak akan ada yang minta, Put.”Wanita itu tak menghiraukan Daffa. Setelah puas minum, ia baru menjauhkan botol dan mengusap mulutnya. “Gue aus banget. Btw, thanks, Daf. Lain kali jangan cuma m
Zahra, dia sama sekali tidak menyangka akan mengalami kejadian tidak mengenakkan. Dia baru pertama kali mendapatkan demo dengan tuduhan kumpul kebo. Semua itu terjadi hanya gara-gara ada ibu-ibu yang melihat Gibran datang dengan mobil mewah.Saat pertama kali datang, beliau memang terlihat sangat tidak menyukai kehadiran Zahra dan sahabatnya, terlebih Zahra yang menjadi primadona. Melihat ada kesempatan —Daffa dan yang lain lari pagi— beliau menyebarkan gosip. Naasnya, ibu-ibu yang lain langsung percaya, meski tidak semuanya.Dari kejadian itu, Zahra mengambil satu hikmah. Dia menjadi diakui Gibran sebagai istri di depan orang banyak. Hati istri mana yang tidak bahagia saat diakui suami, padahal sebelumnya hanya dianggap sebagai pengasuh. Bukankah itu kemajuan dalam hubungan mereka?Di balik pengakuan itu, ada lelaki yang terluka. Semua penggarapannya seperti tertutup setelah pengakuan secara terang-terangan itu. Dia tidak memiliki jalan untuk kembali bersama dengan sang pujaan hati.
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas