Waktu berlalu begitu cepat. Langit yang semula gelap, kini sudah terang. Sinar mentari mulai tersenyum, menyapa setiap orang yang mulai berkegiatan. Tidak berbeda dengan Daffa, Adel, dan Putri yang sudah berlari kecil di sekitar taman dekat desa.“Huh huh huh, lama nggak lari, sekalinya lari udah kayak kehilangan nafas,” ujar Putri dengan nafas terengah.“Lo aja yang malas kalau gue ajak olah raga,” celetuk Adel dengan kening penuh butiran keringat.Daffa yang melihat keduanya hanya bisa menggelengkan kepala. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, dia memberikan air mineral. Ia tadi sempat berhenti di warung kecil untuk membeli minum.“Akhirnya, ada yang peka juga sama gue,” ujar Putri langsung meminum air yang diberikan Daffa.“Hati-hati!” tegur Daffa saat melihat Putri sedikit tergesa-gesa. “Nggak akan ada yang minta, Put.”Wanita itu tak menghiraukan Daffa. Setelah puas minum, ia baru menjauhkan botol dan mengusap mulutnya. “Gue aus banget. Btw, thanks, Daf. Lain kali jangan cuma m
Zahra, dia sama sekali tidak menyangka akan mengalami kejadian tidak mengenakkan. Dia baru pertama kali mendapatkan demo dengan tuduhan kumpul kebo. Semua itu terjadi hanya gara-gara ada ibu-ibu yang melihat Gibran datang dengan mobil mewah.Saat pertama kali datang, beliau memang terlihat sangat tidak menyukai kehadiran Zahra dan sahabatnya, terlebih Zahra yang menjadi primadona. Melihat ada kesempatan —Daffa dan yang lain lari pagi— beliau menyebarkan gosip. Naasnya, ibu-ibu yang lain langsung percaya, meski tidak semuanya.Dari kejadian itu, Zahra mengambil satu hikmah. Dia menjadi diakui Gibran sebagai istri di depan orang banyak. Hati istri mana yang tidak bahagia saat diakui suami, padahal sebelumnya hanya dianggap sebagai pengasuh. Bukankah itu kemajuan dalam hubungan mereka?Di balik pengakuan itu, ada lelaki yang terluka. Semua penggarapannya seperti tertutup setelah pengakuan secara terang-terangan itu. Dia tidak memiliki jalan untuk kembali bersama dengan sang pujaan hati.
“Liya,” ujar Mama Tania saat melihat wanita cantik di belakangnya.Liya wanita di depannya ini adalah mantan kekasih aldaei Gibran, sebelum dengan Humaira. Hubungan mereka sempat dalam pembicaraan serius untuk melaju ke tahap yang lebih serius. Namun, entah mengapa hubungan mereka semakin renggamh setelah pertemuan dan berujung pisah. Saat itu, Mama Tania hanya menganggap hal wajar dan kedua tidak ditakdirkan untuk bersama.Liya, wanita itu langsung menghampiri Mama Tania. Dia mencium punggung tangan, lalu cipika-cipiki dengan Mama Tania. Tentu saja dia sangat mengenal wanita paruh baya di depannya ini.“Astaga … ini beneran kamu, Sayang?” Mama Tania merangkum wajah Liya. “Kapan kamu pulang ke Indo, Sayang?” tanya Mama Tania dengan senyum lebarnya.“Sudah satu bulan yang lalu, Tan kalau nggak salah,” jawab Liya dengan suara lembutnya. “Tante sama siapa? Sendiri?”“Oh iya, Tante sampai lupa.” Mama Tania memukul pelan keningnya. “Kamu belum makan siang, ‘kan?” Kalau begitu makan sama Ta
Manusia hanya bisa merencanakan, tetapi masih ada Allah yang menentukan. Itulah yang terjadi pada Gibran. Lelaki itu akhirnya kalah oleh rasa sakit. Dia tidak bisa lagi menahan rasa pusing dan tidak enak pada badannya yang sudah ia rasakan sejak kemarin.Setelah mandi dan berencana untuk kembali ke Jakarta, badan Gibran tiba-tiba menggigil. Lelaki itu bahkan sampai tidak bisa membuka mata dengan gigi bergemeletuk. Baru kali ini dia merasakan sakit ditubuhnya setelah sekian lama.“Mas, makan dulu, ya,” bujuk Zahra sambil membawa satu nampan berisi bubur dan teh jahe hangat.“Tidak. Saya tidak lapar,” tolak Gibran dengan mata terpejam.Saat ini, lelaki itu tengah berbaring di atas kasur dengan tubuh bergelung dibawah selimut. Ruang kamar ini tidak memakai AC, tapi Gibran tetap merasakan hawa dingin menyentuh permukaan kulitnya.“Lapar nggak lapar harus makan, Mas. Nanti bagaimana minum obatnya kalau tidak makan dulu.” Zahra meletakkan tanga
