Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran.
Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin.
Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel.
Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel.
Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Jantung Helsa berdetak cepat, atmosfer sekitarnya berubah sekitarnya.
"Sa, lo cuma halu," ujarnya pada diri sendiri lalu segera membaca novelnya.
Tidak. Coklat itu masih terus ada di depan wajahnya, sekali lagi Helsa mendongak dan melihat bagaimana cowok itu tersenyum padanya.
"Lo nggak lagi halu, Helsa," ucap cowok itu.
"Dito," lirihnya terbata. Helsa menelan salivanya gugup, perasaannya kacau.
Ardito, mantan kekasihnya. Helsa tidak pernah berpikir bahwa mereka akan dipertemukan lagi. Ia bahkan sudah tidak mengingatnya lagi, meskipun Dito adalah pacar pertamanya.
"Lo apa kabar, Sa?" tanya Dito sok akrab.
"Gue baik, Dit," jawab Helsa canggung. Ia memperhatikan seragam sekolah yang dikenakan cowok itu, "sejak kapan lo pindah kesini?"
"Sebulan. Dan selama itu juga gue hanya memperhatikan lo dari kejauhan," jawab Dito.
"Lo udah ketemu Bella?"
Dito menggeleng, artinya belum bertemu dengan gadis itu juga.
Helsa canggung dengan kehadiran cowok berdarah Ambon itu, belum lagi tatapan teduhnya masih sama seperti dulu. Kenangan masa lalu kembali menyeruak dimana Dito meninggalkannya tanpa kabar. Rumornya, Dito pindah ke Bali karena ayahnya yang dipindah tugaskan kesana. Dan sekarang, semesta seolah mempermainkannya, cowok itu kembali.
"Apa lo masih sama kayak dulu?" tanya Dito tiba-tiba.
"Maksud lo apa?"
"Masih suka coklat, suka mawar putih, dan lagu-lagu Last Child." Bahkan Dito masih mengingat beberapa hal yang menjadi favoritnya.
"Apa maksud lo pindah ke sekolah ini, Dit?" tanya Helsa.
"Gue mau kita kayak dulu," jawab cowok itu.
"Sinting!" Helsa beranjak dari sana, meninggalkan Dito sendiri.
Apa ia berpikir bahwa Helsa mau kembali? Oh tentu saja tidak, dalam kamusnya tidak ada istilah balikan sama mantan.
Benar-benar keterlaluan, setelah mencampakkannya begitu saja, ia kembali seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
***
"Nungguin siapa lagi?" tanya Akmal.
Cowok itu duduk diatas motor sembari memegang helmnya, sedangkan pacar kesayangannya duduk di halte sekolah. Sudah lima belas menit keduanya duduk di depan sekolah, dengan Helsa yang tidak mau menjawab pertanyaannya.
"Kamu bisa diam nggak?"
Akmal tersentak.
Lalu beberapa menit kemudian sebuah motor ninja hitam keluar dari gerbang sekolah, dan saat itu juga Helsa memeluk manja Akmal. Tentu saja cowok itu menyambut dengan senang, ditambah lagi ia mengecup mesra kening pacarnya.
"Pulang yuk," ajak Helsa lalu merenggangkan pelukannya.
"Sa, kamu nggak lagi nungguin orang kan dari tadi?" Akmal memicing, tingkah pacarnya sangat aneh.
"Nggak sayang. Kamu udah makan?" tanya Helsa, mengalihkan pembicaraan keduanya.
"Istirahat kedua, tapi masih lapar," jawab Akmal.
"Makan di rumah," ajak Helsa.
"Mba Ana masak apa?"
"Aku dari pagi di sekolah, mana tahu aku." Helsa segera memakai helmnya dan naik ke atas motor pacarnya.
"Nanti malam ikut aku, Sa," kata Akmal sebelum berangkat.
"Nggak bisa, aku mau ngumpul di rumahnya Bella," tolaknya.
"Yahhh," sesal Akmal.
"Mau kemana emang?"
" Mau ngajak ke birthday partynya teman sekolah, sekalian kenalin kamu ke teman-teman aku," ujar Akmal.
"Lain kali aja. Tapi ingat, jangan kamu sentuh alkohol disana," kata Helsa memperingati pacarnya.
Setelah mengatakan demikian, dengan Helsa yang memeluk posesif pacarnya, motor melaju meninggalkan pelataran SMA Harapan. Siang ini, gadis itu mengajak pacarnya makan di rumah.
***
Seperti perkataanya siang tadi, malam ini Akmal ke salah satu café yang dipakai di acara birthday party teman sekolahnya. Lebih tepatnya ini adalah acara ulang tahun adik dari temannya yang kebetulan bersekolah di SMA Diaksa.
Namanya Reno, cowok berdarah Tionghoa. Akmal sudah terlihat akrab dengan teman barunya. Bukan hanya Reno, ada David dan Dimas juga.
"Wellcome man," sambut Reno.
"Ramai banget," ujar Akmal.
"Temannya Deolora banyak. Mau gue kenalin nggak?" tawar Reno menggoda.
"Nggak minat," tolak Akmal begitu saja.
Reno terkekeh, "gue kenalin sama bokap-nyokap."
Akmal mengekori Reno, suasana didalam sangat ramai. Bukan hanya teman dari Deolora, melainkan teman Reno juga mendominasi café ini.
Reno memperkenal Akmal pada orang tuanya, sama seperti teman-temannya yang lain. Cowok itu juga memperkenalkannya pada Deolora, adiknya.
"Ehm, siapa nih? Kok gue baru lihat," tanya Deolora.
"Teman gue. Baru sebulan di sekolah," jawab Reno.
Deolora mengangguk paham, lalu menjulurkan tangannya pada Akmal. "Deolora Charoline, adik semata wayangnya di bajingan ini."
"Sialan," umpat Reno.
"Akmal," balasnya.
"Teman lo yang satu itu nggak datang?" tanya Reno.
Deolora mendesah berat, "katanya ada urusan."
"Deolora!"
Seorang gadis dengan dress yang cukup pendek alias kurang bahan berjalan lenggak-lenggok bak model. Auranya begitu berbeda dari kebanyakan gadis yang ada disini. Gigi putih yang tersusun rapi terlihat ketika kedua sudut bibirnya terangkat.
Cantik, satu kata dalam pikiran Akmal.
"Rania!" Deolora memeluk gadis yang dipanggilnya.
"Ngeselin deh, katanya nggak bisa datang," kesal Deolora dengan wajah yang cemberut. Akmal dan Reno hanya memperhatikan dua gadis itu secara seksama.
"Emang sengaja. Biar lo makin ngerasa nggak ada yang peduli sama lo," timpal gadis yang bernama Rania.
"Jahat banget," pungkas Deolora, "oh, iya, kenalin Ran. Ini Akmal, temannya Reno. Ternyata udah sebulan pindah ke sekolah," katanya.
Rania memandang Akmal, "nama gue Rania. Kita satu sekolah, dan lo itu senior gue."
Akmal membalasnya dengan senyuman hangat, dan balas memperkenalkan dirinya pada Rania. Pandangannya tidak luput dari wajah cantik gadis itu, Rania sangat cantik.
"Gue dikacangin," sindir Reno.
Siapa yang tidak mengenal Rania. Seantero SMA Diaksa tahu betul gadis itu, gadis yang mampu memikat laki-laki mana saja dengan kecantikannya.
***
"Sa, Akmal kemana?" tanya Bella.
"Acara ulang tahun teman sekolahnya," jawab Helsa.
"Cowok atau cewek?" Ranaya ikut nimbrung.
"Mana gue tahu," balas Helsa tidak peduli. Biarkan saja malam ini Akmal bersama teman-temannya, ia malas mengganggu cowok itu.
"Hati-hati," sarkas Diandra.
Citra mengangguk, "laki-laki itu gampang tergoda."
Helsa memandang sahabat-sahabatnya penuh tanda tanya, entah kenapa malam ini mereka berbicara soal pacarnya. Helsa bahkan tidak mau memikirkan perihal Akmal yang pergi ke acara ulang tahun tersebut.
"Akmal nggak gitu," ucap Helsa.
"Cuma mengingatkan, Helsa," tegur Citra.
***
Acara ulang tahun Deolora sudah selesai tiga puluh menit yang lalu. Akmal dan yang lainnya masih disana. Sepertinya malam ini akan panjang dibuat oleh mereka, dilihatnya dari banyak botol minuman alkohol di atas meja café yang mereka lingkari.
Lihat Akmal. Wajahnya bak kepiting rebus akibat minuman itu, sudah banyak yang diteguknya. Padahal Helsa sudah melarangnya untuk tidak menyentuh minuman haram itu.
"Lo mau minum terus dan masih mau pulang?" tanya David.
"Gue mabuk, tapi bisa kontrol diri," jawab Akmal.
Reno memukul pundaknya, "rumah lo jauh bangsat."
Akmal tertawa, "gue tidur sama Helsa dalam keadaan mabuk, dia masih perawan tuh. Karena gue bisa kontrol," jawab Akmal.
"Helsa siapa?" tanya Reno.
Akmal mencondongkan wajahnya pada Reno, "calon istri gue," bisiknya.
Reno tertawa dengan kondisi yang sudah mabuk, diikuti David yang juga mendengar bisikan Akmal.
Setelah mengatakan demikian, Akmal beranjak dari sana. Dia akan menghubungi Helsa, mau menanyakan apa Helsa sudah pulang. Jika belum, dia akan menjemput pacarnya. Dalam kondisi mabuk? Tentu saja Helsa tidak mau mati konyol.
Namun langkahnya berhenti pada salah satu gadis yang masih disana. Rania belum balik, entah siapa yang sedang dia tunggu.
"Lo belum balik?" tanya Akmal.
"Nungguin lo," jawab Rania.
"Gue?" Akmal balik bertanya, "emang rumah kita searah?"
"Bisa searah kalau lo mau." Rania menatap Akmal dengan tatapan menggoda.
Akmal terkekeh, "lo lagi godain gue?"
"Kalau lo merasa tergoda, itu bukan kesalahan gue," balas Rania.
"Gue udah punya cewek!" tanda Akmal. Dia berlalu meninggalkan Rania sendiri. Gadis itu menyeringai, dia tertarik pada Akmal. Cowok itu sangat menantang baginya.
"Permainan dimulai, Akmal Malik."
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Semenjak hari kemarin saat Helsa kehujanan di jalan, Akmal tidak pernah absen untuk pergi dan pulang bersama pacarnya, meskipun jam pulang dua sekolah itu sedikit berbeda, tidak pernah cowok itu melewati tugasnya.SMA Diaksa masih sepi, beberapa murid baru berdatangan. Parkiran sekolah pun sama sepinya seperti hati author. Saat hendak keluar dari sana, tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Akmal tersentak saat mendapati Rania di belakangnya."Gue minta nomor ponsel lo," kata Rania dengan gaya angkuhnya."Mau ngapain?" sikap Akmal sangat dingin, dia tidak suka dengan perempuan agresif seperti Rania. Sejak malam pertemuan pertama mereka, Akmal selalu berjaga-jaga.Rania tersenyum jenaka, "mau pacaran.""Sinting." Akmal m
Perpustakaan SMA Harapan siang itu sangat sepi. Biasanya akan sangat ramai saat jam istirahat seperti ini. Setelah selesai makan, Helsa berpamitan pada sahabat-sahabatnya untuk ke sini. Seperti biasa, novel yang ia baca tempo hari belum selesai. Di setiap lorong yang disekat rak buku itu Helsa tidak menjumpai novel itu, padahal sudah disimpan pada tempatnya. Dengan berat hati, gadis itu membatalkan acar bacanya. Namun seseorang datang dan memberikan novel itu. "Lo suka novel bergenre fantasi?" tanya Dito. Ardito. Kenapa Helsa harus berhadapan lagi dengan dia? Dua hari yang lalu, Dito menitipkan tas Helsa pada Bella. Meskipun satu sekolah, Helsa tidak ingin bertemu dengan sosok yang satu ini. Gadis itu takut kalau sewaktu-waktu Akmal mengetahui keberadaan mantan pacarnya ini, apalagi Helsa tidak pernah menceritaka
Pagi sekali Akmal menjemput Helsa di rumah, seperti biasa mereka selalu berangkat bersama. Dalam perjalanan, hanya ada keheningan. Helsa dengan pikirannya, dan Akmal pun seperti itu, dia masih memikirkan perihal laki-laki yang membuat pacarnya menangis. "Al, kata Arjun, pembukaan piala bergilir Diaksa nanti sekolah kamu dan sekolah aku lawan ya?" tanya Helsa memecahkan keheningan. "Iya, futsal sama basket. Kamu nonton kan?" sahut Akmal. "Kalau aku nonton futsal, aku jadi dilema harus dukung siapa. Team yang satunya sekolah aku, yang satunya lagi ada pacar aku." Akmal terkekeh, "dukung sekolah kamu aja." "Kamu nggak apa-apa kalau nanti aku teriakin namanya Arjun atau yang lainnya?" tanya Helsa.
"HAPPY BIRTHDAY ECHA!!!" Suasana tengah malam ini begitu riuh di dalam kamarnya. Helsa yang memang belum tidur dibuat terkejut dengan kedatangan kelima sahabatnya, dan juga orang tuanya. Kedatangan Yuda dan Renata tidak diketahuinya. Helsa tertawa sembari menangis melihat kejutan yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Masalahnya dengan Akmal yang sudah tidak bertemu selama lima hari ini membuatnya sampai lupa bahwa hari ini ia berulang tahun. 05 Agustus. Hari kelahirannya, hari ini gadis itu memasuki usia ke tujuh belas tahun. Kedatangan mereka membuat Helsa merasa lebih baik. "Kok nangis anak Papa? Ayo dong kasih permohonan dan tiup lilinnya," ujar Yuda menyemangati peri kecilnya yang sudah beranjak remaja. Mengusa
"Nanti malam aku ke rumah," ujar Akmal. Tangannya mengusap lembut pipi Helsa, "masih sakit, hm?" tanya Akmal. Helsa tersenyum, meraih tangan kekar itu dari pipinya, "udah mendingan kok. Kamu habis dari sini mau kemana?" tayanya. "Ke rumah tante Dilah lagi. Urusan sprei di kamar tadi belum kelar," jawab Akmal. "Kenapa tadi pas mandi nggak sekalian sih, kan harus kamu sendiri." "Tidak masalah, sayang. " "Ya udah, aku langsung masuk," kata Helsa. Sebelum melepas Helsa masuk ke rumah, cowok itu menyempatkan diri mengecup kening gadisnya. Hal itu membuat keduanya mendapat tatapan kagum dari beberapa orang yang lewat di jalanan komplek perumahan. Sangat romantis.
"Hai, Helsa." Gadis bersurai panjang itu tersentak saat mendapati Dito dihadapannya. Ia selalu khawatir saat mantan pacarnya itu menyapa. "Mau ke kantin? Bareng gue kalau gitu," ujar Dito. Koridor lantai dua sedang ramai, karena memang jam istirahat pertama baru saja dimulai. Sebenarnya Helsa tidak sendiri, masih ada Ranaya dan lainnya sudah menunggunya di kantin. Gadis-gadis genit itu memang selalu meninggalkannya sendiri. "Gue udah ditunggu sama teman," balas Helsa. Dito menyerngit, "lo masih marah kejadian di perpustakaan waktu itu? Gue kan udah minta maaf, Sa." Helsa diam, ia terus berjalan menuruni anak tangga.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Helsa segera turun ke bawah untuk makan bersama orang tuanya. Setelah satu bulan gak ketemu, malam ini bisa ngumpul lagi."Mama, Helsa boleh gak minta dibikinin puding?""Boleh dong sayang. Habis makan, mama cuss ke dapur. Tapi, ada syarat," kata Renata."Bantuin mama di dapur," pungkas ibu dan anak itu bersamaan.Helsa selalu tahu jika Mamanya selalu memintanya untuk bantu di dapur, apalagi untuk makanan yang dimintanya."Papa selalu terbuang ya, kalau soal masakan." Raut wajah pria setengah baya itu mendadak cemberut , Helsa dan mamanya tertawa."Papa habis makan siram tanaman aja," ujar mamanya."Gabut banget papa siram tanaman jam segini," seru papa Helsa."Papanya Helsa milenial banget, bisa pakai kata gabut," tutu Helsa."Ini kan papanya Helsa," ucap pria itu dengan bangganya."Udah, ayo makan! Keburu dingin," ajak Renata menutupi percakapan ayah dan anak tersebut.Suasana tampak hening di meja makan
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad