Tiga hari sudah Gibran terbaring lemah tidak berdaya. Keadaan yang tidak membaik, suhu badannya yang tidak kunjung turun membuat orang rumah memutuskan Gibran membawa ayah satu anak itu ke rumah sakit. Dan kemarin, Gibran sudah mulai dirawat inap.Selama dirawat, Zahra lah yang paling banyak menunggu lelaki itu. Jika ada jam kuliah, dia akan ke kampus. Setelah selesai, Zahra kembali ke rumah untuk menemani Nazira sebelum akhirnya ke rumah rakit menemani suaminya.Jujur saja Zahra lelah harus bolak-balik rumah dan rumah sakit. Namun, sudah menjadi kewajiban istri menjaga suami dan anak. Bisa tidak bisa, Zahra harus membagi waktunya.“Eh … lagi tidur ya,” ucap Zahra saat melihat Gibran memejamkan mata. “Aku mau istirahat sebentar kalau begitu.” Zahra merebahkan tubuh di sofa empuk ruang rawat Gibran.Tidak ingin mengganggu sang suami, Zahra membuat gerakan sepelan mungkin. Dia tidak ingin suaminya batal istirahat. Namun, dugaannya ternyata salah. “Baru pulang?”“Eh.” Zahra langsung me
“Ra.”Panggilan itu membuat perhatian Zahra pada Liya teralihkan. Wanita itu bergegas menatap sang suami. Dia tidak ingin kehilangan fokus dan membuat suaminya tidak mendapat perhatian.“Kenapa, Mas?” Zahra langsung menyentuh kening Gibran. “Ada yang sakit? Kamu membutuhkan sesuatu?”Gibran menggelengkan kepala. “Bisa pijat kening saya? Kepala saya pusing.”“Aku panggilkan dokter saja, ya,” ujar Zahra. Meskipun begitu, Zahra tetap memberikan pijatan di kening suaminya. “Mau ya Mas.” Dia terus membujuk suaminya.“Tidak perlu!” tolak Gibran sambil memejamkan mata. Menikmati pijatan Zahra yang cukup membuatnya puas.Mama Tania yang melihat pemandangan itu diam-diam mengulas senyum. Dia senang jika Gibran mulai bertingkah baik pada Zahra. Semoga saja Gibran bisa memberikan keadilan pada Zahra. Dia tidak bermaksud meminta Gibran melupakan Humaira. Hanya saja, dia ingin Gibran menatap masa depan dengan melihat masa lalu sebagai pembelajaran.“Ibran sakit apa, Tan?”Zahra yang mendengar itu
Kepala Gibran rasanya berdenyut hebat. Dia belum sembuh sepenuhnya. Hanya saja, dia tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu. Zahra, satu nama itu yang membuatnya tidak tenang sejak kemarin. Bukan, lebih tepatnya setelah kedatangan Aulia.Gibran merasa Zahra menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak pernah mengajaknya berbicara lebih dulu. Zahra menjadi lebih suka memberikan jawaban, itu saja hanya singkat dan padat. Tidak ada lagi Zahra yang cerewet seperti biasanya. Dan entah mengapa, Gibran merasa kehilangan, tetapi tidak tahu apa itu.“Berangkat sekarang?”“Iya,” jawab Zahra singkat.Nah, seperti inilah yang membuat Gibran sejak kemarin tidak bisa tenang. Dia terus menebak-nebak sekiranya apa yang membuat istrinya tiba-tiba berubah diam. Namun, otaknya tidak bisa bekerja. Dia tidak pernah memikirkan hal tidak penting, seperti ini sebelumnya. Hanya dengan Zahra saja dirinya menjadi receh.“Sama siapa?” tanya Gibran kembali membuka mulut.Zahra menatap Gibran sekilas, lalu memutuskan ko
“Siapa yang suruh kamu pegang-pegang saya?” tanya Gibran seolah tanpa dosa.Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Zahra mengerjap beberapa kali. Dia cukup terkejut mendengar pertanyaan ketus dari sang suami. Sungguh, ada apa dengan suaminya hari ini? Kenapa tiba-tiba berubah ketus. Seharusnya, dia yang masih marah karena kejadian kemarin.“Minggir!” perintah Gibran sambil menatap tajam ke arah Zahra. “Kenapa kamu pegang-pegang saya?”Zahra yang sudah berhasil menguasai diri berdecak kesal. “Astaghfirullah, Mas. Aku gitu yang salah? Orang kamu duluan yang narik aku.“Saya hanya ingin kamu duduk di samping saya. Bukan,” —Gibran menatap Zahra yang masih berada di atasnya—, “malah tiduran di atas tubuh saya. Ingat, saya ini masih sakit. Jangan curi-curi kesempatan.”Mata Zahra membulat sempurna. Ini beneran dirinya dituduh mencuri kesempatan? Ya Tuhan, kenapa suaminya hari ini sangat menyebalkan untuknya. Pandai sekali membalikkan fakta.Zahra menarik nafas, lalu mengembuskan ya dengan perlaha
“Loh, Ra. Kok Lo di luar, sih?”Pertanyaan itu sukses membuat Gibran yang sibuk menatap foto Humaira terhenyak. Lelaki itu menengadahkan kepala. Dia melihat pintu ruang rawat inapnya terbuka sedikit. Satu lagi, dia bisa mendengar suara Devan. Apa Zahra sudah kembali? Apa dia di sana sejak tadi? Mungkinkah, wanita itu mendengar apa yang ia katakan?Pertanyaan itu memenuhi kepala Gibran. Ia ingin sekali menghampiri keduanya dan memastikan apa yang ada di pikirannya. Meskipun tubuhnya masih lemah, Gibran memaksakan diri. Dengan tertatih, dia berjalan perlahan, membawa selang infus di tangan kirinya.“He … kenapa Lo bangun!!” seru Devan dengan mata melotot saat melihat Gibran membuka pintu.“Mas, kamu kenapa jalan-jalan, sih?” tanya Zahra dengan mata melotot tajam. Dia langsung menghampiri Gibran dan meletakkan tangan Gibran di bahunya.“Seharusnya kamu itu banyak istirahat, Mas. Mau kemana sih, ‘kan bisa panggil suster kalau mau sesuatu,” ujar Zahra sambil menuntun Gibran ke ranjangnya.
Pembicaraan serius dengan Devan nyatanya sudah terjadi dua hari yang lalu. Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Ada banyak kejadian selama Gibran melakukan rawat inap di rumah sakit, salah satunya adalah kedatangan wanita bernama Aurelia.Nyatanya, wanita itu tidak hanya datang sekali —waktu bersama Mama Tania—. Wanita itu datang dua hari yang lalu setelah Devan memberikan petuah. Kehadiran wanita itu seakan menjadi tanda.“Kamu jangan banyak gerak, Mas!” tegur Zahra saat melihat Gibran sudah berkutat dengan laptop, padahal selang infus belum waktunya dilepas.“Saya sudah lebih baik!” jawab Gibran begitu singkat tanpa mau menatap Zahra.Wanita itu langsung menatap Gibran. Jujur saja, dia merasa sedih dengan perubahan suaminya. Gibran kembali menjadi sosok yang dingin dan abai akan dirinya. Padahal, Zahra sudah berharap Gibran benar-benar membuka hati setelah sikap baiknya beberapa saat lalu.“Permisi.”Suara itu membuat Zahra menengadahkan kepala. Keningnya langsung mengerut saat
Senyum matahari langsung menyambut eksistensi Zahra di dapur. Wanita itu sudah berkutat sejak pukul lima pagi, lebih tepatnya setelah shalat subuh. Dia berniat membuatkan sarapan pagi untuk Gibran. Suaminya itu baru saja sembuh. Oleh karena itu, dia berencana mengatur menu makan Gibran. Suaminya itu masih tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan pedas dan asam.“Mau bibi bantu, Non?”Pertanyaan itu membuat Zahra menolehkan kepala. Dia mengulas senyum manis dan langsung menyambut kedatangan Bi Jum dengan sapaan hangat.“Boleh, Bi.” Zahra kembali mengaduk sup ayam. “Lebih tepatnya sih, nunggu supnya matang.”“Oalah, saya kira masih banyak,” sahut Bi Jum dengan senyum sungkan. “Maaf ya, Non. Bibi lagi kurang enak badan.”“Loh, bibi sakit? Kalau begitu … bibi istirahat saja. Nggak usah bekerja dulu.” Zahra langsung memberikan perhatian pada Bi Jum. “Atau perlu saya panggilkan dokter?”Bi Jum langsung menggelengkan kepala dengan tegas. “Bibi sudah lebih baik, Non. Kemarin sudah beli obat d
Hari menjelang siang. Akan tetapi, tidak melunturkan niat Zahra untuk memasak menu makan siang untuk suami tercinta, lalu mengantarkan, seperti biasanya. Sikap Gibran pagi tadi coba Zahra abaikan. Dia berpikir bahwa suaminya sedang pusing dengan pekerjaan yang tertunda selama sakit.Kali ini, dia membuatkan menu makanan kesukaan Gibran. Dengan senyum ceria, Zahra memasukkan semua menu ke dalam kotak bekal yang ia susun dengan rapi. Ternyata, masak tidak memerlukan banyak waktu, apalagi saat memikirkan siapa yang akan menikmati masakan kita.“Bi,” panggil Zahra pada Bi Jum yang tengah menggendong Nazira.Kedua mertuanya sudah kembali pulang. Kini, tinggallah dia, Bi Jum, dan Mang Tarjo selama Gibran kerja. Saat memasak tadi, dia memang menitipkan putri kecilnya pada asisten rumah tangannya itu.“Sudah mau berangkat, Non?” tanya Bi Jum saat melihat tas berisikan kotak makan susun yang tengah Zahra bawa.Wanita itu menganggukkan kepala. Senyumnya semakin mengembang saat melihat Nazira me
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas