Sesampainya di mobil, Rara menyala mesin mobilnya dan berlalu pergi tanpa pamit dengan satupun. Sudah hilang rasa hormat Rara atas pengkhianatan suaminya.
Vina dan Rista hanya bisa melihat dari balik jendela tanpa berani mengantarkan keluar. Sementara Ridwan hanya tertunduk lemah di kamar. "Arrggghhh! Kacau! Semuanya kacau!" rutuk Ridwan. Ridwan mengepal tanganya menghantam dinding kamar itu. Dia kesal, entah apa yang Ridwan kesalkan, padahal dia yang berbuat curang tetapi justru Ridwan sendiri yang seperti kebakaran jenggotnya. Ridwan benar-benar kalut dan kacau."Vina!" teriak Ridwan memanggil adik bungsunya. Vina yang tengah kebingungan di luar terperanjat mendengar teriakan Ridwan. "Ma, Mas kenapa? Aku takut, Ma," Ujar Vina pada Rista. "Sudah sana! Kamu temui, Masmu itu!" titah Rista. Dengan rasa takut yang teramat Vina melangkahkan kakinya menuju kamar Ridwan. Pintu kamar yang masih terbuka seperti sebelum Rara pergi, pembuat Vina bisa langsung menangkap sosok kakak tertuanya. Ridwan duduk di sisi ranjang dengan menyilang tangannya di dada. Ridwan menatap Vina tajam. Membuat nyali Vina menciut. Vina hanya menunduk sambil memainkan ujung baju dengan ibu jarinya. "Masuk!" hardik Ridwan. Terpatah-patah langkah Vina masuk ke dalam. Semua persendian Vina bergetar menahan rasa takut. Vina tau betul kakak tertuanya ini tidak pernah marah, tapi sekalinya marah Ridwan bisa kalap. "Tau apa kesalahan kamu?!" tanya Ridwan meninggi. "Maaf, Mas, ma–maksudnya apa? Aku nggak ngerti." "Nggak usah pura-pura bodoh, kamu!" Lagi, Vina hanya menunduk ketakutan. "Ma–maaf, Mas, aku nggak sengaja." Sanggah Vina. Plak! Sebuah tamparan mendadak tiba-tiba di muka mulus Vina. Vina kaget benar-benar kaget! "Mas! Mas Ridwan jahat! Tega Mas tampar aku! Makanya mas kalau gak ahli selingkuh jangan selingkuh! Kenapa harus menyalahkan aku?! Mas aja yang gak pandai mengelabui Mbak Rara." Jerit Vina dengan tangis yang pecah menahan sakit akibat tamparan kakak tertuanya. "Nggak usah banyak omong kamu! Kalau bukan kamu yang jadi biang keroknya nggak mungkin Rara sampai curiga! Dasar adik nggak guna!" umpat Ridwan. "Aku kan sudah minta maaf sama Mas kemarin, sekarang giliran Mbak Rara tau aja masih nyalahin aku!" sungut Vina gak kalah tingginya. Ridwan hendak melayangkan kembali tamparan itu di muka Vina, namun terhenti sebab Rista datang. "Ridwan! Kamu apa-apaan, Le! Kok main pukul adikmu? Nggak baik begitu, Nak, Mama nggak pernah ngajari kamu seperti itu, adikmu nggak salah, kamu yang salah!" Rista emosi melihat aksi anak laki-laki yang hendak menampar Vina. Ridwan mengepal tangannya dan berteriak histeris. Argh! "Mulai besok kamu kerja! Nggak usah minta lagi uang sama, Mas! Mas nggak mau lagi biayain kamu. Kamu selesaikan sendiri kuliahmu itu!" Umpat Ridwan sambil berlalu keluar. "Istighfar, Nak, istighfar. Nggak boleh begitu sama saudara sendiri, Vina adik perempuanmu satu-satunya, Le. Masa kamu tega sama adik sendiri?" langkah Ridwan terhenti mendengar penuturan Rista. "Maaf, Ma, dia itu sudah bikin ulah ini makanya aku sampai kacau begini. Dia jadi adik nggak becus. Biar dia tau rasa cari uang sendiri tu gimana! nggak taunya cuma minta aja!"sindir Ridwan sembari menatap tajam Vina. Ridwan saat ini benar-benar sedang emosi. Pikirannya benar-benar sedang kalut, Vina lah tempat dia melampiaskan semuanya. "Kamu itu saat ini sedang emosi, Le, nggak boleh mengucapkan sesuatu hal yang gak baik saat sedang emosi. Nanti kamu nyesel.Kamu tenangkan dulu dirimu ya, nanti kamu selesaikan baik-baik masalahmu sama Rara, ya."Ridwan menarik nafasnya berat, membuangnya dengan kasar. Sedikit tersadar Ridwan karena ucapan Rista, ada benarnya apa yang diucapkan Mamanya. Ridwan tertunduk, membayangkan wajah cantik Rara dan Hanum yang mungkin saat ini sedang meratapi dan menangis karena ulahnya. "Aku pamit pulang, Ma, doain masalah aku cepat selesai." Ridwan mencium tangan Rista meminta doa. "Doa Mama selalu untukmu, Le. Kamu harus bisa selesaikan ini, pesan Mama cuma satu. Kamu jangan sampai cerai sama Rara, itu saja." Ujar Rista dengan senyuman yang tersirat penuh makna. Ridwan hanya mengangguk kecil dan berlalu keluar menuju mobilnya untuk pulang ke rumahnya. Hari sudah beranjak petang yang ingin segera berganti dengan malam hari. Cuaca terang sudah mulai redup karena matahari sudah hendak bersembunyi dari tempatnya menyinari bumi. Jalan raya ramai oleh pengemudi yang hilir mudik. **********Sesampainya dirumah Hanum turun dan menutup pintu mobil itu dengan keras. Rara kaget melihat apa yang dilakukan anak semata wayangnya. Rara paham betul saat ini Hanum kecewa "mungkin rasa kamu lebih dari yang bunda rasakan, Nak. Maafin bunda," Gumam Rara. "Kak, tunggu bunda, Nak." Teriak Rara saat keluar dari mobil. Beberapa karwan Rara tak sengaja melihat pemandangan tersebut, sehingga mereka tahu jika majikan mereka sedang dalam masalah. "Itu Bunda sama Hanum kenapa ya? Kok kayaknya Hanum marah-marah itu." Tanya Neti karyawan Rara bagian packing. "Nggak tahu, mungkin ada yang membuat bunda sama Hanum marah mungkin." kata Iwan. Karyawan bagian antar paket. "Maksud kamu apa, Wan?" tanya Neti Lagi. "Ya, mm… nggak ada maksud apa-apa. Kan barangkali begitu," imbuh Iwan lagi. Dan kembali melanjutkan untuk bersiap mengartikan paket lagi. "Dah lah, kita nggak udah banyak ikut campur urusan Bunda. Kita kerja aja yang jelas." Ujar Iwan lagi. Neti menatap Iwan penuh selidik, sepertinya Iwan menyimpan sesuatu yang tidak diketahui. Tetapi Neti menipis itu, mungkin benar kata Iwan tidak boleh ikut campur urusan bosnya. *******"Kakak… bukain pintunya, Kak! Bunda mau masuk." Rara terus mengetuk pintu kamar anak gadisnya, namun Hanum tak menggubris panggilan bundanya. "Nak, kamu nggak papa, Kan? Jangan bikin bunda khawatir, Nak. Bicaralah satu atau dua kata saja Nak, biar Bunda tenang." Mohon Rara dari luar. Hanum yang hanya berada di balik pintu kamar membuat dia khawatir bundanya Kepikiran. "Aku nggak Papa, Bun. Aku lagi mau sendiri dulu, Bunda istirahat lah!" Sahut Hanum dari balik pintu. Rara merasa sedikit lega atas jawaban anak gadisnya. "Semua baik-baik aja, Nak. Bunda janji! kamu tenangkan dirimu dulu ya, Nak. Temui bunda jika Kakak sudah siap, ya!" pinta Rara."Iya, Bun," sahut Hanum lagi. Rara meninggalkan kamar Hanum dan pergi menuju kamarnya. Rara merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Rasa sesak kembali Rara rasakan. Rara yang teramat mencintai Ridwan selama ini tidak pernah menyangka bahwa kecurangan yang pernah Rara lihat di TV dan di berita-berita itu menjadi takdir pernikahannya saat ini. Rara pikir Rara sudah memiliki keluarga yang bahagia dan tak akan ada yang akan saling menyakiti. Namun kenyataanya tidak dengan Ridwan. "Ya Allah sakit sekali rasanya," keluh Rara memegang dadanya. Seperti ada luka yang banyak menancap di ulu hatinya. Rara mengingat kembali perhiasan yang tadi dia ambil di kamar Ridwan. Rara bangkit dan marih tas yang tadi ia bawakan, Rara merogoh perhiasan itu dan menatap dengan hati yang berkedut nyeri. Rara mengambil perhiasannya yang ada di brankas mencoba kembali mencocokan apakah ada perbedaan, ternyata semua sama persis. "Jika semua yang dimiliki wanita ini sama persis apa yang aku punya, bisa jadi dia adalah orang terdekatku. Jika bukan begitu mana mungkin dia bisa minta dibelikan perhiasan seperti ini dan skincare yang aku pakai tak ada perbedaan satupun. Tapi siapa dia? Yang hamil saat ini hanya satu karyawanku, yaitu Eca, apa mungkin Eca? Astaghfirullah… kan Eca ada suaminya mana mungkin dia pelakunya." Rara berbincang sendiri merutuki ke souzonannya. Rara meraih hpnya untuk menghubungi Dwi. "Assalamu'alaikum, Wi," sapa Rara saat telpon itu diangkat. "Waalaikumsalam, Mbak. Ada apa Mbak? Ada model baru lagi ya keluar?" tanya Dwi dari seberang sana. Ya, Rara memang selalu menghubungi Dwi via telepon jika ada produk baru Hanum collection. "Bukan, Wi. Mbak mau nanya sama kamu, langsung saja ya Wi. Mbak minta kamu jujur sama, Mbak!" tegas Rara. Dwi mengerutkan dahinya mendengar permintaan Rara. Perasaan Dwi mulai gak enak. "Iya, Mbak. Ada pertanyaan apa, mbak? Kalo aku tau aku jawab, Mbak, insya Allah."Ujar Dwi. "Wi, kamu tau nggak kalo Mas Ridwan punya istri lagi?" Rara langsung menembak pada intinya. "Hmm… Mbak sudah tau?" tanya Dwi. "kenapa kamu nggak bilang sama Mbak, Wi? Kenapa kamu diam aja lihat Mas Ridwan mencurangi Mbak?" tanya Rara beruntun. "Maaf, Mbak. Aku nggak ada maksud untuk seperti itu. Aku hanya merasa itu bukan ranahku, Mbak, aku takut Mas Ridwan nanti marah." Dwi memang baik, bisa dibilang dia ipar yang baik. Semua keluarga suaminya selama ini memang baik-baik. Termasuk adik kandung Ridwan Anton dan istrinya Meta. Mereka juga baik. Entah lah, selama ini memang begitu yang dilihat Rara. Makanya Rara tak pernah menyangka jika semuanya menyembunyikan ini darinya. "Kamu tau siapa wanita itu, Wi? Mbak mohon sama kamu, kamu kasih tau, Mbak." Pinta Rara. Dwi menarik nafasnya berat. "Mbak, aku nggak bisa sebut siapa namanya, tetapi yang jelas wanita itu dekat dengan Mbak, dia ada bersama Mbak, dia orang terdekat Mbak. Aku cuma bisa ngasih tau itu, Mbak. Semoga mbak ngerti juga ya, aku minta maaf jika selama ini menutupi juga, aku gak ada maksud nyakitin Mbak. Aku hanya merasa bukan urusanku Mbak. Lagian Mas Dito Marah jika aku ikut campur urusan orang lain. Mbak yang kuat ya! Semoga masalah Mbak cepat selesainya" Panjang lebar Dwi menjelaskan. Rara paham, dia tidak mungkin memaksa orang lain ikut campur dengan urusannya. Tetapi yang jelas pasti semua keluarga suaminya tau. "Ok Wi, Mbak ngerti. Makasih ya Wi, biar mbak cari tau sendiri jawabannya. Ini sudah membuka jalan dari jawaban yang mbak cari kok. Sekali lagi terima kasih ya!"telepon terputus. Ide Rara muncul, Rara memiliki grup W* karyawannya. Rara memposting foto perhiasan ituGuna untuk memancing siapa dari mereka yang menjadi simpanan suaminya. Karena Rara merasa wanita itu adalah salah satu dari karyawannya jika mendengar penjelasan Dwi. Ok kita lihat. "Hy gais, apa kabar kalian hari ini? o ya, Bunda mau mengadakan give away untuk kalian semuanya, siapa yang beruntung akan mendapati satu set perhiasan ini! Ini mahal lho. Ini bunda kebetulan punya banyak, daripada gak kepake biar bunda bagi-bagi aja. Syaratnya gampang! Siapa dari kalian yang tau kalo Mas Ridwan punya selingkuhan? Dan punya buktinya. Jika bukti kalian valid maka kalian akan mendapatkan satu set ini."Terkirim! Grup itu adminnya tidak lain adalah Ridwan dan Rara. Semua penghuninya adalah seluruh karyawan team Hanum collection yang berjumlah tiga puluh lima orang. Hari yang sudah malam membuat grup itu seketika ramai. Setelah memposting Rara menaruh kembali hpnya. Rara ingin tahu siapakah wanita itu?Mata Iwan membulat sempurna membaca pesan grup W* itu."Wah rejeki nomplok!" ucapnya girang saat selesai mengantar paket terakhir konsumen malam ini. Bersambung… ☺1[Mas, itu maksudnya apa Bunda bikin Give Away begitu? Itu kenapa perhiasanku bisa sama Bunda?]Ridwan yang baru sampai di garasi hendak turun mendadak dibuat bingung saat membaca pesan dari Eca, give away apa yang dimaksud? [Kamu ngomong apa? Mas nggak ngerti.][Coba mas buka grup karyawan! Bunda mau ngadain giveAway tentang hubungan kita.]Mata Ridwan membulat sempurna membaca pesan itu. Tanpa membalasnya Ridwan kembali mengambil hpnya yang terkhusus untuk keluarganya, yang disitu tercantum grup-grup yang ada di WA. Sementara HP untuk selingkuhannya dia simpan di balik jok kemudi. Tidak lupa Ridwan matikan terlebih dahulu. Saat pesan WA itu dibuka Ridwan benar-benar tidak habis pikir mengapa Rara seperti ini. Berbagai macam komentar masuk membalas pesan Rara. Banyak dari mereka yang tercengang atas apa yang Rara adakan di grup ini. [Bun, ini maksudnya apa, ya? Mas Ridwan itu yang dimaksud Pak Bos?][Bun, ini teh beneran? Emangnya Pak Bos teh selingkuh? Kunaon eta?] timpal Nenen
Bunda, apa boleh aku kerumah besok untuk memberi bukti yang Bunda cari? Aku punya banyak bukti, Bun. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa.]Rara membaca pesannya, mata Rara membulat sempurna seperti tidak percaya. Namun, sesaat kemudian senyum terukir di bibir Rara membaca pesan itu. "Bukan hanya satu? Itu berarti anak ini sudah tau lama perselingkuhan Mas Ridwan.""Mas, kita lihat sampai sejauh mana kamu bersembunyi." Gumam Rara. Tengah asik berbalas pesan, pintu kamar Rara diketuk. "Assalamualaikum, Bunda," sapa Ridwan dari daun pintu. Rara terperanjat kaget. "Masih punya muka dia kembali kesini!" Lagi Rara bergumam. Rara hanya menjawab salam itu dalam hati. Ridwan yang sadar Rara tak membukakan dia pintu, berinisiatif untuk masuk sendiri. Meskipun terpatah-patah langkah Ridwan mendekati Rara, Ridwan sudah bertekad menyelesaikan malam ini masalahnya. "Bun," lirih Ridwan. Rara tak menggubris panggilan suaminya, Rara tetap fokus dengan HPnya berbalas pesan dengan Iwan. Ridw
Semenjak hari itu, wajah Eca selalu mengganggu di pikiran Ridwan, saat sedang di butik pun Ridwan sering menatap wajah cantik Eca yang dijadikan PP WAnya kala itu. "Ah sial! Gadis ini bikin aku tergila-gila."Rutuk Ridwan. Sekuat tenaga Ridwan mengusir rasa itu, namun setiap saat juga bayangan Eca selalu datang. Sementara Eca sama sekali tak lagi melirik Ridwan setelah kejadian hari itu. Eca hanya memberi perangkap satu kali, namun tak disangka umpanya kena. Malam itu Ridwan menghubungi Eca diam-diam tanpa sepengetahuan Rara. Satu kali panggilan itu terabaikan, hingga panggilan ketiga kalinya Eca menjawab. "Halo Mas, ada apa?" tanya Eca dengan santai tanpa suara yang dibuat manja seperti hari itu. Eca mengira bahwa Ridwan menghubunginya perihal pekerjaan. Ternyata Eca salah, Ridwan menghubunginya perihal masalah hati. "Ca, kamu lagi apa? Aku ganggu nggak?" tanya Ridwan. "Hmm, ini mau keluar, Mas, malam mingguan." Jelas Eca. "Oh, mau pergi ya, sama cowoknya? Maaf ya, aku gang
Malam telah larut, Rara masih berlanjut pertengkarannya dengan Ridwan. Ridwan masih terus membujuk Rara untuk menerima keadaan, namun Rara masih teramat sakit untuk menerima kenyataan ini. Sungguh Ridwan benar-benar tak memikirkan perasaan Rara sedikit pun. "Sudah lah, Mas! Aku sudah capek dari tadi mendengar permintaanmu! jangan paksa aku untuk menerima keadaan ini. Kamu benar-benar ya! Nggak ada sedikitpun memikirkan perasaan aku! Dasar laki-laki egois!" hardik Rara. Rara mengambil posisi untuk segera tidur, sementara Ridwan hanya menatap istrinyaistrinya tanpa berbicara lagi. Ridwan pun hendak tidur, namun seketika Rara bangun dan meraih selimut dan bantal untuk tidur di sofa bawah. Ridwan yang menyadari istrinya turun pun tersentak bangun. Ridwan tau bahwa Rara saat ini kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja, bahkan tidur satu ranjang pun istrinya enggan. Padahal dua malam yang lalu mereka masih bercanda ria saat hendak tidur, namun sekarang sudah berbeda. "Bun, kenapa
"Bunda, Bunda nggak Papa?" tanya Iwan panik. Bagaimana tidak, Rara tiba-tiba seperti orang hilang tenaga, lemah lunglai ketika meluruhkan dirinya ke lantai. Rara terus memegang dadanya menahan sesak yang kian menghantam. Kenyataan yang didapati ternyata benar-benar membuat Rara tidak percaya. "Lalu Ardi? Bagaimana mungkin Ardi tidak tahu? Ardikan suaminya Eca?" di tengah keterpurukan Rara banyak pikiran-pikiran lain memutar di kepalanya. "Minum dulu, Bun." Iwan datang dari belakang menyodorkan segelas air putih. Rara menerimanya dan meneguk air itu hingga tandas. "Bagaimana, Bun? Udah enakkan belum?" tanya Iwan. Rara masih memegang dadanya, rasa sakit itu kian parah, seperti ada gumpalan yang menyumbat di ulu hati. Rara mengangguk kecil, meskipun tubuhnya gemetaran menahan sakit dan amarah. "Bunda tenang dulu, Bun. Maaf ya kalo ini bikin bunda jadi….""Nggak apa-apa, Wan." Rara memotong pembicaraan Iwan. "Hm, iya Bun," sahut Iwan tidak enak hati. Merasa bersalah melihat ma
Ca! Kamu belum bangun?" suara Rista dari luar kamar mengganggu Eca yang tengah rebahan di kamar.Tok tok tok! Lagi pintu kamar diketuk dari luar dengan cukup keras "Eca!" lagi Rista memanggil dari luar. Dengan malas Eca berdiri membukakan pintu kamar. "Iya, Ma, ada apa?" tanya Eca dengan wajah yang dibuat seperti habis bangun tidur. "Ya ampun Ca, kamu itu sudah hamil besar lho, kok yo bangun siang-siang begini. Bangun pagi, Ca! Banyak gerak biar nanti mau lahiran itu gampang. Gak cuma dibawa rebahan aja di kamar." Cerocos Rista dengan suara yang sedikit meninggi, yang sontak bikin kuping Eca panas mendengar ocehan Mamanya Ridwan tiap hari. "Maaf, Ma. Semalam aku nggak bisa tidur. Jadinya kesiangan." Alasan Eca. "Kenapa kamu nggak bisa tidur? Kepikiran Rara sudah tahu hubunganmu sama Ridwan?" sindir Rista yang sontak membuat Eca memerah mangan emosi. "Ngapain aku mikirin itu, Ma. Orang Mas Ridwan yang tergila-gila sama aku. Bukan aku yang merebut mas Ridwan." ujar Eca penuh per
Tok! Tok! Tok! "Assalamualaikum, Kak." Sapa Rara dari luar. Hanum berdiri membukakan pintu kamar untuk Rara. "Waalaikumsalam, Bun." Sahut Hanum saat menampakkan dirinya dari balik pintu. "Kakak nggak papa?" tanya Rara. "Seperti yang Bunda lihat, Bun." Jawab Hanum dengan muka yang masih ditekuk. "Bunda boleh masuk, Kak?" Rara meminta izin pada Hanum. "Boleh, Bun." Jawab Hanum dengan memberi anggukkan kecil. Rara melangkahkan kakinya masuk ke kamar Hanum. Mata Rara menelisik kamar itu, ternyata tidak ada yang harus dikhawatirkan, kamar Hanum terlihat biasa saja. Hanya tempat tidur yang sedikit berantakan, itu pasti dari semalam Hanum hanya berbaringan ditempat tidur.Hanum masih berdiri dibalik pintu. Rara yang sudah sampai di ranjang tidur Hanum menoleh kebelakang, "Kak, ayo sini!" titah Rara. Hanum mendekati Rara lalu memeluknya erat. Tangis Hanum pecah, dalam isak tangisnya dia berkata. "Kenapa Papa punya perempuan lain, Bun? Kenapa Papa jahat banget sama Kakak?" Celoteh Han
Hari ini Hanum menjelajahi tempat-tempat wisata yang ada di kota. Hanum sangat menikmati waktunya bersama Ridwan. Hanum bermain di wahana-wahana yang ada di tempat wisata tersebut bersama Ridwan. Melihat senyum Hanum yang lepas tanpa beban membuat Rara melupakan rasa sakitnya saat ini sejenak. Rara hanya menyaksikan anak dan papanya tengah menikmati waktu berdua. Rara merogoh HP nya dari dalam tas. Lalu Rara masuk ke aplikasi berlogo F itu. Rara melakukan siaran langsung. "Menikmati minggu bersama yang tersayang." Caption dari siaran langsung itu disematkan. Meskipun jijik! Rara terpaksa melakukan itu demi sebuah pembalasan sakit hatinya. Siaran langsung itu ditonton ratusan orang. Dan beragam komentar bermunculan dari siaran langsung tersebut. Rara menampilkan pemandangan dimana Ridwan tengah menikmati waktu bersama hanum. [Wah lagi jalan-jalan ya, Bun? Selamat bersenang-senang bunda.][Wih, Bunda Owner Hanum collection lagi quality time nih. Happy terus ya bun.][Ya ampu
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,