Beranda / Pernikahan / Adik Ipar Pengganti Istri / Bab 5 | Surat Perjanjian

Share

Bab 5 | Surat Perjanjian

Penulis: Intan Tanzza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-20 14:03:00

Matahari mulai terbenam, menunjukkan cahaya jingga yang sangat cantik. Kesibukan semakin terlihat jelas saat waktu pelaksanaan kirim doa semakin dekat. Orang yang paling sibuk selama acara adalah Zahra. Wanita itu seolah tak memiliki lelah dan terus bergerak memastikan segalanya.

"Mbak, nggak ada yang kurang, kan?" tanya Zahra pada Mbak Wati yang mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab dapur.

Mbak Wati yang tengah memotong semangka menengadahkan kepala. "Nggak ada Mbak. Lauknya sudah, nasinya juga sudah."

"Camilan? Buah?"

Mbak Wanti menengadahkan kepala. "Sudah siap Mbak. Ini tinggal potong semangkanya saja."

Zahra bisa bernafas lega pada akhirnya. Setelah sekali lagi memastikan semuanya, dia baru bisa bernafas lega. Zahra memilih untuk kembali ke kamar. Dia ingin memanggil Gibran dan memandikan Nazira, sebelum dirinya mandi.

"Mas, bangun." Zahra sebanyak tak tega membangunkan tidur Gibran. Namun, dia harus melakukannya. Zahra takut tamu datang, tuan rumah justru tidak ada.

"Enghhh," lenguh Gibran saat merasakan tidurnya terganggu. "Kenapa?" tanyanya saat melihat Zahra berdiri tidak jauh dari dirinya.

"Sudah sore, Mas. Lebih baik Mas Gibran siap-siap. Takutnya nanti tamu datang, tuan rumahnya belum ada," jelas Zahra. Jujur, dia masih ingat peristiwa menyakitkan tadi sore. Dia hanya mencoba mengabaikan semua rasa sakitnya.

"Hm."

Setelah menjawab itu, Gibran beranjak dan berjalan menuju kamar mandi. Lelaki itu bergegas membersihkan diri. Sementara itu, Zahra mulai disibukkan dengan membangunkan putri cantiknya.

Setiap celotehan lucu yang keluar dari mulut Nazira, selalu Zahra jawab. Zahra ingin mulai membiasakan Nazira mendengar kata-kata baru yang keluar dari mulut di sekitarnya. Bahkan, Zahra tak segan menegur jika ada seseorang yang berkata kasar atau jorok di dekat Nazira.

"Mas, bajunya sudah aku siapkan," ucap Zahra sambil menunjuk baju Koko warna maroon dan sarung hitam di gantungan. 

Jujur saja, Zahra mengucapkan itu dengan perasaan tak tentu. Zahra takut Gibran akan mengabaikan perkataannya dan memiliki mengenakan pakaian lain. Tidak masalah juga bagi Zahra. Akan tetapi, tetap terasa menyesakkan bagi dirinya.

"Hm."

"Ya?" Zahra mengerjakan mata sambil menatap Gibran. Dia hanya takut salah dengar. "Ma–maksud kamu?"

"Apa?" Gibran tak ambil pusing dengan pertanyaan Zahra. Dia lebih memilih bergegas bersiap dan meninggalkan kamar setelah selesai.

Tatapan mata Zahra terus mengajak pada pintu gamar. Bibir bawahnya ia gigit cukup kuat. Zahra mencoba meredam perasaan ingin berteriak. Jujur, perlakuan Gibran menimbulkan letupan-letupan bahagia di hati Zahra. Dia merasa dihargai. Semoga saja ini pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya.

"Dek, doakan Buna ya supaya Ayah bisa bersikap seperti itu terus," ucap Zahra dengan senyum merekah. Ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan bahagianya.

Hari semakin larut, lantunan ayat kursi dan doa-doa yang terdengar tadi sudah berhenti. Acara hari ini telah berakhir dengan lancar. Tidak ada kendala berarti selama pengajian berlangsung. Nazira, bayi kecil itu juga tidak rewel saat dibawa di tengah-tengah pengajian. Bagi mungil itu seakan tahu bahwa orang-orang yang berkumpul hendak mendoakan bundanya.

