"Ceraikan aku, Mas."
Permintaan itu bagaikan minyak yang memperbesar kobaran api. Nazhira dan Gibran yang sejak tadi diam dengan pikiran dan emosi masing-masing, mematung. Mereka tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut Humaira yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit.
“Omong kosong apa itu, Humaira?!” tanya Gibran dengan tak suka. Ia merasa permintaan Humaira sangat tidak masuk diakal.
Gibran menatap istrinya dengan lekat. Bagaimana bisa Humaira melontarkan permintaan yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh dirinya. Perceraian? Omong kosong. Humaira benar-benar berbicara omong kosong dengan minta diceraikan ketika keadaannya tidak stabil dengan fakta baru saja melahirkan putri kecil di tengah pernikahan mereka.
Tidak jauh berbeda dengan Ghibran, Nazhira yang memang tengah menunggu sang kakak tak kalah terkejutnya. Selama ini, Nazhira melihat pernikahan kakak kembarnya baik-baik saja, tidak ada masalah yang terlihat. Baiklah jika memang ada pertengkaran di antara keduanya. Hanya saja, tidak sepantasnya kata laknat itu keluar dari mulut sang kakak.
Humaira tidak menghiraukan perkataan Gibran. Kali ini, tatapannya beralih pada Zahra yang tengah berdiri di sebelah Gibran yang tengah duduk di kursi sebelah ranjang.
“Menikahlah dengan Mas Ghibran, Ra.”
Kedua mata Zahra membelalak terkejut, bahkan Ghibran sampai berdiri dari kursi dengan kasar, menimbulkan derit yang cukup keras. Nazhira kira, permintaan cerai itu permintaan yang sudah cukup mengejutkan. Namun, perkataan Humaira selanjutnya membuat Nazhira semakin tidak habis pikir. Dari sudut matanya, dia bisa melihat kakak iparnya menahan geram.
“Kakak jangan bercanda!”
Ghibran yang semula memancarkan kemarahan berubah menjadi frustasi. Lelaki itu mengepalkan tangan lalu mengembuskan nafas dengan kasar sambil menyugar rambutnya. Rasa frustasinya melonjak pesat mendengar permintaan tidak masuk akal dari istrinya sendiri. Egonya terlukai oleh perkataan istrinya sendiri.
“Mas tidak setuju dengan permintaan gila kamu, Humaira!”
Di brankar tempatnya berbaring, Humaira menatap suami dan adiknya bergantian. Ia mengharapkan agar mereka setuju atas ide yang baru saja ia utarakan. “Mas ak—” ucapannya langsung terhenti saat sang suami mengangkat kedua tangannya.
Suasana tegang terlihat di sebuah ruang rawat inap VVIP rumah sakit ternama di ibu kota. Gibran Arfan Alhusayn menatap penuh kekecewaan sang istri. Hatinya langsung bergemuruh. Baru saja mereka dikaruniai putri kecil nan cantik setelah penantian panjang, sang istri justru memintanya untuk menikahi Hana Zahra Alwani, adik iparnya.
“Mas, coba kamu pikirkan permintaan aku.” Humaira menyela air mata yang menetes membasahi kedua pipinya.
Sungguh, permintaan ini juga menyakiti hatinya. Dia tak bisa membayangkan lelaki yang ia cinta bersanding dengan orang lain. Namun, semua ini yang terbaik untuk suami dan anaknya kelak. Ia tak tahu sampai mana bisa menemani orang-orang tercinta di tengah penyakit leukimia yang menggerogoti fisiknya.
“Tidak! Mas tidak akan menikah dengan Zahra,” tolak Gibran dengan sangat tegas.
“Mas, pikirkan dulu permintaan aku,” pinta Humaira sambil menggenggam tangan sang suami. “Usia aku tidak akan lama lagi Mas. Fisik aku sudah mulai melemah. Nazira .asih kecil dan membutuhkan seorang ibu, begitupun dengan kamu yang membutuhkan pendamping.”
Gibran menarik tangannya sedikit kencang. Kedua matanya perlahan menyorot dingin. Sumpah demi apa pun, Gibran tak tahu bagaimana pola pikir sang istri saat ini. Sudah terhitung dua kali Humaira meminta hal tidak masuk akal hari ini. Meskipun begitu, ia tetap mencoba meredam amarahnya. Jangan sampai kata-katanya menyakiti perasaan sang istri.
“Kamu, kamu yang akan mendampingi aku dan mendidik anak kita.” Gibran menundukkan tubuhnya.
Hatinya terasa sakit setiap kali melihat sang istri pesimis dengan penyakitnya. Rasa sayang Ghibran pas Humaira tak terkira. Tak tahu bagaimana hidupnya jika wanita ini meninggalkan dirinya.
Dulu, Humaira berhasil berjuang. Dokter mengatakan leukimia yang diderita Humaira sudah tidak terdeteksi lagi. Namun, di usia kandungan lima bulan, dokter kembali mendeteksi adanya sel leukemia dalam tubuh Humaira.
Solusi terbaik saat itu adalah menggugurkan kandungan agar Humaira bisa menjalani pengobatan serius. Namun, wanita itu menolak keras. Ini yang ia tunggu sejak lama. Kesakitan di setiap malam harus Humaira tahan demi berjumpa dengan sang anak. Dia bahkan sempat koma setelah melahirkan
Zahra, adik perempuan satu-satunya itu yang membantu merawat Nazira. Bahkan, adik perempuannya itu sudah menganggap Nazira sebagai anak sendiri. Melihat ketulusan sang adik itulah, Humaira meminta Gibran —suaminya— untuk menikahi Zahra, terlebih saat merasakan fisiknya tak mampu lagi menahan sel-sel kanker yang perlahan-lahan mengikis fisiknya.
“Kamu pasti sembuh, Sayang. Mas akan melakukan apa pun untuk kesembuhan kamu,” ucap Gibran setelah memberikan kecupan singkat di kening Humaira. “Jadi, Mas mohon sama kamu. Jangan pernah meminta Mas menikah dengan perempuan lagi. Kamu tahu sendiri kalau cinta Mas sudah habis untuk kamu.”
Humaira semakin tak bisa menahan tangis. Perempuan itu tergugu dalam dekapan sang suami. Jujur saja, dia juga tidak rela. Hanya saja, Humaira harus memikirkan kedua orang terkasihnya. Ia tak percaya pada wanita mana pun, kecuali adiknya sendiri.
“Mbak, yang dikatakan Mas Gibran itu benar,” sahut Zahra yang sejak tadi dia mengamati pertengkaran dua pasangan halal itu. “Mbak pasti sembuh. Tidak ada yang menikah, baik mas Gibran atu aku.”
“Tidak, Ra. Mas Gibran tetap harus menikah dengan kamu. Hanya kamu yang bisa mbak percaya merawat dan menyayangi Nazira, seperti anak sendiri,” ucap Humaira yang kembali membakar amarah Gibran.
“Kamu tidak menyayangi Mas lagi? Kita sudah memiliki Nazira, Sayang.”
Humaira meraih tangan Gibran. “Tapi, aku belum tenang Mas. Kamu tahu sendiri bagaimana penyakitku. Jadi, tolong setujui permintaan ku.”
Gibran mengembuskan nafas berat berulang kali. Entah harus sekuat apa dirinya menahan rasa kecewa yang semakin dalam ini. “Kamu mau membantah perkataan suami?!”
“Mas, ini semua demi kamu dan anak kita. Aku ... aku sudah lelah Mas. Semakin lama tubuh aku semakin kurus karena penyakit ini.” Humaira kembali terisak. Tidak ada yang mau sakit seperti ini, begitu pula dengan dirinya. “Aku hanya memikirkan kebahagiaan kalian. Jadi, tolong kabulkan keinginan terakhirku, Mas. Sebelum aku pergi, aku ingin melihat kamu dan Zahra men—“
“Cukup!” titah Gibran cukup tinggi. Pada akhirnya, ia tak mampu lagi menahan rasa kecewa yang terpupuk dalam. “Jangan pernah melanjutkan atau mengucapkan hal tak masuk akal itu lagi!”
“Ma-mas, jangan ter—” Zahra sudah memberanikan diri untuk melerai perselisihan Gibran dan Humaira. Sayang, lelaki itu mengangkat tangannya, seolah menyuruh Zahra untuk tidak ikut campur.
“Saya tidak mau mendengar perkataan kamu lagi, Humaira!!” Gibran mengusap wajahnya dengan kasar. “Apa kamu tidak bosan membahas masalah dan terus berakhir dengan pertengkaran kita?” tanya Gibran dengan suara lemah. Dia lelah jika selalu dihadapkan dengan permasalahan yang sama.
Hati Humaira semakin teriris mendengar sang suami memanggil namanya. Ia tahu saat ini Ghibran diambang kemarahan. Namun, suaminya itu masih berusaha menahan diri agar tidak berbicara dengan intonasi semakin tinggi.
“Mas,” panggil Humaira sambil berusaha meraih tangan suaminya. Sayang, Ghibran memilih melangkah mundur hingga tangan Humaira hanya menggantung di udara.
“Sudah saya katakan berulang kali pada kamu, Saya tidak akan menikah dengan wanita selain kamu!”
Setelah mengatakan itu, Ghibran beranjak dari posisinya. Pintu ruang VVIP itu tertutup dengan kencang. Lelaki itu tak bisa lagi menutupi amar dalam jiwa. Sementara itu, Zahra masih terdiam di tempatnya. Perdebatan itu sedikit banyak melukai hatinya.
Ya, tanpa banyak yang tahu, Zahra menaruh perasaan pada kakak iparnya itu. Rasa itu terbangun saat Gibran berulang kali datang ke rumah untuk menghampiri sang kakak. Zahra tahu dirinya sangat lancang karena menaruh perasaan pada kakak iparnya.
Sekuat tenaga Zahra berusaha melupakan perasaan pada Gibran. Meskipun sulit, dia berhasil sedikit melupakan perasaan itu dengan menjalin hubungan dengan lelaki di kampus tempatnya mengenyam pelajaran.
Namun, usahanya itu seperti sia-sia saat mendengar sang kakak mengutarakan permintaan itu beberapa hari yang lalu. Perasaan terhadap kakak iparnya seperti kembali melambung, menguasai hati dan pikirannya.
“Zahra.”
Panggilan dengan suara lemah itu mengembalikan fokus Zahra. Ia segera beranjak, menghampiri sang kakak, lalu menggenggam tangannya dengan erat.
“iya, Mbak. Zahra di sini,” jawab Zahra dengan suara bergetar.
“Mbak Sayang sama kamu, Ra. Mbak tahu kamu tulus menyayangi Nazira.” Humaira menghapus air mata di kedua pipinya. Wanita yang terlihat cantik di tengah wajah pucatnya itu mengulas senyum manis. “Maka dari itu, Mbak mau kamu menjadi ibu untuk Nazira.”
Zahra menelan salivanya dengan perlahan. Dia berusaha berpikir jernih. Jangan sampai rasa sayang yang salah itu membuat hubungannya dengan Humaira renggang.
“Iya, Zhara bisa menjadi ibu untuk Nazira, Mbak. Kita rawat dia bersama-sam. Kita temani masa tumbuhnya. Maka dari itu, Mbak harus sembuh. Mbak harus berjuang untuk Nazira dan Mas Gibran.”
“Mbak percaya bahwa Nazira mendapatkan kasih sayang seorang Ibu. Tapi Ra, bagaimana dengan Mas Gibran? Apakah dia akan mendapatkan sosok istri yang baik? Apakah dia kelak akan menikah dengan wanita yang bisa menyayangi Nazira seperti anaknya sendiri, seperti yang kamu lakukan?”
Zahra terdiam mendengar semua itu. Benar, apabila Gibran menikah dengan wanita lain, akankah Nazira akan mendapatkan sosok ibu yang baik. Bukankah lebih baik kalau dir—
‘Bodoh! Apa yang kamu pikirkan, Zahra! Mbak Humaira pasti sembuh, kamu harus yakin itu. Mas Gibran akan menjadi suami Mbak Humaira dan Nazira akan tetap mendapatkan kasih sayang ibu kandungnya,' tegur Zahra saat membayangkan hal yang terlalu jauh. Seharusnya dia memberikan dukungan agar Humaira berpikiran positif.
“Ra.”
Kembali, panggilan lembut itu membuat Zahra tertarik dari lamunannya. Perempuan itu kembali menatap sang kakak, lalu mengulas senyum cerah. Namun, senyum itu lenyap mendengar pertanyaan langsung dari sang kakak.
“Kamu mau ‘kan menikah dengan Mas Gibran?”
***
Di tempat yang berbeda, ada lelaki yang terlihat sangat frustasi. Kesal, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu dalam benak Gibran. Ya, orang itu adalah Gibran. Selama hidup bersama, Gibran tidak pernah membayangkan, Humaira meminta cerai.
Dia kira, permintaan Humaira beberapa hari yang lalu tentang menikahi adiknya sudah hal paling gila yang Gibran dengar. Namun, Gibran harus menelan pil pahit saat Humaira mendengar hal lebih gila lagi.
“Kenapa harus seperti ini?”
Satu tahun terakhir ini, perjalanan pernikahannya dengan Humaira bak roller coaster. Naik turun begitu cepat, berkelok tajam seakan mengantarkan pada jurang keabadian. Gibran tak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Hatinya masih tak bisa menerima.
Untuk ke sekian kalinya pertanyaan itu keluar beriringan dengan asap nikotin yang diembuskan. Nikotin di tangan adalah batang ketiga yang Gibran bakar malam kelam ini. Pikirannya benar-benar semrawut, Gibran butuh menenangkan diri sebelum kembali pada istrinya.
“Apa kamu tidak memikirkan perasaan Mas, Sayang? Begitu mudahnya kamu melepaskan Aku setelah perjuangan kita selama ini?”
Jika tidak ingat dirinya di rumah sakit, mungkin dirinya akan berteriak keras. Beruntung akal sehatnya masih berfungsi. Amarah atas kekecewaan hari ini sudah berhasil ia redam. Sayang, ketenangan Gibran tak bertahan lama saat suster mengatakan—
“Maaf Tuan Gibran, Nyonya Humaira mengalami penurunan kondisi!”
Kabar kondisi menurunnya Humaira sampai di telinga Zahra beserta keluarga, serta kedua orang tua Gibran. Zahra sendiri, tanpa banyak bicara langsung menjalankan mobil menuju rumah sakit. Beruntung kedua orang tuanya sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan Nazira yang tengah sakit. Sejak pagi, gadis mungil itu tidak berhenti merengek.
Dengan kepanikan yang menguasai, Zahra memarkirkan mobilnya tak tentu arah. Ia langsung berlari, menyusuri lorong rumah sakit, menuju kamar rawat inap Humaira. Ia tidak mempedulikan dirinya menjadi tontonan banyak orang karena mengenakan sandal rumah bulu miliknya. Yang ada di pikiran Zahra saat ini adalah, segera bertemu dengan kakak ipar untuk menanyakan kondisi Humaira. Sesampainya di sana, sudah ada Bunda Nadia, Ayah Bagas, beserta Nazira.
“Ma–mas, bagaimana kondisi Mbak Huma?” tanya Zahra dengan nafas memburu. Dadanya naik turun, memperlihatkan bagaimana usahanya meraih oksigen sebanyak-banyaknya. Ia sempat pamit pulang sebentar. Baru saja tiba di rumah, dia sudah mendapatkan telepon dari rumah sakit.
Pandangan Zahra berganti pada kedua orang tuanya yang tengah duduk dengan tatapan kosong. “Bun, Yah, bagaimana keadaan Mbak Huma? Dia baik-baik saja ‘kan?” tanya Zahra dengan tak sabaran.
Belum juga mendapatkan jawaban dari semua orang, mereka semua dikejutkan oleh keluarnya Dokter. Mereka semakin melemas setelah dokter mengatakan kondisi Humaira saat ini. Dokter mengatakan tubuh Humaira tiba-tiba menolak obat-obat yang dimasukkan, antibiotik dan pereda rasa sakit yang biasa Humaira konsumsi.
“Kondisi Pasien semakin menurun, Dok!” ucap Suter yang keluar dari UGD dengan nafas terengah. Semakin memperlihatkan keadaan Humaira yang tidak baik-baik saja.
“Yah, Huma ….” Bunda Nadia menata Ayah Bagas dengan mata berkaca-kaca. Jantungnya seperti lepas dari tempatnya setelah mendapatkan kabar tentang kondisi anak pertamanya.
“Tenang, Bun. Humaira pasti baik-baik saja.”
‘Mbak, aku mohon, bertahanlah. Banyak orang-orang yang menyayangimu dan menunggumu kembali, terutama Mas Gibran di si cantik Nazira,’ Kepala Zahra menunduk. Di dalam hati, Zahra mengucapkan doa, meminta pada Tuhan agar melindungi kakak kembarnya.
Selama ini, dia ikut merasakan kesakitan yang dialami Humaira. Jangan lupakan mereka pernah berbagai tempat berkembang selama sembilan bulan. Bukan waktu yang sebentar untuk berbagi suka dan duka.
“Ma–mas yang kuat ya,” ucap Zahra sambil menepuk bahu Gibran dengan takut-takut. Dia tidak berniat jahat dengan mencuri kesempatan. Tujuannya hanya satu, menenangkan Gibran yang tengah kalut. Dia hanya berinisiatif menenangkan kakak ipar di saat sang bunda sudah memiliki ayahnya.
“Mbak Huma pasti baik-baik saja.”
Pemeriksaan berlangsung begitu lama. Gibran, beserta orang tua Humaira hanya diizinkan menunggu di depan ruang UGD. Selama itu juga, Gibran tak bisa tenang. Lelaki itu terus berdiri di depan pintu, menunggu kabar dari dokter yang mengatakan Humaira baik-baik saja.
"Keluarga Nyonya Humaira," panggil suster yang keluar dengan pakaian steril.
Gibran yang posisinya paling dekat, langsung menghampiri. Lelaki itu bertanya bagaimana keadaan Humaira. Pertanyaan demi pertanyaan Ghibran tanyakan hingga membuat suster tak memiliki waktu berbicara.
Setelah Ayah Bagas menegur, Gibran baru bisa diam, dia mencoba untuk lebih tenang. Mereka terus mendengarkan penjelasan suster. Kening mereka mengernyit saat suster menanyakan Zahra. Tentu saja hal itu membuat bingung, berbeda dengan Gibran. Lelaki itu seakan tahu apa yang ingin dibicarakan.
“Gibran, ada apa sebenarnya?” tanya Ayah Bagas pada sang menantu.
Akhirnya, Gibran menceritakan inti dari yang terjadi. Tidak ada yang tidak terkejut mendengar penjelasan Gibran. Baik orang tuanya atau orang tua Humaira, tidak ada yang menyangka Humaira meminta hal mengerikan itu.
“Apa pun keputusanmu Papa dan Mama akan tetap mendukung kamu, Bran,” ucap Papa Wira sambil menepuk pelan punggung Gibran. Ya, saat ini Gibran sangat membutuhkan dorongan secara mental.
