"Untuk apa? Jawab!"Ada berapa kali kamu mengirim Mama uang dalam satu bulan? Kamu!" Hardik Rara penuh emosi. "Bun, dengerin Papa jelasin dulu." "cukup,Mas! Kamu benar-benar keterlaluan ternyata ya, Mas. Kamu tidak hanya bermain gila dengan wanita lain dibelakang aku! tetapi kamu juga bohongin aku soal uang Mama! Parah kamu! Mulai sekarang kamu tidak akan lagi pegang uang sepeserpun. titik!"Ridwan mengusap wajahnya kasar. Ridwan mengira liburan hari ini sudah membawa titik terang tentang hati Rara. Ternyata Ridwan salah. Bagaimana mungkin Ridwan jujur soal uang itu, sebab itu uang untuk biaya acara tujuh bulanan kemarin, yang lupa Ridwan buang struknya. "Tolong sekarang juga kamu pergi dari rumah ini, Mas! Aku lagi nggak ingin lihat kamu sekarang. Aku muak! Apa lagi harus sekamar denganmu." "Bun, jangan gitu donk Bun. Masa Papa diusir dari rumah Papa sendiri. Ini sudah malam, Bun. Ayolah." "Siapa suruh kamu pulang kesini? Kemarin aku sudah melarang kamu pulang. Sana kamu pula
Bertepatan dengan Rara yang baru keluar dari rumah mewahnya menuju kantor, Ardi dan Eca pun baru sampai. Rara berbalik untuk mengajak Ridwan ke kantor bersamaan. "Mas, ayo ke kantor barengan."titah Rara lembut. Sikap Rara dari kemarin benar-benar membuat Ridwan bingung. Bentar-bentar Rara baik, nanti Rara berubah lagi. Selalu begitu. Ridwan hanya mengerutkan keningnya mendengar ajakan Rara. "Kok bengong, Mas? Ayok!" ajak Rara lagi. Setelah perdebatan barusan di kamar, di mana Rara masih sangat terlihat benci dan emosi. Sekarang justru berubah lebih lembut lagi seperti tak terjadi apa-apa. Semua sudah disita oleh Rara. Kecuali HP. Iya. Hanya HP yang saat ini yang Ridwan punya. Bahkan saat ridwan hendak ke butik, Rara mencegah Ridwan untuk tidak kesana lagi. Lagi Ridwan dibuat bingung. "Kenapa lagi ini bun, papa nggak boleh ke butik? Terus siapa yang ngurus butik?" tanya Ridwan."Tenang saja, ada karyawan disana kan? Jadi Mas nggak perlu repot-repot lagi ngurus butik. Mereka s
"Kamu memang pandai ya perempuan jalang. Membayar laki-laki lain untuk berpura-pura menjadi suamimu, tetapi suami sungguhanmu adalah Mas Ridwan." Gumam Rara dalam hati. "Iya Ca. Bun, Mas, saya pamit ya." "Oh iya, Di. Hati-hati, ya." Pesan Rara. Saat Ardi melangkah masuk Mobil. Tiba-tiba Rara berucap. "Kok nggak saliman gitu Ca sama Ardi. Kok kamu cuek banget kamu sama Ardi, ya?" Langkah Ardi terhenti mendengar itu. "Eh iya, Bun. Maaf lupa." Ardi mendekati Eca lalu mengulurkan tangannya untuk dicium. Dengan berat hati Eca menerima itu dan mencium tangan Ardi. Hal yang tidak pernah Eca lakukan selama ini selain pada Ridwan. Ardi melakukan lebih dari itu. Tanpa diduga Ardi mengecup lembut kening Eca. Dan berucap. "Kamu hati-hati ya kerjanya, jaga kandungan kamu. Jangan terlalu capek, ya." Pesan Ardi sambil mengusap perut Eca lembut. Eca yang diperlakukan seperti itu mendadak salah tingkah, sebab disaksikan suami sahnya. "Nah gitu donk. Kan, kelihatan seperti suami istri beneran.
"Semoga lancar-lancar nanti persalinannya ya, Ca. Hmm, mungkin kamu lahiran besok kita nggak di sini, Ca. Kita di bali liburan selama sepuluh hari. jadi kita jenguknya habis liburan aja ya." Ujar Rara memancing keributan. "Apa bun? Liburan?" tanya Ridwan dan Eca bersamaan dengan mimik muka yang seperti tidak percaya. Bola mata mereka membulat sempurna seperti hendak keluar dari tempatnya. Rara menatap Ridwan dan Eca bergantian. "Lho! kalian berdua ini kenapa?" tanya Rara berpura-pura. Terlihat sekali mereka berdua menjadi salah tingkah dengan pertanyaan Rara. "Bagus! Ini baru dimulai kalian sudah kalang kalang kabut, bagaimana jika aku lebih-lebih dari ini?" Rara mengukir senyum di balik pertanyaannya. "Nggak apa-apa, Bun." Ridwan dan Eca menjawab bersamaan. Rara mengerutkan dahinya menatap dua manusia yang sedang bersandiwara di dihadapannya saat ini. "Kalian berdua ini kompak sekali ya, menjawabnya. Seperti ada kontak batin yang saling bertautan." Sindir Rara. Rara mengu
"Bun, apa nggak baiknya Eca disuruh pulang saja? Kasian dia, nanti anaknya kenapa-napa." Ujar Ridwan. Rara menatap Ridwan pekat untuk melihat reaksi Ridwan akan seperti apa. "Mm, anu Bun. Kasian lihat Eca, Bun. Suruh pulang aja Istirahat ya, biar Papa antar." Hati Rara berkedut nyeri mendengar tawaran suaminya. Dasar laki-laki picik! Jerit Rara dalam hatinya. "Tapi sepertinya Eca masih bisa kuat itu Mas. Iya kan, Ca?" tanya Rara santai. Tidak bisa dibohongi, Eca benar-benar merasakan sakit di bagian perutnya. Dengan ragu Eca mengangguk kecil. Namun wajahnya terlihat sangat pucat akibat menahan sakit. Eca berjalan perlahan dengan tangan yang terus mengusap perutnya. Semetara aku hanya menyaksikan dari meja kerja tampa berminat untuk membantu. Dia membawa langkahnya terseok-seok masuk kamar. Di ruangan itu ada empat orang admin termasuk Eca. Mereka tidak berani ikut menyela atas apa yang mereka dengar dan mereka lihat barusan. Mereka fokus dengan pekerjaan masing-masing, meski
"Mana kunci mobilnya, Bun?" Ridwan menadah tangannya dari bawah tubuh Eca. Tanpa rasa bersalah dan berdosa sedikitpun. Rara menatap Ridwan tajam. "Mas! Aku sudah bilang kamu kan? Kamu tidak akan aku fasilitasi lagi apapun itu! Jika memang kamu ingin membawa Eca ke rumah sakit. Kamu pesan taksol aja sana!" "Bunda!" bentak Ridwan. Mata Ridwan seperti ingin keluar dari tempatnya. Rahangnya mengeras, urat-urat wajahnya pun ikut keluar seiring emosi yang ditahan Ridwan akibat melihat Eca yang tengah kesakitan. Tanpa rasa takut Rara pun menantang. "Apa, Mas?! Kamu membentak aku? Sebenarnya siapa suami kamu, Ca? Ardi apa Mas Ridwan? Kenapa Mas Ridwan terlihat sangat panik sekali dengan keadaanmu, Ca?" tanya Rara memohok langsung menancap ke jantung Eca. Deg! Darah Eca berdebar kuat. Tulang persendian Eca semakin terasa tak berfungsi. Perutnya semakin kram akibat kepanikan dan ketegangan di ruangan ini. Ridwan masih setia menggendong Eca dalam pelukannya. Sakit? Iya! Jelas. Rara me
Rara segera keluar menuju garasi untuk mengikuti Ridwan. Sudah pasti Ridwan menyusul Eca ke rumah sakit. "Kita lihat Mas, apa kalian masih bisa mengelak?" Senyum licik terukir di bibir Rara. Bayangan bagaimana nanti reaksi suaminya dan Eca ketika di pergoki. Tak lupa Rara mampir dikantor untuk mengambil sesuatu untuk yang sudah Rara siapkan untuk Eca dan Ridwan. Sebuah kejutan manis nantinya. "Aku memang sangat mencintaimu, Mas. Namun untuk sebuah pengkhianatan, aku tidak ada toleransi untuk itu." Rara bergumam sambil terus memperhatikan arah tujuan mobil yang ditumpangi Ridwan agar tak kehilangan jejak. Sebab Rara tidak tau di rumah sakit mana Eca dilarikan oleh Ardi tadinya. Sampai di rumah sakit, Rara terus mengikuti Ridwan, sampai di depan di mana kamar Eca dirawat. Ardi masih setia menemani Eca di dalam, sebab Ardi tidak tega membiarkan Eca sendirian. "Nah datang juga suamimu kesini, Ca." Ucap Ardi saat Ridwan masuk ke ruangan. Ridwan tak pedulikan ocehan Ardi, dia fokus l
Bun, dengerin Papa dul…." "Stop, Mas! Aku tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi. Aku datang kesini untuk memberikan ini untuk kamu, Ca." Rara memberikan amplop berisi gaji Eca bulan ini. Tapi tanpa uang lembur. "Itu gaji terakhir kamu Ca, jadi mulai besok kamu jangan lagi datang ke kantor. Karena kamu sudah saya pecat!" ujar Rara. Eca menerima amplop itu dan melihat nominalnya. Wajahnya terlihat berubah. "Kok cuma segini, Bun? Kan aku sering lembur bulan bulan ini.""Masih syukur kamu masih saya beri gaji bulan ini, Ca. Jika kamu mau bonus, aku akan kasih bonus yang lebih besar. Bonusnya Mas RidwanSekarang kamu boleh memiliki Ridwan seutuhnya. Aku sudah mengikhlaskan sampah untuk dibuang di tong sampah!" Rara berkata dengan sangat lembut. Tapi menohok hati siapapun yang mendengar di ruangan itu. "Bun! Jaga mulutmu ya, jangan bicara sembarangan!" Bentak Ridwan. "Kenapa, Mas? Mulai hari ini kamu tidak perlu lagi kan bersembunyi-sembunyi di belakangku. Kamu boleh dengan leluasa b
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,