Pak Herman mengulas senyum sambil mengulurkan tangannya. "Saya turut berduka atas meninggalnya Nyonya Humaira Pak Gibran."

"Terima kasih Pak Herman," ucap Gibran pada salah satu rekan kerjanya. "Mohon doa terbaiknya untu almarhum istri saya."

"Pasti Pak Gibran," sahut nyonya Berta, istri dari Tuan Herman. 

Gibran akhirnya kembali ke ruang tengah setelah basa basi dengan Nyonya Berta dan Tuan Herman. Lelaki itu mengambil tempat duduk di samping Zahra yang tengah menggendong Nazira.

"Gimana Bran perasaan kamu?" tanya Papa Wira pada anak tunggalnya.

Gibran menatap semua orang, lalu mengulas senyum segaris. "Seperti yang Papa lihat. Aku berusaha waras untuk Zira."

"Kamu juga jangan lupa kalau sudah memiliki tanggung jawab baru," imbuh Mama Tania sambil menatap Zahra yang menundukkan kepala.

"Hem."

Gibran memutuskan kembali ke kamar terlebih dahulu. Tidak lama setelah itu, Zahra mengikuti dengan Nazira yang masih terbangun. Sepertinya, hari ini Nazira akan melewatkan jadwal tidurnya. Gadis kecil itu masih ingin bermain dengan kedua orang tuanya.

"Perlu aku siapkan baju ga—

Gibran menoleh sekilas, lalu menjawab dingin, "Tidak usah! Kamu urus saja Nazira." 

Lelaki itu sudah hendak menuju kamar mandi. Namun, langkahnya berhenti, seperti ada sesuatu yang tertinggal. Hal itu tertangkap jelas di mata Zahra.

"Kenapa, Mas?" tanya Zahra dengan kening mengerut. "Ada yang ketinggalan?"

"Saya ingin bicara dengan kamu. Pastikan kamu belum tidur saat saya kembali!" jawab Gibran tanpa sibuk balik badan menatap Zahra.

Setelah itu, barulah Gibran benar-benar beranjak ke kamar mandi. Dia meninggalkan Zahra yang terlihat dilanda kebingungan. Baru kali ini Gibran berbicara cukup panjang pada dirinya dan hal itu semakin memantik rasa penasarannya, meski tidak bisa dipungkiri ada perasaan tak nyaman yang menyelinap.

"Ayah mau bicara apa ya Kak?" tanya Zahra pada putrinya yang menatap dirinya. "Eh … tangannya nggak boleh masuk mulut, ya. Kan kotor, belum cuci tangan kita," larang Zahra sambil menarik tangan Nazira menjauh dari area mulut.

Zahra direngkuh kegelisahan setiap detik. Setelah selesai mandi, Gibran beranjak dari kamar belum kembali lagi hingga sekarang. Saat ia bertanya pada orang rumah, mereka mengatakan Gibran di ruang kerja. 

Ingin menyusul, Zahra mendadak ragu hingga mengurungkan niat. Dia belum pernah ke ruang kerja Gibran sama sekali. Maka dari itu, dia memutuskan untuk kembali lagi ke kamar. Lagi pula, Nazira sudah harus tidur. Zahra takut tidak tidur tepat waktu membuat Nazira terbiasa.

Ceklek.

Jantung Zahra rasanya berhenti berdetak saat itu juga. Dia bisa mencium harum parfum yang mulai ia kenal. Ia bingung harus melakukan apa saat ini. Jujur saja, satu ruangan dengan Gibran membuat suasana canggung, meski sudah satu minggu lamanya.

“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Gibran dengan nada dingin. Sudah menjadi kebiasaan jika berbicara dengan Zahra. Dia tak bisa berpura-pura berbicara lembut.

Saat itu juga, Zahra langsung membuka kedua matanya. Dia langsung menegakkan posisinya dan bersandar di kepala ranjang. “Bisa Mas. Mau bicara ap—”

“Buka!” titah Gibran sambil memberikan amplop coklat. Setelah itu, Gibran mendudukkan diri di sofa. “Silakan baca baik-baik. Jika ada yang kurang paham, silakan bertanya!”

Entah mengapa perasaan Zahra sangat resah. Berulang kali ia mengatur nafas. Jantungnya benar-benar berdetak cepat. Nyatanya, kekhawatiran Zahra terbukti kebenarannya saat dia melihat beberapa lembar kertas dengan judul SURAT PERJANJIAN.

Mata Zahra langsung menatap Gibran yang tengah melipat kedua tangan di dada sambil menatap dirinya. Dia bisa merasakan sengatan perih saat matanya tanpa sadar menatap satu kalimat pembuka. Senyum mirisnya terlihat begitu samar, hingga Gibran sendiri tak mampu melihatnya.

“Apa maksudnya semua ini, Mas?” tanya Zahra dengan mata mulai mengembun. “Bisa tolong jelaskan? Aku benar-benar tidak paham,” ucap Zahra memaksakan diri menatap Gibran.

“Saya ingin membuat perjanjian dengan kamu!” Gibran menghela nafas panjang. “Maaf Zahra, saya harus mengatakan ini, meskipun terdengar menyakitkan. Saya tidak bisa menganggap kamu lebih. Setiap kali melihat kamu, saya justru melihat Humaira. Di mata saya, hanya ada Humaira, begitu pula dengan hati saya yang sepenuhnya milik Humaira.

“Maka dari itu, saya membuat perjanjian itu. Saya hanya tidak ingin kamu terlalu berharap pada pernikahan ini. Setiap poin sudah jelas tertera di kertas itu. Kamu tidak berhak mengatur kehidupan pribadi saya, begitupun sebaliknya. Kamu masih bisa menjalankan aktivitas kamu seperti biasanya, asalkan tidak melupakan tanggung jawab untuk Nazira.

“Jika suatu saat kamu bertemu dengan lelaki yang bisa membahagiakanmu, maka saya akan melepaskan kamu. Saya tak ingin memenjarakan kamu. Silakan lakukan apa pun yang kamu lakukan.”

Zahra memang mengharapkan Gibran berbicara panjang lebar dengan dirinya. Akan tetapi, bukan dalam konteks menyakitkan, seperti ini. Kata yang keluar dari mulut Gibran bagaikan belati yang menghunus tajam ke jantungnya.

“Saya juga akan tetap menjalankan kewajiban saya pada kamu, kecuali hal itu. Tidak perlu saya menjelaskan lebih detail apa yang saya maksudkan,” imbuh Gibran semakin menyakiti perasaan Zahra.

Senyum getir terlihat di wajah Zahra yang tengah menunduk. Tangannya sampai bergetar saat matanya membaca setiap kata yang tertulis di kertas ini. Rasanya, Zahra ingin menyobek dan melemparkan kertas ini ke arah Gibran. Namun, tangannya terlalu bergetar untuk melakukannya. Tenaganya seperti terkuras habis.

“Apa perlu ada surat perjanjian?” tanya Zahra dengan bibir bergetar.

Gibran menghela nafas. Dia tahu jika keputusan ini menyakiti Zahra. Dia melakukan ini bukan tanpa alasan. Keputusan ini juga melindungi Zahra agar tidak terluka lebih jauh lagi.

“Maaf, tapi itu sudah keputusan saya.”

Apa yang harus dirinya lakukan saat ini? Menandatangani surat perjanjian ini? Bukankah artinya dia menyetujui setiap isinya dan bersiap berpisah dengan Nazira jika Gibran menemukan sosok wanita yang mampu menggetarkan hatinya lagi?

Tidak! Zahra tidak bisa kehilangan Nazira. Dia tak masalah jika berjauhan dengan Gibran meski Gibran adalah cinta pertamanya, tetapi tidak dengan Nazira. Dia sudah terlanjur sayang dengan gadis kecilnya.

“Bolehkah aku menambahkan satu poin?” tanya Zahra dengan bergetar. Mata sembabnya menatap Gibran.

Diam-diam, Gibran merasakan hatinya diterpa perasaan tak nyaman melihat mata lembab Zahra. Namun, secepatnya Gibran mengenyahkan perasaan itu. Dia lebih memilih mengalihkan tatapan agar tak melihat mata Zahra.

“Mas, aku boleh menambahkan satu point?” tanya Zahra mengulang.

“Tentu. Kamu boleh menambahkan poin di dalam surat perjanjian itu.”

Perempuan itu mengulas senyum, lalu mengangguk. “Kalau begitu, aku cuma mau menuliskan izinkan aku berjuang untuk mendapatkan hati kamu,” ucap Zahra dengan bersungguh-sungguh. Matanya terus menatap Gibran dengan tatapan lekat.

“Zahra kamu ak—”

“Biarkan aku berjuang dulu, Mas.” Zahra mengulas senyum manis. “Jika aku gagal, aku akan dengan sendirinya menyerah atas kamu.”

Gibran akhirnya menghela nafas panjang. Dia tidak bisa menolak karena Zahra juga tak menolak setiap poin yang ia tuliskan. Gibran hanya berharap Zahra tak akan tersakiti kedepannya.

Semenatara itu, Zahra mulai membubuhkan tanda tangan di kertas dengan air mata mengucur jelas. Hatinya terus berdoa agar keyakinannya tidak berakhir hampa. Semoga Tuhan mendengarkan setiap doanya. Semoga Tuhan membukakan hati Gibran agar bisa menerima dirinya.

‘Semoga aku bisa menjalankan amanahmu, Mbak.’

Bab terkait

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 6 | Diabaikan

    Mata sembab, kepala pusing, itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Tadi malam, ia terlalu banyak menangis. Dengan berat hati, dia menandatangani surat perjanjian yang rasanya mengoyak harapannya. Dengan penuh kepercayaan diri, dia berani mengajukan satu poin di perjanjian, izin berusaha membuka hati Gibran. Dia akan berusaha mendapatkan hati suaminya itu. Berbagai cara akan ia lakukan. Akan tetapi, Zahra tidak akan melakukan dengan cara kotor. Huh, beruntung sekali anggota keluarga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing setelah acara tahlilan. Zahra tidak perlu mencari alasan mengapa matanya terlihat bengkak, seperti hari ini. "Kamu pasti bisa, Zahra." Zahra menyakinkan diri sekuat tenaga. "Pasti akan ada jalan." Setelah mengikat rambut, Zahra lantas beranjak. Ia melihat box bayi di sebelahnya. Ternyata Nazira masih tidur pulas di box bayinya. Melihat Nazira yang masih anteng, Zahra bergegas ke dapur. Ia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan membuat sarapan untuk sang suami. Me

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-22
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 7 | Mengungkit Posisiku

    Memasak, bangun pagi, memandikan Nazira menjadi rutinitas Zahra setiap harinya. Dulu, dia memang kerap bangun pagi. Namun, kini rasanya jauh lebih berbeda. Dia merasa dibalik itu semua ada tanggung jawab yang harus dirinya emban. Meskipun begitu, Zahra merasa tidak terbebani karena Zahra sangat menikmatinya. Kuliah? Sebenarnya dirinya mengalihkan jadwal kuliahnya dari yang semula offline menjadi daring selama dua minggu ini. Dia kerap mengirimkan tugas yang diberikan dosen di kala waktu senggang. Zahra ingin menikmati waktu bersama Nazira dulu. Jika keadaan sudah terlihat memungkinkan, Zahra akan kembali mengambil kelas offline. ‘Semoga Mas Gibran suka sama masakan aku. Dan aku berharap, kali ini Mas Gibran mau mencicipinya,’ ucap Zahra dalam hati sambil menutup matanya sekilas. ‘Semangat, Zahra. Lupakan yang terjadi kemarin!’ Zahra tidak ingin kejadian kemarin merusak suasana hatinya. Biarlah yang sudah terjadi, berlalu begitu saja. Dia hanya perlu fokus dengan yang ada di depan mat

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-23
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 8 | Haruskah Menyerah?

    "Kamu itu hanya pengasuh untuk Nazira. Jangan berharap bisa menggantikan posisi Humaira!" Kedua mata Zahra terpejam mendengar kata menyakitkan itu kembali terdengar. Tidak, kali ini kata yang keluar dari mulut Gibran lebih menyakitkan. Iya, Zahra mengingat dirinya tak bisa menggeser posisi Humaira. Dia tidak akan membantahnya. "Ingat posisi kamu, Zahra. Kamu hanya sekadar ibu pengasuh bagi Humaira. Jangan bertingkah diluar batas tugas dan perjanjian yang kita sepakati!!" ucap Gibran dengan sangat tegas. Ia kembali menekankan posisi Zahra di rumah ini beserta bagi Gibran dan Nazira. "Berhenti bersikap sesuka hati!" "Iya, Mas. Aku ingat itu," jawab Zahra sambil mengulas senyum ke arah Gibran. Setelah mengatakan itu, Gibran melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia meninggalkan segala kekacauan yang sudah ia buat. Gibran sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya menyakiti hati Zahra atau tidak. Ah, atau bisa saja sebenarnya Gibran menampik rasa bersalah setelah menyakiti Zahra denga

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-25
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 9 | Terus Menyangkal

    Perubahan yang terjadi di dalam hidup membuat Zahra hampir tidak bisa beradap tadi. Kesibukannya bertambah dua kali dan kini ada tanggung jawab yang ia emban. Rasanya, Zahra ingin menangis.Jika biasanya ada Humaira yang menjadi tempatnya bercerita, berkeluh kesah, kini semuanya berubah. Zahra diharuskan berpijak pada kedua kakinya sendiri, menyimpan segala resah, kekecewaan, dan sakit hati. Beruntung masih ada keluarga yang memberikan dukungan moril, meski tidak tahu apa yang sudah ia lewati.Setelah hampir satu bulan kuliah dari h, Zahra akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah offline. Semesteran sudah di depan matanya. Dia harus masuk karena mendengarkan penjelasan langsung membuat Zahra lebih nyaman dalam belajar."Pagi, Non," sapa Bi Jum saat melihat Zahra sudah berada di dapur, seperti kebiasaan sebelumnya.Zahra yang tengah menumis menolehkan kepala. Senyum hangatnya menyambut wanita paruh baya yang kini menjadi sosok orang tua untuknya di kediaman pribadi Gibran. "Pagi, Bi."

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-26
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 10 | Orang Tak Perlu Tahu

    Mas, aku izin ke kampus ya. Aku berangkat, assalamualaikum.Itulah isi pesan yang Zahra kirimkan pada Gibran. Tangannya masih senantiasa memegang ponsel, dia berharap ada pesan balasan yang dikirimkan Gibran. Namun, sampai lima menit menunggu, pesannya hanya centang satu. Hal itu membuat Zahra mengulas senyum getir."Jangan patah semangat, Ra. Hari ini, fokus dulu sama kuliah."Setelah itu, Zahra benar-benar meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, Zahra menyenandungkan lagu Jawa yang tengah ia gemari, kisinan 2. Jujur saja, dia cukup tersentil dengan liriknya karena menggambarkan dirinya saat ini. Meski begitu, dia tidak akan patah semangat.Dua puluh menit perjalanan, akhirnya Zahra sampai di kampus. Sepanjang koridor, dia menerima ucapan belasungkawa dari teman-teman yang ia kenal, baik satu organisasi dengan dirinya atau teman kelas Humaira. Dia sangat senang karena Humaira memiliki teman-teman yang sangat baik."Zahra !!!" panggil perempuan yang diketahui bernama Adel.Dia salah

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-26
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 11 | Iya, Aku Salah

    Terhitung sudah lima hari Zahra kembali menjalankan kuliah secara langsung. Selama hampir sepekan itulah, Zahra kembali merasakan perbedaan. Jika sebelumnya dia tidak harus datang ke kampus dan bisa sepenuhnya fokus ke Nazira, kini fokusnya sedikit terbagi. Meskipun begitu, ,ahra berhasil beradaptasi dengan cepat.“Mas, nanti aku ada kerja kelompok. Mungkin pulangnya agak sore,” jelas Zahra pada Gibran saat tengah mengantar Gibran ke depan.Langkah lelaki itu berhenti. Keningnya mengerut sambil menatap lekat Zahra. “Di mana?” tanya Gibran singkat. Bukankah memastikan keamanan Zahra menjadi tanggung jawabnya sebagai suami.“Di kafe dekat kampus. Cari yang tengah-tengah,” jelas Zahra. Tangannya terangkat untuk Salim ke Gibran.Tanpa banyak Drama, Gibran mengulurkan tangannya. Dia juga mulai terbiasa dengan aktivitas paginya. Zahra, selalu melakukannya tanpa diminta sekalipun.“Hm. Saya berangkat,” pamitnya sebelum masuk mobil.Saat Gibran tengah siap-siap, Zahra tak beranjak sedikitpun.

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-27
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 12 | Saya Minta Maaf

    Sakit hati dan perasaan bersalah kini bergelung jadi satu dalam relung hati Zahra. Tangisnya tak bisa ditahan kan lagi saat sampai di kamar Nazira. Dia terus mendekap bayi mungil yang masih terlihat sangat tidak nyaman dengan perubahan suhu di dalam tubuh. “Ssssttt, ini Buna, Nak,” ucap Zahra sambil menimang Nazira yang ada dalam dekapannya. Sesekali tangannya bergerak menghapus air mata yang menetes sedikit-sedikit. Tadi, Zahra hampir terkena serangan jantung saat melihat Mama Tania berdiri di ambang pintu. Dadanya berdebar hebat, terlebih perempuan itu datang bertepatan dirinya dan Gibran bertengkar hebat, disertai tangis hebat dari Nazira. Zahra tidak tahu apa yang tengah mertuanya pikirkan saat ini. Tadi, dia langsung disuruh Mama Tania masuk kamar dan membawa Nazira untuk menenangkan diri. Sesampainya di kamar, tangisnya justru pecah. “Buna ke kamar mandi dulu, ya,” pamit Zahra sambil meletakkan Nazira ke box kembali. Buruk, wajahnya saat ini terlihat sangat buruk. Lihatnya k

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-28
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 13 | Kepergok

    “Minggu depan rencananya mau ada seminar. Lo nggak ikut?” Celetukan itu berhasil menarik atensi Zahra. Wanita itu tengah mengerutkan kening, matanya sesekali menatap ponsel. Ia tengah dilanda gelisah karena tadi pagi badan Nazira kembali demam. Hanya saja, dia tidak bisa menemani Zira. Hari ini ada dua mata kuliah yang melaksanakan penilaian. Jika bukan matakuliah pilihan dan bersifat wajib, Zahra tidak akan terlalu pusing. Namun, ini justru sebaliknya. Zahra terpaksa meninggalkan harus meninggalkan anaknya. “Siapa pematerinya?” tanya Zahra, dia tertarik karena berkesempatan menambah jumlah sertifikatnya. Adel yang mendengar pertanyaan Zahra langsung mendekat. “Suami lo,” jawab Adel sambil berbisik. Zahra langsung terdiam mendengar jawaban Adel. Sungguh, dia cukup terkejut dengan perkataan Adel. Gibran memang sering menjadi pembicara di seminar, baik nasional maupun internasional. Hanya saja, ia tak mengira jika kampurnya berhasil mendapatkan seorang Gibran sebagai pembicara. “

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-29

Bab terbaru

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 76

    “Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 75

    “Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 74

    “Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 73 | Surat Pengadilan Agama

    “Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 72 | Restu Orang Tua

    “Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 71 | Minta Maaf

    “Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 70 | Melihatnya

    “Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 69 | Sama-Sama Membutuhkan

    “Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 68 | Firasat Ibu

    Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas

DMCA.com Protection Status