Zahra, wanita itu menundukkan kepala. Di dalam hati, dia terus memohon ampun karena sempat membandingkan suaminya dengan mantan kekasihnya. Meskipun ada perjanjian yang tidak melarang hubungan dengan lawan jenis, Zahra tetap tidak bisa mengkhianati pernikahan ini. Dia ingin menjaga diri untuk harga diri suaminya. Biarkan Gibran melakukan apa pun.“Ra,” panggil Daffa meraih tangan Zahra. Kali ini, dia menahan saat Zahra ingin menarik tangannya.“Lepas, Daf!” Zahra mencoba menarik tangannya sekuat tenaga. “Ak—”“Ra,” panggil Daffa dengan lembut. “Berhenti kalau kamu kesakitan. Berhenti kalau kamu terluka. Aku sakit melihat kamu memaksakan diri, tetapi tidak dihargai oleh suami kamu.”“Daffa!” Zahra menyentak tangan mantan kekasihnya saat merasa Daffa sudah terlalu jauh. “Ingat, aku ini istri orang! Kamu tidak bisa memegangku sesuka hatimu!”Dada Zahra turun naik, memperlihatkan betapa marahnya dia saat ini. “Kamu, kamu tidak berhak berkata seperti itu. Aku hargai nasihat dari kamu. Teri
Penutupan di balai desa berlangsung cukup. Banyak warga yang memberikan buah tangan untuk mereka. Tidak sedikit, ibu-ibu pemilik usaha yang merasa sedih dengan kepergian Zahra dan teman-teman yang ramah, serta mau membantu.Setelah selesai, Zahra dan kawan-kawan, serta suaminya bergegas kembali ke posko. Barang-barang sudah siap angkut. Mereka hari ini akhirnya kembali ke ibu kota.“Akhirnya selesai juga.” Putri mendesah lega sambil menggerakkan badannya.“Semoga proposal kita di ACC,” harap Zahra sambil menengadahkan tangan.Adel, Putri, dan Daffa kompak mengaminkan. Usaha mereka sudah maksimal untuk pengajuan judul. Bahkan, mereka terjun langsung untuk meneliti di tempat yang sesuai.“Mari pulang,” celetuk Gibran membubarkan lamunan mereka.“Eh.” Zahra cukup terkejut saat melihat tangan Gibran menarik tangannya perlahan. “Mas, aku kira kamu masih istirahat.”“Saya baik-baik saja,” elak Gibran dengan wajah pucat. Namun, suhu badannya tidak sepanas sebelumnya.Zahra spontan memegang k
Pada akhirnya, sisa perjalanan diambil alih oleh Zahra. Dia sempat khawatir saat Gibran kembali demam. Namun, lelaki itu tidak mau ke rumah sakit, padahal mereka beberapa kali melewati rumah sakit daerah. Lelaki itu lebih memilih untuk segera sampai rumah. Beberapa kali, Zahra menatap ke arah samping. Tangannya tidak pernah berhenti menyentuh kening Gibran, memastikan demam lelaki itu semakin tinggi atau turun. “Mas, mau makan lagi? Kita berhenti di rumah makan ya,” tawar Zahra sambil mengusap kening Gibran saat mereka berhenti di lampu merah. “Tidak.” Gibran tetap memejamkan mata, meski tidak tertidur selama perjalanan. “Saya hanya ingin segera sampai rumah,” lanjutnya dengan suara serak. “Mas, kamu demam lagi loh. Aku khawatir sama kamu. Kita ke rumah sakit sebentar ya. Buat pastikan aja kalau kamu baik-baik saja,” ucap Zahra dengan pandangan kembali fokus ke depan. “Lebih baik kamu fokus! Saya ingin segera istirahat,” sanggah Gibran dengan nada semakin tegas. Zahra tidak lagi
Tiga hari sudah Gibran terbaring lemah tidak berdaya. Keadaan yang tidak membaik, suhu badannya yang tidak kunjung turun membuat orang rumah memutuskan Gibran membawa ayah satu anak itu ke rumah sakit. Dan kemarin, Gibran sudah mulai dirawat inap.Selama dirawat, Zahra lah yang paling banyak menunggu lelaki itu. Jika ada jam kuliah, dia akan ke kampus. Setelah selesai, Zahra kembali ke rumah untuk menemani Nazira sebelum akhirnya ke rumah rakit menemani suaminya.Jujur saja Zahra lelah harus bolak-balik rumah dan rumah sakit. Namun, sudah menjadi kewajiban istri menjaga suami dan anak. Bisa tidak bisa, Zahra harus membagi waktunya.“Eh … lagi tidur ya,” ucap Zahra saat melihat Gibran memejamkan mata. “Aku mau istirahat sebentar kalau begitu.” Zahra merebahkan tubuh di sofa empuk ruang rawat Gibran.Tidak ingin mengganggu sang suami, Zahra membuat gerakan sepelan mungkin. Dia tidak ingin suaminya batal istirahat. Namun, dugaannya ternyata salah. “Baru pulang?”“Eh.” Zahra langsung me
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas