“Aku mau mundur dari direksi Glory.”Alpha mengangkat tinggi kedua alisnya, setelah mendengar penuturan Hera. Apalagi yang terjadi di luar sana, sehingga sang adik tiba-tiba memutuskan hengkang dari Glory. Alpha tahu benar, tentang ambisi Hera yang ingin memimpin Glory. Jadi, wajar rasanya bila ia curiga dan bertanya-tanya akan pengambilan keputusan tersebut.“Mundur?” tanya Alpha. “Apa om Hermawan yang minta? Dia maksa kamu mundur, sama seperti dia maksa aku ngelepas saham Glory.”“Aku mau mundur dari direksi,” ulang Hera dengan perlahan dan tersenyum. “Bukan dari pemegang saham internal.”“Tapi, kenapa?”“Aku capek,” jawab Hera mengendik singkat. “Dan, aku akhirnya sadar, kalau kemampuanku untuk memimpin, ternyata nggak sehebat itu. Mungkin itu yang jadi alasan almarhum papa, nggak pernah ngasih jabatan yang tanggung jawabnya terlalu besar. Papa pasti sudah tahu, mentalku nggak terlalu kuat untuk itu semua.”“Serius, om Hermawan nggak maksa kamu?” Alpha masih tidak percaya, Hera akh
“Pagi, Om.” Thea masuk tanpa permisi ke ruang kerja Dandi. Sambil menenteng sebuah paper bag, lalu meletakkannya di meja kerja pria itu. “Buat kamu sama Ru ... itu, infuse water? Lemon sama strawberry?”“Memangnya kenapa?” Dandi meraih paper bag tersebut, lalu mengeluarkan isinya satu per satu.Thea menggeleng. Ia kembali mengingat-ingat ketika Dandi berada di rumahnya suatu siang. Pria itu juga ingin meminum jus strawberry dan meminta mangga muda.Sungguh aneh.Selama mengenal Dandi, pria itu tidak pernah bersikap seperti ini. Jangan-jangan ...“Aku beliin—”“Kamu ke Malang?” tanya Dandi melihat semua oleh-oleh Thea berasal dari kota kelahiran Rumi.Thea mengangguk. “Malang dua hari, terus sisanya ke Batu.”“Nggak jadi ke Bali?” Dandi memasukkan kembali buah tangan dari Thea, satu per satu ke dalam paper bag.“Nggak jadi.” Thea mengambil infuse water Dandi lalu meminumnya. “Kok, enak. Aku mau minta bikinin juga sama bibik nanti.”“Kembalikan,” ujar Dandi sudah menatap berang. “Itu Ru
“Kenapa berantakan seperti ini?” Agnes ternganga melihat pakaian Hera yang menumpuk di atas tempat tidur. Kemudian, Agnes melihat jam dinding yang hampir menunjukkan pukul setengah tujuh malam. “Rafa bentar lagi jemput, Ra. Setengah tujuh, kan?” “Aku ...” Hera menoleh sebentar pada Agnes. “Aku baru nyadar kalau nggak punya ... baju.” Agnes menggulirkan bola matanya. Alasan klise yang kerap dihadapi para wanita di dunia, salah satunya adalah yang dikatakan oleh Hera barusan. Namun, Agnes tidak akan protes karena ia pun juga sering mengalami hal seperti itu. Terlebih ketika harus keluar rumah untuk menghadiri sebuah acara. “Terus, yang di atas ranjang ini apa namanya?” tanya Agnes. “Itu semua baju ... itu baju.” Tanpa menutup pintu lemarinya, Hera mendekat ke tempat tidur. Meraih kepala hanger satu per satu dan memperhatikan lagi semua pakaian tersebut. “Ini baju buat acara formal atau ketemu klien, Ma.” “Memangnya, sekarang ini kamu mau ke acara yang bagaimana dan ketemu siapa?” pa
“Aku rasa, kita nggak perlu lagi nyembunyiin kehamilanmu.” Menurut Dandi, keadaan sudah kondusif dan tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Selain itu, mereka juga tidak bisa menutupi perihal kehamilan Rumi selamanya, kan?Lambat laun, orang-orang juga akan tahu, jika istri Dandi Sebastian saat ini sedang hamil. Tinggal menunggu ada yang memergoki mereka menemui dokter kandungan, maka terbongkarlah semuanya.Rumi mengerjap cepat dan tidak memiliki pilihan sama sekali. Perutnya juga semakin besar dan hal itu mustahil untuk ditutupi. Namun, Rumi tetap tidak mau terekspos oleh siapa pun.“Tapi ... kita kasih tahu keluarga aja, ya, Mas,” pinta Rumi yang tengah berbaring malas dan menjadikan paha Dandi sebagai bantal di ruang keluarga. “Maksudku, cuma om Jaya, mas Qai sama mbak Thea, karena yang lainnya, kan, sudah tahu.”“Aku juga punya pikiran begitu.”“Ya udah, kasih tahu aja.” Rumi mulai menguap, padahal hari masih terlalu pagi.“Ngantuk?”“Nggak, cuma—”“Mas, ada mbak Thea sama mas
“Ra, jam berapa sebenarnya kamu janjian sama Rafa?” tanya Agnes memastikan. Namun, hal tersebut ternyata sedikit mengagetkan Hera, yang tengah serius membaca buku di meja makan. Tangan kirinya memegang buku, sementara tangan kanannya sibuk memasukkan keripik singkong ke mulut.Hera menoleh. Memandang sang mama yang duduk di sebelahnya. “Katanya, mau jemput jam 11-an.”“Tapi Rafa sudah ada di luar.”Hera reflek menutup buku yang dibacanya dengan keras. Buru-buru ia melihat ponsel di samping toples keripik, lalu menyalakan layarnya.“Ini baru setengah sepuluh.” Hera memutar posisi duduknya, lalu mendongak untuk melihat jam dinding. Siapa tahu saja angka yang tertera di ponselnya mengalami kekeliruan alias error. Namun, jarum jam yang tertera di sana juga menunjukkan waktu yang sama.Masih setengah sepuluh pagi, tetapi Rafa sudah muncul di rumahnya.“Sudah dari jam sembilan ke sininya,” ujar Agnes meluruskan. “Mama ngobrol-ngobrol dulu di depan, baru ke belakang. Lupa belum ngasih minum,
Dandi mengangguk sopan pada Agnes, yang baru saja bangkit dari tempat duduknya. Wajah wanita itu terlihat tegang, juga lelah setelah mengikuti jalannya persidangan dari awal. Ada Hera yang masih duduk di sebelah Agnes, tetapi, pandangan wanita itu hanya tertuju pada Alpha yang berjalan keluar ruang sidang.Kemudian, Dandi beranjak dan segera pergi dari ruang persidangan tanpa menghampiri kedua wanita itu. Dandi tidak mau menambah drama dalam hidupnya, karena fokusnya saat ini hanyalah untuk keluarga dan perusahaan.Ketika Dandi sudah berada di pelataran pengadilan, ia melihat Rafa yang baru datang dan langsung menghampirinya.“Apa kabar, Dan?” tanya Rafa mengulurkan tangan lebih dahulu pada pria itu.“Sempurna.” Dandi menjabat tangan Rafa sebentar. “Sidang Alpha sudah selesai dan kamu baru datang.”Rafa menghela sambil menenggelamkan satu tangan ke dalam saku celana. “Aku ada meeting dengan pak Hermawan. Dan, aku juga nggak ada niat untuk melihat sidang Alpha. Aku ke sini mau jemput H
“Boleh pinjam Hera sebentar?”Ucapan Rafa tersebut, membuat obrolan hangat di meja makan mendadak menjadi hening. Tidak seperti Hera yang sejak tadi tampak canggung, Rafa benar-benar terlihat tenang-tenang saja.“Ra?” tegur Sania, ibu Rafa. “Jangan melamun.”Agnes kemudian terkekeh pelan sambil mengusap punggung Hera, tetapi tatapannya tertuju pada Rafa yang duduk berseberangan dengan putrinya. “Jangan lupa dibalikin.”Rafa tertawa sembari memundurkan kursi dan beranjak dari meja makan. Ia mengitari meja persegi, lalu membantu Hera berdiri dengan menarik kursi wanita itu.“Permisi,” pamit Hera canggung dan masih merasa malu dengan keluarga Rafa.Kedua orang tua Rafa sempat beberapa kali datang menjenguk, ketika Hera masih berada di kursi roda. Namun, karena kesadaran Hera kala itu belum benar-benar pulih, maka Hera tidak mengetahuinya. Jadi, bagi Hera, makan malam kali ini adalah pertama kalinya ia bertemu Arlan dan Sania secara resmi.“Memangnya kita mau ke mana, Mas?” tanya Hera ket
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan