1[Mas, itu maksudnya apa Bunda bikin Give Away begitu? Itu kenapa perhiasanku bisa sama Bunda?]
Ridwan yang baru sampai di garasi hendak turun mendadak dibuat bingung saat membaca pesan dari Eca, give away apa yang dimaksud? [Kamu ngomong apa? Mas nggak ngerti.][Coba mas buka grup karyawan! Bunda mau ngadain giveAway tentang hubungan kita.]Mata Ridwan membulat sempurna membaca pesan itu. Tanpa membalasnya Ridwan kembali mengambil hpnya yang terkhusus untuk keluarganya, yang disitu tercantum grup-grup yang ada di W*. Sementara HP untuk selingkuhannya dia simpan di balik jok kemudi. Tidak lupa Ridwan matikan terlebih dahulu.Saat pesan W* itu dibuka Ridwan benar-benar tidak habis pikir mengapa Rara seperti ini.Berbagai macam komentar masuk membalas pesan Rara. Banyak dari mereka yang tercengang atas apa yang Rara adakan di grup ini. [Bun, ini maksudnya apa, ya? Mas Ridwan itu yang dimaksud Pak Bos?][Bun, ini teh beneran? Emangnya Pak Bos teh selingkuh? Kunaon eta?] timpal Neneng karyawan bagian jahit. [Bun, ini beneran? Kok bisa? Ya Allah… yang sabar ya bun, yang kuat. Ayok teman-teman siapa yang tau tolong kasih tau Bunda.] [Hah! Ini serius Bun? Kok bisa? Emang selingkuh sama siapa, pak Bos?][Yang pasti buka gue lah cong!] [Ya kali sama lo, hahaha.]Mereka saling balas chat satu sama lainnya. [Eh! Kalo bunda udah post ke grup kita, itu berarti inituh udah urgent bangat lho! Bisa jadi Bunda curiga di antara kita ada main serong sama, pak Bos.] [Wah Bun, kalo udah di share di mari udah kaga bisa nyari ntu bukti, Bun, pasti Pak Bos main cantik ini udah tau mau dimatai-matai.]Ada banyak rentetan isi chat hingga sudah ratusan. Lelah sudah Ridwan men scroll ke atas dibaca satu persatu komentar dari berbagai macam karyawannya yang juga kebetulan mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda. Ridwan tak membaca satu persatu, sebab Ridwan sudah tau intinya Rara minta karyawan mencari bukti perselingkuhannya. "Sial! Mau ditaruh mana mukaku sebagai atasan mereka? Bunda-Bunda, tidak bisakah kita bicara baik-baik. Mengapa harus sampai di beritahu semua orang?" Rutuk Ridwan. Hampir semua karyawan berkomentar di grup. Kecuali satu orang. Ya itu Eca. "Argh! Sial!" Ridwan memukul setir mobil itu kuat. Ridwan yang hendak turun dari mobil dihentikan kembali karena hpnya berdering. Ridwan mengamati nomor itu, meskipun nomornya tidak tersimpan, tetapi Ridwan hapal siapa pemiliknya. "Kenapa lagi?""Kok gitu sih, Mas? Ketus bangat jawabnya." Selorohnya diseberang sana. "Kamu tau kita lgi dalam masalah, jangan hubungi Mas dulu! Apalagi kesini!" jelas Ridwan. "Terserah Mas! Kenapa semua perhiasanku udah nggak ada?! Kamu kemanain?" Selorohnya lagi dari sana. Ridwan mengacak rambutnya kasar. "Maaf aku hubungi kamu kesini, ya habisnya nomor kamu nggak aktif lagi, aku bingung ini perhiasanku kemana? Benar berarti perhiasan giveaway bunda itu punyaku, kan?" "Sudah! Sudah! Mas lagi pusing ini. Iya itu diambil Rara semuanya. Mas harus menyelesaikan ini dulu. Kamu istirahat ya, jaga kesehatan dan kehamilannya, besok kita ketemu." Jelas Ridwan."Mas, aku nggak mau tau ya, kamu harus ganti atau kamu balikin lagi perhiasan itu! Kamu juga harus melindungi aku. Kalo nggak aku gugurin anak kamu! Pokoknya aku nggak mau sampe ketahuan. Kalo ada yang tau terserah mau Mas apain, yang jelas aku nggak mau hubungan ini berakhir apalagi sampe bunda tau. Aku nggak main-main lho!" ancamnya dari seberang sana. "Iya. Mas ngerti. Kamu juga jangan main-main buat mau gugurin anak itu. Itu anak impian Mas. Kamu harus jaga! Ya sudah kalau gitu Mas mau masuk dulu, Mas matikan ya."Belum sempat dijawab Ridwan sudah mematikan dan memblokir nomor itu agar tak mengganggunya nanti bersama Rara. ********Rara meraih ponselnya, saat sudah selesai bersih-bersih dari kamar mandi. Rara mengaktifkan data seluler guna untuk melihat grup yang tadi hanya di post lalu ditinggalkan. Sambil melabuhkan dirinya di sisi ranjang tempat tidur. Mata Rara membulat sempurna melihat komentar sudah hampir lima ratusan chat. Rara men scroll dari atas hingga kebawah satu persatu. Namun belum menemukan jawabannya. Yang ada mereka malah mengghibah. Kebetulan ini hari sabtu malam minggu. Jam kerja mereka memang sampai jam lima sore. Jadi mereka bisa nimbrung untuk menggibah, siapa lagi kalau bukan Ridwan yang mereka ghibahi di sini. notif W* pribadi masuk, salah satu dari dari anggota grup.Kenapa dia W* pribadi? Gumam Rara."Iwan?" [Bunda, apa boleh aku kerumah besok untuk memberi bukti yang Bunda cari? Aku punya banyak bukti, Bun. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa.]Rara membaca pesannya, mata Rara membulat sempurna, seperti tidak percaya. Namun sesaat kemudian senyum terukir di bibir Rara membaca pesan itu. "Bukan hanya satu? Itu berarti anak ini sudah tau lama perselingkuhan Mas Ridwan." "Mas, kita lihat sampai sejauh mana kamu bersembunyi menutupi semuanya." Gumam Rara. Tengah asik berbalas pesan, pintu kamar Rara diketuk. "Assalamualaikum, Bunda," sapa Ridwan dari daun pintu. Rara terperanjat kaget. "Masih punya muka dia kembali kesini!" lagi Rara bergumam. Bersambung…Bunda, apa boleh aku kerumah besok untuk memberi bukti yang Bunda cari? Aku punya banyak bukti, Bun. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa.]Rara membaca pesannya, mata Rara membulat sempurna seperti tidak percaya. Namun, sesaat kemudian senyum terukir di bibir Rara membaca pesan itu. "Bukan hanya satu? Itu berarti anak ini sudah tau lama perselingkuhan Mas Ridwan.""Mas, kita lihat sampai sejauh mana kamu bersembunyi." Gumam Rara. Tengah asik berbalas pesan, pintu kamar Rara diketuk. "Assalamualaikum, Bunda," sapa Ridwan dari daun pintu. Rara terperanjat kaget. "Masih punya muka dia kembali kesini!" Lagi Rara bergumam. Rara hanya menjawab salam itu dalam hati. Ridwan yang sadar Rara tak membukakan dia pintu, berinisiatif untuk masuk sendiri. Meskipun terpatah-patah langkah Ridwan mendekati Rara, Ridwan sudah bertekad menyelesaikan malam ini masalahnya. "Bun," lirih Ridwan. Rara tak menggubris panggilan suaminya, Rara tetap fokus dengan HPnya berbalas pesan dengan Iwan. Ridw
Semenjak hari itu, wajah Eca selalu mengganggu di pikiran Ridwan, saat sedang di butik pun Ridwan sering menatap wajah cantik Eca yang dijadikan PP WAnya kala itu. "Ah sial! Gadis ini bikin aku tergila-gila."Rutuk Ridwan. Sekuat tenaga Ridwan mengusir rasa itu, namun setiap saat juga bayangan Eca selalu datang. Sementara Eca sama sekali tak lagi melirik Ridwan setelah kejadian hari itu. Eca hanya memberi perangkap satu kali, namun tak disangka umpanya kena. Malam itu Ridwan menghubungi Eca diam-diam tanpa sepengetahuan Rara. Satu kali panggilan itu terabaikan, hingga panggilan ketiga kalinya Eca menjawab. "Halo Mas, ada apa?" tanya Eca dengan santai tanpa suara yang dibuat manja seperti hari itu. Eca mengira bahwa Ridwan menghubunginya perihal pekerjaan. Ternyata Eca salah, Ridwan menghubunginya perihal masalah hati. "Ca, kamu lagi apa? Aku ganggu nggak?" tanya Ridwan. "Hmm, ini mau keluar, Mas, malam mingguan." Jelas Eca. "Oh, mau pergi ya, sama cowoknya? Maaf ya, aku gang
Malam telah larut, Rara masih berlanjut pertengkarannya dengan Ridwan. Ridwan masih terus membujuk Rara untuk menerima keadaan, namun Rara masih teramat sakit untuk menerima kenyataan ini. Sungguh Ridwan benar-benar tak memikirkan perasaan Rara sedikit pun. "Sudah lah, Mas! Aku sudah capek dari tadi mendengar permintaanmu! jangan paksa aku untuk menerima keadaan ini. Kamu benar-benar ya! Nggak ada sedikitpun memikirkan perasaan aku! Dasar laki-laki egois!" hardik Rara. Rara mengambil posisi untuk segera tidur, sementara Ridwan hanya menatap istrinyaistrinya tanpa berbicara lagi. Ridwan pun hendak tidur, namun seketika Rara bangun dan meraih selimut dan bantal untuk tidur di sofa bawah. Ridwan yang menyadari istrinya turun pun tersentak bangun. Ridwan tau bahwa Rara saat ini kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja, bahkan tidur satu ranjang pun istrinya enggan. Padahal dua malam yang lalu mereka masih bercanda ria saat hendak tidur, namun sekarang sudah berbeda. "Bun, kenapa
"Bunda, Bunda nggak Papa?" tanya Iwan panik. Bagaimana tidak, Rara tiba-tiba seperti orang hilang tenaga, lemah lunglai ketika meluruhkan dirinya ke lantai. Rara terus memegang dadanya menahan sesak yang kian menghantam. Kenyataan yang didapati ternyata benar-benar membuat Rara tidak percaya. "Lalu Ardi? Bagaimana mungkin Ardi tidak tahu? Ardikan suaminya Eca?" di tengah keterpurukan Rara banyak pikiran-pikiran lain memutar di kepalanya. "Minum dulu, Bun." Iwan datang dari belakang menyodorkan segelas air putih. Rara menerimanya dan meneguk air itu hingga tandas. "Bagaimana, Bun? Udah enakkan belum?" tanya Iwan. Rara masih memegang dadanya, rasa sakit itu kian parah, seperti ada gumpalan yang menyumbat di ulu hati. Rara mengangguk kecil, meskipun tubuhnya gemetaran menahan sakit dan amarah. "Bunda tenang dulu, Bun. Maaf ya kalo ini bikin bunda jadi….""Nggak apa-apa, Wan." Rara memotong pembicaraan Iwan. "Hm, iya Bun," sahut Iwan tidak enak hati. Merasa bersalah melihat ma
Ca! Kamu belum bangun?" suara Rista dari luar kamar mengganggu Eca yang tengah rebahan di kamar.Tok tok tok! Lagi pintu kamar diketuk dari luar dengan cukup keras "Eca!" lagi Rista memanggil dari luar. Dengan malas Eca berdiri membukakan pintu kamar. "Iya, Ma, ada apa?" tanya Eca dengan wajah yang dibuat seperti habis bangun tidur. "Ya ampun Ca, kamu itu sudah hamil besar lho, kok yo bangun siang-siang begini. Bangun pagi, Ca! Banyak gerak biar nanti mau lahiran itu gampang. Gak cuma dibawa rebahan aja di kamar." Cerocos Rista dengan suara yang sedikit meninggi, yang sontak bikin kuping Eca panas mendengar ocehan Mamanya Ridwan tiap hari. "Maaf, Ma. Semalam aku nggak bisa tidur. Jadinya kesiangan." Alasan Eca. "Kenapa kamu nggak bisa tidur? Kepikiran Rara sudah tahu hubunganmu sama Ridwan?" sindir Rista yang sontak membuat Eca memerah mangan emosi. "Ngapain aku mikirin itu, Ma. Orang Mas Ridwan yang tergila-gila sama aku. Bukan aku yang merebut mas Ridwan." ujar Eca penuh per
Tok! Tok! Tok! "Assalamualaikum, Kak." Sapa Rara dari luar. Hanum berdiri membukakan pintu kamar untuk Rara. "Waalaikumsalam, Bun." Sahut Hanum saat menampakkan dirinya dari balik pintu. "Kakak nggak papa?" tanya Rara. "Seperti yang Bunda lihat, Bun." Jawab Hanum dengan muka yang masih ditekuk. "Bunda boleh masuk, Kak?" Rara meminta izin pada Hanum. "Boleh, Bun." Jawab Hanum dengan memberi anggukkan kecil. Rara melangkahkan kakinya masuk ke kamar Hanum. Mata Rara menelisik kamar itu, ternyata tidak ada yang harus dikhawatirkan, kamar Hanum terlihat biasa saja. Hanya tempat tidur yang sedikit berantakan, itu pasti dari semalam Hanum hanya berbaringan ditempat tidur.Hanum masih berdiri dibalik pintu. Rara yang sudah sampai di ranjang tidur Hanum menoleh kebelakang, "Kak, ayo sini!" titah Rara. Hanum mendekati Rara lalu memeluknya erat. Tangis Hanum pecah, dalam isak tangisnya dia berkata. "Kenapa Papa punya perempuan lain, Bun? Kenapa Papa jahat banget sama Kakak?" Celoteh Han
Hari ini Hanum menjelajahi tempat-tempat wisata yang ada di kota. Hanum sangat menikmati waktunya bersama Ridwan. Hanum bermain di wahana-wahana yang ada di tempat wisata tersebut bersama Ridwan. Melihat senyum Hanum yang lepas tanpa beban membuat Rara melupakan rasa sakitnya saat ini sejenak. Rara hanya menyaksikan anak dan papanya tengah menikmati waktu berdua. Rara merogoh HP nya dari dalam tas. Lalu Rara masuk ke aplikasi berlogo F itu. Rara melakukan siaran langsung. "Menikmati minggu bersama yang tersayang." Caption dari siaran langsung itu disematkan. Meskipun jijik! Rara terpaksa melakukan itu demi sebuah pembalasan sakit hatinya. Siaran langsung itu ditonton ratusan orang. Dan beragam komentar bermunculan dari siaran langsung tersebut. Rara menampilkan pemandangan dimana Ridwan tengah menikmati waktu bersama hanum. [Wah lagi jalan-jalan ya, Bun? Selamat bersenang-senang bunda.][Wih, Bunda Owner Hanum collection lagi quality time nih. Happy terus ya bun.][Ya ampu
"Untuk apa? Jawab!"Ada berapa kali kamu mengirim Mama uang dalam satu bulan? Kamu!" Hardik Rara penuh emosi. "Bun, dengerin Papa jelasin dulu." "cukup,Mas! Kamu benar-benar keterlaluan ternyata ya, Mas. Kamu tidak hanya bermain gila dengan wanita lain dibelakang aku! tetapi kamu juga bohongin aku soal uang Mama! Parah kamu! Mulai sekarang kamu tidak akan lagi pegang uang sepeserpun. titik!"Ridwan mengusap wajahnya kasar. Ridwan mengira liburan hari ini sudah membawa titik terang tentang hati Rara. Ternyata Ridwan salah. Bagaimana mungkin Ridwan jujur soal uang itu, sebab itu uang untuk biaya acara tujuh bulanan kemarin, yang lupa Ridwan buang struknya. "Tolong sekarang juga kamu pergi dari rumah ini, Mas! Aku lagi nggak ingin lihat kamu sekarang. Aku muak! Apa lagi harus sekamar denganmu." "Bun, jangan gitu donk Bun. Masa Papa diusir dari rumah Papa sendiri. Ini sudah malam, Bun. Ayolah." "Siapa suruh kamu pulang kesini? Kemarin aku sudah melarang kamu pulang. Sana kamu pula
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,