“Kenapa nggak langsung ke kamar aja, Mas?” Hera terburu menemui Rafa yang datang ke rumah sakit. Mereka berada di lantai tempat Agnes dirawat, tetapi Rafa meminta Hera keluar dan menunggunya di tempat yang agak sepi. “Apa mas Al buat masalah?”Rafa menggeleng. “Dandi.”“Dandi?” Hera bingung, apa lagi yang diperbuat pria itu sekarang. “Apa lagi sekarang?”“Investor terbesar kita, berencana menarik investasinya.”Hera limbung. Saat hendak memegang dinding sebagai tumpuan, Rafa segera menahannya. Apa yang pernah diucapkan Hera kala itu, akhirnya terjadi juga. Mereka memang bisa mencegah Dandi menguasai kepemilikan saham, tetapi mereka lupa, ada pihak investor yang juga berperan penting dalam beroperasinya sebuah perusahaan. “Kita terlalu fokus sama mas Al, sampai lupa dengan yang satu itu,” ucap Hera berusaha kembali berdiri tegak dengan bantuan Rafa. “Dandi sudah ngecoh kita.”“Dia cerdik,” puji Rafa mengakui hal tersebut. Dandi telah mengalihkan semua fokus pada Alpha dan melakukan ha
“Ngapain malam-malam ke sini?” tanya Dandi kembali tidak membukakan pintu pagar untuk Qai. Kepalanya sudah pusing memikirkan Rumi, kini Qai muncul di malam hari seperti ini.“Karena kamu nggak angkat telponku, makanya aku ke sini.” Qai menendang pelan pagar Dandi, karena melihat pria itu tidak berniat membukakannya pintu pagar. Dasar ipar sialan!“Aku sibuk, Qai,” ujar Dandi bersedekap dan menghela. “Buruan! Kamu mau apa?”“Kamu, minta pak Vincent invest ke hotel kita?” tanya Qai yang juga tidak ingin berlama-lama, karena gerombolan nyamuk mulai terasa menggigit beberapa bagian kulitnya.“Ya!”“Dan! Alpha sudah diproses tapi kamu—”“Nggak usah ikut campur.” Dandi maju dua langkah, mendekat ke pagar. “Kamu nggak tahu apa yang aku alami, jadi, sekarang pergilah Qai. Lebih baik kamu konsen ke Jaya Grup terutama Angkasa, daripada mikirin Glory.”Sabar …Qai menarik napas panjang, lalu menghelanya. Sebenarnya, apa lagi yang diinginkan oleh Dandi saat ini. Bukankah balas dendamnya sudah ter
“Mama sudah pulang dan istirahat di rumah,” terang Hera ketika Rafa bertanya perihal Agnes. “Makanya saya langsung ke kantor. Kabar pak Vincent gimana, Mas?”Rafa mengangguk pelan dan bersyukur kondisi Agnes ternyata tidak terlalu parah. Wanita itu bisa rawat jalan dan kembali ke rumah.“Jadwal pak Vincent mundur lagi,” jawab Rafa yang duduk berseberangan dengan Hera di ruang kerjanya. “Nanti asistennya yang kabari, kalau beliau sudah di Jakarta. Bagaimana dengan investor lainnya? Sudah ada yang dihubungi, atau belum?”“Saya baru bisa bicara sama pak Ilhaq sama bu Titik.” Hera masih saja khawatir dengan kondisi Glory setelah ini. “Jadi, kalau saya tarik kesimpulan dari mereka, sepertinya ... Dandi mulai “menghasut” setelah mas Al positif di proses.”“Sudah bisa hubungin Dandi?” tanya Rafa sudah menduga hal tersebut melalui pembicaraannya dengan Vincent. “Saya coba hubungi dia, tapi diabaikan.”“Sama, Mas,” timpal Hera semakin stres menghadapi Dandi. “Jangankan Mas Rafa, Mas Qai aja ke
“Om Hermawan kenal sama pak Jaya.” Tanpa basa-basi, Hera segera menyampaikan informasi yang baru diterimanya dari Bagas, pada Rafa. Pria yang baru keluar dari ruang kerjanya itu, lantas tidak jadi menutup pintu dan mempersilakan Hera masuk.“Kita bicarakan di dalam,” ujar Rafa menunggu Hera melewatinya, barulah ia menyusul dan menutup pintu. Waktu kerja normal sudah selesai sekitar tiga jam yang lalu. Namun, Hera ternyata masih ada di kantor dan sepertinya masih pusing memikirkan nasib Glory.“Kenapa Bu Hera belum pulang?” tanya Rafa kemudian duduk berseberangan dengan wanita itu. “Bu Agnes baru sembuh. Harusnya Bu Hera bisa pulang sesuai jam kantor.”“Saya minta suster nginap di rumah hari ini.” Kepala Hera benar-benar pusing dibuatnya. “Saya juga sudah bilang, kalau hari ini bakal pulang malam karena banyak kerjaan.” Hera tidak berbohong, karena memang banyak hal yang harus ia lakukan. “Jadi, bagaimana dengan kerja sama kita dengan rekan Mas Rafa di Aussie, masih bisa tetap lanjut,
“Jaaauh!” Rumi kembali mendorong tubuh Dandi yang selalu menempel padanya. Jika tidak memeluk Rumi dari samping, maka pria itu akan melingkarkan tangannya dari belakang. “Aku lagi masak!”“Kamu masak, ya, masak aja.” Dandi kembali memeluk Rumi dari belakang. Ia tidak peduli, jika sang istri saat ini tengah mengaduk telur balado yang sejak semalam diidam-idamkan Rumi. Padahal, asisten rumah tangga mereka sudah menyiapkan soto daging yang bisa dihangatkan untuk makan hari ini. Namun, Rumi tetap ngotot ingin memakan telur balado. “Aku nggak ganggu.”“Ini ganggu namanya.”“Kamu wangi.” Dandi mengecup sebentar leher bagian belakang Rumi, lalu menghidu aroma tubuh gadis itu dalam-dalam. Karena sedikit obrolan yang dilakukan tadi malam, sikap dingin Rumi terasa mulai mencair. Meskipun, wajahnya terkadang masih tertekuk, tetapi gadis itu sudah mulai banyak bicara dengan Dandi. Untuk sementara, hal itu sudah cukup dan biarlah semuanya berjalan dengan perlahan, tetapi pasti. “Mumpung nggak ada
“Sorry.” Qai mengangkat kedua tangan, ketika Rafa memberi penjelasan singkat perihal pertemuannya dengan Dandi. “Aku cuma bisa bantu sampai di sini.”Setelah mendapat ceramah panjang dari Thea, akhirnya Qai memilih berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa lagi. Thea memintanya untuk bersikap netral dan tidak lagi melibatkan diri dengan kedua belah pihak yang sedang bersitegang.“Oke.” Setidaknya, Rafa bisa memahami posisi Qai. Berada di tengah-tengah dua keluarga yang tidak akur, memang cukup membingungkan. “Terima kasih untuk bantuannya selama ini.”“Sorry, Ra,” ucap Qai sekali lagi dan ditujukan khusus untuk Hera. “Bukannya aku nggak mau bantu, tapi ... aku nggak bisa.”Hera mengangguk dan memaksakan senyumnya. “Dari awal, kamilah yang salah. Jadi, kami juga harus terima konsekuensinya.”“Bertahanlah.” Qai menepuk pundak Hera. “Dan perbaiki semuanya. Dan aku harap, setelah ini kita semua bisa hidup berdampingan dengan damai.”“Ini ... skandal besar Glory yang kedua.” Hera menarik na
Perasaan Agnes mulai tidak enak, ketika menghadapi Hera dan Rafa yang memasang wajah serius. Ditambah, sejak kemarin Rafa mendatangi rumah pagi-pagi sekali untuk menjemput Hera. Mereka berdua juga pulang larut, sampai-sampai Agnes tidak memiliki waktu untuk bicara dengan putrinya.“Ada apa lagi sekarang, Raf?” Pertanyaan Agnes langsung tertuju untuk Rafa.Rafa menarik napas panjang sejenak, sambil melihat Hera yang duduk di sebelah Agnes. Setelah menghembuskannya, barulah Rafa menceritakan semua hal yang saat ini sedang terjadi di Glory. Termasuk mengenai pembicaraan mereka dengan Dandi.“Jadi, kami belum bisa ketemu dan bicara dengan pak Hermawan karena beliau masih di Balikpapan,” terang Rafa kemudian.“Dan Om Hermawan baru balik sekitar satu minggu lagi, Ma,” sambung Hera lalu menggenggam erat tangan Agnes. Hera benar-benar mengkhawatirkan kondisi sang mama, yang baru saja keluar dari rumah sakit. Hera takut, jika kabar buruk yang dibawanya pagi ini, bisa memperburuk kesehatan Agne
“Wii!” Rumi terkesima melihat taman di depan rumah barunya. Sudah ada beberapa pot yang tersusun rapi dan berbunga, juga tanaman hias yang berjejer di balik pagar. “Mas Dandi yang beli ini semua?” tunjuk Rumi setelah keluar dari mobil.“Bibik yang beli.” Dandi berjalan menuju pagar dan menutupnya terlebih dahulu. “Aku mana ngerti yang begitu-begitu.”Tiba-tiba saja, Rumi menjadi kesal. “Iya, maksudku ... ck! ya, gitulah, pokoknya.”“Ayo, lihat kamar kita dulu.” Dandi segera meraih tangan Rumi, setelah mengunci pagarnya. Ia mengajak Rumi masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar mereka. “Dari kemarin kamu cuma lihat dari video, sekarang bisa lihat langsung.”Selama ini, Rumi memang hanya melihat rumah tersebut melalui video yang dikirimkan Dandi. Ia enggan keluar dan berinteraksi dengan orang lain, karena masih saja merasa tidak percaya diri.Beda kasus dengan dirinya yang pagi itu keluar rumah dan tahu-tahu duduk di sebuah halte. Pagi itu, Rumi benar-benar merasa tertekan dan tid