“Sorry.” Qai mengangkat kedua tangan, ketika Rafa memberi penjelasan singkat perihal pertemuannya dengan Dandi. “Aku cuma bisa bantu sampai di sini.”Setelah mendapat ceramah panjang dari Thea, akhirnya Qai memilih berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa lagi. Thea memintanya untuk bersikap netral dan tidak lagi melibatkan diri dengan kedua belah pihak yang sedang bersitegang.“Oke.” Setidaknya, Rafa bisa memahami posisi Qai. Berada di tengah-tengah dua keluarga yang tidak akur, memang cukup membingungkan. “Terima kasih untuk bantuannya selama ini.”“Sorry, Ra,” ucap Qai sekali lagi dan ditujukan khusus untuk Hera. “Bukannya aku nggak mau bantu, tapi ... aku nggak bisa.”Hera mengangguk dan memaksakan senyumnya. “Dari awal, kamilah yang salah. Jadi, kami juga harus terima konsekuensinya.”“Bertahanlah.” Qai menepuk pundak Hera. “Dan perbaiki semuanya. Dan aku harap, setelah ini kita semua bisa hidup berdampingan dengan damai.”“Ini ... skandal besar Glory yang kedua.” Hera menarik na
Perasaan Agnes mulai tidak enak, ketika menghadapi Hera dan Rafa yang memasang wajah serius. Ditambah, sejak kemarin Rafa mendatangi rumah pagi-pagi sekali untuk menjemput Hera. Mereka berdua juga pulang larut, sampai-sampai Agnes tidak memiliki waktu untuk bicara dengan putrinya.“Ada apa lagi sekarang, Raf?” Pertanyaan Agnes langsung tertuju untuk Rafa.Rafa menarik napas panjang sejenak, sambil melihat Hera yang duduk di sebelah Agnes. Setelah menghembuskannya, barulah Rafa menceritakan semua hal yang saat ini sedang terjadi di Glory. Termasuk mengenai pembicaraan mereka dengan Dandi.“Jadi, kami belum bisa ketemu dan bicara dengan pak Hermawan karena beliau masih di Balikpapan,” terang Rafa kemudian.“Dan Om Hermawan baru balik sekitar satu minggu lagi, Ma,” sambung Hera lalu menggenggam erat tangan Agnes. Hera benar-benar mengkhawatirkan kondisi sang mama, yang baru saja keluar dari rumah sakit. Hera takut, jika kabar buruk yang dibawanya pagi ini, bisa memperburuk kesehatan Agne
“Wii!” Rumi terkesima melihat taman di depan rumah barunya. Sudah ada beberapa pot yang tersusun rapi dan berbunga, juga tanaman hias yang berjejer di balik pagar. “Mas Dandi yang beli ini semua?” tunjuk Rumi setelah keluar dari mobil.“Bibik yang beli.” Dandi berjalan menuju pagar dan menutupnya terlebih dahulu. “Aku mana ngerti yang begitu-begitu.”Tiba-tiba saja, Rumi menjadi kesal. “Iya, maksudku ... ck! ya, gitulah, pokoknya.”“Ayo, lihat kamar kita dulu.” Dandi segera meraih tangan Rumi, setelah mengunci pagarnya. Ia mengajak Rumi masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar mereka. “Dari kemarin kamu cuma lihat dari video, sekarang bisa lihat langsung.”Selama ini, Rumi memang hanya melihat rumah tersebut melalui video yang dikirimkan Dandi. Ia enggan keluar dan berinteraksi dengan orang lain, karena masih saja merasa tidak percaya diri.Beda kasus dengan dirinya yang pagi itu keluar rumah dan tahu-tahu duduk di sebuah halte. Pagi itu, Rumi benar-benar merasa tertekan dan tid
“Mamamu masuk rumah sakit lagi.” Tanpa basa-basi, Hermawan langsung bicara ketika Alpha duduk di hadapannya. “Dan saham Glory, sudah ARB di lantai bursa, karena sentimen negatif yang berasal dari kasusmu.”Alpha menarik napas dalam-dalam. Sang mama kembali masuk rumah sakit dan Glory kini ada di ujung tanduk. Sementara Alpha, tidak bisa berbuat apa pun, karena sudah berada di dalam jeruji besi. Sungguh situasi yang tidak menguntungkan sama sekali.“Hera?” tanya Alpha.“Hera sibuk ngurus mamamu.” Hermawan menelisik penampilan Alpha yang tidak terlalu banyak berubah. Ia tidak heran akan hal tersebut, karena uang bisa melakukan apa saja di dalam sana. “Sementara Rafa, sibuk melobi relasinya di luar negeri, karena investor Glory mulai menarik dananya satu per satu. Dan ini semua, karena kesalahanmu.”Alpha tersenyum miring. “Glory, akan tetap bertahan.”“Dengan apa, Al?” Hermawan membalas Alpha dengan senyum yang lebih congkak. “Siapa yang mau kamu andalkan? Hera? Ckckck ... tinggal satu
“Tensinya mama, turun lagi.” Hera keluar kamar inap yang ditempati Agnes, lalu membiarkannya sedikit terbuka. Ia menemui Rafa yang berkunjung di depan ruang, karena tidak ingin mengganggu sang mama yang sedang beristirahat. “Tadi malam, om Hermawan yang bawa mama ke rumah sakit, habis ketemu pak Jaya sama mas Dandi.”Rafa menghela panjang, lalu mempersilakan Hera duduk lebih dulu di kursi tunggu di depan ruang. Setelahnya, barulah Rafa duduk di sebelah Hera, dengan memberi jarak di antara mereka.“Apa hasil pembicaraan semalam?” tanya Rafa harus mengetahui semuanya, agar bisa segera mengambil keputusan dan bergerak cepat. Karena itulah, buru-buru Rafa datang, setelah mengetahui Agnes masuk rumah sakit. Itu pun, Rafa mengetahuinya ketika ia menghubungi Hera beberapa waktu lalu. Jika tidak, Rafa mungkin belum tahu jika Agnes kembali mendapat perawatan. “Mas Dandi nggak berubah pikiran. Tapi ...” Hera menceritakan semua hal yang didengarnya dari Hermawan pada Rafa. “Om Hermawan ada ren
“Kenapa?”Dandi berdecak mendengar pertanyaan Rumi. Ia masih duduk menatap e-mail, yang dikirimkan oleh Qai di meja kerjanya. “Aku ngantor.”“Iya, aku tahu, Mas.” Rumi heran, sejak bangun tidur Dandi sudah terlihat tidak bersemangat. Cuti Dandi sepertinya sudah habis dan hari ini pria itu akan kembali ke kantor dengan jam kerja normal. Namun, kenapa Dandi selalu saja berdecak dan mendesàh? Pria itu seolah frustrasi dan sedang mengalami banyak masalah. “Dulu, tiap hari juga ngantor.”Dandi menoleh pada Rumi, yang sedang bermalas-malasan di tempat tidur. Kemudian, Dandi kembali menatap layar laptopnya dan melihat jam digital yang tertera di sana.“Tapi sekarang beda.” Dandi beranjak, lalu ikut bergelung di tempat tidur dengan Rumi. “Paling cepat, sore baru aku sampai rumah. Apalagi Qai sekarang lagi babymoon sama Thea. Jadi, aku mungkin bakal stuck di kantor selama seminggu ini.”“Mas.” Rumi berusaha menjauhkan Dandi yang memeluknya. “Kemejamu kusut lagi kalau dipake guling-guling gini.
“Aku mau mundur dari direksi Glory.”Alpha mengangkat tinggi kedua alisnya, setelah mendengar penuturan Hera. Apalagi yang terjadi di luar sana, sehingga sang adik tiba-tiba memutuskan hengkang dari Glory. Alpha tahu benar, tentang ambisi Hera yang ingin memimpin Glory. Jadi, wajar rasanya bila ia curiga dan bertanya-tanya akan pengambilan keputusan tersebut.“Mundur?” tanya Alpha. “Apa om Hermawan yang minta? Dia maksa kamu mundur, sama seperti dia maksa aku ngelepas saham Glory.”“Aku mau mundur dari direksi,” ulang Hera dengan perlahan dan tersenyum. “Bukan dari pemegang saham internal.”“Tapi, kenapa?”“Aku capek,” jawab Hera mengendik singkat. “Dan, aku akhirnya sadar, kalau kemampuanku untuk memimpin, ternyata nggak sehebat itu. Mungkin itu yang jadi alasan almarhum papa, nggak pernah ngasih jabatan yang tanggung jawabnya terlalu besar. Papa pasti sudah tahu, mentalku nggak terlalu kuat untuk itu semua.”“Serius, om Hermawan nggak maksa kamu?” Alpha masih tidak percaya, Hera akh
“Pagi, Om.” Thea masuk tanpa permisi ke ruang kerja Dandi. Sambil menenteng sebuah paper bag, lalu meletakkannya di meja kerja pria itu. “Buat kamu sama Ru ... itu, infuse water? Lemon sama strawberry?”“Memangnya kenapa?” Dandi meraih paper bag tersebut, lalu mengeluarkan isinya satu per satu.Thea menggeleng. Ia kembali mengingat-ingat ketika Dandi berada di rumahnya suatu siang. Pria itu juga ingin meminum jus strawberry dan meminta mangga muda.Sungguh aneh.Selama mengenal Dandi, pria itu tidak pernah bersikap seperti ini. Jangan-jangan ...“Aku beliin—”“Kamu ke Malang?” tanya Dandi melihat semua oleh-oleh Thea berasal dari kota kelahiran Rumi.Thea mengangguk. “Malang dua hari, terus sisanya ke Batu.”“Nggak jadi ke Bali?” Dandi memasukkan kembali buah tangan dari Thea, satu per satu ke dalam paper bag.“Nggak jadi.” Thea mengambil infuse water Dandi lalu meminumnya. “Kok, enak. Aku mau minta bikinin juga sama bibik nanti.”“Kembalikan,” ujar Dandi sudah menatap berang. “Itu Ru