“Berengsek!” Alpha mengumpat, saat menonton berita di televisi yang ada di ruang kerjanya. Di layar berukuran 32 inci tersebut, terpampang berita penangkapan pelaku penyebar foto-foto tidak senonoh Rumi di media. Dandi benar-benar bergerak cepat dan tidak membiarkan Alpha berpikir barang sejenak.Di layar tersebut, ada wawancara dari pihak aparat, yang menyatakan bahwa kedua orang tersebut hanyalah suruhan. Sementara untuk pelaku utama, mereka sudah mengantongi nama, beserta barang buktinya. Setelah ini, mereka hanya tinggal melakukan proses sesuai hukum yang berlaku.Alpha mematikan televisi dan melempar remote-nya ke sofa dengan kasar. Belum sempat kakinya melangkah, pintu ruangannya terbuka dan Agnes muncul di sana.“Ma—”“Diam, Al!” hardik Agnes sembari berjalan masuk, diikuti Hera di belakangnya. “Sudah lihat berita? Atau sudah baca?”“Langsung ke intinya.” Alpha kembali menyandarkan bokong di sisi meja kerjanya. Tidak jadi kembali ke kursi kerja dan melanjutkan pekerjaannya hari
“Ibu sepertinya butuh istirahat.” Rafa menghampiri Agnes, yang sudah menunggunya di kantin Glory yang berada di lantai atas. Karena jam makan siang sudah usai, maka suasana di lantai teratas gedung tidak terlalu ramai. Agnes sepertinya butuh seseorang untuk berkeluh kesah. Karena itulah, Rafa langsung pergi menjumpai Agnes setelah mendapat panggilan dari wanita itu. “Harusnya memang seperti itu, setelah saya melepas semuanya sama Hera.” Agnes memajukan kursinya. “Tapi, ternyata masalah datang lagi.”Rafa turut prihatin dengan semua kejadian yang menimpa keluarga Mahawira. Jika saja, semua orang yang terlibat mau bersikap rendah hati dan membuang jauh keegoisannya, maka semua ini tidak akan terjadi. “Apa Ibu siap, melihat Alpha ada di penjara?” Agnes menggeleng. Ibu mana yang siap dan tega, melihat anaknya berada dalam masalah lalu jatuh dalam keterpurukan. Namun, Agnes pun tidak mampu melakukan apa-apa.“Siap, nggak siap.” Agnes harus belajar legawa atas musibah yang terjadi. “Kare
“Ini penawaran pertama dan terakhir.” Hermawan Soerapraja, melempar sebuah amplop cokelat di hadapan Alpha. Mendengar Agnes semakin sakit kepala dengan sikap Alpha, akhirnya ia pun turun tangan. Padahal, Hermawan paling tidak mau mencampuri urusan orang lain. Jika saja Agnes bukan kakaknya, maka Hermawan enggan menolong wanita itu.“Penawaran?” Alpha membuka amplop tersebut, lalu membaca dokumen yang baru dikeluarkannya dengan seksama.Semua orang yang mengelilingi meja makan, menunggu dalam diam dan tidak berani berucap apa pun, karena pertemuan malam ini sangatlah krusial. Keputusan yang akan diambil Alpha, akan menentukan bagaimana Hera akan bersikap ke depannya.“Apa ini!” seru AlphaBrak!Hermawan menggebrak meja di detik Alpha menyerukan suaranya. Terang saja beberapa orang lainnya langsung terkejut dengan sikap Hermawan tersebut.“Apa masih kurang jelas!” Hermawan membalas Alpha dengan intonasi yang sama.Alpha mengerjap. Tetap bersikap tenang dan mengangkat dagunya. Meskipun s
“Ini kamarnya Dandi dulu.” Tya masuk lebih dulu, setelah membuka pintu kamar Dandi yang sudah tidak pernah lagi digunakan putranya. “Nggak ada yang diubah. Paling cuma ganti sprei sama dibersihin.”Rumi menelisik kamar Dandi dengan perlahan. Kamar yang simple dan tidak banyak perabotan di dalamnya. Sama seperti kamar yang berada di rumah milik Dandi. Bernuansa minimalis dan hanya meletakkan barang-barang yang perlu saja.Setelah sedikit drama saat melihat rumah, akhirnya Dandi langsung mengajak Rumi ke rumah orang tuanya. Kebetulan, Tya tidak ada acara dan baru akan pergi sore harinya.“Mas Dandi memang nggak punya foto, Ma?” tanya Rumi. “Di rumah juga nggak ada fotonya.”“Haduuh, dia itu kalau difoto susah banget!” seru Tya sembari duduk di tepi ranjang. “Pokoknya nggak fotogenik.”Rumi terkekeh dan baru menyadari mereka berdua tidak memiliki foto mesra berdua di ponsel. Rasya sepertinya punya foto akad nikah Rumi dan Dandi, tetapi situasinya saat itu benar-benar formal. Setelah ini,
“Ra … Bu Agnes gimana?” Rafa sampai salah berucap dan memanggil Hera tanpa sebutan ibu. “Maaf, Bu Hera.”Kedua alis Alpha terangkat tinggi, ketika mendengar Rafa buru-buru meralat ucapannya. Apa ada yang salah? Bukannya, selama ini Rafa memang selalu memanggil Hera tanpa sebutan “ibu”. Hanya Hera dan tidak pernah seformal yang Alpha dengan saat ini.Apa Alpha melewatkan sesuatu?“Mas …” Hera segera berdiri dan masih dalam keadaan bingung. Mengapa Rafa tiba-tiba berada di rumah sakit, padahal Hera tidak menghubungi pria itu sama sekali. Tidak mungkin Alpha, karena kakak laki-lakinya itu tidak sepeduli itu dengan Rafa. “Tahu dari mana Mama dilarikan ke sini?”“Qai yang nelpon,” jawab Rafa. “Saya kebetulan ada di sekitar sini, jadi langsung mampir.”“Ohh …” Hera kembali duduk, disusul Rafa yang juga duduk di sampingnya. Namun, pria itu menyisakan jarak, sehingga mereka tidak duduk berdempetan. Sebenarnya, mengapa Qai harus menghubungi Rafa dan memberitahukan kondisi Agnes yang dilarikan
“Gimana?” tanya Dandi setelah memperlihatkan sebuah video, yang dikirimkan oleh staff marketing property pada Rumi. “Yang barusan itu lebih kecil dari rumah yang kemarin. Tapi, tamannya lebih luas.”“Bagus, sih, Mas.”“Tapi?”“Mahal.”Dandi memutar malas bola matanya. Padaha Rumi tahu, Dandi cukup mampu membeli rumah tersebut tanpa menyicil dan masih memiliki tabungan yang cukup lumayan. Namun, Rumi tetap merasa rumah yang dipilih Dandi terlalu mahal.“Nggak usah pikirin harga.” Dandi jadi geregetan sendiri. “Ibu sama Rasya besok sudah balik Malang. Mungkin, dua atau tiga minggu lagi sudah pindah ke sini. Jadi, kita juga harus siap-siap dengan rumah yang baru.”“Kenapa harus buru-buru.” Lelah duduk bersandar pada kepala ranjang, Rumi membaringkan tubuhnya dan meletakkan kepala di pangkuan Dandi. “Aku, tuh, sudah terlalu nyaman tinggal di sini.”Rumi meletakkan ponsel Dandi begitu saja di tempat tidur, lalu memiringkan tubuhnya memunggungi sang suami.“Sudah kubilang—”“Iya, tahu, Mas.
“Mas Dandi.” Langkah Hera terhenti, ketika melihat Dandi keluar dari lift. Saat tatapan mereka bersirobok dari jauh, pria itu membelokkan langkahnya menuju ke arah Hera. Pria itu tidak tersenyum dan hanya menatap datar pada Hera.“Si—”“Ada rapat 15 menit lagi, kan?” potong Dandi berhenti dengan jarak satu meter dengan Hera. Ia menenggelamkan satu tangan ke saku celana, lalu menoleh pada lorong yang mengarah ke ruangan Alpha sebentar.“Mas Dandi mau ikut rapat?” tebak Hera.“Aku punya hak untuk itu, kan?” Dandi justru bertanya balik. “Jadi, rapatnya di ruang yang kemarin? Atau di mana?”“Di atas.” Kaki Hera seolah terpaku dan tidak bisa beranjak ke mana pun. Jantungnya berdebar tidak karuan, karena khawatir dengan nasib perusahaannya ke depan. Hera berharap, setelah Alpha mendapatkan hukuman setimpal, Dandi sudah tidak akan lagi mengganggu Glory. “Mas, setelah mas Al masuk penjara, apa semua ini pasti selesai?”“Ter-gan-tung.”Jawab Dandi barusan, terdengar sangat mengkhawatirkan. “Te
“Aku mau bicara, serius.” Hari masih sangat pagi, tapi Dandi sudah mengajak Rumi membicarakan sesuatu dengan serius. Wajah Dandi pun tidak terlihat cuek, ataupun santai seperti biasanya. Apa suaminya itu sedang tersangung masalah, sehingga Dandi terlihat tidak nyaman?“Apa … ada masalah, Mas?”Dandi menarik kursi kosong di balkon dan memposisikannya di hadapan Rumi, yang sedang menunggu matahari terbit. Hari memang masih terlalu pagi, tetapi Dandi harus memberitahukan Rumi langsung dari mulutnya sendiri.“Pihak kepolisian akan manggil kamu sebagai saksi untuk memberi keterangan.” Melihat wajah resah Rumi, Dandi segera menggenggam kedua tangan istrinya. “Dengarkan aku, semua penyelidikan, pengumpulan barang bukti dan wawancara beberapa saksi sudah dilakukan. Sekarang tinggal kamu, karena kamu korban di sini. Jad—”“Mas.” Rumi menyela. “Aku nggak masalah kalau kita harus pergi ke dokter kandungan, atau ngelihat rumah seperti kemarin, karena aku nggak ketemu banyak orang. Tapi kalau har