“Kamu juga tidak akan marah, Mas,” ucap Bunda Nadia dengan sangat lembut. Meskipun berat, Bunda Nadia berusaha untuk ikhlas. Mungkin, ini sudah takdir untuk kedua putrinya.
“Lakukan apa yang menurutmu benar.” Ayah Bagas tak ingin ketinggalan memberikan dorongan moril pada Gibran. “Ayah ikhlas.”
Setelah mendapatkan wejangan dari para orang tua, Gibran dan Zahra akhirnya memasuki UGD atas izin dokter. Keduanya sudah mengenakan pakaian steril.
Kedua mata Zahra langsung berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat tubuh kakak kembarnya dipenuhi peralatan medis. Dia tidak membayangkan sesakit apa Humaira sekarang.
“Mb—mbak,” panggil Zahra dengan bibir bergetar. Panggilan itu langsung dibalas senyum manis oleh Humaira. Zahra tidak sanggup, Dia memilih menundukkan kepala sambil menggigit bibir bawahnya.
"Mas," panggil Humaira dengan suara teramat lirih. Kondisinya semakin memburuk, membuat tubuhnya semakin tak berdaya. "A–aku mohon dengan sangat. Turuti permintaan terakhirku," ucap Humaira dengan nafas tersendat-sendat.
"Kamu pasti akan sembuh," ucap Ghibran tak menghiraukan Humaira. Ia tak peduli perkataannya akan menyakiti Zahra atau tidak.
“Aku mohon—”
***
Entah apa yang terjadi, semua orang sudah berada di ruang UGD. Mereka terus mengusap air mata yang mengalir di pipi. Kejadian di depan sana membuat hati siapa saja teriris. Kebahagiaan dan kesedihan berada di satu tempat yang sama.
"Saya terima nikah dan kawinnya Ha … Hana Zahra Alwani dengan seperangkat alat solat dan uang satu juta dibayar tunai."
"Bagaimana saksi, Sah?"
"Sah …"
Titt ……
Setelah itu, semua berubah menjadi tegang. Suara alat terdengar nyaring sekaligus menyakitkan. Tidak, ini semua tidak boleh terjadi. Namun, kuasa Tuhan jauh lebih besar dari kehendak para umatnya.
"Tanggal kematian, 05 November 2023 pukul 16.00 WIB" Ucapan itu membuat semua keluarga luruh sekitar. Tangis kesedihan pecah. Tidak ada yang menyangka jika Humaira akan pergi. "Dokter bohong! Istri saya tidak mungkin pergi." Gibran melangkah mendekat. Lelaki itu menatap sang istri yang memejamkan mata, lalu memegang bahu dan menggoyangkan pelan. Lelaki itu tak putus asa untuk memanggil sang istri, berharap panggilan itu mendapatkan respon. Sayang, harapan Gibran tidak terjadi. Istrinya benar-benar telah tiada. "Humaira …." "Zahra, bisa tolong ke dapur sebentar?" Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Zahra pada lamunan. Ingatan menyakitkan di rumah sakit itu tidak bisa hilang dari memori otak Zahra. Tidak ada yang tahu Takdir yang Tuhan gariskan ke depannya. Baik jodoh, maut, kebahagiaan, itu semua hanya takdir Tuhan. Mau marah? Tidak bisa. Kita tidak ada hak untuk marah. Kecewa memang wajar dirasakan saat menerima itu semua. Namun, kembali lagi pada bagaimana cara kita menyikapi
Gundukan tanah dengan patok bertuliskan nama, tanggal lahir dan kematian menjadi saksi terakhir. Kini, Humaira sudah menyatu dengan tanah, tempat di mana semuanya akan kembali, kelak. Kesedihan kembali terlihat. Mama Nadia kembali histeris setelah Humaira dimasukkan ke liang lahat. Wanita paruh baya itu tak sanggup kehilangan anak pertamanya. Kesakitan sebagai seorang ibu yang ditinggalkan lebih dulu, jelas terlihat. "Papa pulang dulu, Nak. Jangan terlalu lama di sini!" ujar Papa Bagas sambil menepuk bahu menantunya. Ia dan Zahra berusaha waras di tengah kesedihan yang melanda. Malang bagi Zahra, anaknya itu tak bisa melihat pemakaman saudara kembarnya karena menjaga Nazira. "Di rumah, Nazira masih membutuhkan kamu." "Iya, Pa. Gibran hanya perlu waktu sedikit lagi dengan Humaira." Gibran tetap berdiri. Ia sadar satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Selama hidup, Gibran tak pernah memiliki bayangan akan berdiri di sini lebih cepat. Yang menyakitinya, Humairanya yang b
Lantunan ayat suci terdengar begitu menenangkan jiwa. Tidak ada yang bisa menolak merdunya ayat suci. Setiap ayat memiliki arti yang berbeda, terdapat juga selingan doa-doa yang ditujukan untuk semua orang, terutama Humaira. Ya, hari ini acara tahlil tujuh harian Humaira. Tidak menyangka bahwa Humaira sudah tujuh hari pergi meninggalkan semua orang, meninggalkan bayi cantik. Hal yang paling menyedihkan adalah saat Nazira belum bisa melihat ibu kandungnya secara langsung. Namun, semua orang yakin jika Humaira tak pergi dari hati anak perempuannya. Wanita itu akan selalu terkenang di hati sang anak. “Mbak Zahra, masih ada yang kurang?” tanya Wati, salah satu tetangga yang membantu memasak untuk acara hari ini. “Kayaknya nggak ada Mbak Wat. Nanti kalau ada yang kurang, bisa bilang ke Bi Jum. Atau kalau nggak, bisa langsung bilang ke saya saja,” ujar Zahra sambil melihat kebutuhan yang akan digunakan hari ini. Seperti hari sebelumnya, Zahra menjadi tokoh penting dalam acara tujuh haria
Matahari mulai terbenam, menunjukkan cahaya jingga yang sangat cantik. Kesibukan semakin terlihat jelas saat waktu pelaksanaan kirim doa semakin dekat. Orang yang paling sibuk selama acara adalah Zahra. Wanita itu seolah tak memiliki lelah dan terus bergerak memastikan segalanya. "Mbak, nggak ada yang kurang, kan?" tanya Zahra pada Mbak Wati yang mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab dapur. Mbak Wati yang tengah memotong semangka menengadahkan kepala. "Nggak ada Mbak. Lauknya sudah, nasinya juga sudah." "Camilan? Buah?" Mbak Wanti menengadahkan kepala. "Sudah siap Mbak. Ini tinggal potong semangkanya saja." Zahra bisa bernafas lega pada akhirnya. Setelah sekali lagi memastikan semuanya, dia baru bisa bernafas lega. Zahra memilih untuk kembali ke kamar. Dia ingin memanggil Gibran dan memandikan Nazira, sebelum dirinya mandi. "Mas, bangun." Zahra sebanyak tak tega membangunkan tidur Gibran. Namun, dia harus melakukannya. Zahra takut tamu datang, tuan rumah justru tidak ada. "
Mata sembab, kepala pusing, itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Tadi malam, ia terlalu banyak menangis. Dengan berat hati, dia menandatangani surat perjanjian yang rasanya mengoyak harapannya. Dengan penuh kepercayaan diri, dia berani mengajukan satu poin di perjanjian, izin berusaha membuka hati Gibran. Dia akan berusaha mendapatkan hati suaminya itu. Berbagai cara akan ia lakukan. Akan tetapi, Zahra tidak akan melakukan dengan cara kotor. Huh, beruntung sekali anggota keluarga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing setelah acara tahlilan. Zahra tidak perlu mencari alasan mengapa matanya terlihat bengkak, seperti hari ini. "Kamu pasti bisa, Zahra." Zahra menyakinkan diri sekuat tenaga. "Pasti akan ada jalan." Setelah mengikat rambut, Zahra lantas beranjak. Ia melihat box bayi di sebelahnya. Ternyata Nazira masih tidur pulas di box bayinya. Melihat Nazira yang masih anteng, Zahra bergegas ke dapur. Ia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan membuat sarapan untuk sang suami. Me
Memasak, bangun pagi, memandikan Nazira menjadi rutinitas Zahra setiap harinya. Dulu, dia memang kerap bangun pagi. Namun, kini rasanya jauh lebih berbeda. Dia merasa dibalik itu semua ada tanggung jawab yang harus dirinya emban. Meskipun begitu, Zahra merasa tidak terbebani karena Zahra sangat menikmatinya. Kuliah? Sebenarnya dirinya mengalihkan jadwal kuliahnya dari yang semula offline menjadi daring selama dua minggu ini. Dia kerap mengirimkan tugas yang diberikan dosen di kala waktu senggang. Zahra ingin menikmati waktu bersama Nazira dulu. Jika keadaan sudah terlihat memungkinkan, Zahra akan kembali mengambil kelas offline. ‘Semoga Mas Gibran suka sama masakan aku. Dan aku berharap, kali ini Mas Gibran mau mencicipinya,’ ucap Zahra dalam hati sambil menutup matanya sekilas. ‘Semangat, Zahra. Lupakan yang terjadi kemarin!’ Zahra tidak ingin kejadian kemarin merusak suasana hatinya. Biarlah yang sudah terjadi, berlalu begitu saja. Dia hanya perlu fokus dengan yang ada di depan mat
"Kamu itu hanya pengasuh untuk Nazira. Jangan berharap bisa menggantikan posisi Humaira!" Kedua mata Zahra terpejam mendengar kata menyakitkan itu kembali terdengar. Tidak, kali ini kata yang keluar dari mulut Gibran lebih menyakitkan. Iya, Zahra mengingat dirinya tak bisa menggeser posisi Humaira. Dia tidak akan membantahnya. "Ingat posisi kamu, Zahra. Kamu hanya sekadar ibu pengasuh bagi Humaira. Jangan bertingkah diluar batas tugas dan perjanjian yang kita sepakati!!" ucap Gibran dengan sangat tegas. Ia kembali menekankan posisi Zahra di rumah ini beserta bagi Gibran dan Nazira. "Berhenti bersikap sesuka hati!" "Iya, Mas. Aku ingat itu," jawab Zahra sambil mengulas senyum ke arah Gibran. Setelah mengatakan itu, Gibran melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia meninggalkan segala kekacauan yang sudah ia buat. Gibran sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya menyakiti hati Zahra atau tidak. Ah, atau bisa saja sebenarnya Gibran menampik rasa bersalah setelah menyakiti Zahra denga
Perubahan yang terjadi di dalam hidup membuat Zahra hampir tidak bisa beradap tadi. Kesibukannya bertambah dua kali dan kini ada tanggung jawab yang ia emban. Rasanya, Zahra ingin menangis.Jika biasanya ada Humaira yang menjadi tempatnya bercerita, berkeluh kesah, kini semuanya berubah. Zahra diharuskan berpijak pada kedua kakinya sendiri, menyimpan segala resah, kekecewaan, dan sakit hati. Beruntung masih ada keluarga yang memberikan dukungan moril, meski tidak tahu apa yang sudah ia lewati.Setelah hampir satu bulan kuliah dari h, Zahra akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah offline. Semesteran sudah di depan matanya. Dia harus masuk karena mendengarkan penjelasan langsung membuat Zahra lebih nyaman dalam belajar."Pagi, Non," sapa Bi Jum saat melihat Zahra sudah berada di dapur, seperti kebiasaan sebelumnya.Zahra yang tengah menumis menolehkan kepala. Senyum hangatnya menyambut wanita paruh baya yang kini menjadi sosok orang tua untuknya di kediaman pribadi Gibran. "Pagi, Bi."
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas