“Ini kamarnya Dandi dulu.” Tya masuk lebih dulu, setelah membuka pintu kamar Dandi yang sudah tidak pernah lagi digunakan putranya. “Nggak ada yang diubah. Paling cuma ganti sprei sama dibersihin.”Rumi menelisik kamar Dandi dengan perlahan. Kamar yang simple dan tidak banyak perabotan di dalamnya. Sama seperti kamar yang berada di rumah milik Dandi. Bernuansa minimalis dan hanya meletakkan barang-barang yang perlu saja.Setelah sedikit drama saat melihat rumah, akhirnya Dandi langsung mengajak Rumi ke rumah orang tuanya. Kebetulan, Tya tidak ada acara dan baru akan pergi sore harinya.“Mas Dandi memang nggak punya foto, Ma?” tanya Rumi. “Di rumah juga nggak ada fotonya.”“Haduuh, dia itu kalau difoto susah banget!” seru Tya sembari duduk di tepi ranjang. “Pokoknya nggak fotogenik.”Rumi terkekeh dan baru menyadari mereka berdua tidak memiliki foto mesra berdua di ponsel. Rasya sepertinya punya foto akad nikah Rumi dan Dandi, tetapi situasinya saat itu benar-benar formal. Setelah ini,
“Ra … Bu Agnes gimana?” Rafa sampai salah berucap dan memanggil Hera tanpa sebutan ibu. “Maaf, Bu Hera.”Kedua alis Alpha terangkat tinggi, ketika mendengar Rafa buru-buru meralat ucapannya. Apa ada yang salah? Bukannya, selama ini Rafa memang selalu memanggil Hera tanpa sebutan “ibu”. Hanya Hera dan tidak pernah seformal yang Alpha dengan saat ini.Apa Alpha melewatkan sesuatu?“Mas …” Hera segera berdiri dan masih dalam keadaan bingung. Mengapa Rafa tiba-tiba berada di rumah sakit, padahal Hera tidak menghubungi pria itu sama sekali. Tidak mungkin Alpha, karena kakak laki-lakinya itu tidak sepeduli itu dengan Rafa. “Tahu dari mana Mama dilarikan ke sini?”“Qai yang nelpon,” jawab Rafa. “Saya kebetulan ada di sekitar sini, jadi langsung mampir.”“Ohh …” Hera kembali duduk, disusul Rafa yang juga duduk di sampingnya. Namun, pria itu menyisakan jarak, sehingga mereka tidak duduk berdempetan. Sebenarnya, mengapa Qai harus menghubungi Rafa dan memberitahukan kondisi Agnes yang dilarikan
“Gimana?” tanya Dandi setelah memperlihatkan sebuah video, yang dikirimkan oleh staff marketing property pada Rumi. “Yang barusan itu lebih kecil dari rumah yang kemarin. Tapi, tamannya lebih luas.”“Bagus, sih, Mas.”“Tapi?”“Mahal.”Dandi memutar malas bola matanya. Padaha Rumi tahu, Dandi cukup mampu membeli rumah tersebut tanpa menyicil dan masih memiliki tabungan yang cukup lumayan. Namun, Rumi tetap merasa rumah yang dipilih Dandi terlalu mahal.“Nggak usah pikirin harga.” Dandi jadi geregetan sendiri. “Ibu sama Rasya besok sudah balik Malang. Mungkin, dua atau tiga minggu lagi sudah pindah ke sini. Jadi, kita juga harus siap-siap dengan rumah yang baru.”“Kenapa harus buru-buru.” Lelah duduk bersandar pada kepala ranjang, Rumi membaringkan tubuhnya dan meletakkan kepala di pangkuan Dandi. “Aku, tuh, sudah terlalu nyaman tinggal di sini.”Rumi meletakkan ponsel Dandi begitu saja di tempat tidur, lalu memiringkan tubuhnya memunggungi sang suami.“Sudah kubilang—”“Iya, tahu, Mas.
“Mas Dandi.” Langkah Hera terhenti, ketika melihat Dandi keluar dari lift. Saat tatapan mereka bersirobok dari jauh, pria itu membelokkan langkahnya menuju ke arah Hera. Pria itu tidak tersenyum dan hanya menatap datar pada Hera.“Si—”“Ada rapat 15 menit lagi, kan?” potong Dandi berhenti dengan jarak satu meter dengan Hera. Ia menenggelamkan satu tangan ke saku celana, lalu menoleh pada lorong yang mengarah ke ruangan Alpha sebentar.“Mas Dandi mau ikut rapat?” tebak Hera.“Aku punya hak untuk itu, kan?” Dandi justru bertanya balik. “Jadi, rapatnya di ruang yang kemarin? Atau di mana?”“Di atas.” Kaki Hera seolah terpaku dan tidak bisa beranjak ke mana pun. Jantungnya berdebar tidak karuan, karena khawatir dengan nasib perusahaannya ke depan. Hera berharap, setelah Alpha mendapatkan hukuman setimpal, Dandi sudah tidak akan lagi mengganggu Glory. “Mas, setelah mas Al masuk penjara, apa semua ini pasti selesai?”“Ter-gan-tung.”Jawab Dandi barusan, terdengar sangat mengkhawatirkan. “Te
“Aku mau bicara, serius.” Hari masih sangat pagi, tapi Dandi sudah mengajak Rumi membicarakan sesuatu dengan serius. Wajah Dandi pun tidak terlihat cuek, ataupun santai seperti biasanya. Apa suaminya itu sedang tersangung masalah, sehingga Dandi terlihat tidak nyaman?“Apa … ada masalah, Mas?”Dandi menarik kursi kosong di balkon dan memposisikannya di hadapan Rumi, yang sedang menunggu matahari terbit. Hari memang masih terlalu pagi, tetapi Dandi harus memberitahukan Rumi langsung dari mulutnya sendiri.“Pihak kepolisian akan manggil kamu sebagai saksi untuk memberi keterangan.” Melihat wajah resah Rumi, Dandi segera menggenggam kedua tangan istrinya. “Dengarkan aku, semua penyelidikan, pengumpulan barang bukti dan wawancara beberapa saksi sudah dilakukan. Sekarang tinggal kamu, karena kamu korban di sini. Jad—”“Mas.” Rumi menyela. “Aku nggak masalah kalau kita harus pergi ke dokter kandungan, atau ngelihat rumah seperti kemarin, karena aku nggak ketemu banyak orang. Tapi kalau har
“Apa … ada masalah?”Melihat wajah Rafa yang tampak tegang ketika datang membesuknya, Agnes yakin telah terjadi sesuatu serius.“Mas Al, atau Glory?” Hera yang sejak kemarin sudah kembali berada di rumah sakit, tiba-tiba merasa resah.“Alpha sedang diperiksa ke kantor polisi,” terang Rafa yang juga baru mendapatkan info tersebut beberapa waktu yang lalu. “Semua bukti dan saksi dari pihak Sebastian sudah sangat lengkap, jadi, sepertinya Alpha sudah nggak bisa ngelak.”“Mas … apa ada kemungkinan dua saksi yang kemarin itu bayaran pihak mereka?” tanya Hera mendadak memiliki pemikiran lain.Rafa menggeleng. “Mereka punya foto Alpha dan saksi yang sedang bertemu di suatu tempat. Dan ada bukti CCTV, kurir yang ngantar paket ke beberapa perusahaan media.”“Jadi … pihak mereka sampai datang ke setiap perusahaan?” tanya Agnes cukup salut dengan kegigihan Dandi.“Sepertinya begitu,” angguk Rafa membenarkan dugaan Agnes. “Jadi, sidangnya mungkin juga nggak akan makan waktu lama, karena semua buk
Antisipasi yang dilakukan Dandi ternyata tepat sasaran. Meminta orang untuk mengawasi rumahnya dan Rumi, juga tidak sia-sia. Karena tidak lama setelah Dandi menelepon orang kepercayaannya, sebuah chat masuk dan lokasi Rumi langsung ditemukan.Gadis itu sudah berjalan sejauh satu kilometer dari rumah dan berakhir duduk di sebuah halte. Menurut laporan yang diterimanya, Rumi sudah berada di tempat tersebut selama satu jam lebih. Rumi hanya memandang kendaraan yang lalu lalang di hadapan, tanpa melakukan interaksi apa pun dengan orang yang ada di dekatnya.Segera setelah Dandi mendapat tempat untuk memarkirkan mobilnya, ia menghampiri Rumi dan duduk di sebelahnya. Hampir lima menit Dandi berada di sana, Rumi tidak kunjung menoleh. Gadis itu seolah tidak melihat Dandi dan tidak mengetahui bahwa yang duduk di sebelahnya saat ini adalah sang suami.“Rumi.”Dandi diam dan menunggu beberapa saat, tetapi Rumi tidak meresponsnya sama sekali. Karena itu, Dandi kembali memanggil sambil menyentuh
“Kenapa nggak langsung ke kamar aja, Mas?” Hera terburu menemui Rafa yang datang ke rumah sakit. Mereka berada di lantai tempat Agnes dirawat, tetapi Rafa meminta Hera keluar dan menunggunya di tempat yang agak sepi. “Apa mas Al buat masalah?”Rafa menggeleng. “Dandi.”“Dandi?” Hera bingung, apa lagi yang diperbuat pria itu sekarang. “Apa lagi sekarang?”“Investor terbesar kita, berencana menarik investasinya.”Hera limbung. Saat hendak memegang dinding sebagai tumpuan, Rafa segera menahannya. Apa yang pernah diucapkan Hera kala itu, akhirnya terjadi juga. Mereka memang bisa mencegah Dandi menguasai kepemilikan saham, tetapi mereka lupa, ada pihak investor yang juga berperan penting dalam beroperasinya sebuah perusahaan. “Kita terlalu fokus sama mas Al, sampai lupa dengan yang satu itu,” ucap Hera berusaha kembali berdiri tegak dengan bantuan Rafa. “Dandi sudah ngecoh kita.”“Dia cerdik,” puji Rafa mengakui hal tersebut. Dandi telah mengalihkan semua fokus pada Alpha dan melakukan ha
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan