“Jaaauh!” Rumi kembali mendorong tubuh Dandi yang selalu menempel padanya. Jika tidak memeluk Rumi dari samping, maka pria itu akan melingkarkan tangannya dari belakang. “Aku lagi masak!”“Kamu masak, ya, masak aja.” Dandi kembali memeluk Rumi dari belakang. Ia tidak peduli, jika sang istri saat ini tengah mengaduk telur balado yang sejak semalam diidam-idamkan Rumi. Padahal, asisten rumah tangga mereka sudah menyiapkan soto daging yang bisa dihangatkan untuk makan hari ini. Namun, Rumi tetap ngotot ingin memakan telur balado. “Aku nggak ganggu.”“Ini ganggu namanya.”“Kamu wangi.” Dandi mengecup sebentar leher bagian belakang Rumi, lalu menghidu aroma tubuh gadis itu dalam-dalam. Karena sedikit obrolan yang dilakukan tadi malam, sikap dingin Rumi terasa mulai mencair. Meskipun, wajahnya terkadang masih tertekuk, tetapi gadis itu sudah mulai banyak bicara dengan Dandi. Untuk sementara, hal itu sudah cukup dan biarlah semuanya berjalan dengan perlahan, tetapi pasti. “Mumpung nggak ada
“Sorry.” Qai mengangkat kedua tangan, ketika Rafa memberi penjelasan singkat perihal pertemuannya dengan Dandi. “Aku cuma bisa bantu sampai di sini.”Setelah mendapat ceramah panjang dari Thea, akhirnya Qai memilih berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa lagi. Thea memintanya untuk bersikap netral dan tidak lagi melibatkan diri dengan kedua belah pihak yang sedang bersitegang.“Oke.” Setidaknya, Rafa bisa memahami posisi Qai. Berada di tengah-tengah dua keluarga yang tidak akur, memang cukup membingungkan. “Terima kasih untuk bantuannya selama ini.”“Sorry, Ra,” ucap Qai sekali lagi dan ditujukan khusus untuk Hera. “Bukannya aku nggak mau bantu, tapi ... aku nggak bisa.”Hera mengangguk dan memaksakan senyumnya. “Dari awal, kamilah yang salah. Jadi, kami juga harus terima konsekuensinya.”“Bertahanlah.” Qai menepuk pundak Hera. “Dan perbaiki semuanya. Dan aku harap, setelah ini kita semua bisa hidup berdampingan dengan damai.”“Ini ... skandal besar Glory yang kedua.” Hera menarik na
Perasaan Agnes mulai tidak enak, ketika menghadapi Hera dan Rafa yang memasang wajah serius. Ditambah, sejak kemarin Rafa mendatangi rumah pagi-pagi sekali untuk menjemput Hera. Mereka berdua juga pulang larut, sampai-sampai Agnes tidak memiliki waktu untuk bicara dengan putrinya.“Ada apa lagi sekarang, Raf?” Pertanyaan Agnes langsung tertuju untuk Rafa.Rafa menarik napas panjang sejenak, sambil melihat Hera yang duduk di sebelah Agnes. Setelah menghembuskannya, barulah Rafa menceritakan semua hal yang saat ini sedang terjadi di Glory. Termasuk mengenai pembicaraan mereka dengan Dandi.“Jadi, kami belum bisa ketemu dan bicara dengan pak Hermawan karena beliau masih di Balikpapan,” terang Rafa kemudian.“Dan Om Hermawan baru balik sekitar satu minggu lagi, Ma,” sambung Hera lalu menggenggam erat tangan Agnes. Hera benar-benar mengkhawatirkan kondisi sang mama, yang baru saja keluar dari rumah sakit. Hera takut, jika kabar buruk yang dibawanya pagi ini, bisa memperburuk kesehatan Agne
“Wii!” Rumi terkesima melihat taman di depan rumah barunya. Sudah ada beberapa pot yang tersusun rapi dan berbunga, juga tanaman hias yang berjejer di balik pagar. “Mas Dandi yang beli ini semua?” tunjuk Rumi setelah keluar dari mobil.“Bibik yang beli.” Dandi berjalan menuju pagar dan menutupnya terlebih dahulu. “Aku mana ngerti yang begitu-begitu.”Tiba-tiba saja, Rumi menjadi kesal. “Iya, maksudku ... ck! ya, gitulah, pokoknya.”“Ayo, lihat kamar kita dulu.” Dandi segera meraih tangan Rumi, setelah mengunci pagarnya. Ia mengajak Rumi masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar mereka. “Dari kemarin kamu cuma lihat dari video, sekarang bisa lihat langsung.”Selama ini, Rumi memang hanya melihat rumah tersebut melalui video yang dikirimkan Dandi. Ia enggan keluar dan berinteraksi dengan orang lain, karena masih saja merasa tidak percaya diri.Beda kasus dengan dirinya yang pagi itu keluar rumah dan tahu-tahu duduk di sebuah halte. Pagi itu, Rumi benar-benar merasa tertekan dan tid
“Mamamu masuk rumah sakit lagi.” Tanpa basa-basi, Hermawan langsung bicara ketika Alpha duduk di hadapannya. “Dan saham Glory, sudah ARB di lantai bursa, karena sentimen negatif yang berasal dari kasusmu.”Alpha menarik napas dalam-dalam. Sang mama kembali masuk rumah sakit dan Glory kini ada di ujung tanduk. Sementara Alpha, tidak bisa berbuat apa pun, karena sudah berada di dalam jeruji besi. Sungguh situasi yang tidak menguntungkan sama sekali.“Hera?” tanya Alpha.“Hera sibuk ngurus mamamu.” Hermawan menelisik penampilan Alpha yang tidak terlalu banyak berubah. Ia tidak heran akan hal tersebut, karena uang bisa melakukan apa saja di dalam sana. “Sementara Rafa, sibuk melobi relasinya di luar negeri, karena investor Glory mulai menarik dananya satu per satu. Dan ini semua, karena kesalahanmu.”Alpha tersenyum miring. “Glory, akan tetap bertahan.”“Dengan apa, Al?” Hermawan membalas Alpha dengan senyum yang lebih congkak. “Siapa yang mau kamu andalkan? Hera? Ckckck ... tinggal satu
“Tensinya mama, turun lagi.” Hera keluar kamar inap yang ditempati Agnes, lalu membiarkannya sedikit terbuka. Ia menemui Rafa yang berkunjung di depan ruang, karena tidak ingin mengganggu sang mama yang sedang beristirahat. “Tadi malam, om Hermawan yang bawa mama ke rumah sakit, habis ketemu pak Jaya sama mas Dandi.”Rafa menghela panjang, lalu mempersilakan Hera duduk lebih dulu di kursi tunggu di depan ruang. Setelahnya, barulah Rafa duduk di sebelah Hera, dengan memberi jarak di antara mereka.“Apa hasil pembicaraan semalam?” tanya Rafa harus mengetahui semuanya, agar bisa segera mengambil keputusan dan bergerak cepat. Karena itulah, buru-buru Rafa datang, setelah mengetahui Agnes masuk rumah sakit. Itu pun, Rafa mengetahuinya ketika ia menghubungi Hera beberapa waktu lalu. Jika tidak, Rafa mungkin belum tahu jika Agnes kembali mendapat perawatan. “Mas Dandi nggak berubah pikiran. Tapi ...” Hera menceritakan semua hal yang didengarnya dari Hermawan pada Rafa. “Om Hermawan ada ren
“Kenapa?”Dandi berdecak mendengar pertanyaan Rumi. Ia masih duduk menatap e-mail, yang dikirimkan oleh Qai di meja kerjanya. “Aku ngantor.”“Iya, aku tahu, Mas.” Rumi heran, sejak bangun tidur Dandi sudah terlihat tidak bersemangat. Cuti Dandi sepertinya sudah habis dan hari ini pria itu akan kembali ke kantor dengan jam kerja normal. Namun, kenapa Dandi selalu saja berdecak dan mendesàh? Pria itu seolah frustrasi dan sedang mengalami banyak masalah. “Dulu, tiap hari juga ngantor.”Dandi menoleh pada Rumi, yang sedang bermalas-malasan di tempat tidur. Kemudian, Dandi kembali menatap layar laptopnya dan melihat jam digital yang tertera di sana.“Tapi sekarang beda.” Dandi beranjak, lalu ikut bergelung di tempat tidur dengan Rumi. “Paling cepat, sore baru aku sampai rumah. Apalagi Qai sekarang lagi babymoon sama Thea. Jadi, aku mungkin bakal stuck di kantor selama seminggu ini.”“Mas.” Rumi berusaha menjauhkan Dandi yang memeluknya. “Kemejamu kusut lagi kalau dipake guling-guling gini.
“Aku mau mundur dari direksi Glory.”Alpha mengangkat tinggi kedua alisnya, setelah mendengar penuturan Hera. Apalagi yang terjadi di luar sana, sehingga sang adik tiba-tiba memutuskan hengkang dari Glory. Alpha tahu benar, tentang ambisi Hera yang ingin memimpin Glory. Jadi, wajar rasanya bila ia curiga dan bertanya-tanya akan pengambilan keputusan tersebut.“Mundur?” tanya Alpha. “Apa om Hermawan yang minta? Dia maksa kamu mundur, sama seperti dia maksa aku ngelepas saham Glory.”“Aku mau mundur dari direksi,” ulang Hera dengan perlahan dan tersenyum. “Bukan dari pemegang saham internal.”“Tapi, kenapa?”“Aku capek,” jawab Hera mengendik singkat. “Dan, aku akhirnya sadar, kalau kemampuanku untuk memimpin, ternyata nggak sehebat itu. Mungkin itu yang jadi alasan almarhum papa, nggak pernah ngasih jabatan yang tanggung jawabnya terlalu besar. Papa pasti sudah tahu, mentalku nggak terlalu kuat untuk itu semua.”“Serius, om Hermawan nggak maksa kamu?” Alpha masih tidak percaya, Hera akh
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan