Tawuran yang terjadi antara SMA Harapan dan SMK Bunga Bangsa berakhir di kantor Polisi. Penyerangan itu dipicu akibat salah satu murid SMA Harapan yang nyaris dilecehkan oleh murid Bunga Bangsa. Seluruh murid yang terlibat dalam aksi tawuran itu diseret ke kantor polisi, termasuk pemimpin penyerangan SMA Harapan. .
Laki-laki bertubuh tegap itu bernama Akmal Malik. Dia adalah otak dibalik penyerangan yang terjadi satu jam yang lalu. Akmal, si pemberontak yang tidak takut pada siapapun, kecuali Tuhan. Keadilan harus ditegakkan,itu adalah pikiran Akmal saat mengatur strategi penyerangan hari ini. Apalagi bagi Akmal– perempuan adalah sosok yang melahirkan peradaban.
Salah satu polisi yang mengurus kejadian ini melihat ke arahnya, miris sekali gadis yang mau pacaran dengan laki-laki pembangkang ini.
"Kalian tidak kami tahan, usia kalian semua dibawah umur. Tapi, kalian wajib lapor setiap hari," ucap polisi yang bernama Hendra.
"Dan kamu." Manik matanya mengarah pada Akmal, kakinya bergerak pelan menuju jendela menatap seorang gadis yang duduk diatas vespa sendirian.
"Kalau bukan karena gadis diluar sana, kamu mungkin habis dikeroyok mereka," lanjutnya.
"Dia pacar saya, pak" jawab Akmal.
"Ya sudah, saya persilahkan kalian pulang. Jangan sampai kalian kembali ke sini lagi, saya tidak segan menahan kalian disini."
"Siap. Terima kasih, pak." Ucap mereka serentak.
Derap langkah dua kubu itu terdengar seperti gemuruh, mereka semua keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan beberapa polisi yang terheran-heran dengan kelakuan anak sekolah jaman sekarang. Memangnya apa yang lebih baik dari berdamai.
Langkah mereka berhenti, diambang lorong dekat pintu keluar menuju parkiran. Billy– menahan langkah Akmal dengan satu tangannya. Laki-laki itu menatap keluar parkiran, menyeringai kecil di depan wajah Akmal.
"Itu cewek yang lo jadiin bahan taruhan itu, kan?" taya Billy.
"Bahan taruhan yang udah gue gembok jadi istri gue," balas Akmal.
"Boleh juga. Lo nggak ada niatan buat giveaway?" tanya Billy.
Akmal tidak terima, tangannya yang hendak memukul Billy ditahan Arjun dan Ando– sahabatnya. Anak SMK Bunga Bangsa yang lain pun bereaksi untuk menyerang Akmal, namun dicegah Billy dengan satu tangannya. "Calm dude."
"Gue bunuh lo," sebut Akmal tepat dihadapan Billy. Wajah keduanya begitu dekat, hidung mancung itu menegak sempurna dihadapan rivalnya. Nyaris berciuman. Sorot mata Akmal bisa menyalakan alarm tanda bahaya. Tidak ada yang boleh menyentuh kekasihnya.
Billy menepuk pelan pundak Akmal. "Sudah berapa kali tidur?"
"Brengsek!" Kepalan tangan itu mengudara tanpa turun, tangannya ditahan salah satu polisi disana. Akmal berdecak pelan, hampir saja dia ditahan lagi karena laki-laki brengsek seperti Billy.
"Kamu mau saya tahan lagi?" ancam polisi itu. Dengan emosi yang masih meradang, Akmal menepis kasar tangan pria itu, lalu beranjak meninggalkan mereka semua.
"Kalian semua bubar!" perintah polisi itu.
Segerombolan siswa itu meninggalkan polsek setempat, termasuk Arjun dan Ando. Mereka tidak kembali ke sekolah. Pihak sekolah sudah mengetahui aksi tawuran itu, sudah pasti esok mereka akan disidak habis-habisan oleh guru.
Berbeda dengan yang lainnya, Akmal sudah disambut kekasihnya dengan tatapan penuh kemarahan. Vespa kesayangannya dibawa gadisnya ke polsek, karena Helsa tahu Akmal tidak akan kembali ke sekolah.
Helsa Septian, sosok gadis yang sudah menemani Akmal selama dua tahun. Banyak orang mengatakan bahwa Akmal beruntung mendapatkan gadis seperti Helsa. Si penyabar, si yang paling gampang memaafkan. Soal kejadian tadi, Helsa yang menelepon pihak kepolisian tentang adanya tawuran di simpang SMK Bunga Bangsa. Helsa takut terjadi sesuatu pada kekasihnya, Helsa tidak mau Akmal terluka.
"Kamu tuh pantesan di kantin nggak kelihatan, Akmal."
"Ceramahnya jangan disini, sayang. Malu sama polisi," titah Akmal
"Pulang yuk, kasihan nih pacarnya lebam semua," tunjuknya pada lebam yang ada pada wajahnya.
Helsa berdecak kesal, melempar pandangannya ke tempat lain. "Aku pulang sendiri."
"Mau pulang sendiri atau aku gendong ke motor? Kamu nggak malu disini banyak orang," ancamnya. Akmal selalu seperti itu, bertindak seenaknya.
"Nggak!" tolak Helsa.
"Ok," singkat. Helsa menantang Akmal, laki-laki itu menggendong kekasihnya seperti karung beras dan mendudukkannya di jok motornya.
"Akmal–" pekik gadis itu saking terkejutnya.
"Kalau mau pacaran jangan disini," tegur salah satu polisi yang melintas parkiran.
"Bapak kayak nggak pernah muda aja," balas Akmal saat pria itu sudah jauh dari keduanya. Lalu, Helsa yang masih digendongannya terus memberontak untuk diturunkan, Akmal tidak menggubrisnya.
"Sudah, tenang disini." Akmal mengambil helm, lalu mengenakan pada Helsa.
"Terus kamu?" Helm itu milik Akmal, seharusnya Akmal yang pakai, apalagi dia yang pegang kemudi.
"Pacar aku lupa bawa helmnya, kalau dijalan ada apa-apa gimana? Aku mah nggak masalah, sayang." Helsa tersenyum tipis, hal sederhana seperti ini yang membuat dia jatuh cinta berulang kali pada kekasihnya. Helsa bahagia dengan segala kesederhanaan yang dimiliki Akmal. Tidak terlahir dari keluarga kaya raya bukan masalah bagi Helsa, Akmal tetap kekasihnya.
"Maaf aku marah-marah sama kamu, Al. Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa, aku takut terjadi sesuatu sama kamu." Ungkap Helsa, pelupuk matanya digenangi cairan bening yang sebentar lagi akan luruh.
Akmal mengusap pipi itu, lalu memeluk Helsa yang sudah terisak. "Aku nggak apa-apa, Sa. Kamu lihat sendiri kan, aku bisa peluk kamu sekarang."
Helsa mendongak. "Bisa janji kan, ini yang terakhir? Kamu selalu buat aku panik,"pintanya.
Akmal mengiyakan permintaan kekasihnya, tapi dia tidak bisa berjanji untuk tidak melakukan hal yang sama. Dia akan selalu dengan karakter bad-nya, sekeras apapun Helsa melarangnya. Akmal tetaplah Akmal, si pemberontak yang mencari keadilan untuk orang-orang yang pantas mendapatkannya.
***
"KELUAR!"
Itu suara guru olahraga SMA Harapan, pak Darwin. Guru paling kejam di sana, tidak ada yang berani menentangnya sekalipun itu kepala sekolah. Wajahnya tampan, terlihat baik, tapi jangan salah jika sudah marah.
"MAU NGAPAIN KALIAN?" tunjuknya pada Arjun.
"Bapak suruh kami keluar. Ya kami keluar," jawab Akmal
"MERAYAP DARI SINI!"
"KALIAN SEMUA!" teriaknya sekali lagi.
Suasana sekolah begitu ramai, pagi itu semua kegiatan pembelajaran dihentikan. Semua yang terlibat tawuran kemarin diturunkan ke lapangan dengan cara yang berbeda, yaitu merayap. Akmal sendiri yang mendahului, lalu diikuti oleh teman-temannya.
Dari kejauhan Helsa menatap ibah pada kekasihnya, dengan Bella yang setia disampingnya. Helsa tahu bahwa akan ada hukuman berat yang dilakukan pak Darwin. Akmal sudah berulang kali seperti itu.
"Sa, mau kemana?" tanya Bella saat melihat gadis itu memutar haluan.
"Kantin," jawabnya.
"Gue tunggu disini," ucap Bella.
Helsa melangkah pergi meninggalkan Bella sendiri disana. Bukannya Helsa malu, dia tidak tegah menyaksikan kekasihnya disiksa habis-habisan oleh pak Darwin. Kasihan Akmal.
***
Akmal menyeka keringat yang bercucuran pada pelipisnya. Wajahnya tampak lelah, bayangkan merayap dari lantai dua hingga ke tengah lapangan. Untung saja dia sempat sarapan.
Dia duduk pada bangku panjang dekat loker, hanya sendiri tanpa teman-temannya.
Sebotol air mineral dingin mendarat pelan pada pipinya, Akmal mendongak mendapati kekasihnya yang berdiri disamping.
"Sa ... Aku capek," adu laki-laki itu pada kekasihnya, dia lalu mengambil botol air dari tangan Helsa.
"Cengeng banget sih," cibir gadis itu.
"Kamu bukannya semangatin aku tadi, malah pergi gitu aja. Aku lihat."
Helsa mendengus kesal. "Kamu nggak lagi ada pertandingan futsal yang harus aku semangatin."
Akmal berdecak, lalu meneguk satu botol air tanpa henti. Dia tertegun saat Helsa menghapus peluh keringatnya, gadis itu selalu disampingnya saat-saat seperti sekarang.
"Kata pak Darwin, kita bakal di skors aja. Tapi belum tahu, lagi ada rapat."
"Al, ini yang terakhir. Bisa kan?"
"Aku nggak janji, Sa."
"Ya udah, nggak usah pulang bareng. Aku pulang sama Bella aja, atau nggak pakai taxi."
"Sok ngancam. Emang duit janjannya masih ada?" tanya Akmal. Laki-laki itu tahu betul jika Helsa tidak pernah membawa uang lebih untuk taxi, dia hanya membawa uang sekedar untuk jajannya saja.
"Ih, Akmal ..."
"Sini peluk. Aku capek, pengen bersandar sama pujaan hati." Ucapnya dramatis, dengan tangan yang direntangkan ke depan.
"Bucin teros ...." sindir Ando yang tidak sengaja turun dari rooftop sekolah. Loker memang tidak jauh dari tangga rooftop.
"Jomblo terus ..." balas Akmal.
"Dih, ngelunjak." Ujar Ando yang menghampiri keduanya. "Awas lo berdua, biasanya orang ketiganya setan."
"Eh, bentar ... Gue dong setannya," kata Ando menyadari posisi.
"Ya iya ... Mending lo cabut, sebelum uwuphobia lo kambuh," ketus Akmal yang tiba-tiba saja memeluk Helsa.
"Gue doain putus," celetuk Ando.
"Gue doain lo keluar dari sekolah," balas Akmal tak mau kalah.
"Akmal, kok gitu sih sama ando. Dia itu moodbooster aku di kelas," kata Helsa membelah sahabatnya.
"Nah loh, tarik kata-katanya Malik."
"Oh, jadi selama ini aku nggak ada apa-apanya dibanding si ceking satu ini?" todong Akmal berpura-pura marah.
"Ya nggak gitu ... Dia cuma pelarian," bisik gadis itu.
Akmal tertawa. "Kasihan banget, An. Sekalinya punya temen cewek, dianggap pelarian doang. Makanya punya cewek."
"Bener-bener gue dibully. Udah, mending gue cabut. Bisa stres ladenin lo berdua."
"Bye bye, An. Selamat sampai tujuan," ucap Helsa sambil melambaikan tangannya pada pemuda itu.
Akmal terus memeluk Helsa. Capeknya perlahan menghilang, keduanya kembali duduk di bangku itu. Sekeliling mereka sepi, tidak ada murid yang melintas disana. Akmal akan lebih leluasa dengan aksi bucinnya. Dibalik Akmal yang selalu memamerkan kemesraannya bersama Helsa, akan dirinya yang selalu ingin berduaan bersama gadis itu tanpa ada mengusik. Tidak heran jika mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama di rumah laki-laki itu.
"Jangan pergi, Sa. Aku cuma mau kamu. Disini terus sama aku."
"Beib, masa kemarin bu Mega usir aku keluar. Kesal banget lihat mukanya," kata Helsa."Si tua Bangka itu usir kamu? Berani banget dia," tukas Akmal tajam.Suasana kantin ibu Rinjani siang itu sangat sepi, jam pelajaran terakhir baru saja dimulai. Kelas Helsa sedang tidak ada guru yang masuk, ibu Shinta-guru Bahasa Inggris sedang izin. Bersamaan dengan itu, Akmal mengajak Helsa duduk di kantin yang biasa mereka tempati. Kantin itu bisa dibilang tempat pacaran dua anak manusia itu, ibu Rinjani adalah salah satu orang yang menjadi saksi bagaimana bucinnya mereka."Kamu salah apa sampai diusir gitu?"Helsa mendengus, "aku nggak sengaja pegang UUD'45 pas ulangan kemarin.""Kamu nyontek?"Akmal terkekeh."Nggak, itu semua karena Ranaya sama Bella," sergah Helsa."Bilang aja nyontek, Sa," tuduh Akmal."Ihhhh.... Nggak, Akmal !""Duh, pacaran terus nih berdua," goda bu Rinjani yang baru saja kembali sholat."Nikmatin masa-
"Jadi, kamu beneran dikeluarin dari sekolah?""Kenapa pada diam-diaman sih?"Dilah memperhatikan sepasang remaja yang duduk di hadapannya sekarang, hidangan makanan diatas meja makan turut menjadi saksi kebisuan mereka. Helsa tidak membuka suara sama sekali, dia masih kesal dengan kekasihnya.Akmal membuka suara, melirik sekilas pada Helsa, "maaf.""Helsa juga baru tahu, tante. Akmal nggak cerita sama aku, udah seminggu padahal," adu Helsa pada Dilah.Dilah mendesah berat, "kamu udah hubungi papa sama mama?" tanya Dilah pada Akmal."Nggak penting! Yang mereka tahu kan cuma cetak anak, terus tinggalin gitu aja," sarkas Akmal."AKMAL!!!" Bukan Dilah, melainkan Helsa yang memekik nama itu. Dia tidak suka ketika Akmal harus merendahkan orang tuanya."Udah, udah. Sekarang kita makan, nanti tante yang ngomong sama mereka," finis Dilah.***Helsa yang masih mengenakan seragamnya disibukkan dengan piring kotor yang mereka
Selesai makan malam, Helsa memutuskan untuk naik ke kamarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu selalu sendiri. Seharian ini Akmal tidak menghubungi Helsa, biasanya jika hari minggu seperti sekarang, Akmal akan meminta Helsa ke rumahnya. Dering panggilan dari handphonenya mengalihkan pandangannya, Helsa segera meraih benda pipih itu dari nakas. Dari layar, nama Ando terpampang dengan jelas. Tumben sekali Ando menghubunginya. "Hallo, An." "Bawa pulang cowok lu sekarang," ujar Ando dari seberang sana. " Gue nggak ngerti, maksudnya gimana? "Akmal mabuk berat di rumah gue. Nggak tahu punya masalah apa lagi." Helsa berdecak kesal, "kenapa lagi sih itu orang?!Gue kesana sekarang," ucap Helsa. "Ok, kita tunggu." Helsa memutuskan panggilan itu, dan beranjak dari ranjangnya. Gadis itu mengambil dompet, hoodie, dan keluar dari kamarnya. Sebelum dia berangkat, terlebih dahulu memberitahu mbak Ana
Helsa menggeliat kecil dalam tidur, kelopak matanya perlahan terbuka. Pemandangan di depan ini membuatnya tersenyum kecil, wajah Akmal terlihat damai dalam tidur. Dengan jemari lentiknya, dia meraba rahang tegas itu. Akmal mirip seperti mamanya, mata dan juga bentuk wajahnya sama persis.Akmal sudah mulai terganggu dengan aksi Helsa yang terus menangkup wajahnya. Lihat bagaimana netra keduanya bertemu, Helsa tampak memperhatikannya dengan seksama. Akmal tersenyum samar, tangannya mempererat pelukannya pada pinggang kekasihnya. Lebih dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Pemuda itu mengerjap mata berulang kali, kepalanya terasa pusing akibat alkohol semalam."Mau aku buatkan mie instan?" tawar Helsa. Gadis itu cukup tahu bahwa biasanya orang yang baru sadar dari mabuk akan lebih nikmat jika memakan sesuatu pedas, misalkan mie instan."Boleh," jawabnya senang."Tapi masih pagi banget, Al," keluh Helsa. Ya, jam baru menunjukkan pukul lima
Dua minggu setelah pertengkaran hebat antara Akmal dan Billy, Helsa sama sekali tidak menunjukkan wajahnya pada Akmal. Pembicaraan mengenai masa lalu Akmall dan Sheren membuatnya bingung harus apa.Helsa ingin bertanya, namun enggan sakit hati.Sekarang dia menjaga jarak dari Akmal, dia tidak keluar kelas sama sekali. Masih terlalu banyak yang disembunyikan oleh Akmal.Selama dua minggu ini Akmal terus mendatangi rumah Helsa, meminta maaf pada kekasihnya, namun kebungkaman yang dia dapati."Sa, dicariin sama Akmal. Temuin dia, jangan kayak gini," ujar Citra penuh ibah.Helsa menggeleng keras, "nggak Cit."Belum sempat Citra membalasnya, mereka dikagetkan dengan Akmal yang datang dan duduk tepat pada kursi milik Ranaya yang sekarang sedang asyik jajan diluar."Citra, gue mau ngomong sama Helsa," kata Akmal seolah meminta Citra untuk meninggalkan keduanya.Citra paham, dan segera beranjak dari sana. Ruang kelas itu tampak s
Hubungan Akmal dan Helsa semakin hari membuat banyak orang iri dan cemburu, semenjak mendapat izin dari Yuda, Akmal benar-benar memegang amanah itu. Walaupun Renata tidak menyukainya, Akmal tetap pada pendiriannya untuk terus bersama gadis itu.Waktu terus berlalu, dan sampailah pada hari yang sangat tidak disukai Helsa. Dilihat dari pelukan yang begitu erat seakan tidak ingin melepas, hari ini Akmal resmi dikeluarkan dari sekolah. Gadis bersurai panjang itu tampak sedih. Hari-hari di sekolah akan terasa berbeda bagi Helsa dengan tidak adanya Akmal."Nggak usah sedih." Akmal mengusap wajah murung Helsa, mencapit hidung mancung yang menjadi favoritnya.Helsa mengurai pelukan, "Kenapa nggak minta di skors aja sih?!""Kan aku udah bilang ini emang udah jalannya," pungkas Akmal.Dia menarik Helsa ke dalam pelukannya, lalu dikecupnya kening gadis itu. Seakan tidak peduli dengan banyaknya murid di parkiran sekolah, Akmal terus melakukan itu berulang kali
Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.Apa mungkin Akmal sedang sakit?Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Den
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad