Home / Pernikahan / Adik Ipar Pengganti Istri / Bab 4 | Sulit Menggapainya

Share

Bab 4 | Sulit Menggapainya

Author: Intan Tanzza
last update Last Updated: 2023-11-20 14:02:20

Lantunan ayat suci terdengar begitu menenangkan jiwa. Tidak ada yang bisa menolak merdunya ayat suci. Setiap ayat memiliki arti yang berbeda, terdapat juga selingan doa-doa yang ditujukan untuk semua orang, terutama Humaira.

Ya, hari ini acara tahlil tujuh harian Humaira. Tidak menyangka bahwa Humaira sudah tujuh hari pergi meninggalkan semua orang, meninggalkan bayi cantik. Hal yang paling menyedihkan adalah saat Nazira belum bisa melihat ibu kandungnya secara langsung. Namun, semua orang yakin jika Humaira tak pergi dari hati anak perempuannya. Wanita itu akan selalu terkenang di hati sang anak.

“Mbak Zahra, masih ada yang kurang?” tanya Wati, salah satu tetangga yang membantu memasak untuk acara hari ini.

“Kayaknya nggak ada Mbak Wat. Nanti kalau ada yang kurang, bisa bilang ke Bi Jum. Atau kalau nggak, bisa langsung bilang ke saya saja,” ujar Zahra sambil melihat kebutuhan yang akan digunakan hari ini.

Seperti hari sebelumnya, Zahra menjadi tokoh penting dalam acara tujuh harian ini. Satu hari sebelum acara, Zahra sudah berbelanja keperluan dapur, baik dari bumbu-bumbu, beras, kelapa, bahkan kebutuhan protein untuk hari ini. Selain itu, dia juga dibantu Papa Wira —Papa Gibran— dan Papa Bagas untuk mencari kambing. Beruntung, ada tetangga yang memiliki kenalan hingga tak terkendala apa pun.

“Baik kalau begitu, Mbak. Saya ke belakang dulu membantu yang lain.”

Zahra mengangguk sambil mengulas senyum. “Terima kasih ya Wat. Oh ya, jangan sungkan kalau mau amil suguhan sama minum. Itu semua saya siapkan untuk orang yang rewang hari ini.”

Wati turut mengangguk. “Iya, Mbak Zahra. Saya permisi dulu.”

Setelah memastikan dapur aman, Zahra yang masih mengenakan gamis lengkap dengan kerudungnya kembali ke depan. Dia duduk di sebelah Mama Tanida dan Mama Nadira. Mereka melantunkan ayat-ayat suci bersama.

“Semuanya aman, Sayang?” tanya Mama Tania dengan halus.

“Aman Tante,” jawab Zahra.

“Kok Tante, Mama sayang. Sekarang saya juga Mama kamu,” bisik Tania menahan tawa melihat wajah kikuk menantunya.

Meskipun sudah resmi menyandang status sebagai menantu, Zahra beberapa kali salah memanggil. Ya mau bagaimana, dia sudah terbiasa memanggil Tania dengan sebutan Tante.

“Eh, i–iya, Ma,” ralat Zahra dengan kikuk.

Tes, tanpa terasa satu tetes air mata mengalir membasahi pipinya. Sekelebat ingatan tentang kebersamaan membuat dirinyanya merindukan Humaira. Zahra kembali mengingat bagaimana Humaira membelanya saat dirinya difitnah oleh teman-teman. Saat SMA, Humaira pernah membantu dirinya terbebas dari hukuman karena ketahuan membolos dan masih banyak lagi kenangan indah bersama Humaira.

Humaira adalah sosok kakak yang diidam-idamkan seluruh adik. Jika salah, Humaira tidak segan menegur dengan keras. Seandainya benar, Humaira juga tak segan membela, meski banyak yang menentang. 

"Kenapa sayang?" tanya Mama Nadia. Dia mendengar tangis tertahan dari sisi sebelahnya. "Ikhlas sayang," ucap Mama Nadia dengan mata mulai memanas. Ia langsung menarik Zahra ke dalam dekapan hangatnya. 

"Kita sama-sama berusaha ikhlas, ya," ucap Mama Nadia sambil menepuk pelan punggung Zahra yang bergetar. "Kita kuat. Kita tidak boleh membuat jalan Humaira terasa berat di sana."

Ya, memang berat untuk Zahra. Namun, Zahra harus kembali kuat. Benar yang dikatakan sang Mama. Dia memiliki Nazira. Tanggung jawabnya bertambah saat ini. Bayi mungil itu masih memerlukan dirinya untuk mengisi posisi ibu. Zahra tak akan mengatakan dirinya 'menggantikan' posisi ibu. Sampai kapan pun, Ibu kandung Nazira hanya satu, Humaira. Jika nantinya dia akan dipanggil dengan sebutan Ibu, Zahra tidak akan menolak.

Di sisi lain, Gibran tengah memandang Nazira yang tengah tertidur. Bayi mungil itu terlihat tak terganggu dengan kehadirannya. Ia mulai hafal kapan Nazira bangun dan kapan waktunya tidur dan sebentar lagi adalah waktu bagi Nazira untuk bangun. Gibran sudah tak sabar lagi melihat Nazira membuka kedua matanya.

"Sayang," ucap Gibran dengan lembut saat Nazira perlahan membuka kedua mata dan merengek. 

Dengan cekatan, Gibran menimang Nazira. Sebagai seorang ayah, Gibran menyadari dirinya sedikit abay dengan Nazira saat bersedih atas kepergian sang istri. Namun, sekarang dirinya sudah mulai terbiasa. Ya, meski terasa berbeda karena kali ini yang ia lihat pertama kali setelah bangun tidur adalah sandaran sofa.

"Masyaallah, Anak Ayah cantik sekali," puji Gibran sambil menggesekkan hidungnya dengan hidung Nazira.

"Eeeerghhh."

Gibran mengulas senyum mendengar suara Nazira. Ia menganggap Nazira tengah bercerita pada dirinya. Tentu saja dengan suka rela Gibran menimpali suara bayi Nazira. Huh, akhirnya dia bisa lebih dekat dengan Nazira.

"Apa sayang? Kangen Bunda ya?" Gibran tersenyum miris saat menyadari pertanyaan yang itu memancing kesedihannya sendiri. "Sama, ayah juga kangen sama Bunda. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa untuk Bunda, ya."

Mata Nazira berkedip-kedip, bibirnya mengulas senyum, lalu mengeluarkan suara bayinya lagi. "Ergehh."

Gibran mengulas senyum tipis melihat tingkah lucu Nazira. Rasanya, ia harus bisa tersenyum setelah satu Minggu berlalu. Nazira adalah obat untuk dirinya. Jika tidak mengingat ada Nazira, Gibran akan gila. Mungkin saja dia dengan nekat menyusul istri tercinta. Beruntung lelaki itu masih memiliki orang-orang yang memberikan dukungan secara moril.

"Kita berdoa untuk Bunda, ya." Gibran meraih tangan mungil milik Nazira. "Semoga jalan Bunda dilapangkan, semoga Bunda Husnul khatimah, semoga bunda ditempatkan di tempat yang indah, dan semoga kelak kita bisa berkumpul dengan Bunda lagi, aamiin." Gibran menggerakkan tangan Nazira ke arah muka.

"Oh ya, Nazira harus terus ingat Bunda ya." Gibran mencolek hidung mungil Nazira hingga bayi cantik itu terkekeh. "Nazira tidak boleh lupa. Kalau Nazira lupa sama Bunda, nanti bundanyanya sedih, ya.

"Satu lagi, kamu hanya memiliki Bunda Humaira, Sayang." Gibran menatap Nazira dengan lekat. Kali ini, terlihat ekspresi serius sangat mendominasi. "Kamu harus ingat kalau Bunda kamu hanya Bunda Humaira. Tidak ada lagi Bunda yang lain. Kamu mengerti, kan?"

Entah mengapa, kali ini Nazira tak tersenyum. Justru bibir Nazira melengkung ke bawah Bayi mungil itu seakan tidak setuju dengan perkataan sang ayah. Setelah itu, terdengar suara tangis yang memecah keheningan kamar.

"Sayang, maafin ayah ya. Tadi ayah terlalu keras ya suaranya," ucap Gibran penuh sesak. Ia kembali menggendong Nazira, berusaha menenangkan sang ayah dengan mengayuhnya pelan.

"Ayah tidak marah sama Nazira." Gibran kembali mengulas senyum tipis. "Cup cup cup, sayangnya ayah."

Gibran kembali menimang Nazira. Di sore hari ini, dia memilih menikamgi waktu bersama Nazira. Tadi pagi, dia sudah menyambut dan menemani para pembaca Al-Qur'an —yang memang diundang sejak pagi— bersama Papa Wira dan Papa Bagas.

"Mas."

Suara itu, suara itu membuat kegiatan Gibran terhenti. Lelaki itu terpaku di tempat. Dia seperti mendengar Humaira memanggil dirinya. Bahkan, Gibran sampai memejamkan mata saat suara itu kembali terdengar.

"Mas Gibran."

Diam-diam, tangan Gibran yang menopang punggung Nazira mengepal. Dia berusaha mencari kekuatan dengan mengepalkan tangan. Di sisi lain, dia juga mencoba menyadarkan diri bahwa Humainya—sang istrinya sudah berada di tempat yang lebih indah.

"Mas Gibran."

"Astaghfirullah."

Gibran langsung mengucapkan istighfar saat merasakan seseorang menepuk lengan kanannya. Saat membuka mata, lagi-lagi dia melihat sosok Humaira berdiri di depannya.

'Ya Allah, sadarkanlah hambamu ini. Jauhkan hal-hal yang membuat hamba melakukan kesalahan,' ucap Gibran di dalam hati. Matanya masih menatap ke rah depan dengan lekat.

Tik.

Suara jentikan berhasil menarik Gibran dari lamunan. Beberapa kali Gibran mengerjakan mata. Helaan nafas panjang terdengar saat Gibran sepenuhnya sadar bahwa yang ada di depannya adalah Zahra—adik kembar identik dari Humaira.

"Kenapa?!" tanya Gibran dengan suara datar. Senyum yang sejak tadi diperlihatkan untuk Nazira, kini lenyap tak tersisa. Yang ada hanyalah ekspresi datar yang selalu didapatkan oleh Zahra.

Zahra mengulas senyum mendengar pertanyaan sang suami. Dia sudah tidak terkejut lagi mendengar suara dingin dari sang suami.

"Nazira waktunya mandi." Zahra tetap mengulas senyum. Kini, tatapannya beralih pada Nazira yang tengah menatap dirinya. "Mas juga perlu mandi. Nanti bisa menyambut tamu dengan Papa," ucap Zahra mengingatkan.

Tanpa satu patah kata, Gibran memberikan Nazira pada Zahra. Setelah memastikan sang anak aman, Gibran baru meninggalkan ruangan. Dia tak bisa berada di satu ruangan dengan Zahra dalam waktu yang lama. Wajah keduanya sangat mirip. Orang awam akan kesulitan untuk membedakan, tetapi tidak dengan dirinya. Pada akhirnya, dia akan tetap memandang Zahra sebagai Humaira, ah … lebih tepatnya adik dari mendiang istriny.

Berbeda dengan Gibran, Zahra masih setia menatap punggung sang suami yang mulai menjauh. Kepalanya menunduk, kedua matanya mulai berembun hingga terasa panas. 

"Ya Allah, perlukah mengatakan hal itu pada Nazira yang tidak mengetahui apa-apa. Aku juga tidak akan berniat jahat pada Nazira dengan menggantikan sosok ibu. Tetapi perlukah mengatakan itu?"

Air mata Zahra tak bisa dibendung lagi. Tanpa Gibran tahu, dirinya mendengar suara yang dikatakan Gibran pada Nazira. Awalnya, Zahra sangat bahagia karena Nazira dan Gibran kembali dekat setelah berpisah selama seminggu. Namun, interaksi terakhir yang menyebutkan tidak ada Bunda lain selain Humaira membuatnya tercengang. Ternyata, benar-benar sulit mendobrak hati Gibran.

"Allah …."

Related chapters

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 5 | Surat Perjanjian

    Matahari mulai terbenam, menunjukkan cahaya jingga yang sangat cantik. Kesibukan semakin terlihat jelas saat waktu pelaksanaan kirim doa semakin dekat. Orang yang paling sibuk selama acara adalah Zahra. Wanita itu seolah tak memiliki lelah dan terus bergerak memastikan segalanya. "Mbak, nggak ada yang kurang, kan?" tanya Zahra pada Mbak Wati yang mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab dapur. Mbak Wati yang tengah memotong semangka menengadahkan kepala. "Nggak ada Mbak. Lauknya sudah, nasinya juga sudah." "Camilan? Buah?" Mbak Wanti menengadahkan kepala. "Sudah siap Mbak. Ini tinggal potong semangkanya saja." Zahra bisa bernafas lega pada akhirnya. Setelah sekali lagi memastikan semuanya, dia baru bisa bernafas lega. Zahra memilih untuk kembali ke kamar. Dia ingin memanggil Gibran dan memandikan Nazira, sebelum dirinya mandi. "Mas, bangun." Zahra sebanyak tak tega membangunkan tidur Gibran. Namun, dia harus melakukannya. Zahra takut tamu datang, tuan rumah justru tidak ada. "

    Last Updated : 2023-11-20
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 6 | Diabaikan

    Mata sembab, kepala pusing, itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Tadi malam, ia terlalu banyak menangis. Dengan berat hati, dia menandatangani surat perjanjian yang rasanya mengoyak harapannya. Dengan penuh kepercayaan diri, dia berani mengajukan satu poin di perjanjian, izin berusaha membuka hati Gibran. Dia akan berusaha mendapatkan hati suaminya itu. Berbagai cara akan ia lakukan. Akan tetapi, Zahra tidak akan melakukan dengan cara kotor. Huh, beruntung sekali anggota keluarga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing setelah acara tahlilan. Zahra tidak perlu mencari alasan mengapa matanya terlihat bengkak, seperti hari ini. "Kamu pasti bisa, Zahra." Zahra menyakinkan diri sekuat tenaga. "Pasti akan ada jalan." Setelah mengikat rambut, Zahra lantas beranjak. Ia melihat box bayi di sebelahnya. Ternyata Nazira masih tidur pulas di box bayinya. Melihat Nazira yang masih anteng, Zahra bergegas ke dapur. Ia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan membuat sarapan untuk sang suami. Me

    Last Updated : 2023-12-22
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 7 | Mengungkit Posisiku

    Memasak, bangun pagi, memandikan Nazira menjadi rutinitas Zahra setiap harinya. Dulu, dia memang kerap bangun pagi. Namun, kini rasanya jauh lebih berbeda. Dia merasa dibalik itu semua ada tanggung jawab yang harus dirinya emban. Meskipun begitu, Zahra merasa tidak terbebani karena Zahra sangat menikmatinya. Kuliah? Sebenarnya dirinya mengalihkan jadwal kuliahnya dari yang semula offline menjadi daring selama dua minggu ini. Dia kerap mengirimkan tugas yang diberikan dosen di kala waktu senggang. Zahra ingin menikmati waktu bersama Nazira dulu. Jika keadaan sudah terlihat memungkinkan, Zahra akan kembali mengambil kelas offline. ‘Semoga Mas Gibran suka sama masakan aku. Dan aku berharap, kali ini Mas Gibran mau mencicipinya,’ ucap Zahra dalam hati sambil menutup matanya sekilas. ‘Semangat, Zahra. Lupakan yang terjadi kemarin!’ Zahra tidak ingin kejadian kemarin merusak suasana hatinya. Biarlah yang sudah terjadi, berlalu begitu saja. Dia hanya perlu fokus dengan yang ada di depan mat

    Last Updated : 2023-12-23
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 8 | Haruskah Menyerah?

    "Kamu itu hanya pengasuh untuk Nazira. Jangan berharap bisa menggantikan posisi Humaira!" Kedua mata Zahra terpejam mendengar kata menyakitkan itu kembali terdengar. Tidak, kali ini kata yang keluar dari mulut Gibran lebih menyakitkan. Iya, Zahra mengingat dirinya tak bisa menggeser posisi Humaira. Dia tidak akan membantahnya. "Ingat posisi kamu, Zahra. Kamu hanya sekadar ibu pengasuh bagi Humaira. Jangan bertingkah diluar batas tugas dan perjanjian yang kita sepakati!!" ucap Gibran dengan sangat tegas. Ia kembali menekankan posisi Zahra di rumah ini beserta bagi Gibran dan Nazira. "Berhenti bersikap sesuka hati!" "Iya, Mas. Aku ingat itu," jawab Zahra sambil mengulas senyum ke arah Gibran. Setelah mengatakan itu, Gibran melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia meninggalkan segala kekacauan yang sudah ia buat. Gibran sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya menyakiti hati Zahra atau tidak. Ah, atau bisa saja sebenarnya Gibran menampik rasa bersalah setelah menyakiti Zahra denga

    Last Updated : 2023-12-25
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 9 | Terus Menyangkal

    Perubahan yang terjadi di dalam hidup membuat Zahra hampir tidak bisa beradap tadi. Kesibukannya bertambah dua kali dan kini ada tanggung jawab yang ia emban. Rasanya, Zahra ingin menangis.Jika biasanya ada Humaira yang menjadi tempatnya bercerita, berkeluh kesah, kini semuanya berubah. Zahra diharuskan berpijak pada kedua kakinya sendiri, menyimpan segala resah, kekecewaan, dan sakit hati. Beruntung masih ada keluarga yang memberikan dukungan moril, meski tidak tahu apa yang sudah ia lewati.Setelah hampir satu bulan kuliah dari h, Zahra akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah offline. Semesteran sudah di depan matanya. Dia harus masuk karena mendengarkan penjelasan langsung membuat Zahra lebih nyaman dalam belajar."Pagi, Non," sapa Bi Jum saat melihat Zahra sudah berada di dapur, seperti kebiasaan sebelumnya.Zahra yang tengah menumis menolehkan kepala. Senyum hangatnya menyambut wanita paruh baya yang kini menjadi sosok orang tua untuknya di kediaman pribadi Gibran. "Pagi, Bi."

    Last Updated : 2023-12-26
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 10 | Orang Tak Perlu Tahu

    Mas, aku izin ke kampus ya. Aku berangkat, assalamualaikum.Itulah isi pesan yang Zahra kirimkan pada Gibran. Tangannya masih senantiasa memegang ponsel, dia berharap ada pesan balasan yang dikirimkan Gibran. Namun, sampai lima menit menunggu, pesannya hanya centang satu. Hal itu membuat Zahra mengulas senyum getir."Jangan patah semangat, Ra. Hari ini, fokus dulu sama kuliah."Setelah itu, Zahra benar-benar meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, Zahra menyenandungkan lagu Jawa yang tengah ia gemari, kisinan 2. Jujur saja, dia cukup tersentil dengan liriknya karena menggambarkan dirinya saat ini. Meski begitu, dia tidak akan patah semangat.Dua puluh menit perjalanan, akhirnya Zahra sampai di kampus. Sepanjang koridor, dia menerima ucapan belasungkawa dari teman-teman yang ia kenal, baik satu organisasi dengan dirinya atau teman kelas Humaira. Dia sangat senang karena Humaira memiliki teman-teman yang sangat baik."Zahra !!!" panggil perempuan yang diketahui bernama Adel.Dia salah

    Last Updated : 2023-12-26
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 11 | Iya, Aku Salah

    Terhitung sudah lima hari Zahra kembali menjalankan kuliah secara langsung. Selama hampir sepekan itulah, Zahra kembali merasakan perbedaan. Jika sebelumnya dia tidak harus datang ke kampus dan bisa sepenuhnya fokus ke Nazira, kini fokusnya sedikit terbagi. Meskipun begitu, ,ahra berhasil beradaptasi dengan cepat.“Mas, nanti aku ada kerja kelompok. Mungkin pulangnya agak sore,” jelas Zahra pada Gibran saat tengah mengantar Gibran ke depan.Langkah lelaki itu berhenti. Keningnya mengerut sambil menatap lekat Zahra. “Di mana?” tanya Gibran singkat. Bukankah memastikan keamanan Zahra menjadi tanggung jawabnya sebagai suami.“Di kafe dekat kampus. Cari yang tengah-tengah,” jelas Zahra. Tangannya terangkat untuk Salim ke Gibran.Tanpa banyak Drama, Gibran mengulurkan tangannya. Dia juga mulai terbiasa dengan aktivitas paginya. Zahra, selalu melakukannya tanpa diminta sekalipun.“Hm. Saya berangkat,” pamitnya sebelum masuk mobil.Saat Gibran tengah siap-siap, Zahra tak beranjak sedikitpun.

    Last Updated : 2023-12-27
  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 12 | Saya Minta Maaf

    Sakit hati dan perasaan bersalah kini bergelung jadi satu dalam relung hati Zahra. Tangisnya tak bisa ditahan kan lagi saat sampai di kamar Nazira. Dia terus mendekap bayi mungil yang masih terlihat sangat tidak nyaman dengan perubahan suhu di dalam tubuh. “Ssssttt, ini Buna, Nak,” ucap Zahra sambil menimang Nazira yang ada dalam dekapannya. Sesekali tangannya bergerak menghapus air mata yang menetes sedikit-sedikit. Tadi, Zahra hampir terkena serangan jantung saat melihat Mama Tania berdiri di ambang pintu. Dadanya berdebar hebat, terlebih perempuan itu datang bertepatan dirinya dan Gibran bertengkar hebat, disertai tangis hebat dari Nazira. Zahra tidak tahu apa yang tengah mertuanya pikirkan saat ini. Tadi, dia langsung disuruh Mama Tania masuk kamar dan membawa Nazira untuk menenangkan diri. Sesampainya di kamar, tangisnya justru pecah. “Buna ke kamar mandi dulu, ya,” pamit Zahra sambil meletakkan Nazira ke box kembali. Buruk, wajahnya saat ini terlihat sangat buruk. Lihatnya k

    Last Updated : 2023-12-28

Latest chapter

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 76

    “Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 75

    “Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 74

    “Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 73 | Surat Pengadilan Agama

    “Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 72 | Restu Orang Tua

    “Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 71 | Minta Maaf

    “Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 70 | Melihatnya

    “Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 69 | Sama-Sama Membutuhkan

    “Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska

  • Adik Ipar Pengganti Istri   Bab 68 | Firasat Ibu

    Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas

DMCA.com Protection Status